Astri baru selesai mandi dan berganti pakaian. Pintu kamarnya lagi-lagi diketuk. Kali itu lebih keras dari yang sebelum-sebelumnya. Nada ketukannya seperti orang panik atau marah. Astri urung mengambil sisir di meja, dia bergegas membuka pintu kamar.
Di depan pintu, wajah kesal dengan bibir manyun memandang tajam pada Astri. Astri menghela napas begitu tahu siapa yang ada di depannya. Astri membuka pintu lebar dan membiarkan gadis itu masuk."Kenapa lagi?" Astri bertanya sambil duduk di kursi depan meja riasnya. Dia perhatikan Wenny duduk dengan gelisah tetapi juga marah."Ibu tahu hukuman dari kakakku?" ujar Wenny."Ini ada hubungannya dengan HP Leni?" Astri balik bertanya."Yaa!" seru Wenny gusar."Apa konsekuensi yang kakak kamu berikan?" tanya Astri. Dalam pikiran Astri muncul wajah tampan Julian. Ah, kenapa dia begitu mempesona?"Uang saku aku, dipotong selama tiga bulan buat ganti HP Leni. Jahat!" Wenny menghentakkan kakinya."Dipotong bagaimana? Sebulan kamu dapat uang saku berapa?" tanya Astri lagi. Melihat ledakan emosi Wenny sepertinya berat juga hukuman Julian buat adiknya."Sebulan biasanya dikirim empat juta. Kalau dipakai buat ganti HP Leni tiga bulan, sebulan aku cuma terima sejuta lebih dikit, dong! Merana, Bu, hidupku!!" Wenny benar-benar protes dengan sanksi yang dikenakan kakaknya.Astri tersenyum tipis. Uang sejumlah itu sebenarnya buat anak SMA harusnya sangat cukup. Empat juta itu banyak juga. Kalau sebulan sejumlah itu, Wenny habiskan buat apa saja? Seharusnya justru Wenny bisa menabung jika dia memakai uang seperlunya.Di asrama keperluan hari-hari murid disiapkan sekolah. Hanya keperluan pribadi yang mereka harus usahakan sendiri, seperti peralatan mandi, peralatan sekolah, dan kalau mau jajan atau naik transportasi saat keluar sekolah."Jadi kamu tidak terima? Kalau begitu nego dengan kakak kamu, diperpanjang pengembaliannya. Mungkin bisa empat bulan atau lima bulan," usul Astri."Bu, Kak Juan itu usahanya udah mulai bagus. Duitnya pasti banyak. Yaaah, masak aku mesti balikin juga uang sama dia. Pelit amat sama aku. Aku ini adik satu-satunya. Ga sayang dia emang sama aku!" Wenny mulai meracau."Bagaimana bisa kamu bilang begitu? Dia jadi wali kamu, berarti dia bertanggung jawab semua hal tentang kamu, Wenny. Yang paling penting kamu bisa menjadi gadis mandiri yang tahu membawa diri. Demi masa depan kamu," kata Astri."Kalau berurusan sama orang tua pasti kayak gitu! Tahu ga mereka yang aku rasa? Pernah ga nanya aku suka apa nggak? Yang mereka pikir bagus buat aku, belum tentu sebenarnya memang bagus. Aku benci semuanya, Bu! Aku benci! Kalau boleh, aku mau milih ga pernah lahir!" Wenny makin meluap.Kalimat terakhir Wenny membuat Astri tersentak. Ada luka begitu dalam di hati Wenny dengan keluarganya. Ada marah yang tersimpan lama karena Wenny merasa tidak dicintai. Dan puncaknya, Wenny merasa tidak ada gunanya dia hidup."Wenny ..." Astri menatap Wenny dengan hati perih.Satu tahun lebih Wenny di asrama, beberapa kali dia membuat ulah, mengapa baru kali itu Astri mengerti, Wenny bukan murid yang nakal. Wenny seorang anak yang tidak mendapatkan cinta sebagaimana mestinya sehingga dia berulah. Tanpa Wenny sadar, dia sedang meluapkan luka dan marah pada orang-orang di sekitarnya."Ibu sama aja kayak mereka. Aku pikir Ibu berbeda. Ibu baik, lembut, dan penyayang. Ibu tegas, karena memang mau kami baik. Tapi aku salah. Ibu cuma melakukan tugas jadi ibu asrama. Ibu ga tahu apa-apa soal hidupku. Kurasa juga soal teman-temanku!" Wenny menatap tajam pada Astri, sedang air matanya menetes begitu saja.Astri tersentak. Apa yang Wenny ucapkan seperti pisau dihujamkan padanya. Jadi selama ini Astri tidak tahu apa-apa tentang anak-anak yang dia didik? Kehidupan di asrama dengan semua aturannya, yang diharapkan membentuk sikap baik dan karakter terpuji, itu apa artinya?"Wenny," sahut Astri dengan cepat. Dia bangun dan duduk di samping Wenny. Dia pegang kedua tangan Wenny dan memandang gadis itu dengan iba."Wenny, Ibu minta maaf. Ibu tidak memahami kamu. Ibu sungguh minta maaf." Dengan sepenuh hati Astri bicara. Dia menatap lurus pada dua mata Wenny yang basah. Masih ada marah tapi bercampur sedih yang Wenny tunjukkan.Mendengar ucapan Astri, Wenny makin menangis."Boleh Ibu mendengar lebih banyak apa yang kamu rasa, yang kamu pikir? Beri kesempatan Ibu mengenal kamu lebih dalam sehingga paham dengan tepat ...""Ibu ..." Wenny menghambur ke pelukan Astri. Dia memeluk Astri kuat-kuat dan menangis sejadi-jadinya.Astri kaget dengan sikap Wenny. Gadis yang selalu ceria, ceplas-ceplos, berani, dan semau sendiri itu, ternyata punya sisi lain yang selama ini dia simpan rapat-rapat. Wenny sangat rapuh. Jika di bagian itu tersentuh, maka dia tidak bisa lagi mengelak. Hatinya hancur dan porak poranda.Astri membiarkan Wenny menangis sampai puas dalam pelukannya. Lebih baik gadis itu melepas semua rasa yang berkecamuk. Setelah dia lebih tenang, maka akan lebih mudah Wenny diajak bicara."Ini, minumlah. Biar lega," kata Astri sambil menyodorkan air hangat untuk Wenny."Ibu, hari panas gini, aku mau es, bukan air hangat," sahut Wenny sambil cemberut."Nanti. Ibu janji ada es krim buat kamu. Sekarang, minum ini dulu." Astri tetap menyodorkan gelas di depan Wenny.Wenny manut juga. Dia minum beberapa teguk. Lalu Astri mengambil lagi gelas itu dan menaruhnya di meja. Astri kembali duduk di samping Wenny. Astri berharap Wenny sudah tenang dan siap berbicara."Boleh Ibu tanya soal kamu?" Astri memandang Wenny."Soal apa?" ujar Wenny."Orang tua kamu. Selama ini Ibu hanya tahu sedikit. Ceritakan yang lengkap meski bukan segala sesuatu. Oke?" kata Astri."Hmm ... baiklah." Wenny mengangguk, meskipun tampak agak berat.Astri mengatur posisi dia duduk agar lebih nyaman mendengar penuturan Wenny. Wenny menarik napas dalam, lalu mulai membuka mulutnya dan bercerita. Cukup mengejutkan apa yang Wenny kisahkan. Wenny dan Julian ternyata tidak seayah, tetapi seibu. Wenny juga tidak begitu ingat ayah kandungnya sendiri, sebab saat dia belum genap tiga tahun, ibu dan ayahnya bercerai. Dan Wenny tidak pernah lagi tahu di mana ayahnya."Aku cuma punya Julian. Tapi dia selalu saja sibuk bekerja. Apa saja yang aku minta dia akan kasih, asal aku tidak mengganggu dia. Aku tahu, dia mau aku punya semua yang aku butuhkan. Tapi ... bukan itu yang sebenarnya aku mau ... Aku ..."Tuttt! Tuuttt!! Ponsel Astri berdering. Astri mengambil ponsel bermaksud mematikan agar tidak mengganggu pembicaraannya dengan Wenny. Tetapi panggilan itu tidak bisa Astri abaikan. Dari salah satu pegawai sekolah."Halo, Ibu Ranti. Apa bisa aku telpon lagi nanti?" ujar Astri."Maaf, Bu, ini Nena pingsan. Dia lagi tugas bantu di dapur, tiba-tiba jatuh." Jawaban yang Astri terima mengejutkan."Oh, ya, baik, Bu, Sebentar saya ke sana." Astri menutup telpon dan menoleh pada Wenny."Wenny ...""Ya, ga apa-apa. Silakan, Bu. Aku udah baikan, kok. Makasih," kata Wenny.Wenny bangun dan meninggalkan kamar Astri. Astri merasa sangat tidak lega harus memutus pembicaraan dengan Wenny. Tapi, panggilan dari pengurus dapur sekolah tidak bisa diabaikan!Wenny berdiri di depan kamar Astri. Astri sudah berlari menuju ke dapur sekolah. Wenny berjalan pelan menuju ke kamarnya. Dia sama sekali tidak tertarik dengan kabar ada kejadian di dapur sekolah. Hati Wenny kembali galau. Dia berharap ada yang mau mendengarkannya sampai tuntas, ternyata nol. Wenny masuk kamarnya yang kosong dan melompat ke atas kasur, merebahkan badannya. Tangannya mulai mengutak-atik ponsel tapi sama sekali dia tidak fokus dengan apa yang dia lihat di sana. "Sama saja. Ga akan ada yang peduli kamu, Wenny. Sejak kamu kecil kamu memang tidak diinginkan. Terima kenyataan. Orang lain lebih penting, tapi kamu tidak," ucap Wenny dengan hati perih. Dia memasang status dengan satu kalimat pendek. Iseng saja, yang tanpa dia sadar sebenarnya sedang meluapkan isi hatinya yang terdalam, melepas kecewa dan marah yang lama terpendam. 'aku tidak penting. titik' Itu yang Wenny tulis dan pasang sebagai statusnya. Lalu dia letakkan ponsel dan memejamkan mata. Pikiran Wenny berkel
Astri bangun dan keluar dari kamar. Dia perlu tempat lebih leluasa bicara di telpon. Nena sedang tidak baik, tidak perlu dia mendengar sesuatu yang mungkin tidak harus dia tahu. "Ada apa, Errin? Kenapa dengan Wenny?" Astri mulai ikut cemas meskipun belum tahu apa yang terjadi. Astri ingat jelas, terakhir dia bertemu Wenny di kamarnya bicara tentang masa masa lalu Wenny dan belum sampai tuntas Astri harus lari menolong Nena. "Bu, Wenny bisa mati, Bu! Dia over dosis!!" Suara Errin berteriak sambil menangis. "Ya, Tuhan! Sekarang gimana? Kamu sama siapa, Errin?!" Tangan Astri seketika gemetar. "Sendiri, Bu, aku bingung ga tahu mau gimana!?" Errin terdengar makin panik dan hanya bisa menangis. "Dengar Ibu baik-baik, Errin. Kamu beritahu Bu Eva dan Pak Ardi. Lalu bawa Wenny segera ke rumah sakit. Rumah sakit tempat Nena. Jelas?! Sekarang!" titah Astri. "Ya, Bu!" sahut Errin. Panggilan berakhir. Astri terduduk lemas di kursi panjang di depan ruangan Nena dirawat. Kenapa murid-muri
Apa yang Astri ucapkan Wenny cerna dan telaah dengan berbagai kejadian yang dia alami. "Pilihan buruk ayah dan ibu bercerai, dan aku hidup sulit dengan Kak Juan. Pilihan buruk ibuku membuat dia sakit, lalu meninggal. Tapi ga adil kalau orang lain yang berbuat, lalu kita kena imbasnya," tutur Wenny. "Itu benar. Tapi tidak berarti kita dibenarkan ikut melakukan pilihan yang salah. Tetap adalah tanggung jawab kita sendiri untuk menjalani hidup yang baik, bukan tanggung jawab orang lain," kata Astri. Wenny terdiam. Dia tahu Astri sedih dengan kejadian ini. Wenny bisa melihat raut sendu di tatapan Astri. "Bu, Nena gimana?" tanya Wenny. "Dia sudah lebih baik. Dia sama sedihnya seperti kamu." Astri melepas tangan Wenny. Ada getaran dari ponsel Astri, pasti ada pesan masuk di sana. "Nena sakit apa?" tanya Wenny. "Hmm, Ibu terima pesan ini sebentar, ya?" Astri menolak memberitahu. Bukan saat yang baik membicarakan Nena dengan Wenny. Astri membuka pesan dari Eva dan memberitahu kalau
"Kak, jangan marah ... aku sedang sedih ..." Kata-kata Wenny sedikit tersendat. Tak bisa dia tahan lagi rasa sedih yang memenuhi hatinya. Penyesalan dan rasa bodoh kembali menghujam dada Wenny. Dia berharap di saat seperti itu Julian ada di sisinya, memeluknya dan bukan memarahinya. "Yes, I am mad and sad. I do all things for you but ... (Ya, aku marah dan sedih. Aku lakukan semuanya buat kamu tapi ...)" "Hhhuaaahhhh!" Wenny tidak mau menahan lagi kesedihannya. Dia menangis dengan keras. Untung saja di ruangan yang dia tempati tidak ada pasien lain. Wenny bebas melepas semua penat dan pilu yang melanda di dada. "Wenny!" Julian kaget mendengar tagisan Wenny makin jadi. "Hey, Wenny!" "Sorry, Kak ... Sorry ..." Berulang kali Wenny mengatakan itu. Perlahan tangannya merendah, ponsel tidak lagi menempel di telinga. Wenny tidak peduli Julian berkali-kali menyebut namanya. Wenny merasa tubuhnya lunglai. Dia hanya ingin menangis. Bukan. Dia hanya ingin ada seseorang ada di sampingnya
Astri terkejut dengan reaksinya yang tiba-tiba terhadap permintaan Julian. Langsung saja wajahnya merona karena merasa konyol sendiri. Jangan sampai Julian menilai reaksinya berlebihan dan pria itu curiga akan sesuatu. "Ini tanggung jawab saya sebagai ibu asrama Wenny. Dan juga untuk murid-murid yang lain. Jika ada apapun kami akan menginformasikan kepada keluarga, baik atau buruk perkembangannya. Sebab setiap anak berharga, kita bertanggung jawab membantu mereka menemukan jati dan masa depannya." Astri melanjutkan kalimatnya. Ah, manis sekali dan bijaksana banget. Entah bagaimana kalimat itu meluncur begitu saja untuk menutupi rasa bodohnya. "Thank you, Ms. Astri. Ternyata aku tidak salah menempatkan Wenny di sekolah yang sekarang. Aku tahu Wenny ada di tangan yang benar." Julian tersenyum. Astaga bagus sekali bibirnya dengan senyum itu. Astri membalas tersenyum dan mengangguk. Untung saja Astri bisa cepat menemukan kata-kata yang pas untuk meyakinkan Julian girangnya Astri bisa b
Astri ingin menangis mendengar kata-kata Andika. Di situasi sulit itu, sang ayah yang seharusnya meredakan pedih hatinya, sebaliknya justru menambah pilu makin menghujam. "Yah, Pa, aku tahu ..." ucap Astri. Telpon selesai. Tangis Astri kembali meledak. Sedih makin menusuk hati Astri. Semua yang ada di dalam hidupnya seakan berantakan. Dengan orang tuanya, hubungan Astri kurang baik karena Astri tidak bisa mendapatkan pendamping hidup sesuai target yang mereka punya. Dalam pekerjaan, Astri terancam dikeluarkan karena terjadi berbagai persoalan di asrama. Sementara, sekalipun Astri mulai ada rasa pada Julian, selangkah pun Astri belum bisa bergerak mendekat. "Wenny ..." bisik Astri. Tiba-tiba saja, Astri teringat pada Wenny. Gadis itu merasa tertolak dan tidak ada yang peduli. Dia juga merasa semua tidak ada gunanya, seolah-olah lebih baik dia mati. Ah, mengapa perasaan yang sama mulai menyusup di hati Astri? Dia wanita gagal. Masa lalunya yang sangat buruk karena pelecehan membu
Senyum manis di bibir Julian terurai. Cepat-cepat Julian berdiri, melangkah mendekat dan menyalami Astri. "Ibu Astri, apa kabar?" Senyum Julian semakin lebar. Wajah tampan pria bule itu, ya, membuat Astri kembali merasakan sesuatu dengan menatap wajah tampan kakak Wenny. "Saya baik, Tuan. Silakan duduk. Terima kasih Tuan memberi saya waktu untuk bicara. Saya harap ini waktu yang tepat," kata Astri masih dengan senyuman di bibir, tetapi senyum kecil saja. "Apakah Wenny melakukan kesalahan lagi? Bukan masalah yang serius, kan? Sebab, jika memang masalah besar, aku pasti sudah dihubungi," ujar Julian dengan pandangan berubah sedikit tegang. Sudah muncul rasa kuatir di hatinya kalau adiknya berulah lagi. "Ah, Tuan, tidak, tidak sama sekali," sahut Astri dengan senyum lebar sampai menunjukkan giginya yang berderet rapi, sedangkan kepalanya menggeleng keras. "Oh, thank God. So?" Julian menaikkan kedua alisnya, menatap lebih lekat pada Astri. "Wenny makin semangat belajar. Dia lebih t
Dari kalimat yang Julian ucapkan, seolah-olah dia ingin mengatakan tidak nyaman dengan pernyataan Astri. Seketika Astri merasa dia telah salah bicara. Baru saja dia bisa mendapat angin segar mendekat pada Julian, jangan sampai situasi berbalik memaksa Astri menjauh lagi. "Maafkan aku. Aku tidak bermaksud ..." "No. Don't worry." Julian menyahut cepat. "Jangan dipikirkan. Aku tidak terlalu senang membicarakan soal rumah dengan orang ..." "Orang lain. Aku paham. Maafkan aku, Juan. Aku tidak akan bertanya apapun jika kamu merasa tidak nyaman. Sekali lagi maaf," ucap Astri. Dia harus meluruskan situasi. "Sorry banget! Errin beneran rempong, deh." Wenny muncul dan kembali duduk di kursinya. Tangannya meletakkan ponsel lalu sibuk lagi dengan makanannya yang masih tersisa setengah. "Kenapa dengan Errin?" tanya Julian. "Dia nitip dibelikan sesuatu. Wali kelas kami mau ulang tahun. Kelas emang mau kasih surprise. Mumpung aku keluar, dia minta aku yang belikan. Ga apa-apa setelah ini kita j