LOGINDi balik pembawaannya yang tenang, Ragma Ajibasa menyimpan rahasia besar, yaitu ia memiliki ajian terlarang Rawa Rontek. Namun, karena sebuah peristiwa, rahasia itu terbongkar. Ragma memilih untuk pergi dan mendapati kenyataan bahwa dirinya hanyalah anak angkat, seorang bayi yang dulu diburu hingga hampir binasa. Dengan hati penuh luka, berbekal hadiah sepasang Katana Kembar bergagang hitam dari ayah angkatnya, serta kekuatan ajian Rawa Rontek, Ragma menapaki jalan penuh bahaya untuk mencari jejak masa lalu, dan menuntut balas dendam. -
View MoreMalang, Tahun 2020.
Di sebuah desa terpencil di salah satu kecamatan Kota Malang, saat ini tengah duduk seorang pemuda di sebuah saung, memandang ke arah langit sore hari itu. Pandangan matanya yang begitu teduh menikmati angin sore yang menerpa wajahnya. “Ragma.” Pemuda itu menoleh dan tersenyum saat dirinya dipanggil oleh ayahnya yang berjalan mendekat, lalu duduk di sebelahnya. “Iya, Ayah.” “Ayo ikut dengan Ayah. Ganti pakaianmu. Kebetulan ini sudah sore, sepertinya sudah waktunya. Kamu jangan terlalu lama, ya.” “Apa kita akan latihan, Ayah?” Ragma balik bertanya sambil tersenyum kepada ayahnya itu. “Tentu saja. Kita harus latihan. Disiplin waktu dalam melatih kemampuan dan kekuatan fisik itu sangat penting sekali. Dan juga, malam ini sesuai janji Ayah, ada yang akan Ayah berikan kepadamu,” jawab Utomo. Tatapannya begitu tenang menatap ke arah depan. “Baik, Ayah. Aku akan bersiap terlebih dahulu.” Ragma bangkit dari saung itu lalu pergi meninggalkan Utomo, sementara lelaki paruh baya itu menatap teduh punggung putranya yang sudah berjalan cukup jauh hingga menghilang dari pandangannya. “Ayah harap, kalau kamu mengerti dan kuat menanggung ajian ini, Ragma. karena tidak semua orang sanggup untuk menerimanya. Tapi, ayah yakin kamu sanggup,karena ayah tahu tingkat kemampuan dan kekuatan,serta bakatmu” gumam Utomo. Ia memandang kedua telapak tangannya, kemudian mengepal dengan begitu berat. Lelaki itu segera pergi meninggalkan saung tersebut. Ia berjalan dengan begitu tenang menyusuri jalan setapak hingga tidak berapa lama tiba di sebuah gubuk. Gubuk kayu yang selalu ia datangi di saat ingin menenangkan pikiran. Lelaki tua itu memperhatikan sekitar yang begitu sepi sekali. Ia juga memandang langit yang sudah mulai gelap. “Kira-kira ini jam berapa, ya? Semalam menebak jam enam sore, ternyata masih jam setengah enam,” ucapnya seorang diri. “Ayah!” Pria itu tersenyum melihat putranya yang sudah datang, memakai baju dan celana serba hitam. “Ayo, sebelum Ayah memberikan ilmu kepadamu, alangkah baiknya kita latihan terlebih dahulu.” “Baik, Ayah,” kata Ragma dengan patuh. Mereka pun berjalan ke belakang gubuk, dimana halaman luas terhampar di sana. Sangat bersih sekali, karena memang tempat itu selalu menjadi perhatian mereka berdua. “Mulai,” ujarnya. “Paklek Utomo, Ragma!” Mereka berdua menghentikan gerakan saat mendengar suara teriakan seseorang. Keduanya pun menoleh, kemudian tersenyum ketika melihat seorang pemuda seusia Ragma berjalan menghampiri mereka. “Wah, mau latihan lagi, ini? Halo, Ragma! Tadi aku ke rumah kamu, tapi kamu nggak ada, jadi aku mikirnya kalian pasti ke sini.” “Iya, Zaki. Kami mau latihan seperti biasa, menunggu waktu malam. Kamu dari mana?” Ragma balik bertanya “Biasa, dari pulang kerja. Ya udahlah, aku tadi rencananya mau ngajak kamu main ke kota, tapi kalau memang kamu mau latihan... Maaf mengganggu, maaf, PakLek,” kata Zaki kepada Utomo. “Iya, tidak apa-apa, Zaki.” sahut Utomo dengan senyum tipisnya. “Kalau gitu aku pulang dulu. Assalamu’alaikum,” pamit Zaki sambil mengangkat satu tangannya, tersenyum dengan alis mata naik turun, kemudian berbalik dan pergi meninggalkan keduanya dengan cepat. “Wa’alaikumsalam,” jawab mereka serempak. Setelah kepergian Zaki, keduanya pun kembali saling menatap. Ragma mengepal kedua tangannya. Tidak lagi ada yang menghalangi. Buggh!! Bugh… Pemuda itu segera berlari dan menghentakkan kakinya, melayang di udara menyerang ayahnya itu. Sementara Utomo menggerakkan kedua tangannya, menangkis setiap serangan dari Ragma. Latihan pertarungan di antara keduanya tampak begitu cepat dan sangat sengit. Pukulan demi pukulan beruntun diarahkan kepada Utomo. Ragma benar-benar memberikan serangan yang sangat kuat sekali. Akan tetapi, lelaki paruh baya itu dengan tenang menahan setiap serangan, kemudian melakukan serangan balasan, memukul tepat di dada Ragma hingga pemuda itu sedikit terjatuh ke tanah. Brugh… “Argh… “ erang Ragma “Tidak perlu terburu-buru melakukan serangan kepada orang lain, Ragma. Segala sesuatu tanpa pemikiran, kamu tidak akan tahu kelemahan lawanmu,” kata Utomo berjalan mendekati putranya, lalu mengulurkan tangan. “Iya, Ayah. Aku dikuasai oleh nafsu ingin menang saja, jadi ya itu tadi... terlalu gegabah. Eh, malah dapat serangan dari Ayah.” jawab Ragma mengakui kesalahannya dalam bertindak. “Ayo, masuklah ke gubuk. Sepertinya ini sudah menjelang magrib,” kata Utomo. Kali ini raut wajahnya sangat serius sekali, bahkan Ragma bisa merasakannya, bahwa tidak ada lagi kata main-main. Mereka pun segera masuk ke dalam gubuk dan duduk di depan, saling bersila dan berhadapan. “Ragma,” kata Utomo pelan. Pemuda itu mengangkat kepalanya dan mengangguk melihat ayahnya. “Ayah akan menurunkan satu ajian kepadamu. Akan tetapi, perlu kamu ingat... bahwa Ayah tidak memilikinya. Ajian ini sudah lama Ayah simpan. Ayah memilihmu, karena Ayah yakin kamu sanggup untuk memikulnya.” ujar Utomo mulai mengutarakan dengan sebuah penjelasan “Iya, Ayah,” jawab Ragma singkat, tanpa bertanya maupun protes ajian apa yang akan diberikan oleh Utomo kepadanya. “Ajian ini termasuk ilmu terlarang. Namanya Rawa Rontek. Di mana kamu tidak akan bisa mati, meski kamu pun akan dilukai berulang kali... tubuhmu akan melawan kematian.” “Apa?! Ajian Rawa Rontek?” Ragma membulatkan matanya. “Aku pernah mendengar ilmu itu, Ayah... tapi aku tidak tahu bahwa Ayah juga memilikinya!” “Tidak, Ayah tidak memilikinya. Tapi Ayah bisa memberikannya. Apa kamu siap untuk menerimanya?” Utomo menatap lekat ke arah putranya. “Tapi, ada satu hal yang harus kamu ketahui, anakku. Bahwa ilmu Rawa Rontek ini adalah ajian kuat ,terlarang, rahasia antara hidup dan mati. Mungkin tubuhmu boleh hancur, namun jiwamu jangan tersesat. Jika hatimu gentar dan kalah, mungkin kamu akan menjadi mayat berjalan tanpa tujuan.” Degh… Mendengar kalimat demi kalimat itu, Ragma sedikit menelan salivanya. Kata-kata dari ayahnya cukup membuat hatinya bergetar, namun pemuda itu tetap tenang. Ia kemudian mengangguk, seolah dirinya siap untuk menerima ajian tersebut. “Jika kamu benar-benar sudah siap untuk menerima ajian ini, maka pejamkan matamu. Duduk bersila dengan tubuh yang tegap. Tetaplah tenang, dan jangan membuka matamu itu sebelum Ayah mengatakannya. Kamu mengerti?” kata Utomo. “Baik, Ayah. Aku siap untuk menerima ajian terlarang itu, dan siap untuk menanggung segala resiko maupun akibat yang diciptakan oleh ajian itu sendiri.” “Bagus… sekarang lakukan apa yang Ayah katakan.” Ragma mengangguk. Ia pun mulai memperbaiki posisi duduknya, menegakkan tubuh, bersila, dengan mata terpejam dan tangan mengepal di antara kedua lututnya yang bersila itu. Utomo memandang wajah putranya dengan sangat teduh. Ia pun mulai membacakan lantunan mantra kuno. Sementara itu, Ragma tetap diam,tenang. Tidak ada suara apa pun. Hari sudah mulai gelap. Gubuk itu hanya diterangi oleh lampu minyak kecil. Angin mulai berdesir, dan tiba-tiba, lampu minyak itu seketika mati. Wosssh… . “Apapun yang terjadi, tetaplah tenang, Ragma. Terima dengan sekuat tenagamu,” kata Utomo, kembali mengingatkan putranya. Ragma tidak menjawab. Sama heningnya dengan suasana di gubuk itu. Trak… Brak…. Jendela dan pintu seketika terbuka, angin kencang mulai menerobos masuk. Gubuk yang tadi terang kini berubah gelap gulita. Wosssh… Utomo terus melantunkan mantra kuno itu. Tangan kanannya lalu menempel di dada Ragma. Cahaya merah mulai bersinar, tubuh Ragma bergetar hebat, seolah menerima energi panas yang menjalar ke seluruh urat-uratnya. Raut wajah Ragma tidak bisa menyembunyikan rasa sakit itu, seolah seluruh tulang dan darahnya terbakar. Ia menggigit bibirnya, mengepal kuat kedua tangannya. “Terima… dan tahankan segalanya!” kata Utomo dengan suara menggema di seluruh ruangan. Ragma dengan sekuat tenaga mengikuti setiap instruksi sang ayah. Suasana semakin gelap, semakin mencekam. Tidak ada lagi cahaya terang. Angin kian kencang berputar di dalam gubuk itu. Tubuh Ragma semakin bergetar hebat, namun Utomo tetap tenang. Ia terus melantunkan mantra demi mantra kuno yang terasa semakin berat dan sakral. “Apapun yang kamu rasakan, jangan kamu lawan! Terimalah setiap rasa yang menusuk ke tulang-tulangmu, dan juga ke aliran darahmu. Biarkan ajian terlarang itu menolak kematian di dalam dirimu!” kata Utomo, kini suaranya juga mulai serak. Ragma tampak begitu konsentrasi, mengikuti seluruh ucapan yang terlontar dari mulut Utomo. Lelaki paruh baya itu mengepal kedua tangannya, lalu memutar dan menepuk dada Ragma keras-keras. Seketika, tubuh pemuda itu terjatuh ke tanah. Brugh… “Arrgh… “ Utomo dapat melihat bagaimana Ragma tengah berjuang menerima ajian itu, namun ia tetap tenang. Matanya penuh harap, sekaligus khawatir. Hingga tiba-tiba, suasana yang mencekam itu mereda. Angin berhenti. Lampu minyak yang tergantung di dekat pintu seketika menyala kembali. Utomo tersenyum tipis melihat tubuh Ragma yang sudah tidak lagi bergetar. “Bukalah matamu, Nak.” Ragma yang sempat terjatuh perlahan membuka matanya. Utomo tersenyum, lalu mengulurkan tangannya kembali kepada putranya. “Ajian itu sudah menyatu dengan jiwa dan sanubarimu. Saat ini, ilmu terlarang itu telah menjadi milikmu. Kamu sekarang menjadi Ragma Ajibasa, pemilik Rawa Rontek.” “Rawa Rontek…” Ragma berkata lirih “Tapi, ingat.. Jangan sekali-kali kamu sombongkan dirimu” “Baik, Ayah… “ "Tolong... tolong.... "Sang ibu terus menarik Larasati yang memandang sedih ke arah Ragma, yang masih terpaku di tempatnya. Begitu juga dengan Zaki. Seluruh warga yang berada di sana mulai pergi meninggalkan dirinya. Kini, yang berada di hutan itu hanyalah Utomo. Ia berjalan begitu tenang mendekati sang putra. Puk! Pria paruh baya itu tersenyum sambil memegang pundak Ragma yang menundukkan kepala. Ia sadar bahwa saat ini Ragma begitu sedih.“Sudah, jangan dipikirkan lagi. Kuburkan saja jasad orang itu di dalam hutan ini, Jangan dibiarkan menjadi bangkai dan membusuk di sini,” ujar Utomo kepada putranya.“Maafkan aku, Ayah…” lirih Ragma. Kedua tangannya mengepal, dengan kepala yang menunduk. Utomo tersenyum. Ia membuka satu pakaiannya. Saat ini, Utomo hanya memakai kaus tipis saja, sementara baju lengan panjang yang ia gunakan dipakaikan kepada Ragma, yang tidak memakai baju sebab robek di saat pertarungan itu terjadi.“Untuk apa kamu minta maaf? Itu tidak perlu. Ayo, kita kuburkan saja jasad perampok it
Bisik-bisik para warga, melihat apa yang baru saja terjadi pada Ragma, mereka mulai mundur ketakutan, semua saling pandang, dan menggelengkan kepala. Ketika pemuda itu tiba-tiba terbangun dari kematiannya.“Apa itu?! Tidak mungkin!” ujar salah satu rampok. Mereka mundur ketakutan, namun masih dengan menggenggam senjata tajamnya masing-masing. “Jangan-jangan…” ucap rampok yang lain dengan suara gemetar.“Ajian Rawa Rontek! Dia… penganut ilmu iblis!” seru ketua rampok itu. Suaranya terdengar jelas hingga ke telinga para warga, dengan senjata mengacung pada Ragma. “Apa?! Ilmu iblis?” bisik warga dengan wajah pucat, mereka saling pegang dan mundur, semakin takut ketika melihat Ragma, ditambah mendengar penuturan ketua perampok itu. “Kalian semua! Serang dia! Tebas kepalanya dan bawa pergi jauh!! Itu satu-satunya cara membunuh pemilik Ajian Rawa Rontek!” perintah ketua rampok kepada anak buahnya, dengan suara yang begitu lantang, penuh amarah. "Iyaaa.... " Seru anak buahnya serempak.
Delapan perampok itu langsung menyerang ke arah Ragma dengan sangat beringas. Dua rampok dari sisi kanan melesatkan tendangan beruntun, akan tetapi ditangkis dengan kedua tangannya. Bugh!!Bugh!!...Pemuda itu melakukan serangan balasan, menghentakkan kaki ke tanah, lalu menendang tepat di rahang mereka berdua, hingga mundur beberpa langkah kebelakang. "Arrgh... "Bugh! Bugh! Wusshhh... Di sisi lain, dua perampok lainnya menyerang menggunakan senjata tajam. Mereka melesatkan hendak menusuk tepat ke dada Ragma, akan tetapi pemuda itu menghindar dengan sangat gesit. Ia mundur ke kiri dan ke kanan, menghindari setiap serangan yang memburu dirinya. Ragma mengepal kedua tangannya, lalu melesatkan pukulan beruntun, menahan salah satu tangan perampok, memelintirnya, dan mengambil senjatanya. Ia lalu menyerang balik ke arah mereka semua.Trang!! Wussh.... Trang... Tang!! Senjata-senjata itu saling beradu, terdengar suara dua logam tajam yang begitu nyaring. Di belakang, Larasati yang
Utomo dan Ragma saling memandang ketika mendengar suara seseorang yang meminta tolong. Mereka pun segera keluar dari gubuk sambil mencari asal suara itu, tetapi suaranya sudah tidak terdengar lagi.“Apakah Ayah mendengarnya? Aku seperti mendengar suara seseorang yang meminta tolong, dan itu suara seorang perempuan,” tanya Ragma, matanya melirik ke sekitar seolah tengah mencari asal suara itu. “Ya, Ayah juga mendengarnya,” jawab Utomo sambil mengangguk kecil. Ia mengambil sebilah pisau dari balik pinggangnya.Crasshhh....Ia memutar pisau itu, lalu dengan gerakan yang begitu tenang dan cepat ia memegang tangan Ragma, kemudian menancapkan pisau itu tepat di lengannya, kemudian menariknya hingga kulit Ragma terkoyak, seketika darah mengucur dari luka yang menganga itu. “Argh..!” Erang Ragma begitu terkejut dengan serangan tiba-tiba dari ayahnya.Ragma hendak bertanya, namun seketika mulutnya terkatup sempurna kala melihat luka di tangannya mulai menutup. Darah yang mengucur tadi seola






Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.