Darma menggeleng-geleng. Lalu dia meraih lagi tab di tangannya. Astri heran, bukan menjawab pertanyaan, pria itu malah kembali sibuk dengan benda pipih yang dia pegang. Hampir Astri mengucapkan sesuatu, Darma mengangkat mukanya dan memperlihatkan layar tab pada Astri. "Kamu lihat foto ini, Astrina?" Darma mendekatkan tab ke arah Astri. Astri mau tidak mau melihat juga pada layar. "Pasangan yang serasi, bukan? Hampir tiga belas tahun menikah, mereka sedang mengurus perceraian. Lalu ini ..." Telunjuk Darma menggeser gambar. "... setelah ulang tahun pernikahan yang kesembilan, ketahuan si pria berselingkuh, dan istrinya menggugat cerai." Astri menelan ludah. Apa maksud Darma menunjukkan semua itu? "Mereka pacaran bertahun-tahun, beralasan cinta, lalu menikah, lemudian selesai. Tapi ini ..." Darma kembali menggeser gambar di layar. Muncul foto pasangan yang sudah usia, mereka berambut putih meskipun belum semua. Astri kenal siapa pria di foto itu. "Ayahku. Dia menikah karena dijodohk
"Gimana menurut Ibu? Oke ga ideku?" Errin memandang Astri dengan mata berbinar. Wajah lelah gadis itu seperti hilang saat mengatakan semua rencananya untuk acara ulang tahun sahabatnya, Wenny. "Menarik. Jadi kita lakukan di taman samping asrama, selesai kelas?" Astri memastikan waktunya. "Iya. Kami kelas selesai jam setengah dua belas. Jam makan dua belas tiga puluh. Lumayan, Bu, satu jam. Lalu lanjut makan siang sama-sama." Errin menegaskan lagi. "Baiklah. Atur saja. Siapa-siapa yang akan kamu ajak?" Astri memastikan lagi personil yang terlibat. "Orang kamar sama teman dekat aja, Bu. Kami semua berenam. Sama Ibu tujuh jadinya." Errin menjawab tegas. "Nice." Astri tersenyum. "Aku sengaja ajak Ibu, soalnya Wenny beneran sayang Ibu. Katanya andai dia ada mama, mau mamanya kayak Bu Astri," kata Errin. Kalimat itu membuat dada Astri kembali meletup. Menyenangkan sekali mendengarnya. Ini kesempatan Astri akan merengkuh hati Wenny. Lalu kalau Astri makin dekat Julian, Wenny tidak aka
Teetttt!! Bel pagi di asrama berbunyi nyaring sekali. Astri tersentak dan segera bangun. "Jam lima pagi? Astaga!" Astri sedikit panik. Dia belum menyiapkan untuk kegiatan hari itu. Semalam setelah menelpon Julian, Astri dapat ide membuat sketsa gambar untuk Wenny sebagai hadiah ultah. Gambarnya memang selesai, tapi urusan kerjaan yang tertunda. "Aduh, kesiangan. Cilaka," ujar Astri. Dia menarik napas dalam beberapa kali. Harus tetap tenang agar bisa berpikir jernih. Mau apa dulu yang dia kerjakan? Astri memejamkan mata. Lebih baik dia serahkan hari itu pada Sang Pemilik hidupnya. Semua yang akan Astri lalui, Dia sudah tahu. Astri minta tuntunan agar hari itu semua berjalan manis. "Tuhan, tolong agar hari ini aku mendapatkan satu keyakinan jika aku mengejar Julian, Kau merestui langkahku," ucap Astri. Ada perasaan campur aduk saat dia mengucapkan itu. Tiba-tiba seperti Astri tersadar, dia mengejar pria. Ya, dia berniat mengejar Julian Scott Dawson. Padahal seumur hidup Astri bel
"Ajak Wenny ke sini. Please, pakai alasan apapun tapi jangan beritahu aku datang. Sebab, aku janji weekend akan menjemput dia pulang, baru kami akan jalan-jalan." Julian menjelaskan. "Oke. Siap. Segera aku bawa Wenny bertemu denganmu," jawab Astri dengan hati berbunga. Manis sekali. Ini sesuatu yang baik yang akan terjadi padanya dan Julian. Panggilan Juan selesai. Astri segera mencari Wenny di kamarnya. Gadis itu sedang asyik tengkurap di kasur sambil membalas banyak pesan ucapan ultah. Di sekitarnya kado-kado dari teman-teman bertebaran. Wenny terlihat sangat senang. Bagusnya, Wenny sedang sendirian. Entah teman kamarnya ada di mana. "Wenny, bisa bantu Ibu?" Astri duduk di tepi ranjang, memperhatikan Wenny. Astri sengaja memasang wajah serius. "Aku? Ada apa, Bu?" Wenny meninggalkan ponsel di kasur, duduk, dan melihat pada Astri. "Ibu perlu memindahkan beberapa barang dari kantor depan. Ga bisa ditunda, soalnya besok harus dipakai," jawab Astri. "Oke. Sekarang?" Wenny bertanya l
Julian menatap adiknya yang pandangan tajam. Wenny kadang-kadang kalau bicara memang tidak pakai dipikir. "Kenapa? Kakak lebih senang kalau cewek pelanggan Kakak yang datang? Yang rada tomboy itu?" Wenny melirik kakaknya dengan tatapan jutek. "Kamu kalau bicara jangan asal." Julian mengusuk kepala Wenny. "I Just think about you." Mendengar pembicaraan itu Astri merasa tidak nyaman. Julian pria sukses, tampan, dan baik hati. Dia punya relasi yang luas. Pasti juga banyak wanita yang ada di sekitarnya. Bisa jadi beberapa dari mereka menyukai kakak Wenny itu. "Sudah, tidak usah bicara soal itu. Hampir habis waktu kamu dan harus balik asrama." Julian mengingatkan. "Kalau sama Ibu Astri, mau sampai jam sepuluh malam di luar, aman. Ya kan, Bu?" Wenny menoleh pada Astri. "Nggak. Besok kamu ada kelas, ada ujian. Ga boleh kurang istirahat. Sekarang saja jam belajar kamu berkurang," jawab Astri."Aissshhh, kenapa lagi-lagi kakakku dan Bu Astriku kompak, ya? Makin akur aja, nih, berdua," uca
Ultimatum lagi yang Astri dengar dari sang ayah. Sungguh tidak menyenangkan mendengar desakan lagi dan lagi. Astri belum siap. Dia bukan kekasih Julian! Apa yang harus Astri lakukan? Dan sayangnya, situasi memaksa dirinya mengaku sebagai kekasih Julian, hanya demi mengamankan dirinya di depan adik dan sang ayah. "Kamu dengar aku, Astri?" Kalimat itu membuat Astri tersentak. "Ya, aku dengar, Pa." Buru-buru Astri menjawab. Astri harus bisa tetap tenang. Jangan sampai salah menjawab menimbulkan pertanyaan lain yang akan menjebak dirinya sendiri di depan Andika. "Kapan kamu akan ajak pria itu bertemu denganku? Dia pria asing. Apa mungkin dia akan bersungguh-sungguh denganmu?" tanya Andika dengan nada dingin. Oh, tidak. Ini masalah baru. Andika tidak gembira mendapat kabar Astri punya kekasih! Dia yang mendesak Astri untuk segera mendapatkan calon suami, tetapi kenyataannya, Andika tidak suka? "Aku harus atur waktu, Pa. Aku sibuk, Juan pun sibuk." Jawaban yang selalu sama yang Astri be
Masih tidak ada jawaban dari Julian. Hati Astri benar-benar merasa tidak nyaman. Apa yang bisa dia katakan untuk mengurai situasi itu?"Juan, aku ...""Astri, sebenarnya ..." Hampir bersamaan Astri dan Julian membuka suara."Silakan, kamu duluan," kata Astri."Well, aku ... lagi, ini soal Wenny. Dia pernah mengatakan, aku terlalu keras dengan diriku dan hidupku. Dia bilang aku harus mendapat impianku dan bahagia, bukan hanya memikirkan Wenny." Kalimat itu tak Astri sangka keluar dari bibir Julian.Astri tidak menimpali apapun. Dia biarkan Julian akan melanjutkan ucapannya."Dan yang aku bayangkan untuk diriku, aku punya keluarga lengkap dan utuh, bersama Wenny. Seseorang yang akan ada di sisiku yang juga sayang Wenny seperti aku sayang dia. Yaah ... well ..." Julian tidak meneruskan kalimatnya."Kenapa kamu tidak selesaikan?" tanya Astri. Sementara hati Astri berdenyut demi mendengar yang Julian katakan. "Sorry, I am really sorry, ada telpon penting masuk, Astri. Nanti aku kontak kam
Titi mengusap pundak Astri. Dengan gerakan itu Titi mau Astri tahu, Titi serius akan ada di sisi Astri dan mendukungnya. "Jadi, sudah sejauh apa hubungan kamu dengan bule itu? Siapa namanya?" Titi memandang Astri. "Julian. Biasanya dia dipanggil Juan," jawab Astri. "Masih di awal, Ma. Masih ..." "Di awal? Artinya kalian belum bicara soal pernikahan?" Titi menegaskan, langsung ke tujuan sebuah hubungan pria dan wanita seharusnya bermuara. "Belum, Ma. Perlu waktu buat kami," jawab Astri. "Kamu tahu yang papa kamu akan katakan jika tahu ini?" Lebih tajam Titi memandang putrinya. Astri mengangguk. Pasti dia akan mendesak Astri. Dan, jika Julian datang ke rumah ... Tiba-tiba hati Astri berdenyut tidak nyaman. Jika benar Julian bertemu dengan Andika, jangan sampai dia diinterogasi dan diminta membuat tanggal kapan akan melamar lalu menikahi Astri. Astaga!Kembali carut marut hati Astri. Dia masih berharap ada keajaiban yang membawa Julian datang ke rumah. Sebelum itu setidaknya Julian