Ting!
Pintu lift terbuka, seorang pengawal pribadi Zain berjalan keluar dan berjalan menuju lobi PT. Global Angkasa Jaya.
"Sial! Kenapa dia datang di saat yang tidak tepat?" Ramon, pengawal tersebut hendak berbalik arah. Namun, ia mengurungkan niatnya ketika suara seseorang menghentikannya.
"Mau kemana, Ramon?" sapa perempuan berusia 25 tahun tersebut dengan culas.
Ramon lekas mendekat dan mengangguk patuh. Perempuan yang memakai riasan flawless tersebut terlihat sangat serasi dengan dress bunga selutut. Di pinggangnya tersemat ikat pinggang kecil berwarna hitam. Rambutnya yang terurai bebas, menampilkan sisi glamor seorang crazy rich ternama.
Derap langkahnya terdengar menggema ketika sepatu hak tinggi itu menghampirinya. Tepat di hadapan Ramon, perempuan cantik itu mengulas senyuman tipis.
"Maaf Nona Muda, kenapa datang dengan tiba-tiba?" Ramon mencoba untuk mencairkan suasana.
"Kenapa? Aku berhak datang dan pergi sesuka hati, ini perusahaan suamiku." Ujarnya dengan tatapan tak suka.
"Maaf, Nona Muda." Lekas Ramon meminta maaf karena salah mengucapkan sebaris kalimat. Tapi, sepertinya Gita Nadia Atmaja terlanjur memergoki dirinya yang hendak menghindar.
"Apa aku harus membuat laporan terlebih dahulu padamu, untuk datang kemari?" ia berjalan selangkah dan melirik tajam pada, Ramon. Wajahnya yang terangkat menunjukkan jika perempuan itu sangatlah angkuh.
"Minggirlah! Biarkan aku lewat, Ramon." Ia berusaha menyibak tubuh Ramon yang sudah menghalangi jalannya.
"Baik, Nona. Bukan maksud saya seperti itu. Maafkan saya," ucapnya sekali lagi dengan memberi jalan pada istri sang CEO.
"Kau sama saja dengan, Zain!" ia sudah pergi menuju lift dan meninggalkan Ramon yang masih mematung.
Lekas Ramon berlari kecil menyusul nona muda tersebut untuk bergabung di dalam lift menuju ruangan CEO. Sementara dua pengawal yang lain ia tinggalkan di lobi dasar untuk sekedar berjaga-jaga.
***
"Selamat pagi, Sayang!" Nadia memasuki ruangan CEO tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu. Pintu besar itu ia terobos dengan begitu mudahnya.
Zain terperangah, ia langsung berdiri dari tempat duduknya. Ia melihat sang istri yang sudah berdiri dengan anggun di sebelah sofa berwarna hitam.
"Nadia? Kapan tiba di Indonesia?" dahi Zain berkerut. Ia tidak menyangka dengan kedatangan istrinya secara tiba-tiba. Padahal setahu Zain, perempuan itu masih ada di Amsterdam kemarin.
"Apa Kamu terkejut?" perempuan itu malah balik bertanya. Ia berjalan mendekat ke arah suaminya.
Senyuman manis terukir di bibir, Nadia. Tangannya mendarat lembut pada dada Zain yang bidang. Ia memainkan jarinya di sana, dengan sengaja Nadia meraih kerah yang dikenakan oleh suaminya. Hingga wajah keduanya sudah tidak berjarak.
"Kamu tidak merindukan aku, Sayang?" suara itu terdengar begitu menggoda. Sehingga membuat Zain menelan salivanya dengan alot.
"Ada perlu apa hingga Kamu rela terbang kemari?" Zain menatapnya dengan kelopak mata sedikit melebar. Suaranya ditekan sehingga membuat Nadia sadar, jika kehadirannya tidak begitu diinginkan oleh suaminya.
Nadia menjauhkan dirinya dari, Zain. Ia berjalan membelakangi tubuh suaminya yang tengah menatap kemolekan tubuhnya.
Ia meraih botol wine lalu membukanya. Kemudian, Nadia menuangkan minuman tersebut ke dalam gelas kristal.
Nadia mengacuhkan pertanyaan suaminya sementara waktu. Ia lebih memilih untuk menikmati minumannya.
"Jangan berpura-pura, Zain! Aku sudah tahu semuanya." Nadia meletakkan kembali gelasnya di atas meja.
"Apa maksudmu, Nad?" Zain memicingkan kedua matanya. Ia merasa jika ada sesuatu yang tidak beres. Sehingga istrinya tersebut rela terbang ke tanah air dengan tiba-tiba.
"Aku sudah menduga dari awal, jika Kamu mau menerima pekerjaan ini demi perempuan itu!" Nadia mulai tersulut emosi. Nada suaranya pun terdengar sedikit tinggi.
"Ngomong apa sih Kamu?" Zain mengepalkan tangannya, ia berusaha untuk menahan diri.
"Jangan berbohong padaku, Zain! Kamu tidak bisa menutupi semuanya dariku." Ia menunjuk dirinya sendiri dengan bola mata yang melotot.
"Aku tidak menutupi apapun darimu. Omong kosong apa yang Kamu bicarakan saat ini, ha?!" sanggah Zain yang merasa tidak melakukan kecurangan apapun.
"Oh, ya? Bukankah ibumu meminta seorang pewaris keluarga Dimitri?"
Nadia sadar, jika selama 5 tahun mereka menikah. Mereka belum dikaruniai seorang buah hati.
"Aku tahu, jika Kamu sudah menemukan perempuan itu dan anaknya." Tuding Nadia tepat ke arah, Zain.
"A-Apa?!" Zain terkejut, darimana Nadia tahu tentang keberadaan, Rose. Apakah ada orang yang telah bersekongkol dengan istrinya tersebut?
Nadia tertawa renyah ketika melihat suaminya tengah kebingungan. Ia terus saja menyudutkan pria tersebut hingga Zain tidak bisa menjawab ucapannya.
"Kita butuh anaknya, Zain. Agar mama tidak terus bertanya soal cucu pada Kita." Tegas Nadia dengan menekan kalimat terakhir yang diucapkannya.
"Jangan ngaco, Nad! Apa Kamu sedang mabuk? Hingga bicara Kamu ngawur semua." Zain memutar balikkan kenyataan. Ia tidak ingin Nadine tahu tentang, Rose. Terlalu dini jika istrinya itu menangkap basah persoalannya dengan sang mantan kekasih.
"Tidak! Kamu sangat tahu jika aku tidak akan tumbang hanya dengan segelas wine." Ujar Nadia yang tak mau mengalah.
"Apa aku yang harus bertindak sendiri, Zain?" Nadia tak segan mengancam. Ia akan merebut anak dari mantan kekasihnya, Diana Rosalina.
"Jangan gila, Kamu!" Zain mengacungkan jari telunjuknya tepat di depan wajah istrinya.
"Buka matamu lebar-lebar, Zain. Kamu sudah tahu apa yang dikatakan oleh dokter obgyn, bukan?" tiba-tiba, kelopak mata Nadia mengembun. Ia menahan sesak yang ada di dalam dada.
"Nad, aku …."
"Jangan pernah berpikir untuk menyingkirkan aku. Hanya karena istri mu ini mandul!"
Zain tidak meneruskan kalimatnya, ketika Nadia langsung memotong ucapannya.
"Aku juga menginginkan seorang anak, Zain." Perempuan itu menunduk sedih. Butiran air mata sudah menetes di sudut kelopak matanya.
"Nad, jangan begini!" ia merengkuh tubuh istrinya. Zain menenggelamkan dalam dekapannya yang hangat.
Zain berharap bisa meredam emosi istrinya dengan sebuah pelukan. Tapi yang dipikirkan oleh Zain ternyata salah. Tangis perempuan itu semakin menjadi-jadi.
Hingga beberapa saat keduanya larut dalam kesedihan yang mendalam. Zain membimbingnya untuk duduk dan memberinya segelas air putih.
"Sudah lebih baik?" tanya Zain dengan hati-hati.
"Aku tahu, Kalian saling mencintai. Tapi apa salahnya, Kamu melihatku sedikit saja Zain?" tangisnya yang belum reda membuat wajah Nadia terlihat sembab.
Zain mengusap wajah Nadia dengan selembar tisu. Hingga tangannya menyentuh dagu sang istri dan mengangkat wajah itu dengan perlahan.
Keduanya saling memandang penuh arti. Hingga sepersekian detik berlalu, Zain pun melancarkan aksinya. Jiwa lelakinya tergoda untuk merasakan benda kenyal yang merona di hadapannya.
Tok, tok, tok ….
"Permisi, Pak!" tanpa disadari, Rose sudah berdiri di ambang pintu. Matanya ternoda dengan pemandangan yang terpampang nyata tanpa sengaja.
Lekas Zain menarik diri dari tubuh, Nadia. Ia berdiri dari hadapan istrinya untuk bersikap biasa saja. Sementara Nadia, memalingkan wajahnya ke arah samping. Ia tidak ingin semua orang tahu jika hatinya cukup rapuh saat ini.
"Aku pergi! Kita bicarakan saja nanti di rumah," Nadia menyambar tas kecilnya, ia pergi tanpa berpamitan.
Rose menunduk dengan takut, didekapnya berkas laporan dengan erat. Bahkan, ia tidak menyadari jika orang yang baru saja melintas adalah, Nadia.
Gita Nadia Atmaja, adalah salah satu sahabat terbaiknya di masa SMA. Yang tanpa ia ketahui, gadis itu telah dijodohkan kedua orang tua mereka dengan—Attala Zain Dimitri.
"Masuklah!"
Zain melihat perempuan itu mematung. Ia melangkah dengan perasaan takut.
"M-Maaf mengganggu, Pak!" ucapnya dengan gugup.
"Saya ingin menyampaikan hasil rapat kemarin," Rose meletakkan berkas tersebut di atas meja. Ketika hendak menarik tangannya kembali, tiba-tiba Zain mencekalnya.
Rose panik, ia menatap ke arah Zain dengan sebuah tanda tanya yang cukup besar.
"M-Maaf, Pak! Ada apa, ya?" Rose mencoba untuk menenangkan hatinya. Sentuhan itu membuat dirinya bagai tersengat aliran listrik 1000 volt.
"Kamu sudah menunda hasratku. Aku menuntutmu untuk menuntaskan keinginanku yang tertunda." Zain mendekat, hingga Rose bisa merasakan deru napasnya yang tidak teratur.
"J-jangan, Pak! Aku mohon …." Rose tidak bisa berlari, ia sudah berada di bawah kungkungan sang CEO. Dimana ia harus menggantikan peran istrinya, Nadia.
"M-Maaf, Pak! Ada apa, ya?" Rose mencoba untuk menenangkan hatinya. Sentuhan itu membuat dirinya bagai tersengat aliran listrik 1000 volt."Kamu sudah menunda hasratku. Aku menuntutmu untuk menuntaskan keinginanku yang tertunda." Zain mendekat, hingga Rose bisa merasakan deru napasnya yang tidak teratur."J-Jangan, Pak! Aku mohon …." Rose tidak bisa berlari, ia sudah berada di bawah kungkungan sang CEO. Dimana ia harus menggantikan peran istrinya, Nadia."Apa Kamu sudah melupakan masa lalu Kita, Diana Rosalina?" "A-Apa? Apa yang Anda bicarakan? Saya tidak mengerti, Pak." Rose, berusaha untuk meredam detak jantungnya. Ia bisa mendengar dengan telinganya sendiri, betapa cepat ritme yang berpacu saat ini."Jangan berpura-pura, Rose! Angkat wajahmu jika sedang bicara denganku." Tubuh Rose terhimpit di tepi meja. Ia menatap takut ke arah, Zain. Kedua tangannya disilangkan di depan dada. Perempuan itu sebisa mungkin mengantisipasi kemungkinan yang akan terjadi.'Aduh! Mati aku ….' (Batin
Sinar matahari menerobos masuk ke dalam kamar melalui celah jendela. Rose mengerjapkan matanya berulang kali. Lalu ia terbangun dan mendapati putri kecilnya masih tertidur pulas.Sengaja ia tidak membangunkan Dania lebih awal seperti biasanya. Hari libur kali ini dimanfaatkan oleh Rose untuk beristirahat di dalam rumah.Lekas ia bangun dan membersihkan diri. Rumah kontrakan yang tidak begitu luas membuat dirinya tidak memerlukan jasa seorang pembantu. Di atas meja makan, Rose sudah menyediakan roti bakar dengan selai strawberry dan susu hangat untuk putrinya kecilnya.Tok, tok, tok ….Rose mendengar suara ketukan di pintu depan. Ia menoleh ke asal suara, sepertinya ada tamu. Ia pun mengurungkan niatnya untuk membangunkan, Dania. Rose meletakkan susu hangat di sebelah piring roti. Lalu ia berjalan menuju ke depan, untuk mencari tahu siapa yang sudah datang bertamu sepagi ini."Maaf, Anda mencari siapa?" Rose, melihat di hadapannya kini sudah berdiri seorang wanita berusia 50 tahun. Pe
Rose langsung menenggak segelas air putih. Nadine melongo melihat sahabatnya yang datang-datang langsung main serobot. Hingga bola mata dan mulutnya terbuka lebar membentuk huruf O. "Fiuh …." ia mengipas wajahnya dengan sebelah tangan. Rose merasa dirinya sedang terbakar. Ada hawa panas yang menjalar hingga sampai ke puncak ubun-ubunnya. "Rose!" Suara menggelegar itu sampai di telinga, Nadine. Perempuan muda itu tersentak kembali. Ia menemukan sang CEO sudah berada di ambang pintu ruangannya. Nadine menoleh ke arah, Rose. Sahabatnya tersebut memutar bola matanya dengan malas. Baru saja Rose menghempaskan bobot tubuhnya di atas kursi. Zain sudah mengejutkannya dengan sebuah teriakan yang nyaring. "Ada apalagi, Pak? Apa ada yang bisa saya bantu?" Rose berdiri dan menunjukkan cara kerjanya yang profesional. Ia tidak boleh mencampuradukkan perasaannya pada, Zain. Zain sedikit gugup, bibirnya ragu ketika hendak bicara. Ia melihat ke arah samping dan mendapati ada Nadine di sana. "
"Rose, tunggu sebentar!" Rose menoleh ke asal suara, ia menghentikan langkahnya di depan lobi Global Angkasa Jaya.Perempuan itu diam dan menunggu. Perdebatan dengan sang CEO seharian ini membuat Rose terserang jantung dadakan. Meskipun begitu, ia harus bisa tetap bisa tenang dalam segala keadaan. Terutama di hadapan semua klien dan teman kantornya, tak terkecuali—Brian Aditama."Kok buru-buru? Sudah mau pulang?" Brian sudah berdiri di depannya.Ia mengangguk kecil, Rose memaksakan diri untuk tetap menarik garis smirk di bibirnya."Mau jemput Dania dulu di rumah ibu, Martha." Sahut Rose dengan bersedekap, di lengannya tersampir sebuah mantel yang sengaja tidak dikenakan."Ooo, begitu ….?" Brian mengangguk dengan perlahan. "Bagaimana kalau Kita makan dulu?" Brian mulai menjalankan aksinya, pria muda berusia 27 tahun itu tetap tidak menyerah untuk mendapatkan hati, Rose.Rose menghembuskan napas panjang. Sebenarnya ia enggan untuk menerima tawaran dari, Brian. Sudah bosan rasanya Rose
Pemandangan di atas rooftop begitu indah. Di sinilah Rose bisa merasakan ketenangan. Ia bisa melihat peta kota Jakarta di atas gedung berlantai 99 tersebut tanpa gangguan siapapun. Sengaja ponselnya dimatikan agar Zain ataupun Brian tidak merusak moodnya hari ini.Brak!‘Sial!’ (umpatnya dalam hati).Kepalanya menoleh ke sumber suara. Mulutnya mencebik ketika mendapati siapa yang datang di saat dirinya sedang menikmati kesendirian.“Aku bisa menemukanmu meski Kamu sembunyi di liang semut sekaligus!” ia menunjuk setumpuk dokumen yang harus dikerjakan oleh Rose hari ini.Rose meletakkan coklat hangatnya di atas meja lalu menghampiri, Zain. Pria itu sudah duduk dengan wajah yang dingin. Ia melihat tumpukan dokumen tersebut dengan sikap biasa. Rose tahu jika Zain mencari-cari alasan agar bisa berinteraksi dengannya.“ Baik, saya akan mengerjakannya segera. Permisi, Pak Zain.” Rose mengambil dokumen tersebut lalu beranjak pergi dari hadapan sang CEO. “Begitukah? seperti inikah caramu meng
Tangannya mengepal dengan erat. Digenggamnya sebuah kotak kecil berisi sebuah kalung dengan liontin batu mutiara yang indah. Ia urung memberikan kejutan pada, Rose. Brian tidak menyangka, justru dirinya yang mendapatkan sebuah kejutan. Nadine yang telah melihatnya berdiri di ambang pintu lekas menarik Brian keluar dari ruangan. Ia mengantisipasi jika terjadi keributan di antara mereka. Nadine melihat Brian terdiam bagaikan sebuah patung. Tatapan pria itu kosong, bisa jadi ia merasakan syok yang teramat sangat.“Bri, apakah Kamu baik-baik saja?” Nadine melambaikan tangannya di depan mata, Brian. Tapi, pria muda berusia 27 tahun tersebut sama sekali tidak bergeming.Kini keduanya duduk di sebuah taman dekat dengan area kantin. Nadine melihat tangan Brian menggenggam sesuatu. Sambil melirik ke arah pria itu, Nadine menerka sendiri jika kotak yang dipegang oleh Brian adalah sesuatu yang sangat berharga.Nadine pun diam untuk sementara waktu, ia membiarkan Brian mengatur napasnya. Nadine
Rose menyentakkan tangan Zain yang masih melingkar di pinggangnya. Hanya perempuan bodoh yang menikmati momen seperti ini dengan pria brengsek seperti, Attala Zain Dimitri. “Tidak akan!” ia lekas berbalik dan mengacungkan jari telunjuknya tepat di depan wajah, Zain. “Jangan pernah menyentuhku sembarangan!” kecamnya dengan kedua mata yang melotot. Ia tidak menyangka jika atasannya tersebut sudah sangat lancang memperlakukan dirinya. “Rose, aku ….” Zain tidak bisa melanjutkan kalimatnya. Rupanya ia termakan ucapan Ramon, sehingga Zain tidak bisa menahan gejolak emosinya. “Bukankah sudah jelas, jika Anda akan melayangkan surat keputusan dari dokter, Frans?” Rose mengingatkannya soal ancaman Zain beberapa jam yang lalu. “Apalagi yang akan Anda tuntut dari Kami, Pak?” Rose menatapnya dengan wajah memelas, sehingga tanpa ia sadari tubuhnya merosot di bawah lantai. Zain melihat perempuan itu rapuh. Terlalu naif baginya yang selalu memberikan tekanan. Apalagi menuntut hak asuh Dania, yan
Sementara itu di tempat lain, seorang pria berusia 30 tahun tengah duduk di kursi direktur utama dengan angkuhnya. Tidak ada yang bisa melarang pria tersebut, terlebih para penjaga yang tengah bertugas. Ia menunggu kedatangan CEO baru yang dinilai tidak pantas menggantikan mendiang ayahnya—Lucas Emmanuel Dimitri.Brak!Pintu dibuka dengan kasar, rupanya Zain sudah datang. Ia langsung menuju ruangan yang ditunjuk oleh para pengawal yang telah mengabarkan kedatangan saudara tirinya, Alexander Dimitri.“Apa-apaan ini? Apa yang Kau lakukan di kantorku?” tunjuknya yang sudah terbakar emosi. “Santai, Bro! Jangan suka marah-marah begitu!” sahut Alex yang telah beranjak dari tempat duduknya.Alex berdiri di samping meja dan memasukkan sebelah tangannya ke dalam saku celana. Perangainya yang lebih dewasa membuat Alex lebih bijak dalam mengatasi setiap masalah. Hanya saja karena hasutan Maria, akhirnya Dimitri menjatuhkan semua warisannya pada anak keduanya—Zain.Alexander dan ibunya tersingki