Share

10. Kenyataan yang harus Vinza tahu

“Jadi selama ini Si Udin itu nipu? Astaghfirullah, tega sekali dia. Kok bisa kamu enggak nanyain berapa uang yang ibu kamu terima?” tanya Pak Hamid syok.

“Aku pikir Mang Udin enggak gitu. Habis Ibu enggak ngomong apa-apa. Ternyata dia cuman enggak mau bebanin aku. Kasian Ibu. Rufy juga gimana?” Vinza berderai air mata. Ia tepuk-tepuk dadanya.

“Kita lapor polisi. Mana kejadiannya sudah lama. Si Udin bilangnya mau diantar ke kamu. Katanya kamu pulang dari Taiwan lanjut kerja di Bandung. Makanya mau bawa Rufy ke sana,” jelas Pak Hamid.

Vinza membuat laporan ke polsek setempat. Ia pun bingung hendak mencari Rufy ke mana. Polisi sendiri masih mencoba menyelidiki kasusnya. Selain sudah sangat lama pun tak banyak saksi saat kejadian.

Vinza duduk di makam ibunya. “Bu, Rufy belum juga ketemu. Aku takut, Bu. Takut kalau anakku jatuh ke orang yang salah. Gimana kalau dia disakiti?” tangan Vinza mengusap nisan ibunya. Air mata berderai. Hasil kerjanya selama dua tahu lebih lenyap tak bersisa dibawa Udin pergi.

Ada kabar yang menyebutkan jika Udin pernah terlihat di Bandung. Vinza lekas ke sana. Ia sampai menyewa kontrakan untuk tinggal. Satu per satu selembaran ia bagikan.

“Mungkin ketemu sama anak saya, Pak,” ucap Vinza memberikan selembaran pada orang yang berpapasan di jalan.

Hari demi hari berlalu. Cadangan uang Vinza hampir habis. Ia duduk di kamar kontrakannya dengan lemas. “Aku harus cari uang. Harus kerja. Buat cari Rufy pasti masih butuh uang banyak.”

Sambil mencari Rufy, Vinza mencoba mencari pekerjaan. Satu per satu toko ia datangi. Menurutnya itu lebih efektif karena ke toko akan banyak orang datang dan membantunya mencari Rufy. Selain itu, Vinza tak butuh gaji besar. Ia hanya hidup sendiri.

[Enam bulan kemudian]

“Selamat datang Tuan dan Nyonya!” sambut pelayan di rumah besar Bamantara. Biru dan istrinya akhirnya kembali ke rumah besar setelah lama harus mengatasi kemelut dalam perusahaan mereka.

“Tolong pastikan semua aman,” pesan David pada salah satu staf di sana.

“Kang David, mau ikut makan siang?” tawar Langit sambil tersenyum pada David.

“Apaan sih, La! Jangan senyum-senyum sama cowok lain!” omel David.

“Apa sih, A. Orang aku cuman nawarin,” keluh Langit.

“Nawarinnya enggak usah mesra gitu, La! Cakepan suami kamu ke mana-mana!” protes Biru.

“Terima kasih, Nyonya. Saya hari masih ada sesuatu yang harus di kerjakan. Saya pamit.” David menunduk. Ia lekas turun dari teras hendak masuk ke dalam mobil, tetapi sebuah bola menggelinding ke kaki dan menghentikan langkahnya.

“Aduh!” keluh pemilik bola yang mematung di kejauhan.

David meraih bola itu. Ia melirik ke asal bola itu menggelinding. Ada anak lelaki memakai topi berdiri sambil memegang ujung kaos. Ia terlihat lugu. Matanya menyipit. Sesekali menunduk seakan takut sesuatu.

“Ini punya kamu?” tanya David.

Anak itu mengangguk. David berikan bolanya. “Nih. Hati-hati. Nanti kalau keinjek orang, dia bisa jatuh,” ucap David dingin.

Anak itu mengambil bolanya. “Maacih,” jawab anak itu.

“Sudah. Sana main lagi.” Masih dingin cara David bicara.

“Heh! Ngomong sama anak kecil jangan kayak ngomong sama maling!” omel Biru.

Pria itu turun. Ia usap kepala anak pemilik bola. “Nama kamu siapa?” tanya Biru.

“Upi,” jawab Rufy.

“Nama kamu bagus. Kamu main sendiri di sini? Enggak ada temen?”

Rufy menggeleng. Tak lama Mawar datang. Ia menunduk di depan Biru. “Maaf Tuan Besar. Ini anak saya,” ungkap Mawar.

Biru menaikan alis. “Lho, bukannya Bu Mawar enggak punya anak?” Padahal berbulan-bulan lalu Biru sempat pulang dan ingat pembantunya itu tak memilik anak.

“Anak angkat, Tuan. Habis kami kesepian enggak punya anak. Syukur, Rufy ini datang sendiri ke kami.” Bu Mawar memeluk Rufy.

“Alhamdulillah. Dia nanti bakalan jadi penjaga Ibu dan Bapak,” timpal Biru.

“Aamiin, Tuan.”

Biru menyikut lengan David. “Minta maaf!” tegas Biru.

David mengangguk. “Maaf, Dek. Cara bicaraku memang gini,” ucap David.

“Elus rambutnya, Mukidi!” tegas Biru.

Lagi-lagi David merasa bodoh mau melakukan apa yang Biru bilang. Biru mendelik. “Gimana mau punya jodoh kalau kelakukan kayak kulkas freon!” sindir Biru.

David terbatuk. Ia benarkan dasinya. “Saya pulang dulu, Pak.” David menunduk lalu masuk ke dalam mobil.

Sepeninggal David, Minara- putri tunggal Biru datang mendekat. Ia tatap Rufy. “Kamu berapa tahun?” tanya Minara.

“Tiga,” jawab Rufy.

Mata Minara menatap Rufy lekat-lekat. “Kamu mencurigakan!” tunjuk Minara.

“Lha, ini bocah ikutan pulak! Sana ke Bunda!” omel Biru.

Minara menggeleng. Ia berkacak pinggang. “Pa, aku punya keyakinan besar. Dan kataku paradigma aku tuh sudah sesuai. Kayaknya anak ini ada apa-apa sama Oom David!” tegas Minara.

Biru berlutut di depan putrinya. “Tuan Putriku, jangan sok sebut-sebut paradigma-paradigmaan, deh! Kamu masih ngompol juga!”

“Jangan jatuhkan harga diriku, Papa!” omel Minara.

“Ya habis, kamu ikut campur omongan orang dewasa. Mau besok bangun jadi nenek-nenek?” ancam Biru.

“Memang tubuh dewasa semudah itu. Buktinya Tuan Biru Bamantara masih minta tidurnya ditemenin Bunda. Pasti takut hantu, ‘kan!” tuduh anak itu.

“Awas kamu, ya!” Biru hendak menjewer putrinya.

“Aa! Kalau jahat sama Minara, aku pukul pakek sapu lidi!” ancam Langit.

Biru menyerah. Ia lekas masuk ke dalam rumah. Sedang Minara masih terpaku akan wajah Rufy. “Kamu mirip sama Oom David. Emang enggak peka sih, Oom. Masa dia enggak curiga!” komentarnya. Lalu berbalik dan pergi.

Meski di kota yang sama, tak serta merta Vinza menemukan Rufy. Padahal sudah banyak orang ia beri selembaran dengan foto Rufy. “Belum ada kabar juga?” tanya Vinza pada Bu Hamid.

“Belum, Vin. Habis aduan anak hilang banyak. Kemarin ada sindikat penculikan tertangkap, tapi anak kamu enggak ada di daftar korban. Mereka masih nyoba nyari lagi,” jelas Bu Hamid.

“Di sini juga sama, Bu. Aku belum nemu Rufy. Padahal yang datang ke toko pakaianku orangnya beda-beda. Bahkan ada dari luar kota. Tetap saja enggak ada yang pernah lihat. Aku hampir nyerah, Bu. Mana uangku sudah kekuras habis.”

“Doa saja, Vin. Mudah-mudah Rufy di sana hidup nyaman dan penuh kasih sayang. Pas ketemu kamu dalam keadaan sehat.”

“Aamiin, makasih banyak, Bu.”

“Vinza!” panggil pemilik toko. Vinza pamitan dengan Bu Hamid dan lekas datang pada atasannya. “Baju merah ini kamu pajang di luar. Sekalian gantikan yang hijau ini sama yang abu,” titahnya.

“Iya, Bu.” Vinza menerima baju itu dan berjalan ke luar. Tak jauh dari toko Vinza melihat seorang ibu tengah bersama anaknya. Anak itu makan es krim berjalan menuju sebuah toko mainan.

“Rufy, Bunda bawain mobil-mobilan buat Rufy. Kapan Rufy mau mainin mobilnya? Bunda kangen sama Rufy.”

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Nyoman Dira
lumayan di pakai bahan bacaan
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status