Sosok bercadar hitam itu berkelebat cepat menuju hutan. Gerakannya cepat, dengan ilmu ringan tubuh yang mumpuni. Tapi, yang mengejarnya juga bukan orang sembarangan. Tiba-tiba saja, di depannya sudah ada Cakraraya, yang bersendekap menatapnya dingin. Saat sosok bercadar hitam itu hendak berbalik, di belakangnya sudah ada dua orang Senopati tangguh, begitu juga di sebelah kanan dan kirinya. Sosok bayangan hitam itu terkepung dan tak bisa lagi melarikan diri lagi. Trrrang “Menyerahlah, kau sudah tidak bisa lari lagi!” Gendis yang muncul dari arah belakang berteriak dengan mata melotot. “Ha ha... kalian pikir bisa menangkapku. Hah, jangan mimpi kalian. Suwiwwit!” Pria bercadar hitam bersiul panjang, tak lama berselang, muncul dari balik semak-semak belasan orang berpakaian serba hitam menghunuskan pedang, mengepung. Cakraraya, Gendis dan empat orang senopati langsung melirik waspada, dengan kemunculan sekawanan musuh itu. mereka bersiap mencabut pedang dan bertarung. “Kita dijebak!”
Jalasanda tiba-tiba muncul. Dengan cepat, dia menghunuskan pedang dan bersiap menggunakan jurus pedang terbang, menyerang lelaki bercadar hitam yang hendak menerbarkan serbuk beracun. Cakraraya yang melihat Jalasanda, buru-buru berteriak mencegah.“Jalasanda... jangan!” Terlambat, pedang Jalasanda sudah terlanjur lepas dari tangan dan melesat cepat menuju dada lelaki bercadar.Sllup Jllleb!“Aaaaaaa’!”Jerit panjang parau, terdengar memilukan saat sebuah pedang menancap tepat di jantung lelaki bercadar hitam. Dengan mata melotot dan tangan kanan yang memegangi pedang yang menancap di dada, pria bercadar hitam menuding ke arah musuh-musuhnya, menjatuhkan serbuk racun yang tak sempat dia tebar. “Ka ka lian a akan menerima balasannya!”BrrakTubuh lelaki bercadar itu roboh ke belakang, matanya melotot dan tak bergerak lagi. Dua orang senopati bergegas menghampiri, yang satu memeriksa nadi, memastikan apakah lelaki itu masih bisa ditolong apa tidak, sedang Senopati yang satunya
Pangeran Gardapati mengumpulkan para ketua dari padepokan Segaran di aula pertemuan. Dari pedepokan segaran ada lima orang, Nyi Dewi, Permana, Gendis, Bimantara dan Cakraraya, sementara Pangeran Gardapati seorang diri. Dia menjelaskan petunjuk-petunjuk yang berhasil ditemukan oleh para bawahannya pada para ketua padepokan Segaran. “Menurut keterangan para Senopati, yang dipakai untuk meracuni Bimantara adalah racun pelemas tenaga. Racun itu di teteskan pada tempat makanan. cukup beberapa tetes saja, racun itu akan bercampur bila sudah diberi makanan. Wajar bila Mbayang dan orang-orang dapur tidak menyadarinya. Aku bisa menjamin pengurus dapur tidak terlibat. Sedangkan racun yang dibawa oleh lelaki bercadar hitam adalah racun pembusuk kulit. Keduanya adalah racun andalan milik perkumpulan tengkorak hitam. Apakah kalian punya dendam atau ada masalah dengan perkumpulan itu?” tanya Pangeran Gardapati setelah menjelaskan panjang lebar. Semua yang berada di aula saling memandang. Nama dari
Tiba-tiba Permana membawa pedang pusaka padepokan. Dia mendatangi Bimantara yang sedang duduk. “Kang… aku tahu kakang dan kalian semua selalu punya prasangka buruk padaku. Kalian juga tak pernah suka dengan kepemimpinanku. Dan sebenarnya aku memang tak layak jadi ketua..."Permana mengambil nafas panjang baru lalu meneruskan ucapannya. "Demi nama baik padepokan, aku akan mendatangi perkumpulan tengkorak hitam untuk meminta penjelasan, dan meletakkan jabatan ketua dan menyerahkannya pada kakang!” ujar Permana menyodorkan pedang pusaka pada Bimantara. Semua yang ada di aula mendongakkan kepala, kaget mendengar perkataan Permana, terutama Nyi Dewi yang langsung berdiri dari tempat duduknya. “Apa maksudmu, Permana!?” saut Nyi Dewi tak habis pikir dengan apa yang di katakan oleh Permana. Permana menoleh ke arah Nyi Dewi, berjalan mendekat, menunduk sejenak lalu kembali menatap Nyi Dewi istri guru sekaligus kekasih gelapnya. “Mungkin ini yang terbaik, Nyi Dewi. Tidak penting siapa yang m
Melihat Permana berjalan keluar, Nyi Dewi berdiri dan bergegas menyusul Permana. Wanita berusia empat puluhan tahun itu masih tak habis pikir dengan sikap kekasih gelapnya yang tiba-tiba ingin menyerahkan posisi ketua pada BimantaraSelepas Nyi Dewi pergi, Gendis langsung meluapkan semua ganjalan hatinya, dia menoleh dan menarik tangan Bimantara.“Kenapa Kakang menolak?” serunya merasa gemas dengan sikap suaminya.Bimantara menoleh ke arah Cakraraya yang sejak tadi diam mengamati, mengabaikan celotehan Gendis istrinya. “Bagaimana menurutmu, Dimas?Cakraraya berdiri bersendekap memeluk pedangnya. Dia mencoba menebak-nebak maksud dari Permana tiba-tiba menyerahkan jabatan ketua yang dulu mati-matian dia pertahankan. Tapi semakin dipikir, dia semakin tak mengerti maksud dari dari Permana. Bila Bimantara mau menerima, apa untungnya, dan bila menolak apa yang akan terjadi.“Aku juga tidak tahu, Kang. jalan pikiran Permana selalu sulit untuk ditebak!” Jawab Cakraraya sambil menggosok-gosok
Permana duduk di pinggir sungai, memasukkan tangannya ke dalam, bermain-main air, seperti menunggu kedatangan seseorang. Tak lama berselang, Bimantara muncul dan berjalan menghampiri.Permana tersenyum melihat kedatangan Bimantara. Dia berdiri menyambut kakak seperguruannya itu.“Kakang sudah benar-benar sehat rupanya...”kedua saudara seperguruan yang tak pernah akur itu kini berdiri berhadapan.“Apa maksud semua ini Permana?” tanya Bimantara langsung pada pokok masalahnya.Permana mengibas-ngibaskan tangannya yang basah, lalu menatap pedang di tangannya, melangkah lebih dekat pada Bimantara.Bimantara menatap dengan penuh waspada.“Aku ingin mencari siapa yang meracunimu, dan siapa yang sudah membuat onar di ppadepokan, Kang!” jawab Permana penuh penekanan.“Tapi kenapa kau memintaku menjadi ketua? pasti kau merencanakan sesuatu?” saut Bimantara lagi.“Ha ha… Kakang selalu curiga padaku. Hmm di pertarungan pertama kita, aku sudah jelas-jelas mengalahkanmu. Tapi kau masih tidak mau m
“Aku, Bimantara. Mulai hari ini dan seterusnya berbait setia kepada ketua padepokan segaran!” Bimantara menekuk lututnya, memberi hormat pada Permana.Sambil bersungut-sungut, Gendis menghampiri Bimantara yang masih berlutut memberi hormat.“Kakang… apa yang kakang katakan!” teriak Gendis tak percaya dengan apa yang dia dengar. Dia tahu betul kalau suaminya sangat membenci Permana. Entah apa yang terjadi hingga dia menjadi seperti ini.Cakraraya juga merasa heran dengan Bimantara yang tiba-tiba berbaiat setia, tapi dia hanya mengerutkan kening menatap Permana tajam.“Gendis… berlakulah sopan,” Bimantara yang masih dalam kondisi berlutut memberi nasehat.“Kang!” saut Gendis kesal.“Apa yang sebenarnya terjadi?” Cakraraya membuka suara, melirik ke arah Permana.Bukannya menjawab, Permana berjalan mendekati Bimantara yang masih berlutut. Dia mengulurkan tangannya menarik Bimantara untuk berdiri.“Bangunlah kang…”Bimantara bangkit berdiri sambil memegangi dadanya yang terasa nyeri.Perma
Meski sebenarnya jeri dan gemetar, dengan pamor pedang pusaka yang berkilat-kilat, Gendis yang memang berdarah panas langsung menggebrak maju dengan pedangnya.Traaang!“Kau pikir aku takut, hah! Hiaaat!’“Jangaaan!” teriak Bimantara mengingatkan, sambil memegangi dadanya yang sesak.Gendis tidak menghiraukan peringatan itu, dia langsung menyerang dengan ganas untuk melumpuhkan Permana. Gerakan Gendis yang lincah dan kuat, bisa diatasi dengan mudah oleh Permana, bahkan Gendis yang gantian terdesak dengan serangan-serangan tidak terduga dari Permana.“Hah, sikap sombongmu tak sepadan dengan ilmumu, Mbakyu…” ejek Permana membuat Gendis makin tersulut emosinyaGendis langsung memainkan jurus angin kematian. Kedua kakinya merentang, tangannya mengayunkan pedang ke kiri dan kanan dengan cepat lalu melompat menerjang Permana.Traang!Pedangnya berbenturan dengan pedang pusaka. Tangan Gendis terasa kebas dan dia terhuyung ke belakang. Tangan dan kakinya gemetaran terpengaruh pamor pedang pu