Share

Bab 7. Dua Kasus dalam Satu Hari

Astri bangun dan keluar dari kamar. Dia perlu tempat lebih leluasa bicara di telpon. Nena sedang tidak baik, tidak perlu dia mendengar sesuatu yang mungkin tidak harus dia tahu.

"Ada apa, Errin? Kenapa dengan Wenny?" Astri mulai ikut cemas meskipun belum tahu apa yang terjadi.

Astri ingat jelas, terakhir dia bertemu Wenny di kamarnya bicara tentang masa masa lalu Wenny dan belum sampai tuntas Astri harus lari menolong Nena.

"Bu, Wenny bisa mati, Bu! Dia over dosis!!" Suara Errin berteriak sambil menangis.

"Ya, Tuhan! Sekarang gimana? Kamu sama siapa, Errin?!" Tangan Astri seketika gemetar.

"Sendiri, Bu, aku bingung ga tahu mau gimana!?" Errin terdengar makin panik dan hanya bisa menangis.

"Dengar Ibu baik-baik, Errin. Kamu beritahu Bu Eva dan Pak Ardi. Lalu bawa Wenny segera ke rumah sakit. Rumah sakit tempat Nena. Jelas?! Sekarang!" titah Astri.

"Ya, Bu!" sahut Errin.

Panggilan berakhir. Astri terduduk lemas di kursi panjang di depan ruangan Nena dirawat. Kenapa murid-muridnya begini kacau? Yang satu hamil di luar nikah, yang satu nekad mau bunuh diri.

"Ya, Tuhan ... tolong aku ... aku harus gimana?" Dengan dada berdebar kuat, tangan dan kaki seakan tak mampu menopang tubuh, Astri berdoa.

Menjadi ibu asrama ternyata tidak seindah yang orang lihat. Sekolah elite, sebagian besar anak para konglomerat dari berbagai daerah, pasti enak sekali. Banyak pemberian dari mereka. Anak-anak yang serba kecukupan bahkan berkelimpahan yang diurus. Sudah mendekati usia dewasa, apa-apa bisa mengatur sendiri.

Tidak! Tidak semudah itu. Dua kasus ini saja membuat hati tidak karuan. Astri harus memaksa dirinya tetap tenang agar bisa berpikir dan bertindak bagaimana. Dia harus bertanggung jawab ke sekolah juga dengan apa yang terjadi pada anak-anak itu. Rasanya kalau boleh lebih baik Astri menyembunyikan diri ke dalam gua agar tidak bertemu dengan siapapun.

"Tuhan, kumohon tolong aku. Beri aku damai-Mu, agar aku tidak salah bersikap dan bertindak. Aku mohon," bisik Astri dalam doa.

Ponsel Astri berdering. Panggilan dari salah satu staf sekolah yang akan mengantar Wenny ke rumah sakit. Astri menyampaikan beberapa hal yang perlu dilakukan. Dia menunggu di rumah sakit. Lima belas menit berikut, Wenny dikabarkan sudah tiba dan langsung ditangani paramedis.

Evalina, salah satu staf sekolah yang juga tinggal di asrama menemui Astri di ruangan Nena. Dia terlihat cemas, saat muncul di depan Astri.

"Aku akan temani Nena. Kamu lihat Wenny. Aku benar-benar shock. Dia lemas, hampir pingsan dengan wajah pucat. Dia minum obat lebih dari sepuluh butir, menurut pengakuannya." Evalina mengabarkan kondisi Wenny.

"Baiklah, terima kasih banyak, Mbak. Ini hari yang sangat berat buat aku. Dua murid sekaligus mengalami masalah. Dan dua-duanya sangat rumit. Aku tahu, pimpinan akan memanggil aku karena ini," kata Astri dengan hati pilu.

"Jangan dipikir dulu soal itu, Astri. Kita fokus sama anak-anak saja." Evalina menepuk bahu Astri berusaha menenangkannya.

Astri mengangguk, lalu dia beranjak dan bergegas menuju ke IGD tempat di mana Wenny ditangani. Ada Pak Ardi, kepala bagian kebersihan sekolah. Untung juga Pak Ardi belum pulang, karena dia memang tidak tinggal di lingkungan sekolah.

"Pak, gimana?" tanya Astri.

"Masih diurus dokter. Mudah-mudahan tidak lama lagi. Aduh, anak-anak zaman now, ada saja kelakuannya. Bikin sakit kepala orang tua. Apa yang ada di pikiran mereka?" Pak Ardi tampak kesal dengan kejadian beruntun yang sangat menegangkan itu.

"Sudah terjadi, Pak. Mungkin juga orang tua kurang memahami mereka, jadi mereka melakukan apa yang mereka pikir baik buat dirinya, padahal justru menimbulkan masalah baru," kata Astri.

"Ibu Astri harus lebih tegas sama anak-anak itu, Bu. Kalau memang ga nurut ya udah dihukum saja. Aku gemas sekali dengan kelakuan anak-anak itu," tukas Pak Ardi.

Astri tersenyum kecut. Pak Ardi memang orang yang tegas dan sangat bertanggung jawab. Dia sangat tidak suka jika ada pelanggaran aturan terjadi. Anak-anak boleh dibilang takut pada pria dengan kumis lumayan tebal itu.

"Bu, aku ga bisa temani lama. Setengah jam lagi aku harus jemput anakku pulang les. Ibu Astri ga apa-apa sendiri?" tanya Pak Ardi.

"Ga apa-apa, Pak. Kalau mau berangkat silakan saja. Nanti aku bisa hubungi Bu Eva atau yang lain jika perlu bantuan," kata Astri.

"Baiklah, kalau begitu aku jalan sekarang. Semoga Wenny tidak kenapa-napa. Yang sabar dan kuat, Bu Astri," ujar Pak Ardi.

Astri sendirian, duduk di ruang tunggu di samping ruang IGD. Sambil menunggu Astri berkoordinasi dengan pimpinan memberi kabar tentang dua murid yang tengah bergelut di atas ranjang di rumah sakit. Pihak pimpinan meminta Astri terus memantau kondisi kedua murid itu dan terus memberi kabar perkembangannya seperti apa.

Setelah Wenny selesai ditangani, Astri diizinkan masuk ke dalam ruangan dan menemui gadis itu. Astri memandag Wenny yang tampak sedih. Wajahnya masih pucat dan matanya berkaca-kaca.

"Wenny, ada apa? Ibu kaget kamu sampai nekat begitu," kata Astri.

Wenny mengulurkan tangan dan memegang tangan Astri. Dia merasa bersalah, juga butuh dukungan. Astri pun membalas memegang erat tangan Wenny. Astri mau Wenny tahu, Astri mendukungnya.

"Maafkan aku, Bu. Aku memang bodoh. Aku ga tau kenapa tiba-tiba saja merasa semua sia-sia. Ga ada yang peduli sama aku. Ga ada guna aku hidup," ucap Wenny dengan matanya mulai basah.

"Ibu juga minta maaf. Kamu belum selesai bicara Ibu harus pergi. Tapi itu tidak berarti Ibu tidak peduli, Wenny," tegas Astri. "Dengar baik-baik. Setiap kehidupan itu penting dan berarti. Tuhan ga pernah main-main menciptakan seseorang dan mengizinkan dia lahir di dunia. Tuhan pasti punya tujuan."

"Tapi, sejak aku kecil semua berantakan. Aku ga punya keluarga yang baik. Ayah saja aku ga tau di mana. Masa-masa berat terus yang aku harus lewati. Apa baiknya? Tujuan kayak apa?" tukas Wenny kesal.

"Kamu ingat bukan, kalau manusia punya kehendak bebas di hidupnya? Dia bisa melakukan apa saja yang dia mau, karena dia punya pilihan atas hidupnya. Pilihan-pilihan itu yang menentukan dia akan jadi baik atau buruk. Akibat pilihan itu berpengaruh dengan orang lain di sekitarnya." Astri memandang Wenny.

Wenny mendesah dan mengembuskan napas besar. Tentu saja Astri benar. Tapi Wenny tidak berpikir sama sekali kalau apa yang dia lakukan bukan hanya merugikan dirinya tapi juga orang lain. Payahnya, Wenny seakan merasa paling menderita dan mau orang lain ikut merasa bersalah atas hal buruk yang terjadi dengannya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status