Henry terdiam, pikirannya berputar cepat. "Apa yang dia katakan?" "Jika kamu tidak mau menemuinya, dia akan mengungkap semuanya. Dia akan memberi tahu dunia siapa ayah dari anaknya. Dia mengancammu, Henry." Henry mendengus marah. "Dia tidak akan berani melakukan itu." Florien mendecak. "Oh, percayalah, seorang wanita yang terpojok bisa melakukan apa saja. Kamu mungkin menganggap ini hanya gertakan, tapi aku yakin dia benar-benar akan melakukannya." Henry mengebrak meja dengan kepalan tangan yang mengeras. "Sial!" Dadanya naik turun. Baru saja ia merasa kehidupannya kembali menemukan arah—Aurora, kebahagiaan yang mulai ia bangun kembali dan sekarang, masalah ini datang menghantamnya seperti ombak besar yang menghancurkan segalanya. Florien menghela napas. "Apa Aurora sudah tahu?" Henry menggeleng. "Tidak dan dia tidak boleh tahu." "Bagus. Jangan sampai dia tahu atau kamu akan kehilangan dia lagi selamanya. Aku tidak tahu apa yang terjadi di antara kalian berdua." Henry mengep
Pukul tujuh pagi, Aurora Stockwell berdiri dalam antrean di depan konter kedai kopi. Aroma biji kopi yang baru digiling seharusnya menenangkan, tapi pikirannya terlalu kacau untuk menikmati itu. Perusahaan tempatnya bekerja yang juga warisan ayahnya dan kini dikelola oleh kakaknya berada di ambang kebangkrutan. Jika itu terjadi, bukan hanya pekerjaannya yang hilang, tapi juga mata pencaharian banyak keluarga yang bergantung pada perusahaan tersebut dan semua ini salah Henry. Aurora mengepalkan jemarinya, menahan kemarahan yang hanya bisa didengar oleh batinnya sendiri. Dulu, hidupnya berjalan stabil. Ia seorang staf ahli keuangan dengan karier yang menjanjikan hingga hari itu terjadi---saat ia menabrak seorang pria di depan lift. Byur!Secangkir kopi tumpah, mengotori jas mahal pria itu. Henry Wilmington. Alih-alih marah, Henry justru terpesona. Ia jatuh cinta pada Aurora pada pandangan pertama, terpikat oleh mata biru tajamnya. Aurora teringat bagaimana pria itu merayunya dengan
Semilir angin pagi berhembus lembut saat Aurora melajukan mobil merahnya, menyusuri jalan yang mulai dipadati kendaraan. Di trotoar, anak-anak berjalan riang dengan tas punggung mereka, beberapa berlarian mengejar teman-temannya menuju sekolah. Saat lampu lalu lintas berubah merah, Aurora menghentikan mobilnya. Seorang pria paruh baya melintas di depan kap mobilnya, lalu tersenyum ramah. Aurora membalas senyumnya, meski pikirannya jauh dari momen itu. Lampu hijau menyala. Aurora kembali melajukan mobilnya, tetapi dadanya terasa sesak. Jemarinya mencengkeram erat kemudi setiap kali bayangan Henry muncul di benaknya. Pria itu muncul begitu tiba-tiba, menatapnya dengan mata cokelat hangat yang dulu begitu ia sukai, tapi Aurora tidak akan tertipu lagi. Ada sesuatu di balik kehadiran Henry—ia yakin itu. Pria itu bukan tipe yang melakukan sesuatu tanpa alasan dan ia tidak boleh terjebak dalam permainan Henry lagi. Mobil merah itu akhirnya memasuki kawasan pelabuhan, di mana gedung pelel
Dua tahun pernikahan dengan laki-laki itu telah berakhir dalam puing-puing perceraian, dan kini berdiri di hadapannya adalah seseorang yang pernah ia cintai sepenuh hati sekaligus melukai dan menghancurkannya tanpa ampun.Tatapannya penuh gejolak—amarah yang membara, kekecewaan yang menusuk, dan luka yang masih menganga. Perasaannya berantakan, seperti dihantam badai tanpa belas kasihan, menelannya dalam pusaran rasa sakit yang nyaris tak tertanggungkan.Aurora mengamati Henry dengan saksama, mencoba menemukan sesuatu yang berbeda—sesuatu yang bisa membuatnya merasa lebih asing terhadap pria itu, tapi tidak. Henry masih seperti dulu. Rahang tegas yang terukir sempurna, senyum setengah malas yang pernah membuatnya jatuh cinta, hidung tinggi yang seakan menambah kesombongannya, dan bibir yang begitu mudah melontarkan janji-janji yang dulu ia percayai. Daya pikatnya tetap kuat, begitu memabukkan, seperti racun yang diam-diam menyelinap ke dalam darahnya.Henry adalah laki-laki yang tahu
Bibir Aurora merekah, menyambut sentuhan yang begitu akrab namun tetap membuai. Awalnya, ia membalasnya dengan ragu, malu-malu, tapi Henry tak memberi ruang untuk kebimbangan. Pria itu memperdalam ciumannya, lebih lembut, lebih menuntut, seakan ingin mengingatkan Aurora akan semua rasa yang dulu pernah mereka bagi.Dada Henry bergetar saat bibir ranum itu akhirnya sepenuhnya menyatu dengan miliknya. Napasnya semakin berat, seiring dengan hasrat yang menggelegak di dalam dirinya. Ia merasakan manisnya, merasakan Aurora yang perlahan-lahan menyerah dalam dekapannya.Ia ingin lebih. Ia butuh lebih."Aurora...." desah Henry, suaranya dalam dan serak, penuh gairah yang nyaris membuatnya kehilangan kendali.Aurora terperangkap dalam pesona Henry. Pria itu begitu tampan dalam cahaya temaram, dengan sorot matanya yang teduh namun berbahaya. Rahangnya yang kuat dan ekspresi menggoda membuat Aurora semakin tenggelam.Henry menarik diri, hanya untuk menempelkan dahinya ke dahi Aurora, berusaha m
Henry melangkah perlahan ke jendela, membuka daun jendela hingga sinar matahari pagi masuk dan menyelimuti ruangan dengan cahaya keemasan. Angin sepoi-sepoi membawa aroma laut yang segar, membuat suasana semakin tenang dan hangat.Matanya kemudian tertuju pada sosok yang masih terlelap di tempat tidur. Aurora tidur dengan damai, napasnya teratur, wajahnya begitu lembut dalam keheningan pagi. Sejenak Henry hanya berdiri, mengamati wanita yang selalu mengisi pikirannya, wanita yang dulu pernah menjadi miliknya.Dengan hati-hati, ia duduk di tepi tempat tidur, tatapannya tak lepas dari wajah Aurora. Rambut coklat wanita itu terserak di atas bantal, berkilauan tertimpa cahaya pagi. Kulitnya tampak bersih dan bercahaya, pundaknya yang telanjang terlihat begitu halus di bawah selimut yang melorot.Tanpa sadar, Henry mengulurkan tangan, membelai perlahan helaian rambut yang jatuh di pipi Aurora. Sentuhan ringan itu membuat wanita itu menggerakkan tubuhnya sedikit, kelopak matanya mulai berge
"Aurora?" Suara Henry terdengar dari arah pintu. Ada nada menggoda di dalamnya, tetapi juga sedikit gelisah. "Kamu sudah selesai mandi, Cantik?" Henry melangkah mendekat, napasnya terdengar sedikit lebih berat dari biasanya. Ponselnya kini telah dimatikan, percakapannya dengan William terputus begitu saja. Saat jaraknya kian menipis, ia menarik Aurora ke dalam pelukannya. Sejenak, Aurora menutup mata. Hangat. Dekapan Henry selalu membuatnya merasa aman. Namun, sesaat kemudian— "Dia tidak akan tahu bahwa aku penyebab kebangkrutan perusahaannya." Suara Henry kembali menggema di kepalanya. Aurora tersentak. Dalam sekejap, kehangatan yang tadi membungkusnya berubah menjadi bara yang membakar dada. Matanya terbelalak, tubuhnya menegang di dalam pelukan Henry sebelum ia akhirnya mendorong tubuh pria itu menjauh. Henry terkejut. Ia melihat Aurora mundur beberapa langkah, menciptakan jarak yang kini terasa begitu lebar. "Aurora." Aurora memejamkan mata erat-erat, mencoba mengendali
Tapi Aurora menggeleng. "Jangan sebut namaku dengan suara itu." Air matanya terus mengalir, tetapi matanya memancarkan amarah dan luka yang begitu dalam.Tatapannya menembus dada Henry, menghancurkan segala harapan yang ia bangun."Kamu brengsek!" serunya.Tanpa menunggu apa pun lagi, Aurora meraih pegangan pintu, membukanya dengan kasar, lalu melangkah pergi tanpa menoleh.Henry hanya bisa berdiri terpaku, matanya menatap punggung wanita yang semakin menjauh. Ia ingin berlari mengejarnya, ingin menahan tangan itu, ingin berlutut di hadapannya dan memohon kesempatan terakhir, tapi tubuhnya tetap tak bergerak, seolah jiwanya ikut pergi bersama wanita itu.Saat suara pintu tertutup dengan keras, Henry merosot lemas ke kursi."Brengsek!"Dengan amarah yang tak bisa ia arahkan ke siapa pun selain dirinya sendiri, Henry menghantam meja di depannya berulang kali. Suara dentuman keras memenuhi ruangan, tetapi itu tidak cukup untuk meredam rasa frustrasi yang membakar dadanya.Tubuhnya berget
Henry terdiam, pikirannya berputar cepat. "Apa yang dia katakan?" "Jika kamu tidak mau menemuinya, dia akan mengungkap semuanya. Dia akan memberi tahu dunia siapa ayah dari anaknya. Dia mengancammu, Henry." Henry mendengus marah. "Dia tidak akan berani melakukan itu." Florien mendecak. "Oh, percayalah, seorang wanita yang terpojok bisa melakukan apa saja. Kamu mungkin menganggap ini hanya gertakan, tapi aku yakin dia benar-benar akan melakukannya." Henry mengebrak meja dengan kepalan tangan yang mengeras. "Sial!" Dadanya naik turun. Baru saja ia merasa kehidupannya kembali menemukan arah—Aurora, kebahagiaan yang mulai ia bangun kembali dan sekarang, masalah ini datang menghantamnya seperti ombak besar yang menghancurkan segalanya. Florien menghela napas. "Apa Aurora sudah tahu?" Henry menggeleng. "Tidak dan dia tidak boleh tahu." "Bagus. Jangan sampai dia tahu atau kamu akan kehilangan dia lagi selamanya. Aku tidak tahu apa yang terjadi di antara kalian berdua." Henry mengep
Sang dokter tersenyum tipis lalu pergi, meninggalkan mereka bertiga di kamar. Henry duduk di tepi ranjang dan menghela napas panjang. "Nenek benar-benar membuat kami khawatir! Aku hampir kena serangan jantung juga, tahu!" Aurora mengangguk setuju sambil menghapus air mata yang sempat jatuh. "Iya, Nek. Sebaiknya Nenek tidak terlalu banyak beraktivitas. Aku takut terjadi sesuatu pada Nenek." Margarita tersenyum, lalu meraih tangan Aurora dengan genggaman hangat. Ia menatap wanita itu dengan mata penuh harap. "Aurora, kamu sayang pada Nenek, kan?" Aurora terdiam sejenak, lalu mengangguk. Ia tahu, di balik semua tingkah dan kelicikan Margarita, wanita itu hanya ingin melihat keluarganya bahagia. Namun, ia juga merasa ada sesuatu yang mencurigakan di balik pertanyaan itu. "Tentu saja. Aku sudah menganggap Nenek sebagai Nenekku sendiri." Margarita tersenyum penuh kemenangan. "Kalau begitu, apa kamu mau tinggal sedikit lebih lama di sini?" Henry nyaris tersedak udara. Ia menoleh ke a
Pelayan itu menelan ludah. "Tapi kalau Tuan Muda tahu, dia pasti akan marah."Margarita terkekeh pelan, suaranya penuh keyakinan. "Percayalah! Begitu dia tahu alasan di balik ini semua, dia akan berterima kasih."Tiba-tiba, terdengar suara langkah kaki berlari-lari di luar."Ah, akhirnya mereka datang." Margarita buru-buru menutup matanya. Sebelum itu, ia sempat menoleh pada Nicholas dan memperingatkan dengan suara pelan, "Ingat, kau harus terlihat sedih. Kalau perlu, keluarkan air mata. Jika tidak, kau kupecat!"Nicholas menghela napas, bersiap memainkan perannya.Pintu kamar terbuka dengan keras, hampir membentur dinding. Henry masuk lebih dulu, napasnya tersengal, wajahnya penuh kepanikan. Aurora menyusul di belakangnya, matanya dipenuhi kecemasan."Nenek!" Suara mereka berseru hampir bersamaan.Henry langsung berlutut di samping ranjang dan meraih tangan Margarita. Matanya yang biasanya tajam kini tampak kaca-kaca. Dengan suara parau, ia berkata, "Nek, jangan mati dulu! Aku belum
Aurora hanya tersenyum tipis tanpa menjawab. Mereka berkuda selama beberapa menit, menikmati keheningan yang tidak lagi terlalu canggung. Hingga akhirnya, matahari semakin tinggi di langit, menandakan sudah saatnya mereka kembali. "Mau pulang?" tanya Henry. "Ya." Mereka kembali ke kandang, menyerahkan kuda-kuda itu kepada para pekerja. Lalu, berjalan beriringan menuju rumah. Namun, tiba-tiba Henry menghentikan langkahnya. Aurora menoleh, lalu mendapati dirinya terperangkap dalam tatapan pria itu. Mata biru Henry menatapnya dalam-dalam, menelusuri wajahnya seolah sedang mencari sesuatu. Ada keheningan di antara mereka, keheningan yang begitu pekat hingga Aurora bisa mendengar degup jantungnya sendiri. Aurora menelan ludah, mengangkat sedikit dagunya, mencoba menyembunyikan kegelisahannya. Henry tidak mengatakan apa pun. Aurora merasakan lagi energi yang bergejolak di sekitar Henry, seperti badai yang siap meledak kapan saja. Hawa panas yang dipancarkan lelaki itu membuat dadan
"Ada apa kamu datang ke sini?" tanya Henry dingin, suaranya terdengar tajam.Andrew tidak terpengaruh oleh sikap permusuhan Henry. Dengan santai, ia menjawab, "Aku hanya ingin melihat keadaan Aurora di sini. Aku ingin tahu, apakah dia bahagia atau justru merasa tertekan?"Henry tersenyum miring, lalu melirik Aurora. "Seperti yang kamu lihat, Aurora senang berada di sini. Bukankah begitu, Sayang?"Namun, Aurora tidak menjawab. Ia sengaja mengabaikan Henry, membiarkan pria itu semakin kesal, lalu memilih untuk langsung berbicara pada Andrew."Apa yang membuatmu datang ke sini?" tanyanya, nada suaranya terdengar lebih hangat dibanding saat ia berbicara dengan Henry.Andrew tersenyum kecil. "Besok aku akan kembali ke Inggris. Apa kita akan pulang bersama?"Seketika ruangan terasa membeku.Henry menatap tajam Andrew, rahangnya mengeras. "Kalian tidak akan pulang bersama. Aurora akan pulang bersamaku."Jesselyn yang duduk di sampingnya langsung menyenggol kaki Henry di bawah meja, memberi i
"Jadi kamu meragukannya?!" Suara Yolanda bergetar di seberang telepon, dipenuhi kemarahan dan rasa tertantang. "Anak ini adalah darah dagingmu, Henry!"Henry menekan rahangnya, mencoba meredam emosi yang mendadak berkecamuk di dalam dadanya. "Iya." Hanya itu jawaban yang keluar dari bibirnya, singkat dan tanpa emosi."Anak ini milikmu.”Henry tertawa pendek, getir. “Kau sadar betapa absurdnya itu? Kita baru kenal berapa lama? Dan kita hanya tidur sekali, Yolanda. Sekali.”“Aku tahu, Tapi aku tidak tidur dengan siapa pun selain kamu. Kau pikir aku sedang main sandiwara?” suara Yolanda mulai naik.“Dunia ini penuh sandiwara dan kau cukup jago jadi aktrisnya,” balas Henry cepat. “Atau ini bagian dari rencana barumu lagi? Mengikatku dengan cerita kehamilan?”“Kau pikir aku senekat itu? Mengada-ada tentang nyawa yang sedang tumbuh dalam tubuhku?” Yolanda hampir berteriak. “Aku tidak butuh uangmu. Aku hanya ingin kau tahu—aku tidak sendirian dalam urusan ini.”Henry terdiam beberapa detik.
Dengan kecepatan kilat, Henry menarik selimut untuk menutupi tubuh mereka, sementara Aurora buru-buru menyembunyikan wajahnya yang merah padam.Di sisi lain rumah, Margarita duduk di kursi meja makan di teras belakang, yang menghadap taman bunga mawar. Nenek itu menggenggam tongkatnya dengan tenang, matanya berbinar seolah tahu persis apa yang sedang terjadi di dalam rumah. Ia tersenyum kecil. Hari ini akan menjadi hari yang menarik."Mereka itu seperti anak kecil," gumam Margarita dengan nada geli kepada asistennya, Nicholas. Senyum tipis terbentuk di wajahnya, sementara matanya menatap lurus ke arah taman, seolah melihat lebih jauh dari yang tampak di hadapannya. "Mereka pikir aku tidak tahu bahwa mereka sudah bercerai."Wanita tua itu tertawa pelan, nada tawanya sarat dengan kebijaksanaan dan sedikit ironi. "Biarkan saja mereka beranggapan seperti itu."Dengan tenang, ia mengangkat cangkir teh ke bibirnya dan menyeruputnya perlahan."Jadi, Henry membawa Aurora ke kamarnya?" tanyany
Kejujuran Henry membuat Aurora terhenyak. Hatinya berdebar kencang, seolah tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar."Apa aku tidak salah dengar?" pikirnya."Kau serius?" bisiknya ragu, menatap Henry seolah mencari kebohongan di matanya."Tentu saja," jawab Henry tanpa keraguan.Aurora menelan ludah, dadanya terasa sesak. "Saat ini aku tidak bisa menikah lagi denganmu."Henry menghela napas panjang, tetapi tekadnya tak goyah. "Lalu, apa yang harus aku lakukan supaya kamu mau kembali padaku?" tanyanya, suaranya penuh harap, hampir memohon.Aurora menundukkan kepala, menyembunyikan perasaan yang berkecamuk di dalam hatinya. "Tidak ada," katanya lirih, tetapi dingin.Henry menatapnya, mencoba membaca pikirannya. Ia tahu Aurora berbohong. Wanita itu hanya takut membuka kembali luka yang belum sepenuhnya sembuh."Aku mencintaimu, Aurora," ucapnya lembut. "Dan aku ingin kita bersama lagi."Perasaan Henry begitu kuat, begitu nyata. Ia melangkah mendekat, lalu melingkarkan lengannya di
Aurora melihat kopernya tergeletak tak jauh dari tempat tidur. Jantungnya berdetak lebih cepat. Ia segera beranjak ke kamar mandi, membiarkan air dingin menyapu kulitnya yang masih dipenuhi sisa-sisa emosi semalam. Tak ingin membuang waktu, ia mengenakan pakaian dengan tergesa-gesa. Ada seseorang yang ingin segera ditemuinya—Theodore, keponakan Henry yang kini telah berusia lima tahun. Saat ia dan Henry berpisah, bocah itu baru berusia tiga tahun. Saat menuruni tangga, matanya menyapu sudut-sudut rumah sang Nenek. Tidak banyak yang berubah. Rumah megah berlantai lima ini masih terasa terlalu besar dan sunyi baginya. Dulu, saat pertama kali menginjakkan kaki di sini, ia hampir tersesat di dalamnya. Langkahnya terhenti mendadak. Henry muncul di hadapannya, tiba-tiba dan tanpa suara. "Henry!" serunya, terkejut. Salah satu tangannya terangkat ke dada, mencoba meredam detak jantungnya yang berdebar liar. Ia menarik napas dalam-dalam, menoleh ke sekeliling, memastikan tidak ada orang la