Share

Bab 6. Lebih Baik Aku Mati

Wenny berdiri di depan kamar Astri. Astri sudah berlari menuju ke dapur sekolah. Wenny berjalan pelan menuju ke kamarnya. Dia sama sekali tidak tertarik dengan kabar ada kejadian di dapur sekolah. Hati Wenny kembali galau. Dia berharap ada yang mau mendengarkannya sampai tuntas, ternyata nol.

Wenny masuk kamarnya yang kosong dan melompat ke atas kasur, merebahkan badannya. Tangannya mulai mengutak-atik ponsel tapi sama sekali dia tidak fokus dengan apa yang dia lihat di sana.

"Sama saja. Ga akan ada yang peduli kamu, Wenny. Sejak kamu kecil kamu memang tidak diinginkan. Terima kenyataan. Orang lain lebih penting, tapi kamu tidak," ucap Wenny dengan hati perih.

Dia memasang status dengan satu kalimat pendek. Iseng saja, yang tanpa dia sadar sebenarnya sedang meluapkan isi hatinya yang terdalam, melepas kecewa dan marah yang lama terpendam.

'aku tidak penting. titik'

Itu yang Wenny tulis dan pasang sebagai statusnya. Lalu dia letakkan ponsel dan memejamkan mata. Pikiran Wenny berkelana ke mana-mana. Semua hal pedih dan buruk yang dia alami muncul lagi. Masa-masa berat yang dia harus lewati bergantian mengisi kepalanya.

Saat perpisahan orang tuanya yang dia hampir tidak bisa ingat. Dia hanya bisa mengingat ibunya menangis, Julian menangis, dan Wenny juga menangis. Wajah ayahnya yang Wenny tidak bisa ingat dengan baik juga muncul. Pasti pria itu tidak menyayangi Wenny hingga dia pergi dan tak pernah kembali. Dia tidak peduli lagi pada anak perempuannya.

"Mommy is gone. We are alone now." Tatapan sedih Julian pada Wenny saat ibu mereka meninggal kembali membayang. Julian memeluk Wenny kuat sambil menangis. Wenny juga menangis erat dalam pelukan Julian.

Jika mau jujur, Wenny sedih tetapi tidak tahu apakah dia merasa kehilangan ibunya. Sebab ibunya tidak pernah mengurus dia dengan baik. Ibu sering marah dan mabuk. Wenny sering ketakutan kalau ibu mabuk. Dia bicara macam-macam sambil marah-marah. Kadang semua barang bisa dia lempar dan buang, membuat rumah berantakan.

Julian akan mengajak Wenny membereskan semuanya. Kalau Wenny bertanya kenapa dengan ibu mereka, Julian akan berkata, ibu sedang sedih dan sakit. Julian yang berjuang memenuhi kebutuhan meskipun dari hasil pekerjaan apa saja yang bisa dia lakukan.

"Papa dan mama ga sayang aku. Jadi mereka ga peduli. Juan? Gara-gara aku juga dia selalu saja repot. Aku cuma menjadi beban. Lihat aja, aku bikin masalah terus. Buat apa aku hidup?" Wenny membuka mata dan kembali duduk.

Dia memandang ke sekeliling kamarnya. Kamar di sebuah asrama, bukan sebuah rumah. Bayangan Wenny tentang keluarga yang bahagia, tak pernah terwujud. Dan pasti tidak akan mungkin terwujud. Orang tua sudah tidak ada bersamanya. Kakaknya satu-satunya tidak bisa disebut keluarga lengkap. Wenny seolah disingkirkan dengan di sekolah berasrama.

"Lebih baik aku mati." Kalimat itu tiba-tiba datang di pikiran Wenny.

Wenny turun dari ranjang dan menuju ke meja belajarnya di sebelah tempat tidur. Di dalam rak di bawah meja, Wenny mengambil kotak obat. Dia membuka kotak itu dan melihat beberapa macam obat di sana. Obat-obatan ini memang perlengkapan pribadi yang dimiliki murid untuk persediaan.

Tangan Wenny mengambil asal beberapa pil. Apa saja yang bisa dia pegang. Lalu Wenny membuka bungkus pil-pil itu dan meminum lebih dari sepuluh butir dengan air dari botol minum di meja. Wenny kembali naik ke kasur dan berbaring di sana.

"Aku akan tidur setelah ini dan ga akan bangun lagi. Semua akan segera selesai. Aku ga akan merepotkan Julian lagi. Aku ga akan bikin susah semua orang," kata Wenny pelan.

Tangannya meraih ponsel dan mencari nomor Julian. Bagaimanapun dia harus mengatakan sesuatu sebelum dia meninggalkan segalanya.

- Juan, thank you for everything. I am so dumb. But everything will be better from now.

Itu saja yang Wenny kirimkan. Lalu dia letakkan lagi ponsel dan memejamkan mata. Wenny berharap dia segera terlelap karena banyaknya obat yang dia minum.

*****

"Aku ga percaya semua ini. Nena pingsan tiba-tiba, ternyata dia ..." kata Astri di dalam hati.

Astri merasa jantungnya seakan mau lepas. Hatinya tidak karuan saat tahu apa yang terjadi dengan Nena salah satu murid kelas 12. Tinggal satu semester lagi dia akan lulus. Sayangnya, dia hamil di luar nikah.

Guru-guru dan staf sekolah heboh. Sementara berita kehamilan Nena masih disimpan agar tidak ada murid yang tahu. Astri dan satu staf dapur yang mengantar ke rumah sakit shock saat mengetahui kondisi Nena dari dokter.

Nena hanya bisa menangis dan berulang kali berkata maaf pada Astri. Astri merasa tubuhnya gemetar. Bagaimana bisa ini terjadi? Beberapa waktu setelah Nena lebih tenang, baru Astri bicara dan bertanya pada Nena mengenai keadaannya.

"Siapa yang melakukannya, Nena?" Lembut Astri bertanya. Dia genggam tangan Nena, memberi kenyamanan dan rasa aman agar Nena tidak takut bicara.

"Bu ... maafkan aku ..." kata Nena lagi dengan air mata kembali mengalir.

"Ibu harus tahu agar bisa menolong kamu," ucap Astri dengan hati perih. "Kamu punya kekasih?"

Nena mengangguk. Dengan terbata-bata Nena mengatakan dia mengenal seorang pemuda di luar sekolah, seorang mahasiswa dari sebuah kampus yang tidak jauh dari sekolah. Hubungan mereka berjalan hampir satu tahun. Awalnya semua baik-baik saja, sampai kekasih Nena mengajak Nena menonton film orang dewasa dan mulai hubungan mereka diisi dengan adegan seperti yang mereka lihat dalam film.

Hati Astri terasa pilu. Yang Nena tuturkan kembali mengingatkan kisah dirinya sendiri. Sekalipun pada situasi Astri, dia adalah korban, tetap saja kengerian dari hari-hari itu tidak pernah benar-benar hilang. Astri lebih sering menyibukkan diri agar semua trauma pergi. Astri tidak mengira di depannya, muridnya sendiri harus mengalami kejadian buruk seperti itu.

"Ibu, aku takut. Aku harus bagaimana?" Dengan air mata kembali menetes, Nena bertanya.

"Kamu pikirkan kesehatan kamu saja. Setelah itu baru kita akan atur yang lain." Astri mengusap pipi Nena dan mengeringkannya.

"Apa aku masih bisa sekolah? Orang tuaku mungkin akan mengusir aku, Bu. Mereka pasti benci dan marah sama aku." Dengan terisak Nena mengatakan kekuatirannya.

Astri tidak bisa langsung menjawab apa yang Nena katakan. Ini situasi yang tidak mudah, buat Nena, buat keluarganya.

Tuuttt!! Tuuttt!! Ponsel Astri berbunyi. Dia keluarkan dari dalam tas dan melihat yang menelpon. Errin, nama yang terbaca di layar ponsel Astri.

"Ya, halo, Errin. Ibu masih di rumah sakit. Ada yang penting?" tanya Astri. Dia berusaha tetap tenang menerima telpon dari Errin.

"Bu! Tolong! Wenny, Bu!!" Suara panik yang terdengar.

Apa lagi ini?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status