Share

9. Pulang ke kampung

Vinza mencoba menelpon untuk kesekian kali dan tak juga diangkat. Di sana perasaan dia semakin aneh. Vinza lekas menghubungi agennya. “Iya, Mang Udin enggak bisa dihubungi. Tolong, Mbak. Cek kondisi keluargaku di sana. Ini sudah minggu kedua. Aku kerja pun enggak tenang.”

Menunggu beberapa hari, Vinza hanya mendapat kabar jika agen sendiri tak menemukan siapa-siapa di rumahnya. Mereka berjanji akan kembali dan menanyakan pada tetangga. “Enggak. Aku gak bisa nunggu. Tolong bantu aku pulang. Kontrakku tahun ini sudah selesai, ‘kan? Bisakah dipercepat? Perasaanku enggak enak, Mbak,” tegas Vinza.

“Batalin kontrak itu susah, Vin,” jawab humas agen yang mengirim Vinza ke sana.

“Gimana pun caranya. Aku mau pulang. Ada yang enggak beres.”

Benar saja, keesokan harinya Vinza dapat kabar jika ibunya meninggal. Di sana Vinza merasa dunianya kembali runtuh. “Ibu! Ya Allah, Ibu! Kenapa enggak ada yang kasih tahu aku? Kenapa?” tanya Vinza.

Ia duduk memeluk lutut di sudut ruangan sambil memegang telpon. “Yang sabar, Vin. Aku juga kaget dengarnya. Aku ke rumah Pak Udin dan rumahnya sudah dijual,” ungkap agen itu.

“Mbak, aku mau ketemu ibuku. Anakku? Anakku gimana, Mbak? Mang Udin bawa dia ke mana?” tanya Vinza.

Merasa iba akan keadaan Vinza, agen berusaha susah payah mengurus kepulangannya. Malam itu sambil memijiti Nenek, Vinza menangis.

“Kenapa, cantik?” tanya Nenek merasakan tetesan air mata jatuh ke kakinya.

“Ibuku meninggal, Nek. Bahkan aku tak sempat melihatnya. Dan anakku belum jelas ada di mana. Pamanku membawanya pergi. Aku ingin pulang, Nek. Maaf,” jelas Vinza.

“Kasihan sekali kamu, Cantik. Tapi aku sudah senang kamu di sini.” Nenek mengawang. Ia membasahi kerongkongannya. “Dulu anakku selalu ada dalam asuhanku. Sekarang sudah menikah bahkan tak mau mengurusku. Sakit hatiku. Ibumu juga pasti menunggu kamu pulang. Kasian dia pergi tanpa melihat kamu.”

“Iya, Nek. Aku mau pulang. Anakku, Nek.” Vinza meratap. Sakit di ulu hati setiap kali ia ingat nasib anaknya. “Ibu sakit bahkan aku enggak tahu. Kenapa dia enggak bilang sama aku? Aku bahkan belum sempat bikin dia bahagia. Malah aku terus bebanin dia, Nek. Ibu .... Kenapa enggak nunggu Vinza?”

Vinza mencoba bertahan dengan sisa-sisa kesadarannya. Hatinya melambung kian hari menunggu bisa dipulangkan. Akhirnya ia pamitan dengan Nenek. Seorang TKW baru menggantikan sebulan setelah Vinza tahu kabar tentang ibunya.

Vinza kembali ke Indonesia. Ia paketkan barang ke Cianjur sehari sebelumnya. Akhirnya Vinza pulang. Tiba di bandara, ia langsung dijemput naik bis ke terminal. Barulah dari terminal di Jakarta, ia naik bus umum ke Cianjur. Di perjalanan Vinza menatap ke luar jendela sambil sesekali menangis.

Dua puluh jam lebih, akhirnya Vinza tiba di rumahnya yang sudah kotor dengan debu. “Ibu!” panggil Vinza. Tak ada yang menyaut.

Bu Hamid melihat kedatangan wanita itu dari warungnya. “Vinza!” panggil Bu Hamid. Wanita paruh baya itu bersyukur akhirnya wanita yang dia tunggu kedatangan tiba kembali di kampung.

Vinza berbalik. Ia simpan koper dan lari menghampiri Bu Hamid. “Bu, Rufy di mana, Bu? Ibu tahu enggak?” tanya Vinza histeris. Tangannya sampai bergetar saking panik. Wajah Vinza yang berkulit putih menjadi kusam lantaran rasa cemas yang sudah menjalar hingga ke tulang. Itu sifat alami yang seorang ibu miliki saat anaknya masih belum jelas kini ada di mana.

“Duduk dulu. Tenang. Kita bicara.” Bu Hamid menunjuk bangku yang ada di depan warung. Vinza duduk di sana masih dengan perasaan tak karuan. Apalagi saat Bu Hamid menunjuk ekspresi duka di wajah. Tak mungkin reaksi itu muncul tanpa ada aksi di belakangnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status