Share

6. Vinsmoke Alroy: Rat

Author: Eshalliee
last update Last Updated: 2022-06-10 09:14:59

Rio de Janeiro, Brasil.

***

"Lusa nanti ayah akan mengundang banyak tamu penting ke rumah. Sebaiknya kalian tidak banyak bertingkah dan memperlihatkan sikap yang baik."

Vins tidak mendengarkan perkataan ayahnya dengan baik. Dia memainkan makanannya menggunakan pisau. Menusuknya dengan brutal kemudian mencincangnya sampai menjadi bubur. Sementara itu, ibu dan saudaranya sedang makan dengan tenang sambil mendengarkan perkataan kepala keluarga di sana.

"Kau mendengarku, Vins?" tegur William, ayah dari Vins, setelah melihat sikap anaknya.

"Tidak," jawab Vins dengan santai. Dia masih mengaduk-aduk makanannya hingga menjadi tidak berbentuk.

"Apa?!"

"Apa kau tuli? Kau menanyaiku apa aku mendengarmu atau tidak, tapi kau sendiri tidak mendengarku," ejeknya.

"Berani sekali kau mengejek ayahmu seperti itu! Berhentilah membuat masalah, aku terus mendapat laporan karena kau mengacau."

"Benarkah? Masalah mana yang kau bicarakan? Aku tidak mengingatnya satupun. Lagipula, untuk apa mereka mengatakannya padamu? Apa hubunganmu denganku?" Vins mulai mengalihkan tatapannya kepada William. Kedua manik hitam itu saling bertemu dalam satu garis. Membuat suasana menjadi semakin tegang.

"Karena kau anakku, maka mereka melaporkannya padaku! Jika kau mengerti itu, seharusnya kau tidak melakukan apapun yang buruk dan membuatku repot karena terus membersihkan namamu!"

"Jadi kau ayahku? Sejak kapan?"

BUGH!!

Sebuah gelas melayang dan menabrak kening Vins dengan sempurna lalu pecah begitu saja. Akibatnya, kening Vins sobek dan terluka. Darah mengalir di sana dengan perlahan. Namun, Vins tidak merasa kesakitan, dia malah tersenyum dan tertawa lebar.

"BAWAKAN CAMBUK ITU!"

"Kenapa kau marah? Apa aku melakukan kesalahan? Kau memang bukan ayahku, berhentilah bertingkah seolah apa yang kukatakan itu salah."

Seorang pelayan langsung menuruti perkataan tuannya tanpa membantah. William mengambil cambuk besar itu dan mendekati Vins. Tanpa mengatakan apapun William menarik kerah Vins dan mendorongnya ke lantai. Dengan tubuh yang terduduk itu, Vins mendapatkan cambukan bertubi-tubi yang melukai tubuhnya.

"Kau semakin lemah, ini tidak ada rasanya," ejek Vins seolah menantang kemarahan William.

Pria itu semakin menguatkan cengkeramannya pada cambuk itu dan memusatkan perhatiannya untuk Vins. Dia benar-benar bertekad mengalahkan anaknya yang sulit diatur. Sementara itu, wanita yang seharusnya dipanggil ibu oleh Vins malah terus makan bersama anaknya yang lain dengan tenang. Dia seolah tidak melihat apa yang sedang terjadi.

"Sebenarnya apa yang kau pikirkan? Aku mengatakan kebenaran bahwa kau bukan ayahku. Oleh karena itu urus saja dirimu sendiri dan aku akan mengurus diriku sendiri," ucap Vins dengan santai. Dia bahkan tertawa kecil untuk menunjukkan secara terang-terangan bahwa dirinya sedang mengejek.

"Berhentilah bicara!" bentak William dengan suara menggelegar. Napasnya mulai memburu sementara Vins menatap pria tua itu seolah dia tidak merasakan apapun di bawah sana. Dia hanya tersenyum dan menyeringai melihat pria berusia lima puluhan itu. Tubuh tegapnya sama sekali tidak terlihat menyeramkan di mata Vins.

Setelah merasa lelah, William membuang cambuknya ke sembarang arah. Dia memperbaiki setelan jasnya yang berantakan lalu kembali ke meja makan seolah tidak pernah terjadi apapun. Dia meninggalkan Vins tanpa menoleh ke belakang.

"Dengarkan aku," ucap Vins sambil berdiri menghadap keluarga kecil yang bahagia itu.

"Aku adalah anak dari kakakmu yang kau bunuh dengan sengaja. Aku adalah sandera yang kalian gunakan untuk memeras semua warisan kakekku yang seharusnya menjadi milik ayahku."

Vins kembali mengingatkan mereka kepada kenyataan yang sebenarnya itu. Kenyataan bahwa lima belas tahun yang lalu William meminta orang lain untuk menyabotase kendaraan orang tua asli Vins. Rencana yang berhasil itu menjadi awal dari sandiwara mereka yang gagal. Mereka bersikap manis kepada Vins pada awalnya. Namun, sejak Vins tahu kebenarannya tanpa sengaja, mereka mulai memperlihatkan taring tumpulnya. Mereka hanya bisa mempermainkan Vins tanpa bisa membunuhnya. Semua itu karena hak waris masih menjadi milik Vins dan belum berhasil mereka ubah karena ayah William mati lebih dulu.

Tanpa rasa malu mereka menggunakan harta Vins yang melimpah. Mereka bahkan menggunakan kekerasan kepada Vins selama bertahun-tahun. Mereka hanya tidak menyadari bahwa Vins sedang menyusun rencana untuk balas dendam. Dia hanya menunggu waktu yang tepat untuk menjatuhkan mereka semua dengan satu serangan.

"Ya, kalian tenang saja, aku bukan anak cengeng yang senang mengadu. Tapi, bukankah seharusnya kalian menengadahkan tangan jika ingin meminta uang dari orang lain? Apa tangan kalian terlalu berat? Jika iya aku akan menghancurkannya untuk kalian." Itu adalah ancaman pertama dari Vins. Alhasil, mereka terkejut dan merasa merinding mendengarnya. Belum lagi wajah Vins yang berdarah dan menyeringai. Dia terlihat seperti iblis yang baru saja dikeluarkan dari neraka.

"Baiklah, nikmati makanannya, jika perut kalian belum merasa puas, gunakan saja uangku tanpa rasa malu, seperti yang biasa kalian lakukan, seperti anjing jalanan yang terus menggonggong pada orang yang sudah memberinya makan."

Vins meninggalkan ruang makan setelah mengatakan itu. Di dalam hati, dia merasa kesal pada dirinya sendiri karena dia tidak bisa melakukan apapun dengan lebih cepat. Dia terus membandingkan keluarga itu dengan anjing kotor, tapi dia juga merasa bahwa dirinya hanya seekor tikus kecil yang tidak memiliki kekuatan apapun.

Semua orang berpihak pada William karena kekuasaannya. Semua bukti dibawa mati oleh orang tua kandung Vins hingga dia tidak menemukan satu celah pun untuk menjatuhkan William. Semua orang menutup mata dari apa yang terjadi padanya. Benar-benar pecundang yang menyebalkan. Dia bahkan membutuhkan banyak waktu untuk membuat satu celah kecil.

"Tuan muda," panggil seorang gadis saat Vinsmoke hendak masuk ke mobilnya.

Panggilan itu membuat Vins berhenti. Dia membalikkan tubuhnya dan menatap gadis dengan pakaian khusus pelayan di rumah ini.

"A–apa kau baik-baik saja?" tanya Lily dengan wajah berlinang air mata.

Tadi dia menyaksikan semua pertengkaran majikannya dalam diam. Dia ingin membantu Vins tapi orang tuanya melarang. Dia sangat ketakutan saat melihat darah mengalir di kening Vins dan cambuk yang terus menghantam tubuh itu.

"Apa yang kau lakukan di sini?"

*****

"Some wounds are too painful to heal."

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Atlantis: Para Keturunan Terakhir   30. Destined Meeting

    Adrea menatap wajahnya di cermin. Bayangan cantik yang sangat dibencinya itu benar-benar membuat Adrea muak. Seakan terus mengingatkan Adrea tentang seberapa kotor dirinya. Dulu, Adrea bahkan tidak ingin bercermin sedetik pun. Namun, kini dia merasa lelah. Rasanya masih menyakitkan, masih membuat hatinya marah, tapi Adrea sudah tidak memiliki kemampuan untuk mengungkapkannya dan hal ini adalah yang paling menyedihkan. Setelah berhari-hari bahkan berminggu-minggu Adrea memohon, tidak ada siapa pun yang datang untuk menolongnya. Sampai semalam pun Adrea masih memohon dan berdoa untuk kehadiran mereka, dia masih percaya. Meski begitu, kini dia merasa segalanya mustahil. Bantuan itu tidak akan pernah datang. "Apa yang sedang kau pikirkan?" Tiba-tiba saja sepasang tangan melingkar di pinggang Adrea. Raja itu datang begitu saja dengan kekuatannya. Adrea sudah terbiasa, dia bahkan tidak terkejut lagi. Adrea hanya membiarkan pria itu memeluknya dari belakang dan menghirup aroma tubuh yang

  • Atlantis: Para Keturunan Terakhir   29. Drama and Screenplay

    Tepat di malam itu, berita-berita tentang gempa yang terjadi di kota mereka mulai muncul satu per satu. Informasi menyebar dengan sangat cepat. Seluruh proyektor yang ada di negeri itu menampilkan sinar biru yang membentuk berita tiga dimensi. Mereka bisa melihat dengan jelas depan belakang si pembawa acara dan kondisi tempat-tempat yang diliput para reporter. Di antara banyaknya tempat yang terdampak, ada satu tempat yang hancur total. Semuanya runtuh dan merata dengan tanah. Bahkan setelah itu terjadi masalah listrik yang mengakibatkan kobaran api muncul dan membesar di sana. Dua kecelakaan itu terjadi dengan mendadak hingga tidak ada yang mewaspadainya. Tidak ada peringatan dari organisasi yang menangani masalah bencana alam. Bahkan alat pendeteksi api rusak sebelum sempat mengeluarkan sirinenya. Riany, ibu Eve menangis tersedu-sedu setelah menyadari anaknya itu sedang berada di sana saat kejadian. Petugas yang menangani masalah ini mengatakan bahwa dia mungkin tertimbun dan ter

  • Atlantis: Para Keturunan Terakhir   28. Time

    Gaia menatap tubuh yang sudah tidak bernyawa di hadapannya. Tidak seperti yang dia bayangkan, ternyata Eve sangat lemah. Padahal Gaia baru bersenang-senang selama beberapa jam. Sayang sekali. Tubuh Eve terlihat kacau. Rambutnya yang terpotong tak karuan, sekujur tubuhnya yang dikuliti, dan wajah yang penuh darah. Beruntung tidak ada satu bagian tubuhnya yang terpisah, kecuali satu. Gaia melihat kembali sebuah bola mata yang dia simpan di dalam wadah berbentuk tabung. Hanya mata berwarna hazel itu yang bisa menjadi kenangan untuk Gaia. Bagaimana pun Gaia harus mengingat Eve yang sudah menemaninya bermain. "Aku tidak tertarik pada bangkai," ucap Gaia. Gadis itu berdiri dan menatap rendah mayat tak berdaya Eve. Rambut pendeknya terlihat sempurna untuk gadis itu, tapi Eve harus merelakan Gaia karena dia harus berhenti di sini. Eve sudah tidak menarik di matanya. "Aku akan meratakan tempat ini dengan tanah, sebaiknya kau sedikit menjauh jika tidak ingin terkubur." Gaia membalikkan tubu

  • Atlantis: Para Keturunan Terakhir   27. Hunter

    Semuanya menjadi hening saat Eve tidak melontarkan kalimat dinginnya lagi. Mereka bahkan bisa mendengar suara angin berdesir. Malam yang sepi itu semakin terasa dingin. Padahal tidak ada tragedi yang terjadi di sana. Setidaknya belum terjadi. "Baiklah, maafkan aku, aku akan mengajarimu setelah aku menemukan ibuku," ucap Eve akhirnya. Gaia mengulum bibir bawahnya beberapa kali. Dia sedang menimbang-nimbang, apakah harus memaafkan Eve atau tidak. Selang beberapa menit, akhirnya, gadis itu menganggukkan kepala. "Baiklah, aku maafkan," ucapnya. Eve menjawab dengan anggukan lalu langsung berbalik badan, berniat mencari ibunya lagi. Namun, ketika dia ingin melangkah, kakinya tertahan oleh sesuatu. Tanpa Eve sadari kakinya tertanam di dalam tanah. Dia menatap sekitar lantai yang tadinya dilapisi keramik kini berubah menjadi tanah sepenuhnya. Tanah itu terlihat seperti pasir yang ada di pantai, tapi saat Eve mencoba bergerak, pasir-pasir itu mengeras seperti tanah liat. "Kau berniat untu

  • Atlantis: Para Keturunan Terakhir   26. Knitted

    Mereka menikmati makanannya dengan lahap. Tidak ada yang bisa membuat mereka berhenti makan di rumah yang juga merupakan sebuah kedai ini. Para gelandangan itu terkesan sudah menahan lapar selama tiga hari. "Aku pula-" Seorang gadis datang dan mengalihkan perhatian mereka semua. Ke tujuh orang tersebut saling pandang dengan gadis berwajah manis itu. Gadis itu menggunakan nada yang ceria tadi, tapi dia mulai menatap dengan pandangan tidak suka setelah menyadari kehadiran tujuh orang yang asing di tempatnya. "Eve? Kau sudah pulang?" sahut si ibu yang baru saja keluar dari dapur. "Ibu? Siapa mereka semua?" tanya gadis yang dipanggil Eve tersebut dengan nada ketus.Ibunya hanya bisa tersenyum tidak enak kepada para gelandangan yang dia bawa lalu mengajak paksa anaknya ke tempat lain di rumah. Setelah mereka menghilang, Gaia memutuskan untuk kembali makan diikuti yang lain. Sementara itu, di dalam dapur, sepasang ibu dan anak sedang berdebat mengenai hal yang sudah pernah mereka bicara

  • Atlantis: Para Keturunan Terakhir   25. Hidden City

    "Berapa lama lagi kita akan berjalan?" tanya Gaia. Untuk ke sekian kalinya Gaia melihat ke atas langit hanya untuk memastikan apa awan sudah berbaik hati menutupi matahari. Namun, nyatanya matahari itu masih bersinar dengan sombong. Dia bahkan tidak mau mengalah dan menurunkan panasnya sedikit. Hampir seharian mereka terluntang-lantung di tempat aneh ini tanpa makan dan minum. Mereka bahkan tidak memiliki tujuan, hanya berjalan tanpa arah. Keringat pun sudah mengalir di sekujur tubuh mereka. Padahal mereka sudah meninggalkan kawasan laut cukup jauh dan ini pun bukan padang pasir. Hanya lapangan hijau dan dikelilingi pohon-pohon besar. Mereka memutuskan untuk mengambil jalan tengah sejak tadi karena takut berurusan dengan hewan buas jika melewati pohon-pohon besar itu. Akan lebih parah jika mereka tersesat tanpa persiapan apa pun. "Aku lapar," keluh Gaia lagi. Matanya sudah mulai berkabut. Meski begitu, dia masih berusaha mengendalikan dirinya sekuat mungkin agar tetap sadar. "Aku–

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status