Aurora mengangguk, rahangnya mengeras. "Benar. Kemarin kami bertemu dan kami sempat bermalam bersama." Keheningan mendadak menyergap ruangan. Mata Vernon dan Florien membelalak penuh keterkejutan, sementara Aurora menjatuhkan tubuhnya ke kursi, seakan bebannya menjadi semakin berat. Setiap kali membicarakan Henry, dadanya terasa sesak, emosinya semakin memuncak, seolah siap meledak kapan saja. "Itu artinya kalian kembali bersama?" Vernon bertanya, nadanya terdengar penuh harapan. Aurora tertawa pendek, namun tanpa kebahagiaan sedikit pun. "Hampir saja," suaranya penuh ironi. "Tapi Henry menghancurkan semuanya. Aku tidak peduli lagi dengan tawarannya. Tidak peduli dengan janji-janji manisnya!" Vernon menatapnya dengan kebingungan. "Apa yang sebenarnya terjadi?" tanyanya, merasa tak mengerti bagaimana menghadapi adiknya yang kini terlihat seperti bom waktu yang siap meledak. Ruangan terasa semakin mencekam. Tatapan Aurora dipenuhi amarah, bola matanya yang biru seperti lautan
Lalu, ponselnya kembali berdering. Kali ini, dengan enggan, ia mengangkatnya. Suara nyaring Florien langsung meledak dari seberang, membuat Henry meringis dan menjauhkan ponsel dari telinganya. "Hei, pelankan suaramu!" "Kenapa kamu tidak menjawab teleponku dan tidak membalas pesanku?" Suara adiknya terdengar jelas kesal. Henry mengusap wajahnya dengan letih. "Maaf. Aku sibuk." Florien mendecak. "Ada apa denganmu? Aku mencarimu ke mana-mana. Kamu di mana sekarang?" "Di vila." Terdengar tarikan napas dari seberang. "Aku sudah tahu semuanya. Aku bertemu Aurora di kantor Vernon, dan dia… dia menceritakan semuanya." Dada Henry mencengkung, seakan seseorang menekan sesuatu yang berat di atasnya. "Jadi kamu bertemu dengannya?" "Iya. Dan dia sangat marah padamu." Henry tersenyum getir. "Tentu saja dia marah. Dia berhak marah." Florien terdiam sejenak sebelum akhirnya berkata, "Segeralah pulang! Aku ingin bicara denganmu." Henry menyandarkan kepalanya ke sofa, menatap lan
Setelah rapat selesai dan semua dokumen ditandatangani, Aurora merasakan dadanya sesak. Rasanya seperti menjual bagian dari hidupnya sendiri—sebagian besar Blue Sea Corp bukan lagi miliknya, melainkan bagian dari Wilmington Group yang dipimpin oleh pria yang pernah ia cintai dan benci dalam waktu yang bersamaan. Vernon menepuk punggungnya dengan lembut. “Kau baik-baik saja?” Aurora menarik napas dalam dan mengangguk pelan. “Aku baik-baik saja.” Tapi itu bohong. Ketika Henry berdiri dari kursinya, memasukkan tangannya ke dalam saku jas dengan ekspresi yang nyaris tak terbaca, Aurora merasakan amarah sekaligus perasaan lain yang tak bisa ia jelaskan. Pria itu telah mengambil segalanya darinya, dan sekarang, ia juga mengambil kendali atas hidupnya di perusahaan. Sebelum Henry berbalik pergi, Aurora berbicara, suaranya rendah tapi tajam. “Kau menikmati ini, bukan?” Henry berhenti di tempatnya, lalu menoleh. Tatapan matanya dalam, ada sesuatu yang mengintai di sana—sebuah emosi
Henry menatapnya dengan serius. “Perusahaan ini memiliki utang yang lebih besar dari yang kau kira. Jika bukan aku yang mengambil alih, maka investor lain yang tidak peduli dengan apa pun selain keuntungan mereka akan melakukannya. Aku tahu betapa pentingnya perusahaan ini bagimu, dan aku tidak bisa membiarkan orang lain menghancurkannya.”Aurora terdiam. Ia memang tahu bahwa kondisi keuangan perusahaannya tidak stabil, tetapi ia tidak menyangka bahwa situasinya seburuk ini.Henry melanjutkan, “Aku tidak bisa memberitahumu sebelumnya, karena aku tahu kau tidak akan mau menerimanya. Aku harus melakukannya dengan cara yang akan memastikan kau tetap memiliki tempat di sini, bukan di bawah kendali orang lain yang hanya ingin meraup keuntungan.”Aurora menatapnya, mencoba mencari kebohongan di wajah pria itu. Tetapi yang ia lihat hanyalah kelelahan dan sesuatu yang menyerupai rasa sakit.Ia menggigit bibirnya. “Kenapa kau peduli?”Henry tertawa kecil, tapi tidak ada kebahagiaan di sana. “A
Ruangan itu langsung hening.Erik mengerjapkan mata, tampak tidak siap dengan jawaban itu. Beberapa orang yang sebelumnya tampak skeptis kini mulai duduk lebih tegak, menunggu reaksi selanjutnya.Aurora tidak memberinya waktu untuk membalas. Ia meletakkan beberapa laporan di atas meja, lalu melanjutkan, "Aku tidak meminta kalian untuk langsung setuju denganku sekarang. Aku hanya ingin kalian memberi kesempatan untuk melihat datanya lebih dalam. Kita akan membahas ulang dalam dua hari. Deal?"Beberapa orang saling bertukar pandang sebelum akhirnya mengangguk pelan.Aurora menahan napas sejenak, merasakan ketegangan di bahunya mulai mengendur. Ini baru langkah pertama, tapi setidaknya ia berhasil mengendalikan situasi.Setelah rapat berakhir, Aurora kembali ke ruangannya. Ia menghempaskan diri ke kursi, membiarkan kepalanya bersandar beberapa detik. Namun, sesuatu di mejanya membuatnya terhenti.Secangkir kopi.Aroma pahit dan hangatnya begitu familiar, menyelinap masuk ke dalam memorin
Henry tidak langsung menjawab. Ia hanya menatapnya lama, sebelum akhirnya berkata dengan suara rendah, "Aku hanya ingin memastikan kau baik-baik saja." Aurora menelan ludah. "Aku baik-baik saja." Henry mengangguk pelan, tetapi tidak pergi. Aurora bisa merasakan udara di antara mereka berubah. Ada sesuatu yang tidak terucap, sesuatu yang menggantung di udara. "Aurora." Henry berbisik, suaranya hampir seperti doa. Aurora menatapnya. "Ya?" Henry menatapnya dalam, seolah-olah ini adalah kesempatan terakhirnya untuk mengatakan sesuatu yang penting. Tetapi pada akhirnya, ia hanya tersenyum kecil, lalu berkata, "Selamat malam!" Aurora hanya bisa menatap punggungnya saat ia pergi, meninggalkan perasaan yang semakin rumit di dalam dadanya.***Keesokan harinya, Aurora berpikir semuanya akan kembali normal, bahwa kejadian di dalam mobil dan di depan pintu kamarnya semalam hanyalah momen sesaat yang bisa ia lupakan. Tetapi Henry membuktikan bahwa ia salah.Saat mereka turun ke lobi hotel u
Aurora mengira malam itu akan berakhir seperti sebelumnya dengan perasaan yang menggantung, dengan kebingungan yang tak kunjung menemukan jalan keluar. Tetapi ketika ia menutup pintu kamarnya, tangannya masih menggenggam erat gantungan kunci yang diberikan Henry. Ia menatap benda kecil itu dalam diam. Bentuknya sederhana, tetapi detailnya menunjukkan perhatian. Henry mengingat bahwa ia menyukai kucing. Henry bahkan ingat inisialnya. Mengapa? Aurora mendesah, meletakkan gantungan kunci itu di meja, tetapi tetap tidak bisa mengalihkan pikirannya. Rasanya Henry selalu ada di sekitarnya, selalu memberikan perhatian-perhatian kecil yang membuatnya goyah. Keesokan harinya, Aurora bangun lebih pagi dari biasanya, berpikir bahwa ia bisa menghindari Henry jika turun ke restoran hotel sebelum pria itu tiba. Tetapi begitu ia memasuki ruangan, matanya langsung menangkap sosok yang duduk di dekat jendela, mengenakan kemeja putih bersih yang dilipat hingga siku. Aurora berhenti sejenak, mempert
Henry masih berdiri di depan pintu setelah Aurora pergi, menatap kosong ke arah koridor yang kini sepi. Pikirannya masih dipenuhi sosok wanita itu—cara matanya membelalak saat ia berbisik di dekatnya, bagaimana wajahnya memerah setiap kali ia menggoda. Sebuah ketukan pelan di pintu mengalihkan perhatiannya. Henry menghela napas dan melangkah ke pintu, membukanya dengan ekspresi datar. Di depan pintu berdiri seorang wanita dengan pakaian formal, rambutnya disanggul rapi, dan wajahnya menunjukkan profesionalisme yang tak tergoyahkan. Clara, sekretaris pribadinya. "Selamat pagi, Pak Wilmington!" sapanya dengan suara tenang. "Saya hanya ingin mengingatkan bahwa Anda masih memiliki satu pertemuan lagi dengan klien jam sepuluh nanti." Henry mengangguk pelan, "Aku mengerti." Clara mengamati ekspresi bosnya yang terlihat sedikit berbeda dari biasany seolah pikirannya sedang berada di tempat lain. "Apakah Anda ingin saya mengatur ulang jadwal jika Anda perlu waktu lebih lama untuk beristi
Pelayan itu menelan ludah. "Tapi kalau Tuan Muda tahu, dia pasti akan marah."Margarita terkekeh pelan, suaranya penuh keyakinan. "Percayalah! Begitu dia tahu alasan di balik ini semua, dia akan berterima kasih."Tiba-tiba, terdengar suara langkah kaki berlari-lari di luar."Ah, akhirnya mereka datang." Margarita buru-buru menutup matanya. Sebelum itu, ia sempat menoleh pada Nicholas dan memperingatkan dengan suara pelan, "Ingat, kau harus terlihat sedih. Kalau perlu, keluarkan air mata. Jika tidak, kau kupecat!"Nicholas menghela napas, bersiap memainkan perannya.Pintu kamar terbuka dengan keras, hampir membentur dinding. Henry masuk lebih dulu, napasnya tersengal, wajahnya penuh kepanikan. Aurora menyusul di belakangnya, matanya dipenuhi kecemasan."Nenek!" Suara mereka berseru hampir bersamaan.Henry langsung berlutut di samping ranjang dan meraih tangan Margarita. Matanya yang biasanya tajam kini tampak kaca-kaca. Dengan suara parau, ia berkata, "Nek, jangan mati dulu! Aku belum
Aurora hanya tersenyum tipis tanpa menjawab. Mereka berkuda selama beberapa menit, menikmati keheningan yang tidak lagi terlalu canggung. Hingga akhirnya, matahari semakin tinggi di langit, menandakan sudah saatnya mereka kembali. "Mau pulang?" tanya Henry. "Ya." Mereka kembali ke kandang, menyerahkan kuda-kuda itu kepada para pekerja. Lalu, berjalan beriringan menuju rumah. Namun, tiba-tiba Henry menghentikan langkahnya. Aurora menoleh, lalu mendapati dirinya terperangkap dalam tatapan pria itu. Mata biru Henry menatapnya dalam-dalam, menelusuri wajahnya seolah sedang mencari sesuatu. Ada keheningan di antara mereka, keheningan yang begitu pekat hingga Aurora bisa mendengar degup jantungnya sendiri. Aurora menelan ludah, mengangkat sedikit dagunya, mencoba menyembunyikan kegelisahannya. Henry tidak mengatakan apa pun. Aurora merasakan lagi energi yang bergejolak di sekitar Henry, seperti badai yang siap meledak kapan saja. Hawa panas yang dipancarkan lelaki itu membuat dadan
"Ada apa kamu datang ke sini?" tanya Henry dingin, suaranya terdengar tajam.Andrew tidak terpengaruh oleh sikap permusuhan Henry. Dengan santai, ia menjawab, "Aku hanya ingin melihat keadaan Aurora di sini. Aku ingin tahu, apakah dia bahagia atau justru merasa tertekan?"Henry tersenyum miring, lalu melirik Aurora. "Seperti yang kamu lihat, Aurora senang berada di sini. Bukankah begitu, Sayang?"Namun, Aurora tidak menjawab. Ia sengaja mengabaikan Henry, membiarkan pria itu semakin kesal, lalu memilih untuk langsung berbicara pada Andrew."Apa yang membuatmu datang ke sini?" tanyanya, nada suaranya terdengar lebih hangat dibanding saat ia berbicara dengan Henry.Andrew tersenyum kecil. "Besok aku akan kembali ke Inggris. Apa kita akan pulang bersama?"Seketika ruangan terasa membeku.Henry menatap tajam Andrew, rahangnya mengeras. "Kalian tidak akan pulang bersama. Aurora akan pulang bersamaku."Jesselyn yang duduk di sampingnya langsung menyenggol kaki Henry di bawah meja, memberi i
"Jadi kamu meragukannya?!" Suara Yolanda bergetar di seberang telepon, dipenuhi kemarahan dan rasa tertantang. "Anak ini adalah darah dagingmu, Henry!"Henry menekan rahangnya, mencoba meredam emosi yang mendadak berkecamuk di dalam dadanya. "Iya." Hanya itu jawaban yang keluar dari bibirnya, singkat dan tanpa emosi."Anak ini milikmu.”Henry tertawa pendek, getir. “Kau sadar betapa absurdnya itu? Kita baru kenal berapa lama? Dan kita hanya tidur sekali, Yolanda. Sekali.”“Aku tahu, Tapi aku tidak tidur dengan siapa pun selain kamu. Kau pikir aku sedang main sandiwara?” suara Yolanda mulai naik.“Dunia ini penuh sandiwara dan kau cukup jago jadi aktrisnya,” balas Henry cepat. “Atau ini bagian dari rencana barumu lagi? Mengikatku dengan cerita kehamilan?”“Kau pikir aku senekat itu? Mengada-ada tentang nyawa yang sedang tumbuh dalam tubuhku?” Yolanda hampir berteriak. “Aku tidak butuh uangmu. Aku hanya ingin kau tahu—aku tidak sendirian dalam urusan ini.”Henry terdiam beberapa detik.
Dengan kecepatan kilat, Henry menarik selimut untuk menutupi tubuh mereka, sementara Aurora buru-buru menyembunyikan wajahnya yang merah padam.Di sisi lain rumah, Margarita duduk di kursi meja makan di teras belakang, yang menghadap taman bunga mawar. Nenek itu menggenggam tongkatnya dengan tenang, matanya berbinar seolah tahu persis apa yang sedang terjadi di dalam rumah. Ia tersenyum kecil. Hari ini akan menjadi hari yang menarik."Mereka itu seperti anak kecil," gumam Margarita dengan nada geli kepada asistennya, Nicholas. Senyum tipis terbentuk di wajahnya, sementara matanya menatap lurus ke arah taman, seolah melihat lebih jauh dari yang tampak di hadapannya. "Mereka pikir aku tidak tahu bahwa mereka sudah bercerai."Wanita tua itu tertawa pelan, nada tawanya sarat dengan kebijaksanaan dan sedikit ironi. "Biarkan saja mereka beranggapan seperti itu."Dengan tenang, ia mengangkat cangkir teh ke bibirnya dan menyeruputnya perlahan."Jadi, Henry membawa Aurora ke kamarnya?" tanyany
Kejujuran Henry membuat Aurora terhenyak. Hatinya berdebar kencang, seolah tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar."Apa aku tidak salah dengar?" pikirnya."Kau serius?" bisiknya ragu, menatap Henry seolah mencari kebohongan di matanya."Tentu saja," jawab Henry tanpa keraguan.Aurora menelan ludah, dadanya terasa sesak. "Saat ini aku tidak bisa menikah lagi denganmu."Henry menghela napas panjang, tetapi tekadnya tak goyah. "Lalu, apa yang harus aku lakukan supaya kamu mau kembali padaku?" tanyanya, suaranya penuh harap, hampir memohon.Aurora menundukkan kepala, menyembunyikan perasaan yang berkecamuk di dalam hatinya. "Tidak ada," katanya lirih, tetapi dingin.Henry menatapnya, mencoba membaca pikirannya. Ia tahu Aurora berbohong. Wanita itu hanya takut membuka kembali luka yang belum sepenuhnya sembuh."Aku mencintaimu, Aurora," ucapnya lembut. "Dan aku ingin kita bersama lagi."Perasaan Henry begitu kuat, begitu nyata. Ia melangkah mendekat, lalu melingkarkan lengannya di
Aurora melihat kopernya tergeletak tak jauh dari tempat tidur. Jantungnya berdetak lebih cepat. Ia segera beranjak ke kamar mandi, membiarkan air dingin menyapu kulitnya yang masih dipenuhi sisa-sisa emosi semalam. Tak ingin membuang waktu, ia mengenakan pakaian dengan tergesa-gesa. Ada seseorang yang ingin segera ditemuinya—Theodore, keponakan Henry yang kini telah berusia lima tahun. Saat ia dan Henry berpisah, bocah itu baru berusia tiga tahun. Saat menuruni tangga, matanya menyapu sudut-sudut rumah sang Nenek. Tidak banyak yang berubah. Rumah megah berlantai lima ini masih terasa terlalu besar dan sunyi baginya. Dulu, saat pertama kali menginjakkan kaki di sini, ia hampir tersesat di dalamnya. Langkahnya terhenti mendadak. Henry muncul di hadapannya, tiba-tiba dan tanpa suara. "Henry!" serunya, terkejut. Salah satu tangannya terangkat ke dada, mencoba meredam detak jantungnya yang berdebar liar. Ia menarik napas dalam-dalam, menoleh ke sekeliling, memastikan tidak ada orang la
Aurora tidak menolak. Sebaliknya, ia menyerah pada ciuman itu, membiarkan hasrat yang terpendam sekian lama kembali menyala. Ia merasakan kehangatan Henry menyelubunginya, memeluknya dalam genggaman yang kuat namun penuh kasih. Ketika bibir mereka saling menjelajahi, napas mereka semakin memburu, tenggelam dalam rasa yang selama ini coba mereka ingkari. Henry menarik Aurora lebih dekat, tubuh mereka saling menempel tanpa celah. Jemarinya menjelajah, mengusap punggungnya dengan sentuhan yang menghantarkan sensasi menggigil di sepanjang tulang belakang wanita itu. Saat Aurora mengerang pelan di antara ciuman mereka, Henry semakin dalam menyesap manisnya bibirnya, menjelajahi setiap sudutnya dengan penuh gairah. Aurora merasakan tubuhnya melebur dalam dekapan Henry. Sentuhan pria itu menghangatkannya, membangkitkan desir di setiap inci kulitnya. Ketika bibir Henry meninggalkan jejak panas di sepanjang lehernya, jantungnya berdebar semakin kencang. Jemari Henry yang besar dan hangat men
Henry hampir melongo. Tetapi, ia cepat-cepat menyesuaikan diri dan memasang senyum. Dengan gerakan spontan, ia merangkul pinggang langsing Aurora, mendekatkannya ke sisinya.Mereka berdua tersenyum—senyuman yang terpaksa, tetapi entah mengapa terasa begitu nyata dan di dalam hati Aurora, sesuatu mulai berubah.Sang Nenek tersenyum hangat sebelum menarik Aurora ke dalam pelukannya. Pelukan yang begitu erat, seakan takut kehilangan. "Aku senang akhirnya bisa melihatmu lagi, Sayang," bisiknya penuh kasih.Aurora terdiam, dadanya terasa sesak. Ada rasa bersalah yang mencengkeram hatinya. Sudah dua tahun berlalu sejak perceraian itu, tapi mereka memilih menyembunyikan kebenaran dari sang Nenek. Mereka takut, terlalu takut jika kenyataan itu akan menghancurkan kesehatan wanita tua itu dan kini, kebohongan itu masih berlanjut."Ayo kita pulang!" suara sang Nenek membuyarkan pikiran Aurora.Saat itu, Henry mendekat, membungkuk sedikit, dan berbisik di telinganya, "Kita akan bicara nanti." Sua