Catur menjemput Nina pukul tiga sore, wanita itu tidak pergi ke butik juga membatalkan beberapa janji temu untuk rapat hari ini. Dia membatalkan seluruh kegiatannya dan hanya berdiam diri di rumah.
Dia tidak mampu berpikir dengan jernih, ada tiga orang laki-laki yang bersamanya saat itu dan hanya Tikta yang tertinggal disana. Sedangkan Catur dan satu orang lagi, Gata sama sekali tidak terlihat.
“Apa yang terjadi?” Nina masih penasaran, dia ingin tahu siapa yang melakukan hal itu padanya.
“Lo kenapa sih Nin?” Catur menoleh kearahnya, mereka kini sedang berada di dalam mobil menuju kediaman Julie. Anak sulung Julie, Kiran berulangtahun ke 5 hari ini. Sudah dari jauh-jauh hari mereka mendapatkan undangannya.
“Gue nanti cerita kalau kita sudah sampai ke rumah Julie.” Jawab Nina, tidak menoleh sedikitpun kepada Catur dan hanya melihat jalanan di samping jendela mobil.
“Oke oke,” Catur berkata, tidak bertanya lebih karena dia tahu benar bagaimana seorang Gianina. Dia tidak ingin perempuan itu malah ngoceh tidak jelas jika dia mendesak. “Ulang tahun Kiran setiap tahun kayaknya semakin meriah aja.” Ujarnya sambil membelokkan mobilnya masuk ke dalam perumahan elite dengan rumah-rumah tinggi menjulang.
Di depannya terpampang begitu banyak mobil terparkir dengan tenda besar di depan, tamu-tamu yang wajahnya dikenal publik hadir disana.
“Ini bukan sekedar ulang tahun anak kecil, dari dulu juga ulang tahun Kiran cuma alasan buat bangun koneksi orang-orang itu ke Leo ‘kan?” Nina menanggapi, menunggu Catur menghentikan mobilnya dan parkir di bahu jalan.
Suami Julie, Leonatan Yogaswara adalah seorang wakil bupati muda. Ini tahun ketiganya menjabat, dan setiap kali Kiran berulang tahun para koleganya diundang untuk menghadiri pesta tersebut. Pesta yang hanya menjadi sebuah kamuflase dimana pria itu melebarkan sayap koneksinya untuk bertahan lebih lama di dunia politik.
“Habis jadi bupati dia ngincer apa? Gubernur?” Catur keluar dari mobil, menutup pintu mobil dan merapikan bajunya.
“Gak tertarik untuk tahu lebih lanjut.” Ungkap Nina sambil menaikkan kedua bahunya.
Dia tidak pernah tertarik dengan apa yang diingkan oleh suami Julie, bukan urusannya. Dia hanya ingin bertemu Kiran. Nina tidak begitu suka anak kecil, baginya anak kecil hanyalah separuh manusia belum sempurna. Merepotkan, perlu diurus segala kebutuhannya, tidak bisa diandalkan, jago merengek dan hanya menangis.
Euh. Memikirkannya saja dia sudah bergidik.
Berbeda dengan anak-anak lain, dia menyukai Kiran. Sejak Julie mengandung, dia sudah jatuh cinta pada janin di perut sahabatnya itu. Mungkin karena Julie sempat tinggal bersamanya sampai Kiran dilahirkan.
SELAMAT ULANG TAHUN CHARAKA KIRAN YOGASWARA!
Banner besar itu menyambut kedatangan Catur dan Nina.
“Hei! Kok telat banget sih datangnya?” Julie datang menyambut keduanya.
“Yang penting belom tiup lilin ‘kan?”
Julie menoleh kearah Catur, “Kenapa tuh temen lo? Masih ngambek gara-gara ditinggal balik?” Katanya, meledek Nina yang sepertinya sedang dalam mood tidak baik.
“Daritadi senggol bacok terus.” Catur menjawab sekenanya.
“Tante Nina!!!!” Suara bocah berusia lima tahun itu memekik nyaring ketika matanya menangkap sosok Nina, dia berlari dengan kedua tangan terbentang.
“Astaga sayangku duniaku!” Kini Nina memekik juga, memeluk si kecil Kiran. Sikapnya begitu berbeda ketika berbicara dengan kedua orang dewasa di belakangnya. “Selamat ulang tahun ganteng!” Ucapnya, mencium kedua pipi gembul milik Kiran.
“Tante bawa apa?” Bocah itu bertanya dengan mata berbinar. Tentu saja, bocah ini hanyalah bocah lima tahun yang menanti kado ulang tahun.
“Kado ulang tahun untuk Kiran dari tante baru dikirim besok, karena terlalu besar tidak bisa dibawa hari ini..” Ucapnya, Kiran menatapnya dengan penuh antusias memikirkan apa gerangan kado ulang tahun dari tante kesayangannya itu.
“Lo ngasih Kiran apaan? Jangan aneh-aneh deh, rumah gue gede tapi kalau harus nambah mainan bisa-bisa gue sama laki gue gak bisa napas di dalam.” Julie menginterupsi keduanya dan meminta pengasuh Kiran membawa bocah itu masuk ke dalam, bersiap untuk memulai acara ulang tahun.
“..Kart..” Nina menjawab dengan pelan, tahu kalau Julie akan mengoceh setelah mendengar kado yang dia berikan pada Kiran.
“Ha? Apaan?”
“…GoKart..” Ujarnya dan Julie menjitak kepalanya.
“Gila! Lo gila! Mau disimpen dimana?!”
Catur hanya menepuk dahinya, kedua orang ini jika orang lain tidak mengenal mereka dengan baik mungkin akan menyangka keduanya adalah musuh bebuyutan. Dimanapun dan kapanpun pasti selalu cekcok, entah masalah besar ataupun sepele. Ocehan Julie berhenti ketika MC memulai acara, seperti kebanyakan pesta ulang tahun pada umumnya, Julie dan suaminya Leo naik keatas panggung bersamaan dengan Kiran.
Mereka bernyanyi, meniup lilin dan bermain permainan sebentar sebelum akhirnya sibuk dengan urusan masing-masing. Kini Catur, Nina dan Julie berada di belakang, pendopo milik Julie yang cukup jauh dari rumah utama.
“YANG BENER?!” Suara Catur dan Julie terdengar begitu kencang ketika Nina menceritakan apa yang terjadi dengannya pagi ini.
“Astaga! Jangan bikin malu gue dong, bisa gak sih reaksinya tuh santai?” Nina protes, memutar matanya, dia duduk di depan Catur dan Julie yang tengah merokok. Dia sendiri tidak begitu santai setelah bercerita pada keduanya.
“Terus? Itu lo yakin yang keluar dari selangkan lo, sperma?” Julie duduk di samping Nina, mematikan rokoknya. Dia tahu Nina tidak kuat dengan asap rokok jika terlalu lama.
“Ya gue yakinlah, apalagi yang keluar dari sana? Masalahnya, Tikta keluar dari kamar yang berbeda sama gue.”
“Gue balik jam tiga, yang terakhir disana Tikta sama Gata.” Catur berkata, masih berdiri agak jauh dari Nina dan Julie, menghabiskan sebatang rokok yang terhimpit di jemarinya.
“Bentar, ini masuknya pemerkosaan gak sih? Kita bisa laporin.” Julie kemudian menatap Nina yang terdiam, mengigit bibir bawahnya.
“Kita gak tahu siapa yang ngelakuinnya.” Catur menanggapi, menghisap rokoknya sekali lagi. “Lo gak inget Nin?”
Nina menggeleng pelan, “Gak sama sekali Tur. Gue belom ada obrolan panjang sama Tikta, dia tadi chat gue katanya minta ketemu.”
“Kalau di tempat kejadian cuma ada Tikta, ya berarti dia doang yang bisa jadi tersangka?” Ucap Julie, membuat gestur tanda kutip dengan jari-jarinya ketika menyebut kata ‘tersangka’
Nina menghela napas, “Gue gak inget sama sekali, gue bahkan gak ingat bilang ke Catur kalau gak mau pulang.”
“Tikta gimana? Ingat sesuatu?” Catur menoleh, membuang rokoknya yang sudah hampir habis.
Nina menggeleng lagi.
Buntu.
“Nin, lo ada minum pil KB?” Tiba-tiba Julie bertanya, menggenggam tangan Nina erat.
“Ngapain? Gue gak pernah begitu, gue belom permah ngapa-ngapain.” Ujarnya dengan terkejut.
“Nin, orang yang ngelakuin itu ke lo, dia buang spermanya di dalam. Kita gak tahu lo lagi dalam masa subur atau gak.”
DEGG. Jantung Nina berdegup kencang, hatinya seperti mencelos jatuh ke dasar ketika Julie berkata demikian. Dia tidak pernah memikirkan hal itu sama sekali.
“Gue rasa lo harus ketemu Tikta segera dan cari tahu, kalau emang Tikta yang ngelakuin dan ada apa-apa, lo bisa nuntut dia. Gimanapun, ini termasuknya pemerkosaan dan pelecehan seksual.” Kata Julie lagi.
Nina menggigiti kukunya, menatap kedua sahabatnya kaku, “Gue bilang ke Tikta untuk lupain semuanya dan gue gak akan nuntut apa-apa dari dia.”
Julie dan Catur hanya terdiam, menatap Nina tidak percaya.
[Tolong respon chat saya, saya ingin bertemu hari ini. Tikta.]
Tikta mengacak rambutnya, kemarin dua kali dia sudah mengirimkan pesan kepada wanita yang dia yakini bernama Gianina. Dua hari lalu adalah hari pertama dia bertemu dengan wanita itu, dia ada janji bertemu dengan Leonatan Yogaswara seorang bupati muda karena urusan bisnis.Leonatan membawa serta istrinya Julie yang juga membawa ketiga temannya, Kumara, Catur serta Gianina. Setelah membicarakan urusan bisnis mereka akhirnya mengobrol dan minum-minum sampai akhirnya obrolan Tikta, Gata dan Catur ternyata cocok dan mereka memutuskan untuk berpindah tempat.Malam itu, Catur tidak ingin membawa Gianina untuk pulang. Dia memutuskan membawa wanita itu ikut bersama mereka ke hotel.Setelahnya, Tikta tidak mendengar apa-apa lagi dan yang dia ingat hanyalah bagaimana dia melihat Gianina dalam keadaan setengah telanjang di depannya.Dia menghela napas panjang.Dia yakin tidak ada yang terjadi padanya dan juga Gianina, tapi melihat wanita itu nampak terkejut dan melihat keadaannya dia jadi tidak p
Nina kembali berlari ke kamar mandi, memuntahkan semua isi di dalam perutnya. Sejak tiga hari lalu tidak ada satupun makanan yang masuk ke dalam lambungnya, semuanya masuk dengan percuma. Sudah dua bulan dia disibukkan dengan banyak kegiatan yang menyita waktunya, dan tubuhnya benar-benar menyerah satu bulan terakhir.Dia bahkan sudah bolak balik IGD lebih dari lima kali dalam dua minggu terakhir.“Bu? Kayaknya ibu lebih baik istirahat aja, pulang ke Jakarta.” Kumara menatap khawatir Nina yang kini duduk di dekat wastafel, wajahnya terlihat begitu pucat dan tubuhnya gemetaran.“Bukannya masih ada dua acara lagi ya minggu ini?” Tanya Nina dengan napas yang terengah, dia mengambil tisu yang disodorkan Kumara, mengelap sisa muntahan di bibirnya.“Kemarin saya sudah bilang sama bu Julie kalau keadaan bu Nina sedang tidak baik, bu Julie setuju untuk datang ke bali menyelesaikan sisanya.”Nina mengangguk, dia sedikit bersyukur Kumara bertindak cepat dan meminta Julie untuk datang. Di kepala
Nina sudah berada di Jakarta, malam kemarin dia langsung pulang setelah Kumara mendapatkan tiket pesawat. Dia bahkan tidak mampu berjalan dengan baik dan dibantu oleh petugas bandara sampai ke dalam pesawat, perutnya tidak berhenti meronta karena merasa diaduk-aduk, dia mual dan sakit kepala.Julie berkali-kali meneleponnya semalam, namun dia sudah tidak sanggup untuk mengangkatnya. Dia tertidur sambil menangis.Pagi ini, dia bangun dengan perut yang lagi terasa diaduk-aduk, masih pukul delapan dan dia sudah muntah hampir sepuluh kali. Kini dia terduduk diatas kasur, dari pantulan kaca lemari dia bisa melihat dirinya begitu kusut, kurus, dan pucat.Dia menoleh kearah ponselnya, dia harus memberi tahu Tikta. Baru saja dia mau memencet tombol panggil suara bel di pintu mengejutkannya, Nina menyimpan ponselnya dan pergi ke pintu depan membuka pintu.“Na! Kok gak bilang sudah di rumah?” Catur masuk ke dalam rumahnya tanpa permisi, pria itu datang dengan baju rapi tidak seperti biasanya, a
Tikta menggenggam tangan Nina, wanita itu terlihat hampir pingsan ketika kakinya menyentuh tanah. Dia memeluk Nina erat, kemudian meminta salah satu perawat membawa kursi roda.“Bapak mau ke poli?” Tanya perawat itu lembut, membantu Nina untuk duduk diatas kursi roda.“Saya mau ke poli kandungan.” Kata Tikta lagi, mengecek jam di tangan kanannya.“Sudah ada janji pak?”Tikta mengangguk, “Dokter keluarga saya, dr Serif.”Perawat itu terdiam kemudian mengangguk, dia mendorong kursi roda dan mengarahkan Tikta. Bukan ke tempat antrian poli biasa yang penuh, tapi ke tempat lain di belakang. Mereka masuk ke dalam lift menuju lantai tiga, ketika pintu lift terbuka wangi pengharum ruangan menyambut mereka.Kursi di dorong sampai ke depan ruangan, perawat itu mengetuk pintu kaca tersebut.“Dok, pak Tikta dan istri sudah datang.”Tikta dan Nina bereaksi mendengar kata ‘istri’ disebut, namun mereka berusaha bersikap biasa saja. Pintu terbuka dan Tikta mendapati wajah yang sangat dia kenali, dokt
Nina tengah berbaring diatas kasur, matanya begitu berat, dia mengantuk. Hari ini begitu ajaib, pagi tadi dia muntah begitu banyak, kemudian dia bertemu dan Tikta. Setelah bertemu dengan pria itu dia makan dengan begitu lahap, tidak ada yang keluar sama sekali. Dia mengelus perutnya, “Kamu senang ya mau jadi penerus SSK Food?” Bergumam, kemudian dia tertawa sendiri. Benar, Tikta begitu serius bicara dengannya tadi. Pria itu bilang kalau dia benar-benar membutuhkan bantuan Nina. “Kita ambil jalan terbaik saja, anak kamu butuh Akta Kelahiran untuk administrasinya kemudian mendapatkan warisan utama keluargaku. Aku hanya butuh anak kamu untuk terbebas dari semua ini.” Nina membuka tasnya, mengeluarkan hasil USG dan memandang gumpalan hitam itu. “Aku benar-benar gak mau menjadi penerus SSK Food Nin, anak kamu boleh ambil semuanya.” “Bagaimana dengan keluargamu yang lain? Meskipun kamu anak tunggal, tapi keluarga besarmu semua bekerja di SSK Food. Mereka gak mungkin dengan mudah mere
Nina terdiam.Setelah ucapan aneh Catur, semua masalah terselesaikan, kecuali satu hal! Ajakan pernikahan dari Tikta. Sudah satu minggu dari saat itu dan belom ada lagi kabar terbaru darinya lagi. Entah mengapa, hari demi hari kondisi Nina semakin menurun. Dua hari setelah dari dokter, dia memaksakan diri pergi ke butik. Semua karyawan memandangnya dengan begitu aneh. Tentu saja, Nina yang selalu berpenampilan stylish tiba-tiba datang dengan penampilan berantakan. Wanita itu datang dengan memakai kemeja kebesaran dipadu dengan jeans robek dan sepatu kets. “Halo semua, saya mohon maaf sebelumnya. Tapi saya mau mengumumkan sesuatu, saya harap semuanya mau bekerja sama karena jujur untuk saya pribadi tidak mungkin terus menjalankan butik ini tanpa bantu kalian ditambah kondisi saya semakin memburuk.” Hari itu dia membuka rapat pagi dengan kalimat begitu panjang, wajahnya pucat, rambutnya dikuncir asal-asalan. Semua karyawan memandangnya dengan perasaan takut. “Saya tengah hamil, us
Di sisi lain, Nina tidak mengerti apakah dia tengah berada di bawah sugesti? Tapi kalau dipikir-pikir selama ada Tikta di sampingnya dia makan dengan sangat baik. Tidak ada drama mual dan muntah. Setelah Tikta menyematkan cincin di jari manisnya, seorang staff yang bertugas mengantarkan makan siangnya. Dia tidak berselera karena tahu setelah makan pasti akan memuntahkan lagi semuanya. Tapi kemudian Tikta dengan penuh semangat membuka semua penutup makanan dan menyerahkan makanan itu tepat di depan wajah Nina. “Wah menunya daging panggang, kamu suka Nin sama daging panggang? Ada sop juga, nasinya agak lembek.” Pria itu mengoceh sambil merapikan semua mangkok dan piring diatas meja tambahan yang berada di sisi tempat tidur. “Makan dulu ya Nin, biar ada tenaga.” Ujarnya, dan seperti di sihir Nina menurutinya. Dia mulai makan dengan nasi dan sepotong daging panggang. “Enak?” Tanya Tikta kemudian dan wanita itu mengangguk pelan, rasanya hambar tapi entah kenapa di mulutnya terasa enak
Baru saja Tikta melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah, ibunya sudah tergopoh-gopoh datang menghampirinya. Wajahnya terlihat pucat. “Ta..Ta” Dia memanggil Tikta, mendekat kearah anak lelakinya yang kini berhenti dan menatapnya dengan wajah kebingungan. “Kenapa bu? Kenapa panik banget?” Tanya Tikta, dia memeluk ibunya dan mengajak wanita paruh baya itu duduk di sofa ruang keluarga rumah mereka. Ibunya masih menatap Tikta, “Apa benar yang ada di berita?” Ibunya bertanya langsung tanpa basa-basi. Tikta terdiam, kemudian mengangguk pelan. “Benar bu..” “Kamu…” “Iya, Tikta memang berselingkuh. Wanita yang sekarang hamil itu kekasih Tikta bu, kekasih Tikta dan tunangan Tikta gak tahu satu sama lain kalau Tikta menduakan mereka.” Ibunya menutup mulut dengan kedua tangannya, terkejut dengan apa yang baru saja Tikta katakan. “Kamu serius ngelakuin hal itu, Ta? Gimana tunangan kamu?” Tikta tersenyum dan kemudian tertawa kecil setelah mendengar pertanyaan ibunya, “Kenapa ibu peduli? Buk