Api di perapian menari-nari, bayangannya meliuk di dinding kamar, memberikan kehangatan dalam dinginnya malam. Aurora bersandar di atas bantal di tempat tidurnya yang besar, menatap nyala api dengan tatapan menerawang. Seminggu lagi, ia akan menikah lagi dengan Henry. Pernikahan kedua mereka. Pintu kamar terbuka, membuyarkan lamunannya. Henry masuk, wajahnya dihiasi senyum lembut. Tanpa ragu, ia duduk di tepi tempat tidur, meraih tangan Aurora, menggenggamnya erat. "Apa yang sedang kamu pikirkan?" tanyanya pelan. Aurora tersenyum kecil. "Tentu saja pernikahan kita." Henry menatapnya penuh cinta. "Apa kamu sudah memberitahu keluargamu?" Aurora menggeleng. "Belum. Aku akan bicara langsung pada mereka nanti setelah kita kembali besok ke London." Henry mengangguk, mengerti, tapi ada sesuatu yang masih mengganjal di hati Aurora. Dengan ragu, ia menggigit bibirnya sebelum akhirnya berkata, "Aku juga sedang memikirkan orang tuamu. Apa mereka setuju kita menikah lagi? Terutama A
Henry menundukkan kepalanya, ekspresinya penuh penyesalan. "Maaf! Aku hanya tidak ingin menambah bebanmu." Aurora mengepalkan tangannya dan mulai memukul dadanya bukan untuk menyakiti, tapi untuk melampiaskan perasaan yang berkecamuk dalam dirinya. "Seharusnya kamu bilang! Seharusnya kamu membiarkanku tahu! Aku membencimu karena alasan yang salah! Kamu jahat, Henry! Jahat!" Henry tidak melawan. Ia menerima setiap pukulan kecil itu dengan pasrah, membiarkan Aurora melampiaskan kemarahan dan kesedihannya, tapi kemudian Aurora berhenti. Air mata mengalir deras di pipinya. Henry menangkap tangannya yang gemetar, lalu meremasnya lembut. "Maafkan aku!" bisiknya lirih. Aurora terisak, bahunya berguncang. Henry menyentuh wajahnya dengan lembut, ibu jarinya menghapus jejak air mata di pipinya. "Jangan pergi lagi!" Suara Henry hampir putus asa. "Tetaplah bersamaku!" Dengan penuh hati-hati, Henry menarik kepala Aurora agar bersandar di dadanya. Pria itu mulai membelai rambutnya, gerakannya
Pagi harinya, Aurora bangun dengan perasaan yang lebih ringan. Mungkin tidak sepenuhnya lega, tapi lebih baik daripada semalam. Setelah membasuh wajah dan mengenakan pakaian yang rapi, ia melangkah ke ruang makan untuk sarapan.Saat ia duduk di meja makan, matanya langsung menyapu ruangan, mencari sosok yang seharusnya ada di sana."Henry...""Pagi, Sayang!" suara Margarita menyapanya dengan hangat.Aurora tersenyum tipis. "Pagi, Nenek!""Bagaimana tidurmu?""Aku tidur nyenyak," jawabnya, meskipun pikirannya masih dipenuhi bayangan Henry.Matanya kembali menyapu ruangan. "Di mana Henry?"Margarita mengangkat bahu dengan ekspresi sedikit khawatir. "Dia tidak pulang semalam. Katanya ada urusan pekerjaan, tapi dia tidak memberitahuku secara detail."Aurora terdiam. Ada sesuatu di dalam dirinya yang tiba-tiba terasa kosong. Henry tidak pulang? Ke mana dia pergi?Dan kenapa ia merasa kecewa?Aurora menikmati wafel hangatnya dengan secangkir teh susu. Tapi pagi ini, wafel selezat apa pun ti
"Dan bukan hanya itu," lanjut Margarita dengan suara bergetar. "Archer juga menyuruh orang-orang untuk menyerangmu di jalanan malam itu. Kau ingat insiden perampokan itu?"Aurora teringat dengan jelas. Bagaimana ia dikepung di gang sepi oleh sekelompok pria tak dikenal. Bagaimana rasa takut menjalari sekujur tubuhnya saat mereka mencoba merampas tasnya, lalu mencoba menariknya. Sampai Henry datang.Henry datang dengan wajah marah dan mata penuh amarah, tanpa ragu bertarung melawan mereka. Dan kini, Aurora baru tahu."Mereka juga orang suruhan Archer?" suaranya tercekat, matanya mulai memanas.Margarita mengangguk pelan. "Henry mengetahuinya. Dia marah besar, tapi Archer tetap pada pendiriannya. Ia mengatakan, jika Henry tidak menceraikanmu, maka hal yang lebih buruk akan menimpamu. Kau akan selalu dalam bahaya."Aurora merasa dunianya berguncang."Jadi. Henry menceraikanku bukan karena ia bosan? Bukan karena ia tidak mencintaiku lagi?" Suaranya hampir patah.Margarita menatapnya denga
Nicholas, yang sejak tadi diam, tiba-tiba bergerak gelisah, tampak ingin mencegah Margarita untuk bicara. Namun, wanita tua itu mengangkat tangannya, menghentikannya. "Tidak apa-apa, Nico," suara Margarita terdengar lelah namun tegas. "Sudah saatnya Aurora tahu kebenarannya." Nicholas terdiam. "Ayah Henry...." Margarita menatap Aurora dengan mata yang dipenuhi kesedihan. "Putraku, dialah yang merancang semua ini." Aurora menahan napas, jantungnya berdegup lebih cepat saat sang nenek menatapnya dengan mata yang penuh beban. "Perceraian kalian bukan sepenuhnya salah Henry." Suara Margarita bergetar, seakan menahan penyesalan yang sudah bertahun-tahun menggerogoti hatinya. "Seharusnya aku bisa mencegahnya, tapi saat itu, aku berpikir bahwa rumah tangga adalah urusan kalian berdua. Aku tak ingin ikut campur, tapi kemudian, ketika aku melihat bagaimana Henry hancur, bagaimana dia hampir kehilangan dirinya sendiri karena kesedihan, aku menyesal." Margarita menghela napas panjang, se
Keduanya duduk dalam keheningan, menikmati pemandangan taman yang perlahan tertelan warna senja. Mata biru Margarita menerawang jauh, seakan menembus waktu dan mengingat kembali masa-masa yang telah berlalu."Henry sangat sedih setelah bercerai darimu," kata Margarita tiba-tiba, suaranya lembut namun penuh makna.Aurora menoleh, terkejut. "Eh?"Margarita tersenyum kecil, menatap cucu menantunya dengan penuh kasih. "Kalian kira aku tidak tahu?" Ia menggeleng pelan. "Tidak ada rahasia yang bisa disembunyikan dariku."Aurora menunduk, rasa bersalah menyusup ke dalam hatinya. Selama ini ia mengira hanya dirinya yang terluka, karena perpisahan itu, tetapi ia lupa bahwa Henry pun mungkin merasakan luka yang sama atau bahkan lebih dalam."Pria bodoh itu," lanjut Margarita, nadanya mengandung rasa sayang yang begitu dalam. "Dia pikir dengan menceraikanmu, dia memberimu kebebasan, memberimu kesempatan untuk bahagia, tapi yang terjadi justru sebaliknya. Aku sering menemukannya menangis diam-dia
Henry tidak mengalihkan tatapannya, malah semakin dalam menatap Aurora, seolah ingin menggali isi hatinya. "Aku tidak pernah lebih serius dari ini." Aurora menelan ludah, hatinya berdebar kencang. Ia memilih kata-kata dengan hati-hati, takut melukai pria yang kini menatapnya seolah dirinya adalah satu-satunya hal berharga di dunia ini. "Aku tidak ingin gagal lagi dalam pernikahan kita," ujarnya lirih. "Aku... aku masih belum siap." Henry terdiam sejenak, seakan menelan setiap kata yang baru saja keluar dari bibir Aurora. Lalu, dengan penuh kesabaran, ia berkata, "Aku mengerti." Jemarinya menyusuri pipi Aurora dengan kelembutan yang begitu hati-hati. "Kamu masih meragukanku. Kamu takut aku belum benar-benar berubah, takut aku akan mengulangi masa lalu yang menyakitimu." Henry menarik napas dalam, matanya berkabut dengan emosi. "Tapi setidaknya, beri aku kesempatan untuk memperbaikinya. Aku mohon, Aurora." Aurora memandangnya, dan saat itulah ia melihat sesuatu di mata pria itu—ses
Alih-alih menjawab, Aurora justru menarik kerah kemeja Henry dan kembali menyatukan bibir mereka dalam ciuman yang lebih dalam, lebih penuh perasaan. Kali ini, tidak ada keraguan di antara mereka hanya ada cinta yang mengalir begitu deras di antara bibir yang saling menyatu dan untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Aurora merasa pulang. Aurora nyaris tak sempat menarik napas ketika Henry menariknya lebih dekat, tubuh mereka menyatu dalam gelombang kehangatan yang mendesak. Ciuman pertama hanyalah awal sebentuk godaan, sebuah janji. Namun, begitu bibir mereka bersentuhan lebih dalam, semuanya runtuh. Tidak ada ruang untuk kebohongan atau penyangkalan. Lidah Henry menyusup masuk, mengklaim, menuntut, seolah ingin mengingatkan Aurora bahwa di antara mereka tidak pernah ada kata "cukup." Aurora seharusnya menjauh, seharusnya menolak, tetapi bibirnya dengan sendirinya membalas—lapar, haus akan sentuhan yang begitu akrab namun terasa baru. Henry mengerang rendah saat Aurora merema
Aurora menatapnya dengan senyum jahil, merasa puas telah berhasil membuat Henry terdiam. "Kenapa? Tidak menyangka aku akan melakukan itu?" tanyanya dengan nada menggoda.Henry menelan ludah, kemudian tiba-tiba ia meraih pinggang Aurora dan menariknya ke dalam pelukannya, membuat wanita itu terkesiap."Kalau begitu, aku juga mau coba rasa es krim dari bibirmu," bisik Henry sebelum mendekat, wajahnya hanya beberapa inci dari Aurora.Aurora refleks menutup mata saat bibir Henry menyentuh sudut bibirnya, mengecupnya dengan lembut. Itu hanya sentuhan ringan, tetapi cukup untuk membuat Aurora merasakan gemuruh perasaan yang sudah lama ia tekan dalam hatinya."Henry...." bisiknya, nyaris tanpa suara.Henry menjauh sedikit, menatapnya dalam. "Aurora...." suaranya rendah dan penuh perasaan. Aurora menggigit bibirnya, perasaannya bercampur aduk. Tetapi sebelum ia bisa mengatakan apa pun, Henry mengelus pipinya yang masih berlumuran es krim.Lalu, tiba-tiba Henry menyeringai lagi. "Tapi aku bel