Share

6. Pengakuan

"M-Maaf, Pak! Ada apa, ya?" Rose mencoba untuk menenangkan hatinya. Sentuhan itu membuat dirinya bagai tersengat aliran listrik 1000 volt.

"Kamu sudah menunda hasratku. Aku menuntutmu untuk menuntaskan keinginanku yang tertunda." Zain mendekat, hingga Rose bisa merasakan deru napasnya yang tidak teratur.

"J-Jangan, Pak! Aku mohon …." Rose tidak bisa berlari, ia sudah berada di bawah kungkungan sang CEO. Dimana ia harus menggantikan peran istrinya, Nadia.

"Apa Kamu sudah melupakan masa lalu Kita, Diana Rosalina?" 

"A-Apa? Apa yang Anda bicarakan? Saya tidak mengerti, Pak." 

Rose, berusaha untuk meredam detak jantungnya. Ia bisa mendengar dengan telinganya sendiri, betapa cepat ritme yang berpacu saat ini.

"Jangan berpura-pura, Rose! Angkat wajahmu jika sedang bicara denganku." 

Tubuh Rose terhimpit di tepi meja. Ia menatap takut ke arah, Zain. Kedua tangannya disilangkan di depan dada. Perempuan itu sebisa mungkin mengantisipasi kemungkinan yang akan terjadi.

'Aduh! Mati aku ….' (Batin Rose, berkata).

"Bisa Kamu ceritakan, apa yang telah terjadi selama aku pergi?" Zain menuntut kejujuran dari wanita yang sudah ditinggalkannya selama 5 tahun ini.

Rose menelan salivanya dengan alot. Mulutnya terkunci seketika, saat Zain menunggu jawaban darinya.

"Anda salah orang, Pak! M-Maaf, saya harus melanjutkan pekerjaan," Rose mengelak, ia mencari alasan agar bisa lepas dari cengkraman sang CEO.

"Jangan membodohiku! Aku sudah tahu semuanya." Wajahnya semakin mendekat. Rose menahan agar tubuhnya tidak jatuh terjengkang ke belakang.

Dengan sengaja Zain memegang sebelah pinggulnya. Perempuan itu semakin tak bisa berkutik, ia benar-benar seperti mayat hidup yang kehabisan oksigen.

Rose berusaha untuk menyimpan rapat-rapat masa lalunya. Ia tidak ingin Zain mengambil Dania dari tangannya.

"T-Tidak, Pak! Bisakah Anda sedikit mundur, saya tidak bisa bernapas jika Anda memperlakukan saya seperti ini." Rose sedikit mendorong dada Zain yang bidang. Tapi sayang, karena terlalu dekat jarak di antara mereka. Pria maskulin itu, hampir saja menyentuh bibirnya yang merona.

'Sial! Apa maksud dari semua ini? Apakah dia akan mengambil anakku?' (Tanya Rose dalam hatinya).

"Kenapa? Dulu Kamu sangat suka jika aku memelukmu." 

Memang Rose akui, ia akan menelusupkan kepalanya di dada Zain yang beraroma musk. Bahkan tak segan berlama-lama di sana hanya untuk sekedar bermanja.

"Apakah aku harus memaksamu, agar Kamu mau mengaku?" sebelah alis Zain terangkat, membuat Rose bergidik ngeri saat melihatnya. Sedangkan ia belum bisa memaafkan kejadian 5 tahun yang lalu.

"Mengaku untuk apa?" mendadak raut wajah Rose berubah menjadi serius.

"Rose," jakun Zain naik turun saat melihat dengan jelas perubahan sikap perempuan yang pernah singgah di hatinya itu.

"Mulai detik ini, jangan memikirkan apapun tentangku. Fokus saja dengan masa depanmu. Kita jalani hidup masing-masing, oke!" nada suaranya ditekan agar Zain bisa melepaskan dirinya.

"Tidak bisa begitu, Rose." Zain tidak mau mengalah sedikitpun.

"Sudahlah! Apa yang Kamu inginkan dariku? Bukankah sudah ada Nadia yang mencintaimu dengan tulus?" 

Zain mengurai tubuhnya untuk memberi ruang pada, Rose. Wajahnya mendadak tidak bersemangat setelah beberapa menit yang lalu ia tampak bergairah.

"Lupakan aku, aku mohon." Rose mengiba, ia hanya ingin fokus bekerja demi menghidupi putri kecilnya.

"Kenapa tidak bilang padaku jika Kamu sedang hamil?" Zain menatapnya dengan tajam.

Rose berdiri mematung di atas lantai keramik. Tapi tubuhnya terasa ringan melayang ketika mendengar pertanyaan dari, Zain.

"Jadi, dia anakku?" Zain langsung menjawab pertanyaannya sendiri. 

Rose gugup, ia ingin lekas pergi dari hadapan Zain. Tapi, cekalan pada lengannya membuat langkah Rose terhenti. 

Keduanya saling menatap sengit. Tak dapat dipungkiri jika saat ini perasaan mereka campur aduk antara benci dan juga rindu.

"Jangan sembunyikan putriku, Rose! Dia anakku, darah dagingku. Dia satu-satunya pewaris keluarga, Dimitri." Bisiknya dengan tatapan berkilat.

"Jangan mimpi, Zain! Menjauhlah dari Kami!" balas Rose yang tidak ingin kebahagiaannya terusik.

"Kami lebih bahagia tanpa adanya Kamu. Jangan pernah mengganggu kebahagiaan Kami!" sambungnya sambil menyentak cekalan Zain dari dirinya.

Rose cepat pergi dari hadapan, Zain. Ia melenggang begitu saja, hingga menghilang di balik tembok ruangan. 

Zain, merasakan tubuhnya lemas tak bertulang. Baru kali ini ia mendapatkan penolakan dari, Rose. Zain melonggarkan kerahnya yang berdasi, lalu menghempaskan bobot tubuhnya di atas sofa yang empuk. 

"Tidak bisa dibiarkan, bukan seperti ini yang aku harapkan …." gumam Zain dengan hembusan napas yang berat.

***

"Nadine!" 

Rose menghampiri meja sahabatnya dengan wajah yang masam.

"Hem, ada apa kok teriak-teriak?" jawab Nadine dengan santai. Ia masih berkutat dengan pekerjaannya. 

"Satu pertanyaan seratus ribu, Rose!" Nadine bicara tanpa melihatnya.

"Kenapa Kamu nggak bilang kalau pemilik perusahaan ini adalah keluarga, Dimitri?" ia menyilangkan kedua tangannya di dada.

Nadine mengangkat wajahnya, ia menautkan kedua alisnya saat pandangan mereka bertemu.

"Memangnya kenapa? Apa penting buat Kamu untuk mengetahui, riwayat bos Kita asal usulnya dari mana?" Nadine membuka kedua telapak tangannya dengan lebar.

"Yang penting kerja, kan?" Nadine kembali menunduk dan melanjutkan pekerjaannya kembali.

"Penting! Penting banget, Dine." Ujar Rose dengan suara yang terdengar kesal.

Nadine meletakkan pulpennya. Ia kembali menatap Rose yang sepertinya memang benar-benar marah.

"Duduk dulu! Ada yang ingin Kamu bicarakan denganku? Katakanlah Rose, aku akan menjadi pendengar yang baik."

Ia melihat sahabatnya tersebut tengah menahan emosi. Napasnya terlihat naik turun seperti sebuah permainan roller coaster. 

Bruk! 

Ia melempar berkas di atas meja Nadine dengan kasar. Kemudian menghembuskan napas untuk membuang amarahnya.

Nadine meliriknya dari balik meja. Ia tidak memotong tindakan Rose, agar perempuan tersebut bisa melampiaskan emosinya dengan lega.

"Andai saja aku tahu. Perusahaan garmen ini adalah milik keluarga, Dimitri. Nggak bakalan aku melamar kerja di tempat ini." Rose menekan jari telunjuknya tepat di atas berkas yang ia lempar.

"Kenapa? Apa ada yang belum aku ketahui tentang masalah ini darimu?" dahi Nadine berkerut, ia menatap heran pada sahabat baiknya itu.

Rose diam sesaat, ia melirik sekilas ke arah Nadine kemudian membuang muka ke arah lain. Berulang kali ia mengambil napas panjang dan menghembuskannya dengan kasar. Pertemuannya dengan Zain, secara tidak sengaja merubah nasibnya kembali.

"Kacau …." ia berkata dengan lirih, tangannya mengusap wajah dengan perlahan.

Nadine masih menunggu dengan sabar, ia ingin tahu duduk permasalahan yang sebenarnya. 

"Apa karena, Brian?" selidik Nadine tidak sabar.

Rose menoleh dengan tatapan tajam. Pendengarannya terusik saat mendengar satu nama. Sebuah nama yang akhir-akhir ini mengganggunya siang dan malam.

"Dia akan mengambil, Nadia!" jawabnya dengan penuh tekanan. 

"A-Apa? Siapa yang mau mengambil, Dania? Brian?" Nadine masih tidak mengerti dengan apa yang dibicarakan oleh, Rose.

"Bukan," ujar perempuan itu dengan mengepalkan sebelah tangannya.

"Lalu siapa, Rose?" Nadine mencecarnya dengan pertanyaan yang beruntun.

"Dia, CEO Kita …." Rose memajukan wajahnya.

"Ha, apa?!" Nadine memundurkan tubuhnya pada sandaran kursi.

"Maksud Kamu, Pak Zain akan mengambil anakmu?" Nadine melihat Rose tidak langsung menjawab.

"Apa urusanya, Rose?" Nadine mencoba untuk bertanya kembali.

"Dia ayah biologis Dania, putriku." 

"A-Apa ….?!" 

Sebuah pengakuan yang meluncur dari mulut, Rose. Membuat Nadine menatapnya dengan rasa tak percaya. Bahkan ia melihat jika Rose duduk tak berdaya seperti kehilangan nyawa. 

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Alie Jaza-Rgt
ok, ternyata bagus juga
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status