Share

Teka-teki

Ayah bilang kita akan berangkat jam 9 pagi tapi sampai jam setengah 10 aku masih asik berkutat di dalam kamar. Sebenarnya aku sudah selesai sejak tadi bahkan sekarang aku hanya bermalas-malasan di ranjang, tapi apa salahnya membuat ia kesal bukan karena menungguku. Astaga aku bingung darimana asalnya pemikiran jahil ini, aku takut jika nanti Ayah akan marah karena jujur saja ketika ia bicara biasa saja wajahnya sudah menyeramkan dengan ekspresi datar andalannya lalu bagaimana kalau ia benar-benar marah. Aku tahu konsekuensinya dan jujur saja aku juga takut tapi hasrat untuk melakukan kejahilan masih bertahta di otakku, sulit rasanya untuk bersikap sebagai gadis manis yang tunduk kepada Ayahnya. Lima belas menit kemudian aku memutuskan untuk keluar kamar, kulihat Ayah tengah duduk bersandar di teras sambil meminum kopi hitam yang sepertinya buatannya sendiri. 

Ayah hanya melirikku ketika aku mencapai pintu depan, dia memang tidak terlihat marah karena putrinya ini menghabiskan waktu lebih dari satu setengah jam hanya untuk bersiap keluar tapi sungguh lirikan matanya benar-benar tajam, aku sampai harus menelan ludah beberapa kali untuk menormalkan degup jantungku yang agak ketakutan sambil merapalkan kata jangan takut terus menerus di dalam hati. Kulihat dia mulai menghabiskan kopinya dan beranjak menuju mobil yang baru kusadari tengah dipanasi di halaman dan aku mengikutinya dari belakang seperti biasanya. Suasana di dalam mobil pun tak berbeda jauh, masih mencekam seperti saat di teras tadi bahkan mungkin lebih mencekam. Aku mencenkeram tali tas yang kugunakan guna menyalurkan rasa takutku.

"Aku kan hanya berniat menjahilinya sedikit, tapi kenapa Ayah keliatan menyeramkan", pikirku.

"Ga ada yang mau kamu omongin ta?", tanyanya dengan suara dan ekspresi yang teramat datar yang mampu membuat bulu kudukku merinding seketika.

"Ma maaf yah, tadi tala hmm tala kelamaan di kamar mandinya dan malah bikin Ayah jadi nunggu lama", sesalku dengan suara yang agak mengenaskan untuk didengar, ahh mungkin suaraku sudah bisa dikategorikan seperti cicitan tikus yang tertangkap kucing dan siap menemui ajalnya. 

Setelah itu tak ada lagi obrolan di mobil ini. Kulirik Ayah yang tengah menyetir dengan raut datarnya yang terlampau sulit aku tebak, seketika aku benar-benar merasa bersalah. Kalau tahu akhirnya jadi begini mungkin aku tak akan pernah menuruti keinginan konyolku. 

Sekitar 15 menit kemudian kita telah sampai di depan sebuah gedung putih 3 lantai. Aku melongok menatap gedung di depanku dengan perasaan kagum. Terserah kalian mau menghinaku kampungan atau apalah tapi jujur saja aku benar-benar terpesona dengan arsitektur gedung ini, terlihat minimalis namun tetap terkesan mewah dan aku belum pernah melihat hal seperti ini di kampungku. 

Ayah berjalan terlebih dahulu ke dalam gedung putih ini dan lagi-lagi aku hanya bisa mengikutinya dari belakang sambil melihat-lihat detail bangunan yang ternyata di bagian dalamnya malah terlihat seperti kantor dengan lobi di bagian depan. Ayah mengajakku naik ke lantai kedua dan sepanjang perjalanan banyak orang yang menyapa Ayahku namun hanya dibalas dengan anggukan. Kukira dia dingin hanya denganku saja tapi ternyata ke orang lain pun begitu. Di lantai 2 ini aku sempat melihat ada banyak foto-foto pernikahan dengan berbagai konsep tergantung di tembok, namun karena langkah Ayah cenderung cepat jadi aku tidak bisa memperhatikan lebih detail lagi.

Kami sampai di sebuah ruangan yang tak terlalu besar yang kuyakini merupakan ruangan milik direktur utamanya karena terdapat petunjuk ruangannya tadi dibagian atas pintu. Aku melihat sekeliling ruangan ini dan menaruh seluruh perhatianku tepat pada tembok belakang meja dimana disana tertulis 'PRABA wedding organizer'. Aku berpikir untuk apa ayah membawaku ke kantor WO, Apakah dia akan menikah lagi makanya aku diajak kesini bahkan tinggal di rumahnya? kalau dugaanku benar lalu dimana calon Ayah, mengapa aku tak pernah melihatnya atau jangan-jangan...

Ahhh, kuhempaskan semua pemikiran-pemikiranku. Kenapa pula aku harus memikirkan lelaki tua itu, dia bahkan meninggalkanku ketika aku masih kecil dan sampai sekarang aku tak pernah mendengar kata maaf keluar dari mulutnya itu. 

"ta"

"ta!"

Aku tersentak ketika mendengar suara Ayah yang memanggil namaku, terlalu banyak berpikir membuatku jadi kurang fokus. 

"Eh iya yah, kenapa?", tanyaku agak keras karena kaget.

"Cepet duduk disitu", suruhnya lagi-lagi dengan ekspresi datar.

Aku menuruti perintahnya dan duduk di salah satu kursi di hadapanku, hingga aku melihat hal yang janggal.

"Loh, Ayah kok duduk disitu, itu kan kursi direktur yah", ucapku agak sewot karena kupikir Ayah sangat tidak sopan duduk-duduk dengan santai di kursi pemilik ruangan yang baru kusadari tak kulihat batang hidungnya sejak pertama kali aku menginjakkan kaki di ruangan ini.  Hei aku benar kan, Ayah memang sudah tua tapi bukan berarti dia bisa bersikap seenaknya seperti sekarang ini.

"Ini kursi Ayah", jawabnya singkat.

"Hah"

"Ini kursi Ayah"

"Hah"

"Kamu itu kenapa si hah heh hah heh aja dari tadi", hardiknya dengan wajah yang sudah terlihat agak kesal oke ralat benar-benar kesal. Muka Ayah yang tadinya hanya datar-datar saja sekarang sudah agak sedikit memerah dibagian dekat kuping, terlihat lucu dan menyeramkan dalam waktu yang bersamaan.

Aku masih melongo di tempat. Dua pertiga otakku sadar bahwa arti dari ucapannya adalah Ayah pemilik ruangan ini yang secara eksplisit berarti pula bahwa Ayah adalah direktur utama disini, namun sepertiga otakku lagi menolaknya. Aku terlalu sangsi untuk mengatakan kalau Ayah memang cocok menjadi direktur, sangat berwibawa tapi juga menyeramkan, mungkin kalau aku jadi karyawannya aku akan memilih untuk tidak bersinggungan dengannya, tatapannya terlalu tajam seperti berkata siapa saja yang menggangguku aku akan memakanmu atau kata lainnya senggol bacok.

"Kalo Ayah nanya itu dijawab ta", sengaknya lagi.

"Eh iya iya yah", jawabku cepat.

"Iya apanya", tanyanya geram.

"hmm ya iya tadi yang Ayah bilang", jawabku agak tergagap.

Ayah mendengus keras dan sepertinya ini bukan pertanda baik apalagi tadi sebelum berangkat aku sudah membuatnya kesal. Tuhan, tolong selamatkan aku. Aku belum ingin mati, dosaku masih banyak. Okey aku tahu aku terlalu berlebihan, tapi kalau Ayah terus memandangku bagai menatap tersangka pembunuhan berencana yang siap dihukum mati lama-lama aku bisa mati karena terkena serangan jantung.

"Ayah ngajak kamu kesini karena mau ngenalin kamu sama usahanya Ayah sekalian nanti kita keliling ke toko-toko peralatan sekolah buat beli perlengkapan yang kamu butuhin", ucapnya dengan nada datar tapi terdengar agak sewot. Karena Ayah terlihat sedang menahan amarah akhirnya aku memilih mengiyakan ucapannya saja meskipun seingatku hampir semua peralatan sekolahku masih bagus dan belum ada yang perlu diganti, tapi demi menjaga ketentraman jiwaku dari amukan lelaki tua ini aku memilih menjadi gadis manis nan penurut dihadapannya.

"Ayah ada rapat jam 11, harusnya tadi rapatnya sekitar jam 9nan tapi karna ada yang membuat Ayah telat makanya rapatnya Ayah undur, nanti kamu nunggu di ruangan ini aja sampai Ayah selesai rapat, nanti pas jam makan siang baru kita keluar buat nyari kebutuhan kamu", ujarnya yang berhasil membuatku sedikit merasa bersalah atas kelakuanku yang kekanak-kanakkan tadi.

"Iya yah", jawabku agak lemah.

Ayah mengambil handphonenya dan menghubungi seseorang yang sepertinya bawahannya untuk datang ke ruangan ini. Tak selang lama ada seorang laki-laki berkacamata yang datang kemari dan memberikan Ayah beberapa map. Laki-laki itu mengatakan bahwa semua berkas yang menjadi bahan rapat kali ini sudah lengkap dan Ayah mengangguk-angguk sambil membaca isi dari map-map tersebut.

Ayah beranjak dari duduknya dan melenggang keluar tanpa kata dengan diikuti laki-laki tadi. Aku menghembuskan napas lega, setidaknya untuk satu jam kedepan aku hanya akan sendirian disini tanpa ada Ayah. Baru beberapa jam bertatapan dengan Ayah saja aku sudah ketar-ketir apalagi kalau aku harus seharian bersamanya, ahhhh aku tak bisa membayangkan, bisa-bisa aku jadi gila atau mati muda karna harus berinteraksi dan hidup seatap dengan dia. Sepertinya aku harus menemunkan amunisi khusus yang mampu membuatku bertahan hidup di tengah kekejaman lelaki tua itu. hmm tapi kira-kira apa yaa...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status