Vins hendak mengusap keningnya yang dialiri darah menggunakan lengan bajunya yang panjang, tapi Lily menghentikan dengan cepat. Tangan kecil itu menggenggam tangan Vins tanpa rasa takut. Dia berusia tiga tahun lebih muda dari tuannya, tapi dia sudah mengerti dengan ketidak adilan yang diterima Vins sejak lama.
"Jangan lakukan itu, aku mohon ikutlah denganku dan biarkan aku mengobati semua lukamu," pinta Lily."Lepaskan aku," bentak Vins dan dengan sedikit tenaga menghempaskan tangan Lily.Meski begitu, Lily yang sempat terdorong kembali memegang tangan Vins dengan kencang. Dia bahkan menarik Vins untuk mengikutinya ke gazebo di halaman belakang rumah."Apa yang kau lakukan?! Jangan kurang ajar! Lepaskan aku!" perintah Vins di tengah kondisinya yang ditarik paksa oleh Lily"Tidak mau! Aku harus mengobati lukamu itu lebih dulu!" tolak Lily dengan suara lebih keras. Dia bahkan menghentikan langkahnya dan menyempatkan untuk menatap Vins dengan tajam meskipun air mata menganggu pandangannya."Aku tidak butuh obat sedikitpun, berhenti menggangguku!" ucap Vins sambil kembali mengikuti langkah Lily.Lily memaksa Vins untuk duduk dengan susah payah. Setelah pria itu melakukan apa yang dia inginkan, tangannya melepaskan bando kain yang melingkar di kepalanya. Dia mengikat kedua tangan Vins dengan kencang dan mengaitkannya pada tiang gazebo agar tuan mudanya tidak pergi kemanapun."Lepaskan aku! Jangan kurang ajar! Kau tidak bisa memperlakukan aku seperti ini! Hei! Lily!" teriak Vins tanpa dihiraukan oleh Lily. Gadis itu berlari ke dalam rumah lewat pintu belakang untuk mencari kotak obat."Sialan," makinya.Dia hanya bisa diam selama beberapa menit sampai Lily kembali dengan dua buah kotak ukuran sedang. Dia menyembunyikan kotak kedua di belakangnya dan membawa kotak pertama ke pangkuannya. Dia membuka kotak itu dan memperlihatkan banyak sekali obat-obatan di sana."Hentikan itu, aku tidak membutuhkannya," ucap Vins."Tubuhmu membutuhkannya, ayo buka pakaianmu," balas Lily."Cih, kau memintaku melakukannya tapi mengikat tanganku."Lily mengangguk, membenarkan perkataan tuannya, lalu mengambil satu lagi kain panjang di dalam sakunya dan mengikat kaki Vins. "Dengan begini, kau tidak akan bisa kabur," katanya."Apa yang kau lakukan? Apa aku budakmu?!" protes Vins."Tentu saja bukan, tapi tolong maafkan aku tuan, jika aku tidak melakukan ini, kau pasti akan kabur, padahal aku tidak berniat membunuhmu, aku hanya ingin mengobati lukamu," oceh Lily. Dia membuka ikatan tangan Vins dan membantunya membuka sweater tebal itu. Jika sudah seperti ini, mau tak mau Vins menuruti kemauan gadis bertubuh kecil di sampingnya. Gadis itu sulit dikalahkan dan sangat keras kepala, entah kenapa. Padahal sudah jelas Vins tidak pernah memedulikannya bahkan selalu bertindak kasar padanya."Shhh ... apa ini perih?" tanya Lily saat kapas yang dibaluri antiseptik menyentuh kulit Vins. Dia terus meringis seolah luka itu ada di tubuhnya sendiri."Tidak," jawab Vins dengan jujur.Sudah lama sekali dia tidak merasakan rasa sakit dan sebagainya, entah kenapa. Setiap dia terluka, tidak ada perasaan seperti itu di tubuhnya. Dia sampai lupa bagaimana rasa yang disebut 'sakit' itu. Tanpa disadarinya, Vins sudah menjadi pengidap Congenital Insensivity to Pain with Anhidrosis."Kau selalu mengatakan itu," lirih Lily dengan suara tercekat. Dia menangisi tubuh Vins yang penuh luka seolah Vinsmoke akan segera mati tak berdaya."Sudahlah, lakukan saja dengan cepat."Vins memainkan ponselnya selama Lily bekerja. Dia sama sekali tidak terganggu dengan tubuhnya yang diraba-raba oleh gadis itu, dia tidak peduli."Aku baru sadar ada tatto di perutmu," ucap Lily. Dia menatap goresan tinta yang melekat di atas kulit Vins dengan seksama. "Apa artinya bunga yang ditusuk pedang ini?" Dahi Vins berkerut. Dia ikut menatap ke bagian bawah tubuhnya. Sedikit ke kiri dari pusarnya, ada gambar yang entah dari mana datangnya. Vins sama sekali tidak ingat pernah membuat tatto, apalagi di bagian tubuh yang itu."Aku tidak merasa pernah membuatnya," ujar Vins."Apa maksudmu? Tatto ini tiba-tiba munc–""Tolong aku.""Kenapa kau berbisik padaku?!" bentak Vins saat suara itu muncul di pendengarannya. Bisikan itu sangat jelas seolah orang yang mengatakannya ada di sebelah Vins. Dia menatap Lily yang terkejut hingga menjatuhkan kapas di tangannya."Apa yang sedang kau lakukan?!" tanya Vins lagi."A–aku tidak melakukan apapun, tuan," jawab Lily."Lalu dari mana datangnya bisikan itu?! Kau ingin membuatku terlihat gila, hah?!""Tapi aku tidak melakukan apapun," bantah Lily lagi."Aku sangat membutuhkan kalian.""Berhenti berbisik padaku sialan!" Vins mulai kesal kepada Lily. Dia membuka paksa ikatan di kakinya lalu melempar benda itu kepada Lily."Tuan, tunggu! Luka–""Persetan dengan luka ini! Berhentilah ikut campur atau aku akan mengusirmu dan keluargamu dari sini! Ingat statusmu! Kau hanya pelayanku, jangan melewati batas!" ancam Vins setelah interupsi Lily.Dia yang sudah siap ingin pergi sampai membalikkan tubuh dan menunjuk Lily dengan jari telunjuknya. Tiba-tiba saja emosinya memuncak ke ubun-ubun. Dia mendesak Lily hingga tanpa sadar Lily menyenggol satu kotak lain yang disembunyikannya sejak tadi. Kotak itu jatuh ke lantai gazebo dan memperlihatkan kue ulang tahun yang hancur."T–tap–""Sudah kubilang berhenti ikut campur! Perhatikan batasanmu, pelayan," potong Vins lalu benar-benar pergi dari sana, meninggalkan Lily dengan tangisnya.Lily menatap kue ulang tahun yang hancur itu. Padahal dia sudah menyiapkannya dan menunggu Vins pulang. Ini adalah hari ulang tahunnya dan seharusnya dia mendapatkan perayaan. Namun, yang terjadi malah pertengkaran itu. Bahkan kini Vins marah kepadanya tanpa sebab. Lily tidak tahu di mana kesalahannya, tapi Lily merasa menyesal karena membuat Vins kesal.*****"How does it feel when you are no longer in pain? Is it a gift or a punishment?"Vins meneguk minuman keras yang ada di tangannya. Dia seperti orang yang kehausan selama tiga hari. Namun, bukannya minum air mineral, dia malah minum alkohol. "Berani sekali dia masuk ke dalam kamarku seperti itu," kesal Vins. Dia mengingat kembali kejadian malam kemarin saat dirinya sedang dalam pengaruh alkohol. Dia sedang tertidur dengan nyaman, tapi tiba-tiba saja seseorang berbisik padanya dan terus meminta tolong. Vins sudah mengusirnya berkali-kali meskipun tanpa membuka matanya yang terpejam. Namun, wanita itu tidak juga pergi selama beberapa saat. Kini dia tahu bisikan itu berasal dari Lily. Bisikan di taman belakang tadi sudah membuktikan semuanya. Apa yang sedang direncanakan gadis itu? Apa dia sedang mencoba untuk menggoda Vins?"Minuman jenis apa ini?! Kenapa tidak memberikan efek apapun?! Berikan aku sesuatu yang lebih!" bentak Vins kepada para bartender khusus yang menjamunya. "Tuan, apa kau tidak puas dengan pelayanan mereka? Maukah kau jika aku yang melayanimu?" g
Palembang, Indonesia.***"Kau lihat pria yang sedang duduk di bawah pohon itu?" "Wah, dia tampan sekali, kenapa dia diam di sana sendiri?" Mereka menatap seorang pria yang memiliki tinggi lebih dari enam kaki itu. Dia terlihat tenang dengan headphone yang menutupi kedua telinganya. Matanya tidak bergerak sedikitpun dari buku yang entah apa judulnya itu. Yang jelas, dia terlihat sangat menikmati dunianya sendiri. "Dia Neve Alba, mahasiswa tahun terakhir yang kabarnya sama sekali tidak pernah memulai interaksi dan pembicaraan dengan siapapun selama dia kuliah di sini," jelas wanita pertama kepada juniornya. "Benarkah?" Wanita kedua yang baru memulai masa kuliahnya itu menatap tertarik pada Neve yang berada tak jauh darinya. "Ya, dia sama sekali tidak pernah berinteraksi dengan kemauannya sendiri. Meski begitu, dia memiliki banyak penggemar dan para pria tidak ingin mengganggunya." "Kenapa?" tanya seorang pria yang juga merupakan mahasiswa ta
Prediksi semua orang benar, Neve menang, sekali lagi. Namun, Neve sama sekali tidak peduli. Dia hanya ingin menjalani harinya dengan tenang. Diraihnya tas yang tergeletak di pinggir lapangan. Baru saja dia ingin pergi, tapi seseorang menghentikannya. Gadis itu, yang menjadikan dirinya sendiri sebagai barang taruhan. "Kau menang," ucap Zia. Dia datang dengan senyum yang merekah, entah apa yang sedang dia pikirkan di otaknya yang kecil itu. Sementara itu, Jack, pacarnya yang baru saja dikalahkan memandang tidak suka pada Neve. Dia sama sekali tidak rela pacarnya direbut dengan cara seperti ini. Namun, dia sendiri sudah menyetujui hal itu. "Aidan!" panggil Neve. Untuk pertama kalinya pria itu membuka mulut lebih dulu dan menyebut nama orang lain. Aidan yang dipanggil pun merasa terkejut, begitu juga dengan semua orang yang mendengar. Aidan langsung mendatangi Neve sambil berlari. "Kau memanggilku? Serius? Hahaha akhirnya kau memanggilku!" serunya. Dia bahk
"Neve?!" Beberapa saat lalu, Srikandi entah kenapa merasa tidak enak, seperti ada sesuatu yang buruk terjadi. Dia sulit tidur dan memutuskan untuk mengambil minum ke dapur. Namun, saat kakinya melewati kamar Neve, Srikandi mendengar rintihan seperti menahan sakit. Dia memanggil anaknya itu berkali-kali, tapi sama sekali tidak ada jawaban. Yang didengarnya malah rintihan menahan sakit. Tanpa banyak bicara Srikandi mengambil kunci cadangan yang dia punya dan kembali ke depan kamar Neve. Dia membuka paksa pintu itu dan masuk ke dalam kamar. "Neve?!" Dia sangat terkejut saat melihat tubuh Neve mengeluarkan cahaya dan Neve sendiri berkeringat. Neve jelas sedang kesakitan saat ini. "Neve? Dengar, Nak, ini ibu, apa kau bisa mendengarku?" ucap Srikandi sambil menepuk-nepuk pelan pipi Neve. "AAKHHH!!!" Tiba-tiba saja Neve berteriak kencang dan menutup telinganya. Di dalam sana, Neve kembali mendengar dengung yang sangat me
Karibia, Puerto Rico. ***Sylphide Aure, gadis bertubuh kecil tersebut menatap takut kepada pria yang sedang memegang botol minuman keras di depannya. Pria beruban itu sempoyongan karena mabuk, bahkan dia tidak bisa menyeimbangkan tubuhnya untuk berdiri tegak. Sylphide menggenggam erat ujung dress-nya, mencoba untuk mengumpulkan keberanian. "A–ayah ... a–apa kau b–baik-baik saja? A–apa kau membutuhkan s–sesuatu?" tanya gadis itu. Karena tidak mendapatkan jawaban, Sylphide kembali membuka mulutnya. "A–ayah? AAAKHH!" Sayang sekali, tanpa aba-aba Sylphide mendapatkan lemparan botol yang sejak tadi dipegang Karl. Beruntung benda berbahan kaca itu tidak mengenai Sylphide secara langsung tapi pecah di dinding tepat di samping wajahnya.Sylphide menutup kepalanya dengan kedua tangan karena terlalu takut dan terkejut. Dia tidak mengerti di mana kesalahan yang dibuatnya. Bahkan hal ini terjadi hampir setiap hari. Ayahnya selalu marah
Langit malamnya cukup indah kali ini. Laut menjadi cermin besar yang memantulkan pemandangan ribuan bintang. Sylphide bisa merasakan ketenangan di tengah kesepiannya. Sendirian memang, tapi setidaknya tidak ada tekanan dari mana pun. Dengan netra hazelnya, Sylphide menangkap sosok wanita yang berdiri di ujung pantai. Rambut wanita itu melambai-lambai mengikuti arah angin. Dress putihnya seperti bersinar di tengah malam yang gelap. Apa dia sosok bulan yang sebenarnya? Sylphide bahkan tidak bisa untuk mengalihkan tatapan darinya. Dia sangat sempurna. Sylphide bisa mengetahui hal itu meskipun wanita tersebut membelakanginya. "Jika kau mendengarku," ucap wanita itu tiba-tiba. Padahal jarak di antara mereka cukup jauh, tapi suaranya terdengar sangat jelas di telinga Sylphide. Sylphide bingung, kepada siapa wanita itu bicara? Tidak ada siapapun di sini selain mereka. Apa mungkin bicara kepadanya? Namun, mereka sama sekali tidak saling mengenal."Aku
Setelah diselidiki, Karl terbukti melakukan kekerasan kepada Sylphide dan diancam hukuman penjara. Para penyidik merasa tidak puas dengan hal ini. Bukan karena hukumannya, tapi kasus rumah yang berantakan nyaris hancur itu sama sekali tidak bisa mereka simpulkan. Mereka memutuskan untuk menutup kasus tersebut, tapi mereka tidak bisa menutupi rasa penasaran di dalam hatinya. Sylphide dijanjikan perlindungan dan keamanan. Namun, Sylphide diharuskan selalu terbuka pada mereka. Katanya, Sylphide tidak perlu takut lagi pada Karl karena pria itu sudah dipenjara.Sejak saat itu juga, Sylphide terus mendengar suara dengungan dan permintaan tolong dari seorang wanita di dalam otaknya. Dia bahkan berhalusinasi, melihat seorang wanita yang Sylphide duga adalah sumber dari suara itu di tepi pantai malam. Penjelasan dari psikiaternya sama sekali tidak bisa dia cerna dengan baik. Konsentrasinya terbagi menjadi beberapa bagian. Beruntung kewarasan otaknya masih ada. "S
Mereka tertawa dengan kencang. Menikmati setiap detik kegelisahan yang Sylphide rasakan. Mereka bahkan tidak peduli apakah Sylphide kesakitan atau tidak. Yang jelas mereka bersenang-senang. Mungkin setan pun akan ikut tertawa melihat Sylphide yang tidak bisa melakukan apapun. Gunting yang dipegang salah satunya terlihat sangat menyeramkan bagi Sylphide. Dia tidak tahu apa yang akan mereka lakukan, yang jelas hal itu adalah sesuatu yang buruk. Ketika ujung gunting itu hampir sampai di rambut Sylphide, seseorang berteriak. Nada suara yang sedikit tinggi itu mengalihkan perhatian mereka semua. Mereka menatap anak itu bersamaan. Dia dengan wajahnya yang diusahakan terlihat garang mengangkat tinggi-tinggi sebuah ponsel. "Hahaha! Aku tahu kalian akan takut! Aku merekam kalian dan akan melaporkan kalian!" ucapnya.Kedua perundung itu terdiam sejenak, mencerna apa yang sedang mereka lihat. Namun, sedetik kemudian mereka tertawa lebar. Mereka bahkan mem