Nina menatap dirinya sendiri di depan cermin, ini bulan lima kehamilannya. Tingginya 165cm tapi entah mengapa dia terlihat agak bulat karena kehamilannya, melirik lagi, memutar badannya. Ya, dia naik hampir enam kilo selama kehamilan. Bulan lalu ketika dia mengecek si bayi bersama Tikta dokter bilang bayinya sehat, beratnya oke hanya saja bagi dokter Nina terlalu cepat naik berat badan.Dia menghela napas, gaun yang dibuatkan Julie bahkan sudah di revisi dua kali dalam sebulan terakhir. Dia membuka lemari bajunya, menatap semua baju yang tergantung disana, Nina bahkan sudah tidak bisa memakainya lagi.Seluruh bajunya pas badan, begitu dia naik sedikit tidak ada lagi baju yang muat. Dia masih terdiam ketika sebuah telepon masuk ke ponselnya, Tikta.“Nin, udah siap?” Tanya pria itu diujung telepon.“Belum, masih milih baju. Kamu emang beneran mau ikut fitting?” Nina balik bertanya setelah menjawab Tikta, tidak langsung ada jawaban terdengar suara bunyi angin dan kemudian pintu apartemen
Catur masih menunduk di depan Julie, ada rasa malu yang dia rasakan. Malam itu Julie tidak langsung membahas perkara apa yang dia ucapkan karena Nina terbangun, mereka kemudian mengobrol hal lain untuk mengalihkan.Berkali-kali Julie memintanya untuk datang dan menjelaskan apa maksud perkataannya, tapi lagi-lagi nyalinya terlalu kecil untuk hal itu. Dia harus mengumpulkan tekad dulu untuk sampai ke tempat Julie sekarang.Wanita itu terlihat geram, Catur bisa melihat giginya menggeretak bahkan dari tempat Catur duduk.Julie, Catur dan Nina saling mengenal sejak dari London. Ketika Julie dan Nina masih berkuliah disana, mereka sering bertemu dan melakukan banyak kegiatan bersama.“Tur..”“Sorry Jul, gue gak sanggup jujur sama lo secara langsung.” Ucapnya, memotong apapun yang akan Julie ucapkan terlebih dulu padanya.“Lo tahu gak sih apa yang lo lakuin ke Nina?” Julie berkata, wajahnya mengeras, alisnya saling bertaut dan suaranya agak meninggi. Catur bisa merasakan wanita di depannya s
Ini hari yang sudah ditunggu-tunggu oleh Nina dan juga Tikta. Hari yang awalnya ingin mereka lalui secara biasa saja tanpa mewah dan meriah namun akhirnya menyerah pada keinginan kedua orangtuanya.Sejak malam Nina sudah begitu resah, dia sulit untuk tertidur dan entah mengapa bayi di dalam perutnya juga sudah tidak mau diam.Pagi hari, Nina sudah bangun dan orang-orang yang bertugas meriasnya sudah datang. Nina menginap di hotel sebelah venue, bersama dengan keluarga Tikta. Dia duduk di depan meja rias dan mulai di dandani, ketika sedang dirias tiba-tiba rasa kantuk menyerangnya.Dia memejamkan matanya.Hanya sekitar sepuluh detik dan dia membuka matanya, ketika dia membuka mata dari pantulan cermin terlihat wajah Tikta. Pria itu tengah menatap ponsel di tangannya, membiarkan bahunya menjadi sandaran Nina yang terlihat sudah rapi. Nina terlonjak kaget, disusul Tikta yang terkejut juga.“Ya ampun, sudah bangun?” Tanyanya, suaranya yang berat itu terdengar begitu lembut dan dewasa seca
Nina dan Tikta sampai ke pulau bali pukul tengah malam waktu setempat, mereka langsung disambut oleh orang yang ditugaskan menjemput keduanya dan membawa mereka ke Villa milik keluarga Sahasika.Nina dibuat menganga melihat betapa besar Villa tersebut. Dia mendadak berpikir jika mengajak seluruh karyawannya disini mungkin mereka akan sangat bahagia, ruangan yang begitu besar dan luas, kolam renang, ruang tidur yang banyak.“Kamu yakin kita berdua aja disini?” Tanya Nina pada Tikta ketika mereka sudah masuk ke dalam Villa dan menunggu semua koper diturunkan, sebagian koper sudah dikirim ke rumah Nina dan Tikta sudah meminta asisten rumah tangganya untuk merapikan semuanya disana.“Kenapa? Kamu takut? Kegedean ya? Mau ganti ke tempat yang lebih kecil? Aku masih ada Villa disini..”Nina terdiam kemudian menggeleng.Dia tidak ingin tahu lebih banyak Villa keluarga konglomerat tersebut.“Kamu mau tidur diatas?” Tanya Tikta kemudian, Nina menatap tangga yang menjulang tinggi keatas. Menghit
Wanita itu mulai bercerita bagaimana masa kecilnya, masa kecil yang baginya tidak ingin lagi diungkit maupun dikenang. Bukanlah masa kecil yang menyenangkan bahkan untuk sekedar diingat.Dia tinggal bersama neneknya ketika kecil, hidupnya jauh dari kata berkecukupan. Neneknya selalu mengakali bagaimana mereka bisa makan dua kali sehari, ibunya telah tiada.“Ibuku, sudah gak ada waktu aku kecil. Aku cuma hidup sama nenek.” Dia berkata pada Tikta yang masih menatapnya. “Ayahku juga gak ada..”“Kabur?” Pertanyaan Tikta membuat Nina menoleh, wanita itu tersenyum dan menggeleng pelan.“Ayahku masuk penjara.”Mata Tikta melotot seketika, terkejut dengan jawaban Nina yang terkesan santai dan biasa saja.“Ayahku membunuh ibu waktu aku masih bayi.”Tikta sudah tidak tahu bagaimana ekspresi yang dia tampilkan di depan Nina tapi dia sama sekali tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya mendengar hal itu. Dia tahu beberapa hal mengenai keluarga Nina karena orangtuanya lebih dulu mencari tahu lata
Sejak pagi Nina sudah disibukkan dengan banyaknya email yang masuk. Dia tidur terpisah dengan Tikta, keduanya menempati kamar di bawah karena Tikta merasa tidak nyaman harus meninggalkan Nina seorang diri di bawah.Nina baru selesai menyikat gigi dan membasuh wajahnya ketika tiba-tiba Tikta masuk ke dalam kamar, lagi-lagi tanpa mengetuk terlebih dahulu.“Mau sarapan?” Tanya Tikta, muncul di balik pintu. Rambutnya sudah setengah kering padahal waktu masih menunjukkan pukul tujuh pagi dan semalam mereka sampai ke Villa pukul tiga pagi.Nina mengangguk, pria itu pergi tanpa berkata apa-apa lagi. Nina terkadang bingung dengan sikap pria itu yang seenaknya masuk dan keluar tanpa berpikir Nina mungkin sedang berganti pakaian atau apa.Nina kembali pada laptop dan tabnya, mengecek semua pekerjaan yang baru saja masuk ke dalam email. Ada beberapa permintaan untuk sebuah event, setelah pernikahannya selesai kemarin email pekerjaannya semakin ramai, beberapa pesan masuk secara langsung ke ponse
Nina dan Tikta keluar pukul satu siang, mereka berencana makan dan juga pergi ke laut sesuai permintaan pria itu. Ketika keluar dari kamar dan menemui Tikta ada perasaan berbeda yang Nina rasakan, pria itu seperti sedang dalam mood yang tidak baik.Tikta bersikap seolah tidak terjadi apa-apa. Tapi entah kenapa Nina bisa merasakan perubahan pria itu, mereka tiba di tempat makan siang. Memesan makanan dan mulai menyantap pesanan mereka.“Disini enak juga, tempatnya lumayan sepi.” Ujar Nina membuka pembicaraan, dia seperti memiliki kewajiban untuk memulai topik baru melihat bagaimana Tikta berusaha untuk bersikap biasa saja padanya.Tikta mengangguk, “Disini langganan aku, dulu aku sering kesini.” Katanya, raut wajahnya berubah seperti sedang bersedih. Nina menatap pria itu dengan pikiran yang menduga-duga.“Aku dapat tawaran endorse,” Ucapnya, kali ini berusaha mengalihkan topik lebih jauh lagi agar Tikta tidak terbebani dengan entah apa yang ada di dalam kepalanya sekarang. Nina mengad
Nina lagi-lagi di buat melongo oleh Tikta, pria ini masuk ke sebuah wilayah yang Nina ketahui apa namanya. Masuk terus ke dalam dan kemudian berhenti di sebuah Villa yang lebih besar dari yang mereka tempati sekarang, Tikta keluar dari dalam mobil, membantu Nina turun dan kemudian membawa tas punggung yang entah apa isinya.“Ini Villa siapa?” Pertanyaan yang semestinya tidak perlu Nina pertanyakan karena sudah tahu siapa pemiliknya.“Keluarga Sahasika.” Jawab Tikta, kemudian dia menelepon seseorang. Mereka tidak menunggu lama ketika seorang pria datang menghampiri.“Siang, oh ini istrinya mas Tikta?” Ujar seorang pria berkepala plontos sambil membungkuk dan menyodorkan tangannya. Nina buru-buru menyambut tangan itu dan keduanya berjabat tangan.“Ini pak Anto, beliau dari jawa, tapi aku bawa ke Bali khusus untuk jaga Villa disini.”Nina mengerenyit, “Ini Villa punya mas Tikta, pak Ega yang belikan waktu mas Tikta ulang tahun ke delapan belas. Tapi mas Tikta gak mau, jadi katanya ketimb