LOGINAbian, CEO muda dan perfeksionis baru saja dikhianati oleh tunangannya. Luka itu belum sembuh, tapi keluarganya punya rencana lain yaitu sebuah perjodohan demi citra dan bisnis. Nama Reina terucap, membuat lelaki itu teringat akan hubungan FWB -nya bersama Reina. Reina sendiri tentu saja menolak keras perjodohan itu karena ia sudah memiliki kekasih, seorang dokter muda spesialis kandungan, Raka. Namun, hubungannya tidak mendapatkan restu karena status Raka yang tak pantas untuk Reina. Sang mama bersikeras menjodohkan Reina dengan Abian. Dalam sekejap, Abian dan Reina sudah terikat dalam pernikahan tanpa cinta dan kesepakatan antara mereka berdua. Tanpa mereka tahu, keduanya sedang menjadi korban dari dua pengkhianat yang sama. Selingkuh. Manipulasi. Rahasia kelam. Pernikahan yang dipenuhi dendam dan gairah yang belum padam. Mampukah mereka membangun cinta dari fondasi pengkhianatan, rahasia, dan kekuasaan?
View MoreReina membanting gelas ke meja. Cipratan air menyembur ke taplak meja dan lantai, sementara sisa air putih yang belum sempat ia telan kini mengalir dari sudut bibirnya.
“Kamu akan kami jodohkan,” ucap mama Reina membuatnya menyemburkan air putih karena kaget.
Batuknya pecah. Reina memandang ibunya dengan mata terbelalak, lalu menggeleng keras. “Ma, serius?”
Mamanya mengangguk pelan.
“Ma, kita sudah bahas ini kemarin. Aku nggak mau. Aku udah punya Raka.”
“Dia anak haram, Reina,” ujar Mama, nadanya memelan. “Kamu tahu itu akan jadi masalah dalam keluarga.”
Reina mendesah panjang. “Salahnya dimana? Dia dokter, Ma. Aku sayang sama dia dan yang menjalankan pernikahan itu juga aku.”
“Kamu gak lupa kamu anak satu-satunya WS Group, kan?,” suara sang mama semakin tinggi. “Papa sudah diskusi dengan sahabat lamanya. Besok temui dia di kantornya. Namanya Abian, CEO Brawijaya. Kamu pasti mengenalnya karena dia pernah jadi dosen di kampusmu dulu.”
Reina menatap horor mamanya. “Hah?”
Nama Abian langsung memantik kenangan buruk dari masa lalu. Dia bukan sekadar dosen pembimbing saat Reina menempuh S1—laki-laki dengan hidup yang selalu tertata, teratur, penuh rencana, dan penuh kontrol itu pernah menjalin hubungan tanpa status dengannya. Lebih buruknya lagi, Abian adalah mantan FWB Reina.
“Abian Adams? Kami punya masa lalu. Buruk—Mah.” bela Reina.
“Biarkan tetap jadi masa lalu,” ujar mamanya. “Sekarang bangun masa depan. Abian pria sempurna—untuk kamu, dan bisnis kita.”
“Ma!” potong Reina.
“Jangan membantah lagi, Reina. Nanti Pak Nan akan mengirim data Abian ke email kamu sekaligus jadwal pertemuan kalian,” ujar papanya yang sejak tadi hanya diam dan itu menjadi tanda selesainya perdebatan.
*****
Malam esoknya, Reina menghampiri kantor Abian yang berada di kawasan Menteng. Reina masuk dengan langkah tenang dan ekspresi penuh kemenangan. Gaun ketat berbahan satin berwarna ungu tua menempel sempurna di tubuhnya.
Belahan dada rendah, garis pinggang melingkar seperti ingin memperlihatkan semua yang bisa melirik detik itu juga tanpa benar-benar telanjang. Rambutnya dibiarkan tergerai, bergelombang seperti ombak liar. Bibirnya merah merona, seperti bunga mawar yang mekar di musim semi.
Dilihatnya kemeja putih laki-laki itu digulung rapi, memperlihatkan otot lengan yang kencang. Dasi gelap tergantung di lehernya dengan kerapian yang nyaris menakutkan. Beberapa berkas masih menumpuk di mejanya.
“Kantor yang bagus,” komentar Reina sambil menatap ke sekeliling. Warna abu-abu mendominasi gelap ruangannya. Warna kesukaannya. “Ternyata seleramu nggak berubah.”
Abian mendelik kecil.
Reina menarik kursi di depan meja tanpa disuruh. Kaki jenjangnya disilangkan dengan gaya menggoda. “Jadi, kita akan membahas apa kali ini?” tanyanya.
“Kamu datang dengan pakaian kurang bahan. Apakah keluarga Wicaksono tidak mampu membeli selembar kain?” ujar Abian tanpa menjawab pertanyaan yang dilontarkan Reina.
Reina tersenyum miring, seolah sudah menebak mantan dosennya itu akan menjawab seperti itu. “Kupikir ini kencan. Aku nggak mau tampil membosankan di hadapan mantan dosen yang pernah lihat aku tanpa pakaian.”
Sebuah senyum sekilas muncul di sudut bibir Abian. “Jadi kamu mengakui kita punya masa lalu?”
“Kenapa nggak? Toh, kamu juga pernah bilang aku adalah mahasiswa paling tidak terduga yang pernah kamu bimbing.”
“Tidak terduga, tidak disiplin, dan terlalu penuh konflik,” tambah Abian dingin.
Reina terkekeh. “Saking nggak terduganya, sampai kamu tidur denganku lebih dari lima kali.”
Reina membungkuk ke depan, menumpukan sikunya di atas meja, hingga belahan dadanya nyaris menyentuh permukaan kayu jati. “Atau mungkin memang kamu suka hal-hal yang berbahaya daripada terduga.”
“Seperti kamu dengan yang lain saat sudah punya pacar, misalnya?” imbuhnya.
Suasana di ruangan itu berubah tegang. Tak ada yang bicara beberapa detik. Hanya bunyi jam di dinding dan napas yang tertahan.
Lalu Abian berdiri, berjalan ke arah jendela besar. Punggungnya membelakangi Reina. Suaranya terdengar rendah.
Reina berdecak kesal, menatap punggung Abian lekat-lekat. “Mari kita persingkat saja dan tidak perlu pura-pura lagi. Aku tahu kamu pasti nggak mau perjodohan ini. Jadi, kenapa kamu tiba-tiba mau dijodohkan sama aku?”
“Jangan-jangan karena kamu belum move on?” lanjutnya menyerocos. “Yah, aku ngerti sih. Aku memang sulit dilupakan Aku maafkan.”
Abian masih diam. Matanya mengalir ke tumpuan tangan Reina yang menunduk.
“Nggak mungkin dong... penyelingkuh diselingkuhi?” sindirnya.
Kini tawa sinis melingkupi ruangan Abian yang masih menatap lawan bicaranya. Melihat Abian yang terdiam Reina berdeham. “Wow impressive. Aku cuma asal nebak.”
“Kita di pihak yang sama.” tukas Abian.
Tatapan mereka bertemu. Mata hazel pria itu menembus Reina, seolah ingin mencabik lapisan terluar dirinya. “Kamu masih dengan Raka?” tanyanya.
Reina membeku. “Kamu menyelidiki aku?” tanyanya tajam.
Abian tersenyum miring, menyombongkan diri. “Bukan hal sulit bagiku mencari informasi kecil seperti ini.”
Reina menyandarkan tubuhnya. Kali ini, ekspresinya berubah. Tak lagi menggoda. “Ya.”
Abian mengangguk pelan. “Orang tuamu jelas menolak karena dia tidak bisa menunjukkan siapa ayahnya. Apa kamu yakin dia bisa bertahan dalam dunia seperti kita?” Abian menatap Reina tajam.
“Dunia seperti kita mana yang kamu maksud?.”
.
.
.
~ To Be Continue ~
Ruang konseling itu terasa hangat dan tenang, seolah menenangkan siapa pun yang memasukinya. Aroma lavender lembut mengisi udara, membuat dada Reina sedikit lebih rileks. Ia duduk di sofa abu muda dengan tangan yang masih digenggam Abian, mencoba menenangkan diri. Di hadapan mereka, psikiater wanita paruh baya tersenyum ramah sambil mencatat sesuatu di tabletnya.“Selamat datang, Nyonya Reina. Terima kasih sudah datang hari ini,” ucap sang psikiater dengan nada lembut.Reina hanya mengangguk pelan, matanya menatap lantai sebelum akhirnya beralih ke wajah wanita itu. “Saya… belum tahu harus mulai dari mana,” ujarnya jujur, suaranya sedikit bergetar.“Tidak apa-apa,” jawab sang psikiater tenang. “Kita mulai dari hal yang membuat Anda paling tidak nyaman. Tidak harus semuanya langsung hari ini. Perlahan saja.”Abian menatap Reina dengan penuh dukungan, sorot matanya lembut dan tenang. Ibu jarinya bergerak perlahan di punggung tang
Matahari sore perlahan tenggelam di balik deretan gedung tinggi, meninggalkan semburat jingga yang mulai meredup di langit kota. Lampu jalan menyala satu per satu, memantulkan cahaya hangat di kaca mobil yang bergetar halus mengikuti ritme jalan. Reina membuka mata perlahan, masih dibalut kantuk dan sisa lelah perjalanan. Menyadari kepalanya bersandar di bahu Abian, ia cepat menegakkan duduk, merapikan rambutnya yang sedikit berantakan.Abian menoleh sekilas dan tersenyum kecil. “Tidur aja kalau masih ngantuk,” ucapnya pelan.Namun, Reina hanya menggeleng pelan, pandangannya menerobos kaca jendela yang dipenuhi pantulan senja. Bayangan gedung dan cahaya lampu kota berpadu, menimbulkan kesan samar di matanya yang tampak sendu. Ingatannya kembali berputar pada makam yang baru mereka kunjungi, membawa kenangan lama yang perlahan muncul ke permukaan.Begitu mobil berhenti di depan rumah, Abian sempat menepuk pelan bahu Reina yang ternyata tertidur bersand
Abian mengulang pertanyaannya pelan. “Mau ke mana, Sayang?” Suaranya lembut, mencoba menembus hening yang masih menggantung di antara mereka.Reina menatap tangannya sendiri, jemarinya saling menggenggam seolah takut melepaskan sesuatu. “Ke rumah baru Mama.”Abian tidak langsung menjawab. Ia tahu apa yang dimaksud Reina bukan rumah dalam arti sebenarnya. “Makamnya?” tanyanya pelan.Reina mengangguk tanpa menatap. “Aku belum pernah ke sana lagi sejak Mama meninggal. Udah tujuh belas tahun.”Suara itu bergetar halus. Abian mengulurkan tangannya, menyentuh bahu Reina pelan. “Kalau kamu yakin kuat, aku antar sekarang.”Reina mengangguk lagi, kali ini dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Abian putar arah saat Reina menyebutkan salah satu nama pemakaman elit. Perjalanan menuju makam berlangsung dalam diam.Jalanan pagi menjelang siang itu sepi, langit berwarna pucat dengan awan bergerak lambat. Reina menatap keluar jendela, matanya ses
Cahaya pagi menembus tirai tipis kamar rumah sakit, membentuk pola lembut di lantai dan di wajah Abian yang tertidur di kursi. Kemeja yang sama sejak kemarin masih melekat di tubuhnya, dengan lengan tergulung dan rambut yang sedikit berantakan. Namun di balik kelelahan itu, ada ketenangan yang membuat Reina terdiam lama. Senyum kecil muncul di bibirnya tanpa sadar karena untuk pertama kalinya, ia merasa benar-benar aman.Ia mengulurkan tangan pelan, menyentuh jemari Abian yang terkulai di tepi ranjang. Sentuhan kecil itu cukup membuat pria itu tergerak. Abian mengangkat kepala, mata hazelnya langsung bertemu pandangan Reina. Seketika seluruh kelelahan di wajahnya menguap.“Kamu udah bangun?” suaranya serak, tapi lembut.Reina mengangguk pelan. “Iya. Kamu mau tidur lagi?”Abian tersenyum samar, lalu menggeleng. Begitu jam dinding menunjukkan pukul 09:00 am, ia segera menatap istrinya. “Dokternya sudah datang?” tanyanya.Reina mengangguk pe
Reina membuka mata perlahan, kelopak matanya terasa berat seolah baru terlepas dari mimpi panjang. Pandangannya masih kabur, hanya siluet samar cahaya lampu yang menembus kelopak matanya. Ruangan di sekitarnya terasa asing, terlalu tenang untuk disebut nyaman. Ada sesuatu di udara yang membuat dadanya sesak, jantungnya berdetak tak beraturan, sementara pikirannya masih berusaha memahami di mana ia berada.Dengan sisa tenaga, ia menggerakkan tangan pelan, berusaha memastikan dirinya masih ada di dunia nyata. Pandangannya berhenti pada sosok Abian yang duduk di samping ranjang, diam, nyaris tanpa gerak. Dalam hening itu, Reina tahu tatapan Abian bukan sekadar cemas, ada sesuatu yang lebih dalam, seperti janji yang belum sempat terucap.“Abian,” panggilnya pelan, nyaris hanya berupa bisikan.Suara itu terdengar rapuh, tapi cukup untuk mengguncang dunia kecil di antara mereka. Abian sontak menegakkan tubuh, sorot matanya membulat tidak percaya, seolah tidak ya
Arga terdiam sejenak, menatap wajah Abian yang tegang. Ia tahu pertanyaan itu bukan sekadar rasa ingin tahu, tapi luapan emosi yang sulit disembunyikan. Pandangannya beralih ke Reina yang masih terbaring lemah di ranjang, wajahnya pucat, bibirnya kering, napasnya pelan namun tidak teratur.“Ya,” jawab Arga akhirnya, pelan tapi tegas. “Aku tahu sedikit tentang traumanya.”Abian mengepalkan tangan di sisi tubuhnya, berusaha menahan diri agar tidak meledak. “Dan kamu tidak berpikir untuk memberitahuku?” suaranya datar, tapi tajam, seolah menuntut jawaban panjang yang tak ia dapatkan.Arga menarik napas dalam, menahan gemuruh emosinya sendiri. “Karena bukan tempatku untuk bercerita, Abian,” ujarnya dengan nada hati-hati. “Reina sendiri yang memutuskan menutup masa lalunya. Aku cuma menghormati itu.”Jawaban itu membuat dada Abian sesak. Ia tahu Arga tidak salah, tapi hatinya menolak menerima kenyataan. Ada bagian dari dirinya yang terganggu karena ora


















Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments