Home / Rumah Tangga / Ayah Mana? / 10. Kenyataan yang harus Vinza tahu

Share

10. Kenyataan yang harus Vinza tahu

Author: Elara murako
last update Last Updated: 2023-02-01 20:04:13

“Jadi selama ini Si Udin itu nipu? Astaghfirullah, tega sekali dia. Kok bisa kamu enggak nanyain berapa uang yang ibu kamu terima?” tanya Pak Hamid syok.

“Aku pikir Mang Udin enggak gitu. Habis Ibu enggak ngomong apa-apa. Ternyata dia cuman enggak mau bebanin aku. Kasian Ibu. Rufy juga gimana?” Vinza berderai air mata. Ia tepuk-tepuk dadanya.

“Kita lapor polisi. Mana kejadiannya sudah lama. Si Udin bilangnya mau diantar ke kamu. Katanya kamu pulang dari Taiwan lanjut kerja di Bandung. Makanya mau bawa Rufy ke sana,” jelas Pak Hamid.

Vinza membuat laporan ke polsek setempat. Ia pun bingung hendak mencari Rufy ke mana. Polisi sendiri masih mencoba menyelidiki kasusnya. Selain sudah sangat lama pun tak banyak saksi saat kejadian.

Vinza duduk di makam ibunya. “Bu, Rufy belum juga ketemu. Aku takut, Bu. Takut kalau anakku jatuh ke orang yang salah. Gimana kalau dia disakiti?” tangan Vinza mengusap nisan ibunya. Air mata berderai. Hasil kerjanya selama dua tahu lebih lenyap tak bersisa dibawa Udin pergi.

Ada kabar yang menyebutkan jika Udin pernah terlihat di Bandung. Vinza lekas ke sana. Ia sampai menyewa kontrakan untuk tinggal. Satu per satu selembaran ia bagikan.

“Mungkin ketemu sama anak saya, Pak,” ucap Vinza memberikan selembaran pada orang yang berpapasan di jalan.

Hari demi hari berlalu. Cadangan uang Vinza hampir habis. Ia duduk di kamar kontrakannya dengan lemas. “Aku harus cari uang. Harus kerja. Buat cari Rufy pasti masih butuh uang banyak.”

Sambil mencari Rufy, Vinza mencoba mencari pekerjaan. Satu per satu toko ia datangi. Menurutnya itu lebih efektif karena ke toko akan banyak orang datang dan membantunya mencari Rufy. Selain itu, Vinza tak butuh gaji besar. Ia hanya hidup sendiri.

[Enam bulan kemudian]

“Selamat datang Tuan dan Nyonya!” sambut pelayan di rumah besar Bamantara. Biru dan istrinya akhirnya kembali ke rumah besar setelah lama harus mengatasi kemelut dalam perusahaan mereka.

“Tolong pastikan semua aman,” pesan David pada salah satu staf di sana.

“Kang David, mau ikut makan siang?” tawar Langit sambil tersenyum pada David.

“Apaan sih, La! Jangan senyum-senyum sama cowok lain!” omel David.

“Apa sih, A. Orang aku cuman nawarin,” keluh Langit.

“Nawarinnya enggak usah mesra gitu, La! Cakepan suami kamu ke mana-mana!” protes Biru.

“Terima kasih, Nyonya. Saya hari masih ada sesuatu yang harus di kerjakan. Saya pamit.” David menunduk. Ia lekas turun dari teras hendak masuk ke dalam mobil, tetapi sebuah bola menggelinding ke kaki dan menghentikan langkahnya.

“Aduh!” keluh pemilik bola yang mematung di kejauhan.

David meraih bola itu. Ia melirik ke asal bola itu menggelinding. Ada anak lelaki memakai topi berdiri sambil memegang ujung kaos. Ia terlihat lugu. Matanya menyipit. Sesekali menunduk seakan takut sesuatu.

“Ini punya kamu?” tanya David.

Anak itu mengangguk. David berikan bolanya. “Nih. Hati-hati. Nanti kalau keinjek orang, dia bisa jatuh,” ucap David dingin.

Anak itu mengambil bolanya. “Maacih,” jawab anak itu.

“Sudah. Sana main lagi.” Masih dingin cara David bicara.

“Heh! Ngomong sama anak kecil jangan kayak ngomong sama maling!” omel Biru.

Pria itu turun. Ia usap kepala anak pemilik bola. “Nama kamu siapa?” tanya Biru.

“Upi,” jawab Rufy.

“Nama kamu bagus. Kamu main sendiri di sini? Enggak ada temen?”

Rufy menggeleng. Tak lama Mawar datang. Ia menunduk di depan Biru. “Maaf Tuan Besar. Ini anak saya,” ungkap Mawar.

Biru menaikan alis. “Lho, bukannya Bu Mawar enggak punya anak?” Padahal berbulan-bulan lalu Biru sempat pulang dan ingat pembantunya itu tak memilik anak.

“Anak angkat, Tuan. Habis kami kesepian enggak punya anak. Syukur, Rufy ini datang sendiri ke kami.” Bu Mawar memeluk Rufy.

“Alhamdulillah. Dia nanti bakalan jadi penjaga Ibu dan Bapak,” timpal Biru.

“Aamiin, Tuan.”

Biru menyikut lengan David. “Minta maaf!” tegas Biru.

David mengangguk. “Maaf, Dek. Cara bicaraku memang gini,” ucap David.

“Elus rambutnya, Mukidi!” tegas Biru.

Lagi-lagi David merasa bodoh mau melakukan apa yang Biru bilang. Biru mendelik. “Gimana mau punya jodoh kalau kelakukan kayak kulkas freon!” sindir Biru.

David terbatuk. Ia benarkan dasinya. “Saya pulang dulu, Pak.” David menunduk lalu masuk ke dalam mobil.

Sepeninggal David, Minara- putri tunggal Biru datang mendekat. Ia tatap Rufy. “Kamu berapa tahun?” tanya Minara.

“Tiga,” jawab Rufy.

Mata Minara menatap Rufy lekat-lekat. “Kamu mencurigakan!” tunjuk Minara.

“Lha, ini bocah ikutan pulak! Sana ke Bunda!” omel Biru.

Minara menggeleng. Ia berkacak pinggang. “Pa, aku punya keyakinan besar. Dan kataku paradigma aku tuh sudah sesuai. Kayaknya anak ini ada apa-apa sama Oom David!” tegas Minara.

Biru berlutut di depan putrinya. “Tuan Putriku, jangan sok sebut-sebut paradigma-paradigmaan, deh! Kamu masih ngompol juga!”

“Jangan jatuhkan harga diriku, Papa!” omel Minara.

“Ya habis, kamu ikut campur omongan orang dewasa. Mau besok bangun jadi nenek-nenek?” ancam Biru.

“Memang tubuh dewasa semudah itu. Buktinya Tuan Biru Bamantara masih minta tidurnya ditemenin Bunda. Pasti takut hantu, ‘kan!” tuduh anak itu.

“Awas kamu, ya!” Biru hendak menjewer putrinya.

“Aa! Kalau jahat sama Minara, aku pukul pakek sapu lidi!” ancam Langit.

Biru menyerah. Ia lekas masuk ke dalam rumah. Sedang Minara masih terpaku akan wajah Rufy. “Kamu mirip sama Oom David. Emang enggak peka sih, Oom. Masa dia enggak curiga!” komentarnya. Lalu berbalik dan pergi.

Meski di kota yang sama, tak serta merta Vinza menemukan Rufy. Padahal sudah banyak orang ia beri selembaran dengan foto Rufy. “Belum ada kabar juga?” tanya Vinza pada Bu Hamid.

“Belum, Vin. Habis aduan anak hilang banyak. Kemarin ada sindikat penculikan tertangkap, tapi anak kamu enggak ada di daftar korban. Mereka masih nyoba nyari lagi,” jelas Bu Hamid.

“Di sini juga sama, Bu. Aku belum nemu Rufy. Padahal yang datang ke toko pakaianku orangnya beda-beda. Bahkan ada dari luar kota. Tetap saja enggak ada yang pernah lihat. Aku hampir nyerah, Bu. Mana uangku sudah kekuras habis.”

“Doa saja, Vin. Mudah-mudah Rufy di sana hidup nyaman dan penuh kasih sayang. Pas ketemu kamu dalam keadaan sehat.”

“Aamiin, makasih banyak, Bu.”

“Vinza!” panggil pemilik toko. Vinza pamitan dengan Bu Hamid dan lekas datang pada atasannya. “Baju merah ini kamu pajang di luar. Sekalian gantikan yang hijau ini sama yang abu,” titahnya.

“Iya, Bu.” Vinza menerima baju itu dan berjalan ke luar. Tak jauh dari toko Vinza melihat seorang ibu tengah bersama anaknya. Anak itu makan es krim berjalan menuju sebuah toko mainan.

“Rufy, Bunda bawain mobil-mobilan buat Rufy. Kapan Rufy mau mainin mobilnya? Bunda kangen sama Rufy.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Nyoman Dira
lumayan di pakai bahan bacaan
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Ayah Mana?   116. Ingin nonton (tamat)

    “Begini Bu Guru. Hari Minggu ini Rufy punya acara nonton di rumah. Bunda bolehin Rufy untuk nonton hanya setengah jam. Masalahnya ada dua yang mau Rufy tonton. Rufy suka Tayo juga suka Pocoyo. Baiknya Rufy pilih mana?” Bu Guru berpikir. “Mungkin untuk ini, Rufy bisa melakukan undian,” saran guru. “Undian?” Rufy rasanya belum pernah mendengar kata itu.“Iya, begini.” Guru membuat dua sobekan kertas. Ia tulis kedua nama acara itu di kedua kertas yang berbeda. Guru lipat kedua kertas dan memasukan dalam saku lalu memutar tangannya dalam saku agar kedua kertas itu teracak. Setelah itu, dia kembalikan ke atas meja. “Pilih salah satu,” saran guru dengan begitu detailnya.Rufy pilih salah satu kertas dan membacanya. “Tayo! Jadi Rufy nonton Tayo minggu ini. Yeay! Makasih banyak Bu Guru,” ucap Rufy. Dia senang karena apa yang menjadi beban belakangan ini hilang.Hari Minggu pun tiba. Rufy bangun subuh untuk salat subuh. Dia kenakan pakaian koko dan berjamaah dengan kedua orang tuanya. Selesa

  • Ayah Mana?   115. Galau

    Mr. Hang menahan tawa. “Maaf, Pak. Yang keren itu kalau banyak follower, bukan following.”“Iya, kah? Kalau gitu aku berhenti follow saja,” keluh David. “Pasti banyak yang follow anda, Pak. Apalagi anda seorang Chairman perusahaan besar. Anda tinggal umumkan saja pada media,” jelas Mr. Hang. “Benarkah?”“Iya. Apalagi kalau nama akunnya sudah centang biru. Pasti semakin banyak yang follow.”David menganggukan kepala. Ia lekas kembali memeriksa ponselnya. Tak lama dia berpikir. Jadi nama yang centang biru itu populer. Ia intip profil milik Biru Bamantara yang bercentang Biru. Di sana timbul rasa iri di hati David. “Dia pikir aku enggak bisa kayak dia apa!” Sore itu David pulang ke rumah. Dia sudah disambut pelayan dan istrinya di depan pintu. “Gimana kerjaan hari ini? Kamu sibuk terus main Instragram,” omel Vinza. “Maklum, soalnya akun aku ‘kan centang biru,” jawab David. Vinza menaikan alis. “Follower kamu baru empat biji, gimana bisa centang biru?” tanya Vinza bingung. Saking pen

  • Ayah Mana?   114. postingan

    “Aplod ini, ah!” seru Rufy saat dirinya selesai membuat vlog pribadi saat sedang mengerjakan PR. Dia punya akun instagram sendiri yang terhubung dengan akun Vinza. Jadi, Vinza bisa mengawasi penggunaan media sosial putranya. Zaman semakin maju, bukan artinya anak tak boleh memakai gadget bukan juga boleh memakai gadget. Untuk anak seusia Rufy yang baru menginjak kelas TK, penggunaan gadget hanya boleh selama lima belas menit sehari. Namun perlu diingat, orang tua harus lebih pintar dalam menggunakan teknologi dari pada putranya. Jangan seperti Koko Dapit. “Upload apa?” David mengintip ke layar ponsel Rufy. “Tadi Upi bikin vlog buat PR sendiri. Followers Rufy sudah banyak, Yah,” jawab Rufy. “Ouh. Vlog itu apa?” tanya David. David bukannya gaptek. Dia bisa melakukan peretasan, menggunakan tagar sebagai media komunikasi, bahkan merancang aplikasi. Hanya saja dia tak tahu bahasa media sosial kekinian karena dia hanya punya twitter. Itu pun tidak pernah membuat cuitan. Apalagi instagr

  • Ayah Mana?   113. ageisme

    “Penting bagi kita menambah wawasan dalam berbagai bidang. Ini membantu mencari peluang bisnis baru apalabila bisnis lama terpuruk. Jangan sampai kita main dalam kubangan sampai kita tak sadar seluruh tubuh kita kotor dan kemungkinan badan kita sakit,” jelas David saat ditanya tentang sektor baru yang kini tengah ditekuni Heaven Grouph saat jam rehat seminar. Pengisi seminar itu adalah salah satu pengusaha sukses Indonesia yang perusahaannya sudah menjadi perusahaan kelas dunia di Amerika. Karena itu David sangat bersemangat untuk datang. “Pasti wawasanmu luas sekali ya dengan usia segitu? Sepertinya Papamu sering ajak kamu jalan-jalan ke luar negeri,” ucap salah satu tamu undangan yang juga pengusaha. David melirik sumber suara. “Maaf?” tanya David bingung. “Iya, kadang bicara perubahan memang mudah. Apalagi bagi anak muda yang jiwanya masih menggebu. Hanya saja strategi kalau sedang tak untung ya pasti rugi besar. Banyak yang ingin mencoba sektor baru, justru malah bangkrut. Leb

  • Ayah Mana?   112. Berkembang

    “Bu,” panggil Cyan. “Apa?” tanya Vinza. Cyan menunjuk ke pintu. David sudah berdiri di depan pintu cattery. Kandang kucing Vinza ada di rumah keluarga Lau dan memiliki arena main sendiri. Ruangannya full AC dan ada keeper yang merawat setiap hari. “Assalamu’alaikum,” salam David. “Wa’alaikusalam, Yah,” jawab Rufy dan Vinza. Cyan berdiri lalu berlari mengulurkan tangan minta Ayahnya gendong. David lekas menggendong Cyan dan menciumnya. Lalu menghampiri Rufy pun mencium kening putranya. “Kakak gimana kabarnya?” tanya David. “Baik, Yah. Tadi Upi di sekolah dapat piala. Semua dapat piala, sih. Yang mau bikin origami dikasih piala,” cerita Rufy. “Alhamdulillah. Kakak senang dong di sekolah? Hebat anak Ayah mau belajar bikin origami,” puji Ayahnya. Rufy berjalan ke belakang David dan memeluk Ayahnya dari belakang. “Ayah baru pulang kerja?” tanya Rufy. “Sudah dari tadi. Ke rumah dulu, mandi, ganti baju baru ke sini. Kalau habis dari luar kan kita harus mandi dulu dan ganti baju.”“Iy

  • Ayah Mana?   111. kucing

    “Kucing yang ini sudah dibawa untuk diperiksa belum?” tanya Vinza memastikan kucing peliharaannya. Dia punya rumah kucing sendiri, di mana dia bisa memelihara dan breeding aneka kucing ras. Kucing yang ia pelihara awalnya hanya lima ekor dengan usia satu tahun. Vinza punya dua pasang kucing persia dan tiga ekor Scottish fold berbulu pendek. Kucing-kucing mahal itu David belikan karena tahu istrinya suka memelihara hewan. Benar saja, saat kucing Vinza berusia lebih dari setahun, mereka langsung berkembang biak dan memiliki masing-masing dua anak. Hanya ada satu kucing masih jomlo hingga Vinza jodohkan dengan kucing milik kenalan David. “Cyan, liat Unyil guling-guling,” seru Rufy menunjuk kucing scottish warna abu-abu yang masih berusia tiga bulan. Cyan mencoba berdiri meraih kucing itu, tetapi kucing berlari. Dengan langkah yang masih belum tegar, Cyan masih berusaha menangkap kucing. Akhirnya dia dapat kucing persia jingga. Dipeluk kucing itu, sayang karena salah peluk, kucingnya me

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status