Share

Bab 5. Luapan Kemarahan

Astri baru selesai mandi dan berganti pakaian. Pintu kamarnya lagi-lagi diketuk. Kali itu lebih keras dari yang sebelum-sebelumnya. Nada ketukannya seperti orang panik atau marah. Astri urung mengambil sisir di meja, dia bergegas membuka pintu kamar.

Di depan pintu, wajah kesal dengan bibir manyun memandang tajam pada Astri. Astri menghela napas begitu tahu siapa yang ada di depannya. Astri membuka pintu lebar dan membiarkan gadis itu masuk.

"Kenapa lagi?" Astri bertanya sambil duduk di kursi depan meja riasnya. Dia perhatikan Wenny duduk dengan gelisah tetapi juga marah.

"Ibu tahu hukuman dari kakakku?" ujar Wenny.

"Ini ada hubungannya dengan HP Leni?" Astri balik bertanya.

"Yaa!" seru Wenny gusar.

"Apa konsekuensi yang kakak kamu berikan?" tanya Astri. Dalam pikiran Astri muncul wajah tampan Julian. Ah, kenapa dia begitu mempesona?

"Uang saku aku, dipotong selama tiga bulan buat ganti HP Leni. Jahat!" Wenny menghentakkan kakinya.

"Dipotong bagaimana? Sebulan kamu dapat uang saku berapa?" tanya Astri lagi. Melihat ledakan emosi Wenny sepertinya berat juga hukuman Julian buat adiknya.

"Sebulan biasanya dikirim empat juta. Kalau dipakai buat ganti HP Leni tiga bulan, sebulan aku cuma terima sejuta lebih dikit, dong! Merana, Bu, hidupku!!" Wenny benar-benar protes dengan sanksi yang dikenakan kakaknya.

Astri tersenyum tipis. Uang sejumlah itu sebenarnya buat anak SMA harusnya sangat cukup. Empat juta itu banyak juga. Kalau sebulan sejumlah itu, Wenny habiskan buat apa saja? Seharusnya justru Wenny bisa menabung jika dia memakai uang seperlunya.

Di asrama keperluan hari-hari murid disiapkan sekolah. Hanya keperluan pribadi yang mereka harus usahakan sendiri, seperti peralatan mandi, peralatan sekolah, dan kalau mau jajan atau naik transportasi saat keluar sekolah.

"Jadi kamu tidak terima? Kalau begitu nego dengan kakak kamu, diperpanjang pengembaliannya. Mungkin bisa empat bulan atau lima bulan," usul Astri.

"Bu, Kak Juan itu usahanya udah mulai bagus. Duitnya pasti banyak. Yaaah, masak aku mesti balikin juga uang sama dia. Pelit amat sama aku. Aku ini adik satu-satunya. Ga sayang dia emang sama aku!" Wenny mulai meracau.

"Bagaimana bisa kamu bilang begitu? Dia jadi wali kamu, berarti dia bertanggung jawab semua hal tentang kamu, Wenny. Yang paling penting kamu bisa menjadi gadis mandiri yang tahu membawa diri. Demi masa depan kamu," kata Astri.

"Kalau berurusan sama orang tua pasti kayak gitu! Tahu ga mereka yang aku rasa? Pernah ga nanya aku suka apa nggak? Yang mereka pikir bagus buat aku, belum tentu sebenarnya memang bagus. Aku benci semuanya, Bu! Aku benci! Kalau boleh, aku mau milih ga pernah lahir!" Wenny makin meluap.

Kalimat terakhir Wenny membuat Astri tersentak. Ada luka begitu dalam di hati Wenny dengan keluarganya. Ada marah yang tersimpan lama karena Wenny merasa tidak dicintai. Dan puncaknya, Wenny merasa tidak ada gunanya dia hidup.

"Wenny ..." Astri menatap Wenny dengan hati perih.

Satu tahun lebih Wenny di asrama, beberapa kali dia membuat ulah, mengapa baru kali itu Astri mengerti, Wenny bukan murid yang nakal. Wenny seorang anak yang tidak mendapatkan cinta sebagaimana mestinya sehingga dia berulah. Tanpa Wenny sadar, dia sedang meluapkan luka dan marah pada orang-orang di sekitarnya.

"Ibu sama aja kayak mereka. Aku pikir Ibu berbeda. Ibu baik, lembut, dan penyayang. Ibu tegas, karena memang mau kami baik. Tapi aku salah. Ibu cuma melakukan tugas jadi ibu asrama. Ibu ga tahu apa-apa soal hidupku. Kurasa juga soal teman-temanku!" Wenny menatap tajam pada Astri, sedang air matanya menetes begitu saja.

Astri tersentak. Apa yang Wenny ucapkan seperti pisau dihujamkan padanya. Jadi selama ini Astri tidak tahu apa-apa tentang anak-anak yang dia didik? Kehidupan di asrama dengan semua aturannya, yang diharapkan membentuk sikap baik dan karakter terpuji, itu apa artinya?

"Wenny," sahut Astri dengan cepat. Dia bangun dan duduk di samping Wenny. Dia pegang kedua tangan Wenny dan memandang gadis itu dengan iba.

"Wenny, Ibu minta maaf. Ibu tidak memahami kamu. Ibu sungguh minta maaf." Dengan sepenuh hati Astri bicara. Dia menatap lurus pada dua mata Wenny yang basah. Masih ada marah tapi bercampur sedih yang Wenny tunjukkan.

Mendengar ucapan Astri, Wenny makin menangis.

"Boleh Ibu mendengar lebih banyak apa yang kamu rasa, yang kamu pikir? Beri kesempatan Ibu mengenal kamu lebih dalam sehingga paham dengan tepat ..."

"Ibu ..." Wenny menghambur ke pelukan Astri. Dia memeluk Astri kuat-kuat dan menangis sejadi-jadinya.

Astri kaget dengan sikap Wenny. Gadis yang selalu ceria, ceplas-ceplos, berani, dan semau sendiri itu, ternyata punya sisi lain yang selama ini dia simpan rapat-rapat. Wenny sangat rapuh. Jika di bagian itu tersentuh, maka dia tidak bisa lagi mengelak. Hatinya hancur dan porak poranda.

Astri membiarkan Wenny menangis sampai puas dalam pelukannya. Lebih baik gadis itu melepas semua rasa yang berkecamuk. Setelah dia lebih tenang, maka akan lebih mudah Wenny diajak bicara.

"Ini, minumlah. Biar lega," kata Astri sambil menyodorkan air hangat untuk Wenny.

"Ibu, hari panas gini, aku mau es, bukan air hangat," sahut Wenny sambil cemberut.

"Nanti. Ibu janji ada es krim buat kamu. Sekarang, minum ini dulu." Astri tetap menyodorkan gelas di depan Wenny.

Wenny manut juga. Dia minum beberapa teguk. Lalu Astri mengambil lagi gelas itu dan menaruhnya di meja. Astri kembali duduk di samping Wenny. Astri berharap Wenny sudah tenang dan siap berbicara.

"Boleh Ibu tanya soal kamu?" Astri memandang Wenny.

"Soal apa?" ujar Wenny.

"Orang tua kamu. Selama ini Ibu hanya tahu sedikit. Ceritakan yang lengkap meski bukan segala sesuatu. Oke?" kata Astri.

"Hmm ... baiklah." Wenny mengangguk, meskipun tampak agak berat.

Astri mengatur posisi dia duduk agar lebih nyaman mendengar penuturan Wenny. Wenny menarik napas dalam, lalu mulai membuka mulutnya dan bercerita. Cukup mengejutkan apa yang Wenny kisahkan. Wenny dan Julian ternyata tidak seayah, tetapi seibu. Wenny juga tidak begitu ingat ayah kandungnya sendiri, sebab saat dia belum genap tiga tahun, ibu dan ayahnya bercerai. Dan Wenny tidak pernah lagi tahu di mana ayahnya.

"Aku cuma punya Julian. Tapi dia selalu saja sibuk bekerja. Apa saja yang aku minta dia akan kasih, asal aku tidak mengganggu dia. Aku tahu, dia mau aku punya semua yang aku butuhkan. Tapi ... bukan itu yang sebenarnya aku mau ... Aku ..."

Tuttt! Tuuttt!! Ponsel Astri berdering. Astri mengambil ponsel bermaksud mematikan agar tidak mengganggu pembicaraannya dengan Wenny. Tetapi panggilan itu tidak bisa Astri abaikan. Dari salah satu pegawai sekolah.

"Halo, Ibu Ranti. Apa bisa aku telpon lagi nanti?" ujar Astri.

"Maaf, Bu, ini Nena pingsan. Dia lagi tugas bantu di dapur, tiba-tiba jatuh." Jawaban yang Astri terima mengejutkan.

"Oh, ya, baik, Bu, Sebentar saya ke sana." Astri menutup telpon dan menoleh pada Wenny.

"Wenny ..."

"Ya, ga apa-apa. Silakan, Bu. Aku udah baikan, kok. Makasih," kata Wenny.

Wenny bangun dan meninggalkan kamar Astri. Astri merasa sangat tidak lega harus memutus pembicaraan dengan Wenny. Tapi, panggilan dari pengurus dapur sekolah tidak bisa diabaikan!

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status