"M-Maaf, Pak! Ada apa, ya?" Rose mencoba untuk menenangkan hatinya. Sentuhan itu membuat dirinya bagai tersengat aliran listrik 1000 volt.
"Kamu sudah menunda hasratku. Aku menuntutmu untuk menuntaskan keinginanku yang tertunda." Zain mendekat, hingga Rose bisa merasakan deru napasnya yang tidak teratur.
"J-Jangan, Pak! Aku mohon …." Rose tidak bisa berlari, ia sudah berada di bawah kungkungan sang CEO. Dimana ia harus menggantikan peran istrinya, Nadia.
"Apa Kamu sudah melupakan masa lalu Kita, Diana Rosalina?"
"A-Apa? Apa yang Anda bicarakan? Saya tidak mengerti, Pak."
Rose, berusaha untuk meredam detak jantungnya. Ia bisa mendengar dengan telinganya sendiri, betapa cepat ritme yang berpacu saat ini.
"Jangan berpura-pura, Rose! Angkat wajahmu jika sedang bicara denganku."
Tubuh Rose terhimpit di tepi meja. Ia menatap takut ke arah, Zain. Kedua tangannya disilangkan di depan dada. Perempuan itu sebisa mungkin mengantisipasi kemungkinan yang akan terjadi.
'Aduh! Mati aku ….' (Batin Rose, berkata).
"Bisa Kamu ceritakan, apa yang telah terjadi selama aku pergi?" Zain menuntut kejujuran dari wanita yang sudah ditinggalkannya selama 5 tahun ini.
Rose menelan salivanya dengan alot. Mulutnya terkunci seketika, saat Zain menunggu jawaban darinya.
"Anda salah orang, Pak! M-Maaf, saya harus melanjutkan pekerjaan," Rose mengelak, ia mencari alasan agar bisa lepas dari cengkraman sang CEO.
"Jangan membodohiku! Aku sudah tahu semuanya." Wajahnya semakin mendekat. Rose menahan agar tubuhnya tidak jatuh terjengkang ke belakang.
Dengan sengaja Zain memegang sebelah pinggulnya. Perempuan itu semakin tak bisa berkutik, ia benar-benar seperti mayat hidup yang kehabisan oksigen.
Rose berusaha untuk menyimpan rapat-rapat masa lalunya. Ia tidak ingin Zain mengambil Dania dari tangannya.
"T-Tidak, Pak! Bisakah Anda sedikit mundur, saya tidak bisa bernapas jika Anda memperlakukan saya seperti ini." Rose sedikit mendorong dada Zain yang bidang. Tapi sayang, karena terlalu dekat jarak di antara mereka. Pria maskulin itu, hampir saja menyentuh bibirnya yang merona.
'Sial! Apa maksud dari semua ini? Apakah dia akan mengambil anakku?' (Tanya Rose dalam hatinya).
"Kenapa? Dulu Kamu sangat suka jika aku memelukmu."
Memang Rose akui, ia akan menelusupkan kepalanya di dada Zain yang beraroma musk. Bahkan tak segan berlama-lama di sana hanya untuk sekedar bermanja.
"Apakah aku harus memaksamu, agar Kamu mau mengaku?" sebelah alis Zain terangkat, membuat Rose bergidik ngeri saat melihatnya. Sedangkan ia belum bisa memaafkan kejadian 5 tahun yang lalu.
"Mengaku untuk apa?" mendadak raut wajah Rose berubah menjadi serius.
"Rose," jakun Zain naik turun saat melihat dengan jelas perubahan sikap perempuan yang pernah singgah di hatinya itu.
"Mulai detik ini, jangan memikirkan apapun tentangku. Fokus saja dengan masa depanmu. Kita jalani hidup masing-masing, oke!" nada suaranya ditekan agar Zain bisa melepaskan dirinya.
"Tidak bisa begitu, Rose." Zain tidak mau mengalah sedikitpun.
"Sudahlah! Apa yang Kamu inginkan dariku? Bukankah sudah ada Nadia yang mencintaimu dengan tulus?"
Zain mengurai tubuhnya untuk memberi ruang pada, Rose. Wajahnya mendadak tidak bersemangat setelah beberapa menit yang lalu ia tampak bergairah.
"Lupakan aku, aku mohon." Rose mengiba, ia hanya ingin fokus bekerja demi menghidupi putri kecilnya.
"Kenapa tidak bilang padaku jika Kamu sedang hamil?" Zain menatapnya dengan tajam.
Rose berdiri mematung di atas lantai keramik. Tapi tubuhnya terasa ringan melayang ketika mendengar pertanyaan dari, Zain.
"Jadi, dia anakku?" Zain langsung menjawab pertanyaannya sendiri.
Rose gugup, ia ingin lekas pergi dari hadapan Zain. Tapi, cekalan pada lengannya membuat langkah Rose terhenti.
Keduanya saling menatap sengit. Tak dapat dipungkiri jika saat ini perasaan mereka campur aduk antara benci dan juga rindu.
"Jangan sembunyikan putriku, Rose! Dia anakku, darah dagingku. Dia satu-satunya pewaris keluarga, Dimitri." Bisiknya dengan tatapan berkilat.
"Jangan mimpi, Zain! Menjauhlah dari Kami!" balas Rose yang tidak ingin kebahagiaannya terusik.
"Kami lebih bahagia tanpa adanya Kamu. Jangan pernah mengganggu kebahagiaan Kami!" sambungnya sambil menyentak cekalan Zain dari dirinya.
Rose cepat pergi dari hadapan, Zain. Ia melenggang begitu saja, hingga menghilang di balik tembok ruangan.
Zain, merasakan tubuhnya lemas tak bertulang. Baru kali ini ia mendapatkan penolakan dari, Rose. Zain melonggarkan kerahnya yang berdasi, lalu menghempaskan bobot tubuhnya di atas sofa yang empuk.
"Tidak bisa dibiarkan, bukan seperti ini yang aku harapkan …." gumam Zain dengan hembusan napas yang berat.
***
"Nadine!"
Rose menghampiri meja sahabatnya dengan wajah yang masam.
"Hem, ada apa kok teriak-teriak?" jawab Nadine dengan santai. Ia masih berkutat dengan pekerjaannya.
"Satu pertanyaan seratus ribu, Rose!" Nadine bicara tanpa melihatnya.
"Kenapa Kamu nggak bilang kalau pemilik perusahaan ini adalah keluarga, Dimitri?" ia menyilangkan kedua tangannya di dada.
Nadine mengangkat wajahnya, ia menautkan kedua alisnya saat pandangan mereka bertemu.
"Memangnya kenapa? Apa penting buat Kamu untuk mengetahui, riwayat bos Kita asal usulnya dari mana?" Nadine membuka kedua telapak tangannya dengan lebar.
"Yang penting kerja, kan?" Nadine kembali menunduk dan melanjutkan pekerjaannya kembali.
"Penting! Penting banget, Dine." Ujar Rose dengan suara yang terdengar kesal.
Nadine meletakkan pulpennya. Ia kembali menatap Rose yang sepertinya memang benar-benar marah.
"Duduk dulu! Ada yang ingin Kamu bicarakan denganku? Katakanlah Rose, aku akan menjadi pendengar yang baik."
Ia melihat sahabatnya tersebut tengah menahan emosi. Napasnya terlihat naik turun seperti sebuah permainan roller coaster.
Bruk!
Ia melempar berkas di atas meja Nadine dengan kasar. Kemudian menghembuskan napas untuk membuang amarahnya.
Nadine meliriknya dari balik meja. Ia tidak memotong tindakan Rose, agar perempuan tersebut bisa melampiaskan emosinya dengan lega.
"Andai saja aku tahu. Perusahaan garmen ini adalah milik keluarga, Dimitri. Nggak bakalan aku melamar kerja di tempat ini." Rose menekan jari telunjuknya tepat di atas berkas yang ia lempar.
"Kenapa? Apa ada yang belum aku ketahui tentang masalah ini darimu?" dahi Nadine berkerut, ia menatap heran pada sahabat baiknya itu.
Rose diam sesaat, ia melirik sekilas ke arah Nadine kemudian membuang muka ke arah lain. Berulang kali ia mengambil napas panjang dan menghembuskannya dengan kasar. Pertemuannya dengan Zain, secara tidak sengaja merubah nasibnya kembali.
"Kacau …." ia berkata dengan lirih, tangannya mengusap wajah dengan perlahan.
Nadine masih menunggu dengan sabar, ia ingin tahu duduk permasalahan yang sebenarnya.
"Apa karena, Brian?" selidik Nadine tidak sabar.
Rose menoleh dengan tatapan tajam. Pendengarannya terusik saat mendengar satu nama. Sebuah nama yang akhir-akhir ini mengganggunya siang dan malam.
"Dia akan mengambil, Nadia!" jawabnya dengan penuh tekanan.
"A-Apa? Siapa yang mau mengambil, Dania? Brian?" Nadine masih tidak mengerti dengan apa yang dibicarakan oleh, Rose.
"Bukan," ujar perempuan itu dengan mengepalkan sebelah tangannya.
"Lalu siapa, Rose?" Nadine mencecarnya dengan pertanyaan yang beruntun.
"Dia, CEO Kita …." Rose memajukan wajahnya.
"Ha, apa?!" Nadine memundurkan tubuhnya pada sandaran kursi.
"Maksud Kamu, Pak Zain akan mengambil anakmu?" Nadine melihat Rose tidak langsung menjawab.
"Apa urusanya, Rose?" Nadine mencoba untuk bertanya kembali.
"Dia ayah biologis Dania, putriku."
"A-Apa ….?!"
Sebuah pengakuan yang meluncur dari mulut, Rose. Membuat Nadine menatapnya dengan rasa tak percaya. Bahkan ia melihat jika Rose duduk tak berdaya seperti kehilangan nyawa.
Sinar matahari menerobos masuk ke dalam kamar melalui celah jendela. Rose mengerjapkan matanya berulang kali. Lalu ia terbangun dan mendapati putri kecilnya masih tertidur pulas.Sengaja ia tidak membangunkan Dania lebih awal seperti biasanya. Hari libur kali ini dimanfaatkan oleh Rose untuk beristirahat di dalam rumah.Lekas ia bangun dan membersihkan diri. Rumah kontrakan yang tidak begitu luas membuat dirinya tidak memerlukan jasa seorang pembantu. Di atas meja makan, Rose sudah menyediakan roti bakar dengan selai strawberry dan susu hangat untuk putrinya kecilnya.Tok, tok, tok ….Rose mendengar suara ketukan di pintu depan. Ia menoleh ke asal suara, sepertinya ada tamu. Ia pun mengurungkan niatnya untuk membangunkan, Dania. Rose meletakkan susu hangat di sebelah piring roti. Lalu ia berjalan menuju ke depan, untuk mencari tahu siapa yang sudah datang bertamu sepagi ini."Maaf, Anda mencari siapa?" Rose, melihat di hadapannya kini sudah berdiri seorang wanita berusia 50 tahun. Pe
Rose langsung menenggak segelas air putih. Nadine melongo melihat sahabatnya yang datang-datang langsung main serobot. Hingga bola mata dan mulutnya terbuka lebar membentuk huruf O. "Fiuh …." ia mengipas wajahnya dengan sebelah tangan. Rose merasa dirinya sedang terbakar. Ada hawa panas yang menjalar hingga sampai ke puncak ubun-ubunnya. "Rose!" Suara menggelegar itu sampai di telinga, Nadine. Perempuan muda itu tersentak kembali. Ia menemukan sang CEO sudah berada di ambang pintu ruangannya. Nadine menoleh ke arah, Rose. Sahabatnya tersebut memutar bola matanya dengan malas. Baru saja Rose menghempaskan bobot tubuhnya di atas kursi. Zain sudah mengejutkannya dengan sebuah teriakan yang nyaring. "Ada apalagi, Pak? Apa ada yang bisa saya bantu?" Rose berdiri dan menunjukkan cara kerjanya yang profesional. Ia tidak boleh mencampuradukkan perasaannya pada, Zain. Zain sedikit gugup, bibirnya ragu ketika hendak bicara. Ia melihat ke arah samping dan mendapati ada Nadine di sana. "
"Rose, tunggu sebentar!" Rose menoleh ke asal suara, ia menghentikan langkahnya di depan lobi Global Angkasa Jaya.Perempuan itu diam dan menunggu. Perdebatan dengan sang CEO seharian ini membuat Rose terserang jantung dadakan. Meskipun begitu, ia harus bisa tetap bisa tenang dalam segala keadaan. Terutama di hadapan semua klien dan teman kantornya, tak terkecuali—Brian Aditama."Kok buru-buru? Sudah mau pulang?" Brian sudah berdiri di depannya.Ia mengangguk kecil, Rose memaksakan diri untuk tetap menarik garis smirk di bibirnya."Mau jemput Dania dulu di rumah ibu, Martha." Sahut Rose dengan bersedekap, di lengannya tersampir sebuah mantel yang sengaja tidak dikenakan."Ooo, begitu ….?" Brian mengangguk dengan perlahan. "Bagaimana kalau Kita makan dulu?" Brian mulai menjalankan aksinya, pria muda berusia 27 tahun itu tetap tidak menyerah untuk mendapatkan hati, Rose.Rose menghembuskan napas panjang. Sebenarnya ia enggan untuk menerima tawaran dari, Brian. Sudah bosan rasanya Rose
Pemandangan di atas rooftop begitu indah. Di sinilah Rose bisa merasakan ketenangan. Ia bisa melihat peta kota Jakarta di atas gedung berlantai 99 tersebut tanpa gangguan siapapun. Sengaja ponselnya dimatikan agar Zain ataupun Brian tidak merusak moodnya hari ini.Brak!‘Sial!’ (umpatnya dalam hati).Kepalanya menoleh ke sumber suara. Mulutnya mencebik ketika mendapati siapa yang datang di saat dirinya sedang menikmati kesendirian.“Aku bisa menemukanmu meski Kamu sembunyi di liang semut sekaligus!” ia menunjuk setumpuk dokumen yang harus dikerjakan oleh Rose hari ini.Rose meletakkan coklat hangatnya di atas meja lalu menghampiri, Zain. Pria itu sudah duduk dengan wajah yang dingin. Ia melihat tumpukan dokumen tersebut dengan sikap biasa. Rose tahu jika Zain mencari-cari alasan agar bisa berinteraksi dengannya.“ Baik, saya akan mengerjakannya segera. Permisi, Pak Zain.” Rose mengambil dokumen tersebut lalu beranjak pergi dari hadapan sang CEO. “Begitukah? seperti inikah caramu meng
Tangannya mengepal dengan erat. Digenggamnya sebuah kotak kecil berisi sebuah kalung dengan liontin batu mutiara yang indah. Ia urung memberikan kejutan pada, Rose. Brian tidak menyangka, justru dirinya yang mendapatkan sebuah kejutan. Nadine yang telah melihatnya berdiri di ambang pintu lekas menarik Brian keluar dari ruangan. Ia mengantisipasi jika terjadi keributan di antara mereka. Nadine melihat Brian terdiam bagaikan sebuah patung. Tatapan pria itu kosong, bisa jadi ia merasakan syok yang teramat sangat.“Bri, apakah Kamu baik-baik saja?” Nadine melambaikan tangannya di depan mata, Brian. Tapi, pria muda berusia 27 tahun tersebut sama sekali tidak bergeming.Kini keduanya duduk di sebuah taman dekat dengan area kantin. Nadine melihat tangan Brian menggenggam sesuatu. Sambil melirik ke arah pria itu, Nadine menerka sendiri jika kotak yang dipegang oleh Brian adalah sesuatu yang sangat berharga.Nadine pun diam untuk sementara waktu, ia membiarkan Brian mengatur napasnya. Nadine
Rose menyentakkan tangan Zain yang masih melingkar di pinggangnya. Hanya perempuan bodoh yang menikmati momen seperti ini dengan pria brengsek seperti, Attala Zain Dimitri. “Tidak akan!” ia lekas berbalik dan mengacungkan jari telunjuknya tepat di depan wajah, Zain. “Jangan pernah menyentuhku sembarangan!” kecamnya dengan kedua mata yang melotot. Ia tidak menyangka jika atasannya tersebut sudah sangat lancang memperlakukan dirinya. “Rose, aku ….” Zain tidak bisa melanjutkan kalimatnya. Rupanya ia termakan ucapan Ramon, sehingga Zain tidak bisa menahan gejolak emosinya. “Bukankah sudah jelas, jika Anda akan melayangkan surat keputusan dari dokter, Frans?” Rose mengingatkannya soal ancaman Zain beberapa jam yang lalu. “Apalagi yang akan Anda tuntut dari Kami, Pak?” Rose menatapnya dengan wajah memelas, sehingga tanpa ia sadari tubuhnya merosot di bawah lantai. Zain melihat perempuan itu rapuh. Terlalu naif baginya yang selalu memberikan tekanan. Apalagi menuntut hak asuh Dania, yan
Sementara itu di tempat lain, seorang pria berusia 30 tahun tengah duduk di kursi direktur utama dengan angkuhnya. Tidak ada yang bisa melarang pria tersebut, terlebih para penjaga yang tengah bertugas. Ia menunggu kedatangan CEO baru yang dinilai tidak pantas menggantikan mendiang ayahnya—Lucas Emmanuel Dimitri.Brak!Pintu dibuka dengan kasar, rupanya Zain sudah datang. Ia langsung menuju ruangan yang ditunjuk oleh para pengawal yang telah mengabarkan kedatangan saudara tirinya, Alexander Dimitri.“Apa-apaan ini? Apa yang Kau lakukan di kantorku?” tunjuknya yang sudah terbakar emosi. “Santai, Bro! Jangan suka marah-marah begitu!” sahut Alex yang telah beranjak dari tempat duduknya.Alex berdiri di samping meja dan memasukkan sebelah tangannya ke dalam saku celana. Perangainya yang lebih dewasa membuat Alex lebih bijak dalam mengatasi setiap masalah. Hanya saja karena hasutan Maria, akhirnya Dimitri menjatuhkan semua warisannya pada anak keduanya—Zain.Alexander dan ibunya tersingki
Gerimis masih turun di sekitar Jakarta Selatan. Seorang perempuan tengah berlari kecil mengenakan sepatu hak tingginya. Kedua tangannya berusaha menutupi wajah agar tidak terkena air hujan. Setibanya di depan sebuah restoran, ia mengibaskan rok span yang kini dikenakan agar tidak terlalu basah.“Yakin, mau menemuinya sendiri? Apa tidak terlalu berbahaya, Rose?” Nadine mendekatinya karena merasa khawatir.“Tenanglah! Aku bisa mengurusnya kali ini,” tutur Rose yang sudah meraih tas selempangnya. Sengaja waktu istirahat dirinya menyanggupi permintaan Zain yang ingin bertemu dengannya di luar kantor. Meskipun awalnya ia pun ragu dengan pertemuan mereka kali ini.Nadine melepas sahabatnya itu pergi sendirian. Ditatapnya Rose yang sepertinya antusias dengan berjuta harapan.“Sudah aku bilang, aku akan menjemputmu,” Zain yang mengetahui kedatangan Rose langsung keluar dari restoran. Lantas ia membuka jasnya dan segera meletakkan di bahu, Rose.“Tidak usah!” perempuan itu menolak dengan mendo