Tumanggala tengah bertugas mengawal seorang puteri ketika segerombolan penjahat datang mengacau. Sang puteri diculik, Tumanggala dibuat hampir mati kalau tidak ditolong gurunya. Begitu pulih, ia pun bertekad menyelamatkan sang puteri. Lalu sebuah rahasia besar mengenai masa lalunya, yang melibatkan anggota komplotan penjahat dengan orang tuanya, terkuak. Arya Tumanggala meradang!
Lihat lebih banyakSENJA menjelang manakala kesunyian di sepanjang tepian Bengawan Sigarada pecah. Suara keteplak ladam dan ringkikan kuda seketika memenuhi udara. Burung-burung yang hinggap pada pucuk-pucuk perdu rendah kaget, lalu terbang berserabutan ke langit.
Serombongan prajurit berkuda tampak melaju di jalan tanah tak jauh dari tepi sungai. Diiringi kepulan debu tebal di belakang mereka.
"Heeyyaa! Heeyyaa!" teriak para prajurit menggebah kuda masing-masing.
Rombongan itu berderap dalam kecepatan sedang. Mereka mengiringkan satu kereta kuda berhias bagus. Dari bentuk ukiran serta hiasan-hiasan di sekujur badannya, mudah dikenali jika kendaraan tersebut merupakan kereta istana.
Artinya, siapa pun yang berada di dalam kereta pastilah kerabat dekat raja. Ini dapat terlihat pula dari banyaknya prajurit yang mengawal. Berjumlah tak kurang dari dua puluh orang. Dibagi dalam dua kelompok, masing-masing sepuluh di depan dan sepuluh di belakang.
Namun ada keanehan. Tak lama setelahnya terlihat pula sekelompok penunggang kuda lain. Tak ayal kemunculan mereka menimbulkan kecurigaan. Prajurit muda yang bertindak sebagai pemimpin kelompok pengawal bagian belakang menjadi tidak nyaman karenanya.
"Wyara, apakah kau juga memperhatikan ada rombongan berkuda yang membuntuti kita sejak melewati kelokan tajam tadi?" tanya prajurit muda tersebut pada prajurit lain di sebelahnya.
Prajurit yang dipanggil Wyara tak langsung menjawab. Ia putar kepalanya untuk memastikan ke arah belakang. Benar saja! Kira-kira seratus depa (kisaran 200 meter) di belakang mereka, terlihat segerombol lelaki berpakaian hitam-hitam.
Jumlah gerombolan berpakaian hitam-hitam itu tak kurang dari lima orang. Terlihat sekali mereka berusaha mengatur laju kuda sedemikian rupa. Sehingga jarak antara mereka dengan rombongan prajurit Panjalu tak terlalu jauh, tapi juga tidak terlalu dekat.
"Sial, kenapa aku baru tahu mereka sekarang?" umpat Wyara kemudian. Ia saling tatap dengan prajurit muda yang mengajaknya bicara tadi. Pelipisnya tampak bergerak-gerak.
"Bagaimana menurutmu? Apakah mereka sekadar kebetulan lewat bersamaan dengan kita, atau justru bermaksud menguntit?" Si prajurit muda kembali meminta pendapat.
"Aku bisa saja salah, tapi pada pendapatku gerak-gerik mereka mencurigakan," sahut Wyara cepat. "Lalu kalau aku tidak salah memperhatikan, mereka juga memakai cadar hitam selain caping lebar di atas kepala. Aku tidak yakin benda itu dikenakan agar hidung mereka tidak mengirup debu."
"Ya, aku juga merasa penampilan mereka sangat mencurigakan. Kalau tidak punya maksud buruk, mengapa mereka harus menutupi wajah dengan cadar begitu rupa?" timpal si prajurit muda. Tubuh bagian atasnya yang terbuka menampakkan satu bekas luka sayatan memanjang.
"Kalau begitu, sebaiknya kau segera memberi tahu Ki Bekel Wikutama mengenai keberadaan mereka, Tumanggala," ujar Wyara lagi.
Tak salah lagi. Prajurit muda yang bercakap-cakap dengan Wyara itu memang Tumanggala. Atau lebih tepatnya lagi Arya Tumanggala. Kesatria pemberani yang baru dua pekan lalu dianugerahi gelar kehormatan oleh Baginda Sri Prabu Sang Mapanji Jayabhaya, raja di raja Kerajaan Panjalu.
Gelar arya tersebut diberikan kepada Tumanggala atas jasa besarnya membongkar rencana jahat mendiang Senopati Arya Agreswara. Andai rencana senopati itu tak terbongkar, warga Kerajaan Panjalu masih terus dicekam ketakutan akibat maraknya perampokan demi perampokan.
Sebelum itu, Tumanggala juga telah mendapat penghargaan dan diangkat sebagai wira tamtama usai menggulung gerombolan Begal Alas Wengker. Komplotan perampok paling ditakuti di wilayah barat kerajaan. Ranasura, pemimpin gerombolan tersebut, ia penggal dan kepalanya dibawa ke Kotaraja.
Dua pekan setelah dirinya menjadi seorang arya, Tumanggala diminta menghadap Senopati Arya Lembana. Atasannya itu lantas memberi satu perintah. Ia diminta membantu Ki Bekel Wikutama mengawal sesosok penting menuju tempat pemujaan di kaki Gunung Pawinihan.
"Baiklah, Wyara. Aku akan ke depan untuk memberi tahu Ki Bekel Wikutama. Tolong kau awasi orang-orang itu selagi aku tidak di sini," sahut Tumanggala kemudian, menyetujui usulan sahabatnya.
Wyara anggukkan kepala. "Pergilah!" sahutnya.
Tumanggala langsung menggebah kuda tunggangannya agar berlari lebih kencang. Ia melewati sisi kanan kereta untuk menuju ke tempat Ki Bekel Wikutama berada. Yakni di urutan paling depan dalam rombongan.
Saat melewati jendela kereta, tanpa dapat dicegah kepala Tumanggala berpaling. Hatinya tergelitik, ingin melihat sekali lagi wajah menawan milik sosok yang dikawalnya.
Pada saat bersamaan tirai jendela kereta terbuka. Satu paras rupawan menyembul. Pandangan mata mereka beradu untuk beberapa saat. Tumanggala langsung memulas senyum dan anggukkan kepala. Sedangkan sepasang pipi milik gadis di balik tirai memerah dadu.
Senopati Arya Lembana tidak pernah memberi tahu siapa yang harus Tumanggala kawal hari itu. Barulah tadi pagi, sesaat sebelum mereka meninggalkan istana, sang kesatria muda melihat sosok tersebut.
Tak ayal Tumanggala dibuat kaget. Sebab yang harus ia kawal adalah Dyah Wedasri Kusumabuwana, puteri raja dari salah satu selir. Seorang puteri Panjalu yang kecantikan parasnya terkenal hingga ke kerajaan-kerajaan jauh di seberang pulau.
"Dia yang bernama Arya Tumanggala kan, Mbok? Wira tamtama baru itu?" tanya Dyah Wedasri, setelah tak lagi dapat melihat sosok Tumanggala yang sudah menghilang ke depan kereta.
Menemani sang puteri, di dalam kereta itu ada seorang wanita berusia awal empat puluhan tahun. Meski rambutnya mulai memutih, tetapi wajah dan kulit wanita itu masih halus kencang. Wajahnya pun tetap menawan, walau gurat-gurat ketuaan mulai membayangi.
"Ingatan Gusti Puteri sungguh tajam sekali. Saya tidak terlalu ingat nama-nama prajurit yang mengawal Gusti hari ini. Begitu pula dengan Arya Tumanggala, andai saja dia tidak punya bekas luka yang menjadikannya mudah dikenali," sahut simbok emban.
Wanita paruh baya itu mengira junjungannya tertarik pada sosok Tumanggala yang memang gagah lagi tampan. Sang kesatria muda Panjalu berperawakan kekar, dengan dada bidang dan perut rata berotot. Sedangkan wajahnya dihiasi kumis dan janggut lebat, tetapi dipotong rapi.
"Mengapa dia pindah ke depan, Mbok? Bukankah tadi dia diperintahkan oleh Ki Bekel Wikutama untuk memimpin di belakang? Jangan-jangan ... sesuatu tengah terjadi?" tanya Dyah Wedasri lagi. Ada nada kekhawatiran dalam suara sang puteri.
Pertanyaan tersebut menyentak simbok emban. Dugaan wanita yang telah mengasuh Dyah Wedasri sejak sang puteri masih bayi itu salah besar. Sontak ia pun palingkan kepala ke belakang. Mengintip dari balik celah panjang yang tertutup tirai keemasan.
Gerakan itu membuat Dyah Wedasri tambah penasaran. Ia pun turut berbalik badan dan mengintip ke belakang. "Apakah kau melihat sesuatu, Mbok?"
Tak ada jawaban. Tapi Dyah Wedasri dapat melihat paras simbok emban di sebelahnya berubah tegang. Pandangan mata wanita paruh baya itu tertuju ke satu titik. Rombongan lelaki berpakaian hitam-hitam di belakang sana.
"Semoga saja tidak terjadi sesuatu, Gusti Puteri. Kita percayakan semuanya pada Ki Bekel Wikutama dan Arya Tumanggala," sahut simbok emban setelah beberapa puluh embusan napas berlalu.
Jawaban yang tak banyak membantu. Dyah Wedasri tahu sesuatu akan segera terjadi. Rasa takut mulai merambati sang puteri.
Ketakutan itu segera terbukti. Hanya beberapa kejap kemudian terdengar bentakan-bentakan menggelegar dari arah depan. Setelahnya ada suara ringkikan kuda sangat nyaring. Disusul kereta yang tiba-tiba saja berhenti.
Dyah Wedasri menjerit kaget. Tubuhnya mencelat ke depan. Hampir saja sang puteri terjerembap andai pinggangnya tak cepat dipegangi oleh simbok emban.
"Apa yang terjadi, Mbok?" tanya Dyah Wedasri dengan wajah pias.
Lagi-lagi tak ada jawaban. Paras yang ditanyai tak kalah pucat pasi.
***
Akhirnya, setelah sempat terbengkalai selama lebih dari satu warsa, seri kedua dari kisah Arya Tumanggala ini rampung juga. Ada perasaan lega, tetapi juga sedikit tidak puas di dalam diri saya. Lega karena dengan ini saya tidak lagi menggantung pembaca dengan kisah yang tak kunjung tuntas. Juga sangat lega karena saya dapat menunaikan janji kepada editor, baik yang dulu maupun yang sekarang. Sedangkan rasa tidak puas muncul karena saya sadar sepenuhnya jalan cerita ini agak meleset dari rencana awal. Harap maklum, lebih dari sewarsa cerita ini terlantar karena satu dan lain alasan. Karena itu, saya mohon kerelaan para pembaca sekalian untuk memaklumi serta memaafkan rupa-rupa kekurangan yang mungkin berceceran dalam cerita ini. Tak ada gading yang tak retak, apatah lagi karya saya yang amat sangat sederhana ini. Dengan segala kerendahan hati, saya juga mengucapkan terima kasih kepada semua pembaca yang telah mengikuti Arya Tumanggala 2 sampai tamat. Sampai jumpa di cerita selanjut
"INI sudah hari keberapa sejak kakangmu itu tahu-tahu kembali kemari, tapi langsung pergi lagi?"Sambil mengajukan tanya, wanita berusia kisaran enam puluhan tahun itu menjejalkan sebatang kayu bakar ke dalam tungku. Api meredup sejenak, tetapi segera membesar lagi usai ditiup oleh si wanita tua."Seingatku baru dua hari, Bi," jawab perempuan muda yang diajak bicara. Di tangannya terpegang sebuah kipas bambu yang sesekali diipit-ipitkan ke tungku.Wanita tua yang dipanggil bibi tersenyum penuh arti. "Baru ditinggal pergi dua hari saja kau sudah sekusut ini. Sudah terlalu berat menanggung rindu agaknya....""Bibi!" tukas si perempuan muda, lalu mencebikkan bibir dengan raut muka kesal. "Aku hanya mencemaskan Kakang Tumanggala. Siapapun yang berani menculik puteri raja, pastilah bukan orang sembarangan. Aku khawatir....""Dan kakangmu itu juga bukan orang sembarangan, Citra," sergah si wanita tua pula. "Kau tak perlu terlalu mencemaskan dirinya. Dia pasti bisa menjaga diri, percayalah."
ARAK-ARAKAN pasukan tersebut memasuki Dahanapura jelang dini hari. Paling depan sebagai pemimpin adalah Rakryan Mantri Tumenggung. Di sebelahnya ada Senopati Arya Mandura bersama dua bekel.Lebih di belakang lagi, terdapat sepasukan kecil berkekuatan 20 prajurit magalah. Mereka dipimpin oleh seorang bekel dan dibantu seorang lurah prajurit.Tepat di belakang pasukan kecil itu terdapat kereta kencana yang dikawal ketat sepuluh prajurit magalah di kanan-kiri. Di dalamnya, Dyah Wedasri Kusumabuwana dan simbok emban tengah tertidur pulas.Lalu di belakang kereta kencana ada dua gerobak kayu yang terlihat dibuat secara dadakan. Gerobak pertama berisi seorang lelaki dalam keadaan luka-luka, yang tak lain adalah Senopati Arya Lembana. Sedangkan gerobak kedua dijejali pendekar-pendekar bayaran komplotan Kridapala yang dikalahkan oleh Arya Mandura.Tumanggala yang tadi diminta ikut masuk ke dalam kereta oleh Dyah Wedasri, mau tak mau menurut saja. Beruntung baginya sang puteri sudah terlelap s
USAI menerima laporan bahwa keadaan Dyah Wedasri baik-baik saja, Rakryan Tumenggung langsung mengambil beberapa tindakan. Pertama-tama, kepada semuanya sang panglima berkata ingin membawa junjungan mereka ke istana malam ini juga."Paling lambat pagi-pagi sekali besok, Gusti Puteri sudah harus tiba di istana," ujar Rakryan Tumenggung, yang langsung dipatuhi oleh seluruh pasukannya.Setelah tandu disiapkan, Dyah Wedasri dipersilakan naik untuk dibawa meninggalkan kawasan tepi jurang. Mereka kembali ke sungai, sebelum kembali ke dekat air terjun dan bergabung dengan Senopati Arya Mandura bersama anggota pasukan lainnya.Di sungai, rombongan dipecah dua. Yang pertama membawa Dyah Wedasri melalui jalur sungai, sedangkan yang kedua kembali ke kawasan air terjun lewat jalur darat.Dyah Wedasri dibawa dengan sampan bersama Rakryan Tumenggung, seorang bekel, serta dua prajurit sebagai pendayung. Sedangkan para pengawal menaiki rakit batang pisang buatan Tumanggala.Tumanggala sendiri turut me
"ORANG tua, kau ini siapa? Bagaimana kau bisa mengetahui nama kecilku?" tanya salah satu pengeroyok Tumanggala, seketika mengalihkan perhatian pada si lelaki tua yang tadi berseru.Yang ditanyai tertawa mengekeh, sembari pandangan lelaki berpakaian perwira tinggi kerajaan di hadapannya. Menilik pada kemewahan serta kelengkapan seragam orang tersebut, petapa tua itu mudah saja mengenali jika yang tengah dihadapi adalah seorang berpangkat tinggi.Sementara Tumanggala untuk kesekian kalinya dibuat kaget. Setelah berhenti bertarung, ia jadi punya kesempatan mengamat-amati wajah dua pengeroyoknya. Parasnya seketika berubah."G-Gusti Tumenggung?" seru Tumanggala tanpa sadar.Perwira tersebut memang Rakryan Mantri Tumenggung. Ia dan rombongannya jadi yang terdepan dalam mengejar arah suara Dyah Wedasri. Sayang, kedatangannya di tempat ini disuguhi pemandangan yang membuatnya berburuk sangka.Rakryan Tumenggung berbalik badan dan memandangi Tumanggala. Seolah baru menyadari siapa yang tadi ia
"ASTAGA! Bagaimana bisa begini?"Tumanggala benar-benar terkejut ketika kemudian tahu siapa sosok yang baru muncul dari dasar jurang. Ia memang belum melihat wajah orang tersebut, tetapi suara yang baru saja terdengar sudah tidak asing lagi baginya.Maka Tumanggala buru-buru bangkit dan berdiri, meski dengan wajah mengernyit menahan perih. Bertepatan dengan saat itu sosok tadi mendaratkan kakinya di permukaan cadas batu di tepi jurang.Kerutan di kening Tumanggala bertambah dalam manakala menyadari sosok tersebut tidak sendiri. Di pundak kanannya ada sesosok tubuh gadis, tampak diam saja dalam panggulan."G-Guru?" ujar Tumanggala setengah tak percaya. "Gusti Puteri? Bagaimana bisa?""Bagaimana bisa, bagaimana bisa?" sembur sosok yang baru muncul, tak lain tak bukan memang si petapa dari Teluk Secang, guru Tumanggala."Tumang, Tumang ... kau seharusnya mengucapkan terima kasih padaku, bukannya malah terlihat bingung dan heran seperti kambing congek begitu!" tambah si lelaki tua. Meski
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen