Setelah pernikahannya dengan Henry Wilmington berakhir, Aurora berusaha membangun kembali hidupnya dan meninggalkan semuanya. Namun, takdir berkata lain! Ketika Henry kembali hadir dalam hidupnya, pria itu bersikeras untuk merebut hatinya lagi. Lantas, bagaimana kisah Aurora? Terlebih Henry kini menjadi atasan yang benar-benar posesif!
Lihat lebih banyakPukul tujuh pagi, Aurora Stockwell berdiri dalam antrean di depan konter kedai kopi. Aroma biji kopi yang baru digiling seharusnya menenangkan, tapi pikirannya terlalu kacau untuk menikmati itu.
Perusahaan tempatnya bekerja yang juga warisan ayahnya dan kini dikelola oleh kakaknya berada di ambang kebangkrutan. Jika itu terjadi, bukan hanya pekerjaannya yang hilang, tapi juga mata pencaharian banyak keluarga yang bergantung pada perusahaan tersebut dan semua ini salah Henry. Aurora mengepalkan jemarinya, menahan kemarahan yang hanya bisa didengar oleh batinnya sendiri. Dulu, hidupnya berjalan stabil. Ia seorang staf ahli keuangan dengan karier yang menjanjikan hingga hari itu terjadi---saat ia menabrak seorang pria di depan lift.Byur!
Secangkir kopi tumpah, mengotori jas mahal pria itu. Henry Wilmington.
Alih-alih marah, Henry justru terpesona. Ia jatuh cinta pada Aurora pada pandangan pertama, terpikat oleh mata biru tajamnya. Aurora teringat bagaimana pria itu merayunya dengan kata-kata manis. Dalam hitungan minggu, ia menerima cinta Henry. Dalam hitungan bulan, mereka menikah, mendadak menjadi istri seorang miliarder ternyata bukan dongeng yang indah. Kekayaan yang semula tampak seperti hadiah justru menjadi jurang pemisah di antara mereka.
Ia pernah membayangkan pernikahan mereka akan seperti kisah cinta yang sederhana, sarapan pagi bersama, berbincang tentang hari yang mereka lalui, menikmati akhir pekan dengan tenang. Namun, kenyataan jauh berbeda. Setiap pagi, ia bangun untuk menemukan tempat tidur di sebelahnya kosong. Setiap malam, Henry pulang dalam keadaan lelah, hampir tak pernah menoleh padanya. Saat ia membelakangi suaminya di ranjang, berharap Henry akan menariknya ke dalam pelukan, pria itu bahkan tidak berusaha. Tidak ada genggaman tangan. Tidak ada pertanyaan. Tidak ada usaha sampai akhirnya, Aurora menyerah. “Ah, panas!” pekiknya tiba-tiba. Cairan panas menyiram kulit tangannya, membuyarkan lamunannya. Ia mendongak, siap melontarkan protes tajam, tapi kata-katanya tercekat. Henry? Bagaimana bisa Aurora berdiri di belakang orang yang ada di pikirannya? “Kau baik-baik saja?” Suara berat itu masih sama, sedikit serak, tetapi tetap dalam dan menawan. Mata cokelat terang milik Henry menatapnya sehangat lelehan caramel panas. Aurora menelan ludah, menekan gejolak yang tiba-tiba muncul. “Bukan masalah. Ini bisa diatasi dengan salep luka bakar.” Mungkin itu jawaban yang masuk akal. “Hai, lama tidak berjumpa.” Atau mungkin itu lebih baik. Tidak. Ia tidak ingin memulai percakapan. Ia ingin pergi. Tapi keinginannya akan kopi lebih kuat daripada keinginannya untuk menjauh. “Senang bertubrukan denganmu.” Nada sinis meluncur dari bibirnya. Henry tersenyum miring. “Cantik, sedang apa kau di sini?” Aurora mengerutkan kening. Apa dia pikir dirinya sengaja datang ke sini untuk menguntitnya? Tentu saja tidak. Terakhir kali mereka bertemu adalah dua tahun lalu, saat ia meninggalkan rumah Henry. Pria itu tidak pernah mengejarnya. Tidak pernah datang ke mediasi perceraian mereka. Bahkan saat hakim membacakan putusan, Henry hanya mengirim pengacaranya. Lagi-lagi, ia tidak berusaha. Aurora mendengus, mengusir rasa kecewa yang tiba-tiba menyelinap. “Bisa kau menyingkir? Aku mau memesan kopi.” Henry tersenyum. “Seingatku, kau tidak pernah minum kopi.” Memang tidak, tapi keadaan telah berubah. Kakaknya membuatnya sakit kepala dengan tumpukan berkas yang tiada habisnya, hingga akhirnya ia bergantung pada kafein. “Seleraku sudah berubah,” katanya, lalu melangkah ke konter. “Satu caramel macchiato panas.” Henry tertawa kecil. “Menarik. Kudengar perusahaan kakakmu sedang dalam krisis keuangan.” Aurora menoleh tajam. Suaranya terlalu santai, terlalu keras, cukup untuk didengar orang-orang di sekitar mereka. “Kurasa kau akan segera kehilangan pekerjaan jika perusahaan itu benar-benar bangkrut,” lanjut Henry. Aurora menatapnya tajam. “Henry Wilmington, kau rupanya punya waktu untuk memata-matai perusahaan kami?” Henry mengangkat bahu, tetap tersenyum. “Di London, semua orang tahu kalau Blue Sea Corps bahkan menjual sahamnya dengan harga miring dan tetap tak ada yang berminat.” Aurora menggertakkan giginya. Henry tidak berbohong, tapi caranya bicara begitu meremehkan seolah-olah kakaknya tidak kompeten membuatnya jengkel. “Kurasa kau sudah terlalu banyak mengomentari perusahaan tempatku bekerja.” Henry masih tersenyum. “Terakhir kali kita bertemu, aku menawarkanmu saham perusahaan. Kau menolaknya. Begitu juga rumah dan… ” Aurora menatapnya tajam, membuat Henry menghentikan ucapannya. Ia tahu persis mengapa ia menolak semuanya. Ia tidak menginginkan hartanya. Ia hanya menginginkan Henry. Henry berdehem, mengubah topik. “Aku bisa membantu perusahaan itu.” Aurora membeku. Perusahaan itu adalah warisan ayahnya—satu-satunya peninggalan yang berharga. Kakaknya telah melakukan segalanya untuk mempertahankannya. “Pertimbangkan tawaranku,” Henry melanjutkan. “Kau tahu di mana kau harus menemuiku, kan?” Aurora menggigit bibirnya, menahan desakan emosi yang berputar di dadanya. Ia tidak membutuhkan Henry, tapi untuk pertama kalinya dalam dua tahun, pria itu menawarkan sesuatu yang berarti.Di luar apartemen, di kejauhan, sosok seorang wanita berlari tanpa arah. Napasnya terengah, tangannya memegang perutnya yang membesar.Yolanda.Jantungnya berdetak kencang. Mereka datang lebih cepat dari yang ia duga.Ia terus berlari, menyusuri jalan-jalan sepi di tengah malam. Kakinya terasa berat, tubuhnya lelah, tapi ia tak bisa berhenti. Tidak sekarang.Ia akhirnya sampai di sebuah gang sempit. Dengan napas tersengal, ia bersembunyi di balik tumpukan sampah, berusaha menenangkan diri."Aku tidak akan membiarkan mereka menangkapku," gumamnya dengan penuh kebencian.Napas Yolanda tersengal, tubuhnya hampir roboh setelah berlari melewati gang-gang sempit. Jantungnya berdentum kencang, seakan ingin meledak dari dadanya. Suara sirene polisi semakin jauh, memudar di kejauhan. Ia berhasil lolos untuk saat ini.Dengan sisa tenaga yang ada, Yolanda menyeret langkahnya menuju sebuah gudang tua di dekat pelabuhan. Bangunan itu tampak terlantar, kusam, dan hampir hancur dimakan waktu. Tak ad
Wajah Aurora terlihat pucat, tubuhnya masih terbaring tak bergerak dengan berbagai alat medis menempel di sekitarnya. Florien menggenggam tangannya erat, berharap ada sedikit respons. "Aurora, kumohon, bangunlah!" Florien menunduk, menahan sesak yang menggumpal di dadanya. Ia tak bisa membayangkan jika seandainya Aurora tak ditemukan tepat waktu. Tiba-tiba, pintu ruangan terbuka. Seorang perawat masuk dan berkata, "Nona Florien, ada seorang detektif yang ingin berbicara dengan Anda di luar." Florien mengangkat kepalanya dengan bingung. Ia berdiri dan keluar dari ruangan, menemukan Vernon yang sudah lebih dulu berada di sana. Namun bukan hanya Vernon, di sana juga ada William, berdiri bersama seorang pria asing yang terlihat tegas—Detektif Haris. Florien melirik Vernon dengan penuh tanya, lalu kembali menatap detektif itu. "Ada apa, Detektif?" tanyanya dengan cemas. Detektif Haris melirik William sekilas sebelum akhirnya berkata, "Kami menemukan beberapa petunjuk baru terkait ke
"Jangan pergi, Henry!" pinta Yolanda, suaranya berubah menjadi lebih lembut, penuh permohonan. "Aku masih mencintaimu." Henry mengeraskan rahangnya, berusaha menarik tangannya. "Lepaskan aku, Yolanda!" bentaknya, kesabarannya habis. Namun, bukannya melepaskan, Yolanda justru menggenggamnya semakin erat. Matanya berkilat dengan obsesi yang mengerikan. "Tidak akan! Kau tidak bisa begitu saja meninggalkanku, Henry!" Sebelum Henry sempat menanggapi, suara pintu mobil terbuka mengalihkan perhatiannya. Dua pria bertubuh tegap keluar dari dalam mobil Yolanda, mata mereka penuh ancaman. "Buka pintunya!" perintah Yolanda dingin. Henry melirik ke kaca spion, tubuhnya menegang. Ia tahu ini tidak akan berakhir baik. Namun, sebelum ia bisa bereaksi, salah satu pria itu dengan kasar membuka pintu mobilnya dengan paksa dengan memecahkan kaca mobil dan mencengkeram lengannya kuat-kuat. "Lepaskan aku!" Henry berontak sekuat tenaga, tapi pria itu lebih kuat. Dalam sekejap, tubuhnya terseret kelua
Florien menoleh cepat. William baru saja masuk, handuk kecil tersampir di lehernya, keringat masih membasahi pelipisnya setelah joging pagi. Ia tampak segar, namun ekspresi Florien yang penuh kecemasan langsung membuatnya mengernyit. "Kau sudah bangun?" sapanya lembut, mengecup kening adik sepupunya seperti biasa. "Iya, tapi Vernon sudah tidak ada di kamar." Suara Florien terdengar lebih putus asa dari yang ia harapkan. William menatapnya lebih serius. "Vernon? Mungkin dia di halaman belakang?" Florien menggeleng cepat. "Aku sudah mencari ke seluruh penjuru rumah. Dia tidak ada." Rasa tidak enak mulai menjalar di dada William. Ia meraih ponselnya dan menekan nomor Vernon. Nada sambung terdengar, satu kali, dua kali, lalu berlanjut tanpa jawaban. Sekali lagi. Tidak ada jawaban. William menurunkan ponselnya, ekspresinya mulai berubah. "Mungkin dia ada urusan mendadak di luar," ujarnya, berusaha terdengar tenang. Florien menggeleng. Suasana di ruangan semakin mencekam. Florie
"Dia baik-baik saja?" Vernon hampir tak bisa mengeluarkan suaranya. Dadanya terasa sesak, seolah paru-parunya lupa bagaimana cara bekerja. "Luka-lukanya cukup serius, tapi dokter mengatakan kondisinya stabil. Dia masih belum sadar." Sejenak, Vernon merasakan sesuatu yang berat terangkat dari dadanya, seperti beban yang selama ini menyesakkan akhirnya sedikit mereda. Aurora masih hidup. Tanpa pikir panjang, Vernon meraih mantel dan berlari keluar rumah. Ia bahkan tidak sempat memberi tahu Florien atau siapa pun. Yang ada di kepalanya hanya satu hal, menemui Aurora. Sesampainya di rumah sakit, Vernon bergegas menuju ruang ICU. Namun, sebelum ia bisa masuk, langkahnya terhenti saat melihat dua orang asing berdiri di luar ruangan, wajah mereka penuh kecemasan. Di dekat mereka, seorang pria berseragam menghampirinya. "Selamat pagi, Tuan Stockwell!" sapa pria itu dengan nada formal. "Saya Detektif Haris. Saya ingin memperkenalkan dua orang yang sangat berjasa dalam menyelamatkan nyaw
Jantung George seakan berhenti berdetak. Darahnya berdesir, tubuhnya menegang. Wajah itu. Wajah yang baru saja ia lihat kemarin. Seakan dunia berputar lebih lambat, suaranya mendengung di telinganya. Mata Aurora dalam foto itu seolah menatapnya langsung, penuh kehidupan, penuh harapan. Tidak mungkin. Tangan George mencengkeram lengan kursi, dadanya naik turun dalam kepanikan yang merayap perlahan. "George, kenapa?" suara Martha terdengar khawatir, melihat perubahan drastis di wajah suaminya. Tapi George tak bisa menjawab. Bibirnya terbuka, tetapi tak ada suara yang keluar. Ia hanya bisa menatap layar. "Tidak mungkin," gumam Martha, tubuhnya menegang, matanya tak lepas dari layar televisi. George merasakan napasnya tercekat. Tangannya meraih tangan istrinya, meremasnya erat seakan itu satu-satunya hal yang bisa membuatnya tetap berpijak di bumi. "Itu wanita itu!" seru Martha, suaranya dipenuhi ketidakpercayaan. Mereka terus menyaksikan berita itu, meski rasanya dada mereka s
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen