“Jadi selama ini Si Udin itu nipu? Astaghfirullah, tega sekali dia. Kok bisa kamu enggak nanyain berapa uang yang ibu kamu terima?” tanya Pak Hamid syok.
“Aku pikir Mang Udin enggak gitu. Habis Ibu enggak ngomong apa-apa. Ternyata dia cuman enggak mau bebanin aku. Kasian Ibu. Rufy juga gimana?” Vinza berderai air mata. Ia tepuk-tepuk dadanya.“Kita lapor polisi. Mana kejadiannya sudah lama. Si Udin bilangnya mau diantar ke kamu. Katanya kamu pulang dari Taiwan lanjut kerja di Bandung. Makanya mau bawa Rufy ke sana,” jelas Pak Hamid.Vinza membuat laporan ke polsek setempat. Ia pun bingung hendak mencari Rufy ke mana. Polisi sendiri masih mencoba menyelidiki kasusnya. Selain sudah sangat lama pun tak banyak saksi saat kejadian.Vinza duduk di makam ibunya. “Bu, Rufy belum juga ketemu. Aku takut, Bu. Takut kalau anakku jatuh ke orang yang salah. Gimana kalau dia disakiti?” tangan Vinza mengusap nisan ibunya. Air mata berderai. Hasil kerjanya selama dua tahu lebih lenyap tak bersisa dibawa Udin pergi.Ada kabar yang menyebutkan jika Udin pernah terlihat di Bandung. Vinza lekas ke sana. Ia sampai menyewa kontrakan untuk tinggal. Satu per satu selembaran ia bagikan.“Mungkin ketemu sama anak saya, Pak,” ucap Vinza memberikan selembaran pada orang yang berpapasan di jalan.Hari demi hari berlalu. Cadangan uang Vinza hampir habis. Ia duduk di kamar kontrakannya dengan lemas. “Aku harus cari uang. Harus kerja. Buat cari Rufy pasti masih butuh uang banyak.”Sambil mencari Rufy, Vinza mencoba mencari pekerjaan. Satu per satu toko ia datangi. Menurutnya itu lebih efektif karena ke toko akan banyak orang datang dan membantunya mencari Rufy. Selain itu, Vinza tak butuh gaji besar. Ia hanya hidup sendiri.[Enam bulan kemudian]“Selamat datang Tuan dan Nyonya!” sambut pelayan di rumah besar Bamantara. Biru dan istrinya akhirnya kembali ke rumah besar setelah lama harus mengatasi kemelut dalam perusahaan mereka.“Tolong pastikan semua aman,” pesan David pada salah satu staf di sana.“Kang David, mau ikut makan siang?” tawar Langit sambil tersenyum pada David.“Apaan sih, La! Jangan senyum-senyum sama cowok lain!” omel David.“Apa sih, A. Orang aku cuman nawarin,” keluh Langit.“Nawarinnya enggak usah mesra gitu, La! Cakepan suami kamu ke mana-mana!” protes Biru.“Terima kasih, Nyonya. Saya hari masih ada sesuatu yang harus di kerjakan. Saya pamit.” David menunduk. Ia lekas turun dari teras hendak masuk ke dalam mobil, tetapi sebuah bola menggelinding ke kaki dan menghentikan langkahnya.“Aduh!” keluh pemilik bola yang mematung di kejauhan.David meraih bola itu. Ia melirik ke asal bola itu menggelinding. Ada anak lelaki memakai topi berdiri sambil memegang ujung kaos. Ia terlihat lugu. Matanya menyipit. Sesekali menunduk seakan takut sesuatu.“Ini punya kamu?” tanya David.Anak itu mengangguk. David berikan bolanya. “Nih. Hati-hati. Nanti kalau keinjek orang, dia bisa jatuh,” ucap David dingin.Anak itu mengambil bolanya. “Maacih,” jawab anak itu.“Sudah. Sana main lagi.” Masih dingin cara David bicara.“Heh! Ngomong sama anak kecil jangan kayak ngomong sama maling!” omel Biru.Pria itu turun. Ia usap kepala anak pemilik bola. “Nama kamu siapa?” tanya Biru.“Upi,” jawab Rufy.“Nama kamu bagus. Kamu main sendiri di sini? Enggak ada temen?”Rufy menggeleng. Tak lama Mawar datang. Ia menunduk di depan Biru. “Maaf Tuan Besar. Ini anak saya,” ungkap Mawar.Biru menaikan alis. “Lho, bukannya Bu Mawar enggak punya anak?” Padahal berbulan-bulan lalu Biru sempat pulang dan ingat pembantunya itu tak memilik anak.“Anak angkat, Tuan. Habis kami kesepian enggak punya anak. Syukur, Rufy ini datang sendiri ke kami.” Bu Mawar memeluk Rufy.“Alhamdulillah. Dia nanti bakalan jadi penjaga Ibu dan Bapak,” timpal Biru.“Aamiin, Tuan.”Biru menyikut lengan David. “Minta maaf!” tegas Biru.David mengangguk. “Maaf, Dek. Cara bicaraku memang gini,” ucap David.“Elus rambutnya, Mukidi!” tegas Biru.Lagi-lagi David merasa bodoh mau melakukan apa yang Biru bilang. Biru mendelik. “Gimana mau punya jodoh kalau kelakukan kayak kulkas freon!” sindir Biru.David terbatuk. Ia benarkan dasinya. “Saya pulang dulu, Pak.” David menunduk lalu masuk ke dalam mobil.Sepeninggal David, Minara- putri tunggal Biru datang mendekat. Ia tatap Rufy. “Kamu berapa tahun?” tanya Minara.“Tiga,” jawab Rufy.Mata Minara menatap Rufy lekat-lekat. “Kamu mencurigakan!” tunjuk Minara.“Lha, ini bocah ikutan pulak! Sana ke Bunda!” omel Biru.Minara menggeleng. Ia berkacak pinggang. “Pa, aku punya keyakinan besar. Dan kataku paradigma aku tuh sudah sesuai. Kayaknya anak ini ada apa-apa sama Oom David!” tegas Minara.Biru berlutut di depan putrinya. “Tuan Putriku, jangan sok sebut-sebut paradigma-paradigmaan, deh! Kamu masih ngompol juga!”“Jangan jatuhkan harga diriku, Papa!” omel Minara.“Ya habis, kamu ikut campur omongan orang dewasa. Mau besok bangun jadi nenek-nenek?” ancam Biru.“Memang tubuh dewasa semudah itu. Buktinya Tuan Biru Bamantara masih minta tidurnya ditemenin Bunda. Pasti takut hantu, ‘kan!” tuduh anak itu.“Awas kamu, ya!” Biru hendak menjewer putrinya.“Aa! Kalau jahat sama Minara, aku pukul pakek sapu lidi!” ancam Langit.Biru menyerah. Ia lekas masuk ke dalam rumah. Sedang Minara masih terpaku akan wajah Rufy. “Kamu mirip sama Oom David. Emang enggak peka sih, Oom. Masa dia enggak curiga!” komentarnya. Lalu berbalik dan pergi.Meski di kota yang sama, tak serta merta Vinza menemukan Rufy. Padahal sudah banyak orang ia beri selembaran dengan foto Rufy. “Belum ada kabar juga?” tanya Vinza pada Bu Hamid.“Belum, Vin. Habis aduan anak hilang banyak. Kemarin ada sindikat penculikan tertangkap, tapi anak kamu enggak ada di daftar korban. Mereka masih nyoba nyari lagi,” jelas Bu Hamid.“Di sini juga sama, Bu. Aku belum nemu Rufy. Padahal yang datang ke toko pakaianku orangnya beda-beda. Bahkan ada dari luar kota. Tetap saja enggak ada yang pernah lihat. Aku hampir nyerah, Bu. Mana uangku sudah kekuras habis.”“Doa saja, Vin. Mudah-mudah Rufy di sana hidup nyaman dan penuh kasih sayang. Pas ketemu kamu dalam keadaan sehat.”“Aamiin, makasih banyak, Bu.”“Vinza!” panggil pemilik toko. Vinza pamitan dengan Bu Hamid dan lekas datang pada atasannya. “Baju merah ini kamu pajang di luar. Sekalian gantikan yang hijau ini sama yang abu,” titahnya.“Iya, Bu.” Vinza menerima baju itu dan berjalan ke luar. Tak jauh dari toko Vinza melihat seorang ibu tengah bersama anaknya. Anak itu makan es krim berjalan menuju sebuah toko mainan.“Rufy, Bunda bawain mobil-mobilan buat Rufy. Kapan Rufy mau mainin mobilnya? Bunda kangen sama Rufy.”Mobil itu menepi di sebuah desa. Selama tiga tahun ia pergi, kampung itu tak banyak berubah. Jalanannya masih bebatuan dan rimbun pepohonan tinggi di mana warga mengaitkan kehidupan, ada pohon jati, kemiri, petai, jengkol hingga melinjo. Mengenakan hoodie, ia berjalan menyusuri jalan kampung. Beberapa anak-anak kagum melihat betapa mengkilat mobil yang ia parkir di sana. Hitam dan bersih pun bodynya besar juga garang. Beberapa ada yang berubah. Kandang kambing yang biasa digunakan siswa-siswa SMP dekat kampung itu untuk buang air kini tak ada. Sawah berganti menjadi rumah dan lahan cabe rawit. Kini ia berhenti di depan sebuah rumah yang sudah reot. Kacanya pecah dan halaman terlihat kotor penuh debu dan daun berserakan. “Mereka pindah?” pikir David. Ia berbalik. Kembali David berjalan ke rumah besar tak jauh dari sana. Ada rumah gedung berlantai dua dengan cat jingga. Ada seorang perempuan tengah mengandung. Ia menyapu halaman dengan sapu lidi. “Ini rumah Pak Dedih?” tanya David.
“Assalamu’alaikum, Bu Ifa?” tanya Vinza. “Neng, David ke sini tadi. Dia nitipin surat ke satpam. Tapi Ibu enggak sempat ketemu. Tapi dari surat yang dia tinggalin katanya mungkin nanti ada orangnya datang ke sini kasih sumbangan. Ibu nanti akan titip pesan ke mereka, ya?” ungkap Bu Ifa. “Iya, Bu. Makasih. Sekalian ngomong sama Si Berengsek itu kalau anaknya ilang!” timpal Vinza. “Iya, Neng. Gimana? Belum ada kabar soal Rufy?”“Boro-boro, Bu. Ada yang nelpon malah orang aneh semua. Kemarin Vizna di PHPin. Katanya nemuin Rufy dan ajak ketemuan di alun-alun. Vinza tungguin sampai berjam-jam, orangnya enggak ada, Bu.”“Astaghfirullah. Kasian sekali kamu. Yang tabah, Neng.”“Iya, Bu. Makasih banyak.”Setelah menutup telpon. Vinza menghentakan kaki ke lantai. “Emang enggak tahu diri dia! Harusnya dia tanya-tanya sama orang! Andai saja aku ketemu sama dia! Sudah aku lelepin ke balong (kolam)!” pekik Vinza kesal. David tiba di apartemennya. Ia melepas hoodie dan melempar ke atas meja. Tub
Hari itu diadakan acara makan bersama di rumah Biru. David datang dengan setelan kemejanya. Sudah ada teman-teman Biru di sana. Rencananya David hendak pamitan sebelum pulang ke Hongkong. “Sekarang Ara sudah segede gini, tapi Oomnya masih jomlo saja,” ledek Randy, teman Biru. Jelas itu hantaman terbesar bagi Miki dan Roland, teman mereka. “Itu takdir, woy. Mana mungkin aku bisa melawan,” alasan Rolan. “Inget, Bro. Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum, tanpa kaum itu merubah nasibnya sendiri,” ceramah Biru. Rolan tak mampu berkata-kata lagi. Ia hanya menerima nasibnya. Jadi jomlo di antara teman yang sudah menikah memang menyakitkan. “Dengar kawan. Bukannya aku tak berjuang merubah nasib. Hanya saja mencari wanita baik itu seperti mencari jarum ditumpukan jerami. Contoh saja David, kurang apa coba? Ganteng dan mulus kayak panci masih dalam dus, masih jomlo. Apalagi aku yang kayak panci gosong.” Miki bisa saja membuat alasan. Sedang orang yang ia sebut hanya senyum. David sel
David pamitan lebih dulu. Ia berjalan keluar setelah mendengar kedatangan Viane ke Indonesia. “Pastikan jangan sampai dia tahu aku tinggal di mana. Aku tak mau dia ganggu aku!” tegas David. Di teras ia hampir menabrak anak kecil yang tadi mengintip di tiang."Kenapa juga aku harus berurusan dengan bocah?" David memutar bola mata. Tak tahu kenapa dia merasa anak kecil itu ribet dan berisik. Meski dia pernah menjadi anak kecil. Mungkin karena dia tinggal di panti dan terpaksa jadi mandiri, karena itu dia tak memaklumi sikap manja anak lainnya.“Kamu bisa, tidak berkeliaran di rumah ini sembarangan, ‘kan? Kalau aku nabrak kamu, aku bisa disalahkan!” omel David sambil berkacak pinggang. Matanya melotot dengan sedikit merah di bagian bawah kelopak mata.Rufy menunduk. “Maaf,” timpal Rufy. Dia masiu terlalu kecil sehingga mudah merasa takut. Tubuhnya yang mungil dipaksa menghadapi dunia yang penuh dengan orang dewasa yang tinggi dan besar.“Mana orang tua kamu? Biar aku bicara dengan mereka
“Dak mau, Upi mo cali Bunda Insa,” rengeknya. Tangisnya pecah di dalam mobil David. Anak itu sampai menendang-nendang sisi jok sambil terduduk meluruskan kaki. David bingung bagaimana harus menghadapi anak sekecil ini. Dia tak punya pengalaman dan tak ingin mengalami.“Gini, Oom kasih kamu permen? Cokelat? Mobil-mobilan?” tanya David mencoba melakukan berbagai cara. Dia tak tahan dengan keberisikan ini.“Upi mo Bunda .... Mo Bunda .... Cali Bunda ....” Rufy masih terus saja merengek tiada henti. Bahkan sampai merosot dia ke lantai mobil lalu memanjat lagi ke jok.Ini bukan pertama kalinya Rufy kabur dari rumah Bamantara. Ia tak pernah berhasil. Kadang baru sampai gerbang sudah ketahuan. Baru kali ini dia berhasil kabur sangat jauh. Mana mungkin anak ini mau dipulangkan kembali. Apalagi jika kesempatan bertemu dengan ibunya hilang lenyap karena itu.“Orang tua angkat kamu sangat sayang kamu.” David mencoba memberikan anak itu pengertian. Paling tidak dia bisa menghargai apa yang dimili
David tertegun. Matanya terbelalak. Ia tatap anak di hadapannya yang tengah duduk menghadap polisi. “Iya. Bunda Insa. Keja jauh. Upi bayi, Bunda Insa keja jauh,” jawab anak itu. David sampai mundur. Ia berpegangan ke tembok takut terjungkal. “Vinza?” pikirnya. Sejenak David ingat ucapan Minara. “Anak ini mirip Oom David.”“Bunda Vinza cari Rufy. Nanti Oom telpon Bunda Vinza supaya jemput Rufy ke sini, ya?” Polisi mengangkat tangan agar Rufy mau ‘tos’. Anak itu menanggapi sebagai rasa persetujuan. “Vinza? Jadi Vinza masih hidup. Istri Hadi yang meninggal itu bukan Vinza. Terus anak ini?” batin David. “Pak, boleh saya lihat data ibunya?” David mendekat pada polisi yang tengah menanyai Rufy. Polisi mengangguk. Ia perlihatkan data Rufy di layar komputer. Foto ibu Rufy benar wanita yang putus dengannya tiga tahun lalu. David tersenyum sinis. Ia tatap anak yang kini tengah duduk sambil memeluk ember es krim. Rufy melihat-lihat ke sekitar. David duduk berlutut agar sejajar dengan mata R
Pagi itu, David bangun sambil meminum kopi di balkon. Rufy masih tidur di kamar lain. Semalam dia merengek karena tak mau tidur sendiri. Akhirnya David suruh pelayan menemani anak itu. Sekretarisnya datang ke balkon. Pria itu menunduk di depan David sebagai tanda hormat. “Hasilnya sudah keluar, Tuan Muda.”David sempatkan ke rumah sakit untuk melihat kecocokan DNA dirinya dengan Rufy tadi malam. Sesuai keinginannya, tes itu dilakukan secara cepat. David terima lembaran hasil tes dari tangan sekretarisnya. Bukti ilmiah yang diperoleh dengan mengacu pada sample yang diperiksa menunjukan bahwa 23 alel loci marka STR yang dianalisis dari terduga ayah Damier Lau COCOK dengan alel paternal dari anak Rufy Hartawan Pisada. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa probabilitas Damier Lau sebagai ayah biologis dari Rufy Hartawan Pisada adalah >99,99%. Oleh karena itu Damier Lau sebagai terduga ayah tidak dapat disingkirkan dari kemungkinan sebagai ayah biologis dari Rufy Hartawan Pisada.Glek,
Selesai berpakaian, David kembali harus berurusan dengan cara makan anaknya. Terdengar beberapa kali bunyi sendok dan piring beradu. “Kamu kalau makan bisa enggak bunyi apa? Aku pusing dengarnya!” omel David. Rufy naik dan berdiri di kursi. “Uapin! Upi dak bisa,” pinta Rufy. “Aku juga mau makan,” timpal David. Rufy merengut. Ia kembali duduk. Hendak tangannya mengambil makanan, David langsung berteriak. “Stop!” tegas David. Rufy terhenti. “Pelayan! Suapi Tuan Muda!” titah David.Rufy menyipitkan mata. “Oom teiak teiak aja. Dak nuluh olang tua!” omel Rufy. “Tadi juga kamu nyuruh aku nyuapi kamu,” balas David. “Itu minta,” ralat Rufy.David merengut. “Apa bedanya?” “Tau, ah! Oom galak!” protes Rufy. Pelayan lekas mengambil sendok dan menyuapi Rufy. Sedang David masih makan. “Tuan Muda, Nona Viane menelpon. Dia tanya kapan anda kembali ke Bogor?” ungkap sekretarisnya. “Katakan padanya. Aku ada di Batam.”“Nona Viane mengatakan, dia ingin anda yang memberi tahu sendiri keberadaan