"Aku tuh jadi kesel sendiri gitu Bi, plin-plan banget kalo udah menyangkut urusan uang," curhat Mita semakin mengeluarkan uneg-unegnya. Rasanya dia bisa lega jika sudah membicarakan sesuatu yang mengganjal dengan Bianca. Sebab sahabatnya itu bisa menjadi pendengar yang sangat baik. Nggak menghakimi tapi nggak membela juga. Pokoknya Bianca the best menjadi tempat curhat.
"Iya sih, tapi yang aku heranin ya Mit, kok bisa si bos minta bantuan mu? secara gimana ya ngomongnya, aneh aja gitu masa mau putus tapi minta bantuan orang lain."
"Nah iya aku juga mikirnya gitu, mau heran tapi ini Pak Vano, kan dia memang begitu, nggak bisa apa-apa selain ngurusin perusahaannya," kata Mita yang sekarang sudah mengubah posisi menjadi duduk bersila memangku bantal tidurnya.
Jam dinding di atas pintu sudah menunjuk angka sembilan malam. Mita sebenarnya sudah mandi di rumah Vano, hanya saja nggak ganti. Dia akan mengganti pakaiannya setelah sesi curhat selesai.
Dalam film Harry potter, kebahahagiaan dan kegundahan akan silih berganti. Kebahagiaan setelah menyelesaikan misi atau teka-teki, namun kembali gundah bahwa harus menyelesaikan suatu masalah besar yang akan datang. Seenggaknya itulah yang dirasakan oleh Mita. Dia merasa bahagia, namun secepat kilat menjadi gundah gulana yang menimbulkan kebingungan untuknya. Kini gadis bermata sipit itu sedang duduk di sebuah cafe depan kantor Miyora, duduk di bangku pojok sembari menatap luar dari balik jendela kaca. Dia sendirian dan sedang nggak berminat diajak berkumpul dengan Farhan dan kawan-kawan. "Lo makin hari, makin nggak asik deh Mit," kata Farhan begitu mereka bertemu saat Mita akan keluar gedung menuju cafe. Laki-laki itu seperti biasa, berpenampilan rapih dan modis dengan gaya penggoda yang kuat. Sebenarnya Mita memang merasakan perubahannya sendiri. Benar yang dikatakan Farhan bahwa dia semakin hari semakin nggak asik. Mita pun mengakui sendiri dan hal itu ngga
Hari sudah sore, rintik-rintik hujan mulai membasahi bumi. Tetes demi tetes, rintik-rintik yang awalnya kecil menjadi besar bak pasukan yang menyerang dengan cepat. Sedangkan itu seseorang berbadan tegap dan macho hanya menatapnya lewat jendela kaca besar sembari menyesap kopi buatan asistennya yang sudah dingin. Jam di dinding sudah menunjuk pukul lima sore, tandanya sudah waktunya pulang ke rumah masing-masing. Namun di luar sedang hujan, beberapa karyawan pun terpaksa berdiam di kantor menunggu hujan sedikit reda. Seperti halnya Vano. Tuan muda itu tampak tenang ketika melihat hujan yang turun lewat jendela kaca ruangannya. Suasana yang mendamaikan itu menyeret kenangan masa kecilnya tentang hujan kembali dalam ingatan. ~Flashback~ "Van, main hujan sana." "Enggak Pah, nanti sakit." Pak Iskandar yang mendengar penolakan anaknya segera masuk ke dalam kamar sang anak. Vano sedang rebahan di kasurnya sembari membaca buku tentan
Mita nggak pernah menyangka akan terjebak dengan Vano di ruangan yang sama dan disaat hujan turun deras di luar. Gadis itu kebingungan atas pertanyaan yang dilayangkan bosnya. Kalimat menuntut itu membuat Mita melirik kanan dan kiri dengan gelagat yang gugup. Tentu saja dia memikirkan isi pesan Bunga yang memintanya untuk membantu berbaikan dengan Vano. Si Bunga nggak tau saja kalau pacar yang dia sayangi itu ingin mencampakkan dirinya dengan tega. Lalu apakah Mita juga akan tega berkhianat dengan membantu memisahkan sepasang kekasih itu. Bahkan hanya memikirkan saja membuat kepala Mita mendadak nyeri. Dia berkhianat tapi kan itu demi kebaikan Bunga. Nggak dosa kan ya kalau Mita membantu Bunga berpisah dengan laki-laki nggak layak seperti Vano. Namun semakin memikirkan tentang hal itu semakin membuat kepala Mita kliyengan. Akhirnya gadis itu pun menghela nafas mencoba tenang dengan suasana yang menuntut. Mita berdiri dengan tegak untuk mengimbangi gestur inti
Malam semakin larut. Dinginnya udara sehabis hujan membuat siapapun merasakannya dan bergidik ingin masuk ke dalam selimut saja. Cuaca demikian sangat mendukung untuk tidur nyenyak. Namun disaat banyak warga yang sudah terlelap di balik selimut tebal, Mita malah dipaksa Ibu Sri untuk membantu membuat kue yang akan disajikan esok hari. Setelah tau Mita sudah mendapatkan gaji, Ibu Sri sangat semangat dan langsung woro-woro di grub what*app ibu-ibu arisan komplek kalau acara kumpul yang rutinitas dilakukan seminggu sekali akan dilaksanakan di rumah ini. Mita sih nggak akan merasa kesal apabila dia nggak dilibatkan, toh acara seperti itu memang diselenggarakan oleh ibu-ibu gosip di kompleknya. Namun yang menjadi masalah, Mita diseret dengan paksa oleh Ibu Sri untuk membantu membuat kue. Sudah Mita bilang sebelumnya, lebih baik kue nanti bisa beli saja, namun emak-emak jawa tulen itu tetap ngeyel ingin membuat kue demi memamerkan keahliannya kepada ibu-ibu yang na
Misi pertama untuk menyadarkan Bunga agar membatalkan perjodohan dengan suka rela adalah dengan berkomunikasi dan harus menjadi pendengar yang baik. Orang seperti Bunga merupakan tipe orang yang suka berbicara dan memamerkan sesuatu. Memang menyebalkan tapi dibalik kepamerannya itu pasti tersimpan sesuatu yang bisa dibilang sisi baik dan ingin didengarkan. Mungkin alasan mengapa dia suka pamer adalah karena ingin di puji dan ingin menonjolkan diri. Baik ingin di puji serta ingin menonjolkan diri itu muncul karena kekurangan kepercayaan diri atau sebagai tameng dalam bersosialisasi. Di sisi yang terdalam orang-orang seperti itu merupakan seseorang yang kurang di dengar dan menginginkan satu sosok teman yang tulus dan memberikan arahan tanpa menjudge. Dan di sisi paling dalamnya lagi ada perasaan kesepian yang mana pasti akan luluh jika ada yang mendekat dan memberikan ketulusan. Mita mengangguk-angguk, cukup spesifik penjabarannya tentang Bunga. Gadis itu kini sedang
Mita nggak perlu menunggu lama. Sebab setelah dia mendudukkan diri sekitar lima menit, seorang perempuan tinggi langsing, berpenampilan anggun serta wajahnya yang terlalu mencolok sebagai bintang iklan menghampiri tempat duduknya di pojok dekat jendela kaca. Mita menampilkan senyumnya, jiwa insecure ketika bersanding dengan Bunga bergejolak menggebu. Gadis bermata sipit itu hanya selayaknya wanita kantoran dengan setelan pakaian formal yang kaku. Sedangkan Bunga tampak santai, dress merumbai tanpa lengan serta topi baret dan sepatu hak sebagai penunjang penampilan yang cetar. Mita kemudian mempersilahkan Bunga untuk duduk dan langsung memesankan kopi latte untuk sang pacar bosnya itu. Cafe dengan nama DEE'ana di depan kantor Miyora masih lenggang karena belum waktunya jam istirahat para pekerja. Dari jendela kaca yang langsung terpampang ke jalan raya, Mita dapat melihat berbagai gedung perkantoran dimana salah satunya kontor kerjanya yaitu Miyora. Lalu setelah sadar
"Apa yang kalian bicarakan?" tanya Vano begitu Mita masuk ke dalam ruangan. Ternyata si tuan muda sudah berada di kursi kebesarannya dengan berpakaian kemeja navy yang digulung hingga batas siku. Mita dapat melihat jika jas Vano tergeletak di sofa sebrang. Atas pertanyaan bosnya Mita semakin masuk dan menutup pintu dengan rapat. Dia berjalan menuju sofa dan menjatuhkan tubuhnya disana. "Ya begitu, pak," jawab Mita nggak tau harus menjelaskan pembicaraan antara dirinya dan Bunga kepada Vano. Sebab nggak ada kesimpulan hasil yang memuaskan. Mita saja masih bingung. "Kamu nggak menjelek-jelekkan saya kan?" Entah sejak kapan Vano sudah berada di dekat Mita. Laki-laki yang berperawakan tinggi dan padat gagah nggak jauh berbeda dengan Billy itu langsung duduk di sebelah asistennya. Jadilah mereka duduk bersebelahan di sofa yang sama. Dimana hal seperti itu sangat jarang terlihat. Maksudnya Vano adalah bos yang selalu sibuk bekerja, bahkan makan sian
"Jadi ..." pancing Billy melirik secara bergantian antara Mita dan Vano. Laki-laki itu bagaikan bos yang sudah memergoki kesalahan karyawannya. Mita hanya menundukkan kepalanya nggak bisa menahan rasa malu yang menyerangnya. Sedangkan Vano hanya diam saja dan malah seperti seorang pencuri yang kepergok mencuri. Sedangkan itu jam di dinding berdetak dengan irama yang begitu canggung di pendengaran Mita. Rasanya dia ingin segera pergi dan menghilang saja. Dan saat-saat seperti inilah yang membuatnya merasakan butuh kucing biru kebanggan Jepang. Lagi pula mengapa dia harus seperti ini. Maksudnya kejadian tadi kan karena ketidaksengajaan semata, nggak ada maksud lain-lain ataupun niatan lain-lain. Harusnya Mita bisa dengan mudah menjelaskan ketidaksengajaan itu kepada Billy. Namun mengapa sulit sekali walau hanya untuk mendongakkan kepala. Nggak pernah Mita dalam posisi seperti itu sebelumnya. "Diamnya kalian bikin saya jadi berpikiran macam-macam," ujar