Beralih ke masa sekarang.
Pria itu menatap Nina dengan wajah kebingungan, keduanya kini sudah berpakaian dengan lengkap. “Saya gak ingat apa-apa.”
Keduanya kini duduk diatas sofa yang jaraknya lumayan.
Kamar hotel yang tengah keduanya tempati adalah Suite Room hotel bintang lima di kota ini, kamar hotel elite yang pernah Nina datangi sesekali ketika dia sedang butuh menyendiri karena pekerjaan.
“Kita berdua sewa kamar ini?” tanya Nina, mencoba mencari petunjuk mengapa mereka berdua berakhir di dalam satu kamar dengan keadaan telanjang bulat. Kemudian, pria itu berjalan kearah nakas di sebelah kasur, menekan tombol telepon.
“Selamat siang, mohon maaf bisa saya cek atas nama siapa kamar ini di pesan?” Dia berbicara dengan resepsionis. “Baik, terima kasih.” Pria itu menutup teleponnya dengan pelan dan menoleh kearah Nina, canggung.
“Ya, kamar ini di pesan atas nama saya, Tikta Sahasika.”
Nina menghela napas. Tidak ada satupun ingatan yang terlintas di benaknya tentang kejadian semalam.
“T-tapi kita bangun di kamar yang berbeda, mungkin, mungkin saja tidak terjadi apa-apa?” Nina berkata, Tikta menatapnya.
“Tadi…..cairan yang keluar dari……selangkangan.”
“OKE STOP.” Nina menyela, takut Tikta melanjutkan ucapannya. Dia juga tahu, cairan yang tadi mengalir ketika dia tengah berdiri adalah cairan sperma.
“Tapi demi Tuhan, saya gak ingat apapun!” Kata Nina dengan suara yang begitu putus asa, dia mengacak rambutnya.
Tikta berdiri menatapnya, bingung harus merespon apa. Ini juga kali pertamanya berada di dalam situasi ini. Selama dia pergi ke club malam dia tidak pernah berakhir seperti ini apalagi dengan seorang perempuan.
“Begini, maaf sebelumnya, itu yang pertama?” Tikta berkata dengan pelan, nyaris tidak terdengar.
“Gimana?” Nina bertanya, meminta Tikta untuk mengulang pertanyaannya barusan.
“Anu, maaf sekali lagi….Tapi, apa itu yang pertama kalinya?”
Nina terdiam ketika dia sadar maksud dari pertanyaan Tikta, wajahnya kemudian memerah dan dia tidak menjawab pertanyaan itu. Tikta jadi kikuk sendiri, dia menggaruk kepalanya, dia tahu itu adalah pertanyaan yang sangat bodoh.
Siapa yang peduli itu pertama atau bukan?
“Begini…”
“Kita lupain aja.” Nina menyela sebelum Tikta menyelesaikan apa yang ingin dia ucapkan. Pria itu menatap Nina yang kini berdiri dari duduknya, dia memakai blazer yang semalam dipakai sebagai penutup baju seksi yang dia kenakan untuk ke club malam.
“Tapi..”
“Saya gak akan nuntut apa-apa. Kita lupain aja semuanya.” Ujarnya, berlalu pergi dari ruangan tersebut, meninggalkan Tikta yang berdiri kaku disana.
Nina bergegas keluar dari dalam kamar hotel tersebut, sumpah mati dia tidak mengingat apapun yang terjadi semalam. Dia menoleh ke kanan dan ke kiri, takut media mengendus hal-hal seperti ini. Dalam tiga tahun terakhir semenjak para entertainer mulai mengenakan pakaian desainnya, dia jadi dikenal oleh orang banyak. Media juga mulai menyorotinya.
Dia tidak ingin ada skandal apapun.
“Sialan, kenapa sih kok gue gak inget apa-apa?” Dia masuk ke dalam mobilnya yang masih terparkir di basement hotel. Mengaduk-aduk isi tasnya, Nina akhirnya menemukan ponselnya dalam keadaan mati. Dia menyalakannya dan rentetan pesan serta notifikasi telepon masuk begitu banyak.
Kebanyakan dari Julie, Kumara, Catur.
Dia menelepon Julie, melirik kearah jam di dalam mobil yang sudah menunjukkan pukul sebelas siang dia yakin Julie sudah ada di butik.
“Nin! Lo dimana?” Suara Julie terdengar begitu ceria, begitu berbeda dengannya sekarang yang begitu berantakan dengan kepala pusing minta ampun.
“Jul, lo ada di butik?”
“Loh? Hari ini ‘kan gue libur? Kiran ngerayain ulang tahun nanti sore!”
Nina menepuk jidatnya sendiri, dia lupa kalau Julie mengajukan cuti hari ini karena anak semata wayangnya akan merayakan ulang tahun dan Nina harus hadir, tentu saja. Nina tidak menyukai anak kecil, tapi Kiran adalah pengecualian.
“Kenapa sih Nin? Lo dimana?”
“Jul, gue ada di hotel.”
Hening sebelum akhirnya Julie memekik untuk kesekian kalinya di telinga Nina, “HAHHHH? LO??? SAMA SIAPAAA?”
“Aduh, bisa gak sih lo gak teriak-teriak di kuping?” Keluh Nina, dan terdengar Julie terkekeh geli diujung telepon. “Kasih tahu gue dong semalem gue balik sama siapa? Gue gak ingat apa-apa.”
“Ya emang kebiasaan lo kalau mabok gak inget apa-apa, tapi lo balik barengan Catur kok Nin. Lo, Gata, Tikta, Catur. Kalian berempat katanya masih mau lanjut minum ke tempat lain, gue sama Leo pulang duluan soalnya selain Kiran rewel di rumah, Kumara juga tepar.”
Nina terdiam mendengar penjelasan Julie.
“Kenapa sih Nin?” Tanya Julie kemudian setelah tidak ada lagi respon dari Nina.
“Nanti gue ceritain deh Jul. Sore gue kesana ya.” Katanya sambil mengakhiri panggilan teleponnya dengan Julie.
Dia masih terdiam, memandangi ponselnya, mengecek pesan dan juga telepon-telepon yang masuk. Catur meneleponnya delapan belas kali, enam kali di malam hari dan sisanya dua belas kali dari pagi sampai tadi jam sepuluh.
Nina menghela napas panjang, dia menyandarkan dirinya pada pintu mobil.
Dia bahkan tidak ingat pergi bersama ketiga orang itu. Jika benar mereka berempat akhirnya menyewa hotel untuk melanjutkan minum tapi kenapa hanya ada Tikta dan dirinya disana? Juga tidak ada jejak orang lain lagi selain mereka berdua.
Dia mengacak-ngacak rambutnya frustasi. Setelah dirasa cukup, Nina menjalankan mobilnya. Sepanjang jalan dia masih begitu bingung dengan apa yang terjadi. Ini bukan kali pertamanya meminum minuman keras, pergaulan dengan orang-orang kalangan atas membuatnya tidak bisa menolak acara pesta dan juga minum alkohol.
Biasanya memang Catur, sahabatnya, yang membawa dia pulang karena dia memiliki kebiasaan tertidur jika sudah mabuk. Tapi kali ini berbeda, dia tidak mengingat apapun.
Ponselnya berdering ketika mobil Nina sudah terparkir rapi di basement apartemennya.
“Nin! Astaga! Susah banget sih dihubunginnya? Lagi rapat?” Catur menyerocos dari ujung telepon.
“Lo dimana?” Nina masa bodoh dengan pertanyaan Catur, alih-alih menjawab dia malah mengajukan pertanyaan lain.
“Workshop. Tadi pagi gue ke apart lo, gue gedor gak dibuka. Lo ke butik jam berapa? Kepalanya udah gak sakit?”
Nina masuk ke dalam lift, dan membuang napasnya lagi. “Tur, lo semalem gak nganterin gue balik?”
“Lo ‘kan dianter si Tikta itu. Kenapa emangnya?” Kata Catur membuat Nina menghentikan langkahnya, dia kini berada di lorong apartemen.
“Dianter?”
“Iya, kita berempat minum di hotel yang dipesan si Tikta. Waktu gue mau ajak lo pulang, lo gak mau, katanya kepala lo sakit kalo naik mobil jadi lo mau tidur di kamar. Tikta bilang nanti dia anter lo balik, gue ngasih alamat lo ke dia kok. Kenapa sih?” Catur bertanya lagi, penasaran.
“Lo ke ulang tahun Kiran ‘kan?” Lagi-lagi ketimbang menjawab pertanyaan Catur dia malah bertanya balik dengan topik yang berbeda.
“Ya. Nanti gue jemput.”
Nina menutup teleponnya, dia masuk ke dalam apartemen. Membuka sepatu hak tinggi yang dia kenakan semalam, baju terusan pendek, dan bra serta celana dalam, dia masuk ke dalam kamar mandi. Menatap dirinya yang tengah telanjang.
Ada beberapa bekas cupang di sekitar dada dan payudaranya, kemudian dia merasa mual, sejurus kemudian memuntahkan segala yang ada di dalam perutnya di dalam wastafel.
“Sialan, semalem gue minum apa sih sampe begini?” Dia bergumam, melihat dirinya sendiri di kaca dalam keadaan berantakan membuatnya mual.
“Anu, maaf sekali lagi….Tapi, apa itu yang pertama kalinya?”
Dia tergingat pertanyaan Tikta. Pria yang tingginya 188cm dengan tubuh tegap, berkulit agak kecoklatan. Itu kali pertamanya dia bertemu dengan pria itu, tapi kini Nina dengan jelas mengingat tubuh telanjang pria itu.
“Ah sialan! Iya itu yang pertama! Emang kenapa sih umur tiga puluh dua tahun belom pernah sekalipun ngeseks?!” Dia jadi kesal sendiri dan kemudian setetes airmata menitik, semakin lama semakin banyak.
“Sialan, gue ‘kan mau ngasih keperawanan gue ke orang yang gue sayang…. Sialan..” Dia mengoceh sekali lagi, terisak. Merasa kehormatannya di renggut dengan tidak baik-baik.
Nina menangis tersedu ketika sebuah pesan masuk ke ponselnya.
[Ternyata saya simpan nomor kamu, ini Tikta. Saya rasa sebaiknya kita ketemu.]
Aku mencintai keluargaku.Namun ketika tahu kalau papa kami bukanlah orangtua kandung abang, aku sedikit bingung untuk bereaksi apa. Ada kalanya abang bilang kalau dia dan papa tidak begitu mirip, saat itu aku pikir dia terlalu berpikiran negatif karena omongan orang lain mengenai betapa tidak miripnya mereka kerap kali terdengar.“Kamu sudah dengar sendiri, papa bukan orangtua kandungku.”“Tapi, papa tetaplah orangtua kita.”“Orangtuamu.” Katanya menatapku dengan penuh rasa sedih.Aku tahu betapa memiliki seorang ayah adalah harapan terbesar kami, patah hatinya kurasakan meskipun dia tidak bilang dengan terus terang. Tatapan mata penuh kesedihan itu sudah bisa menjadi jawaban bagaimana pada akhirnya dia harus mengiyakan ucapan orang-orang mengenai betapa beda dia dan papa.Dan, pada dasarnya, mereka memang berbeda.“Abang masih marah?” Tanya Ibu ketika melihatku turun dari lantai dua, matanya terlihat bengkak dan suaranya agak serak. Di depan ibu yang tengah duduk di kursi meja makan
“Ga..” Papa memelukku ketika ibu menyampaikan kabar duka tentang kepergian ayah padaku. Ibu sudah menangis dengan begitu histeris, Pavita memeluknya berusaha menenangkan.Papa kemudian membawa kami pulang ke Indonesia, dimana ayah akan dikebumikan. Tidak ada siapapun disana selain kami sebagai keluarganya, hanya ada rasa kesepian yang berat. Tangis yang keluar hanya muncul dari ibu dan juga sahabatnya, tante Julie. Selain itu aku hanya menatap tubuh ayah yang sudah kaku.Ketika pemakaman sudah berakhir, ibu dibawa kembali ke kamar hotel oleh Pavita. Sedangkan aku dan papa masih berdiam diri di depan makam ayah.“Ucapkan salam terakhirmu.” Kata papa sambil mengelus punggungku.“Kenapa dia meninggalkanku?”Papa menoleh, tahu benar kalau aku tidak tengah mencari jawaban atas pertanyaan yang baru saja kulontarkan. Aku tidak menginginkan jawaban.“Aku bahkan belum mengenalnya dengan baik.”Dan sejurus kemudian airmataku mulai meleleh, tangisku pecah.Ayah menghela napasnya, seperti tahu in
“Itu papa?” Tanyaku pada ibu yang kemudian mengangguk pelan sambil menggendong adikku, Pavita.Aku ingat benar momen itu, momen dimana orang yang selama ini aku pikir tidak pernah ada di hidup kami kemudian muncul dengan senyum lebar. Segala kecanggungannya begitu terasa di setiap ujung jari yang merangkul aku dan adikku dengan erat.Selama hanya ada kami bertiga, ibu selalu menghindari pertanyaanku mengenai sosok seorang ayah. Ada kalanya, keperluan sekolah membuatku bertanya apakah aku memiliki seorang ayah yang nantinya akan ibu jawab dengan isakan tangis atau hanya anggukan.Tidak ada penjelasan sampai ia kemudian mulai menyinggung bahwa beberapa orang memiliki ayah lebih dari satu orang. Aku yang masih terlalu kecil tidak begitu mengerti hingga akhirnya menyadari kalau yang ibu maksud beberapa anak memiliki dua orang ayah salah satunya adalah diriku.Pertemuan dengan papa begitu canggung, Pavita sampai tidak berani mendekat karena masih belum terbiasa dan merasa bahwa pria di dep
“Hi, aku ayah kamu. Catur Rangga.”Aku masih begitu mengingat bagaimana akhirnya kami bertemu. Catur Rangga adalah ayah biologisku. Orang yang terlihat biasa saja, tingginya mungkin sekitar seratus tujuh puluh senti sekian, kulitnya seputih susu persis denganku.Ketika aku melihat wajahnya, aku baru mengerti.Ah, itulah kenapa orang-orang bilang aku tidak mirip dengan Pavita karena pada dasarnya aku mirip dengan orang ini. Hampir sembilan puluh persen fitur wajahku benar-benar mirip dengannya.Dia menyondorkan tangannya dengan canggung ketika pada akhirnya aku menyambut uluran tangan itu dan menjabatnya, tangannya berkeringat dan dingin. Aku rasa bukan hanya aku yang merasa gugup.Aku duduk di depannya, kami memilih meja berkursi dua berhadapan di pojok sebuah coffee shop. Papa mengantarku dengan mobil dan tengah menungguku di ujung jalan, dia bilang tidak akan ikut dan hanya ingin membuatku menikmati waktu bersama ayah biologisku.Pria itu masih menunduk di depanku, aku bisa mengerti
Ketika aku mulai tumbuh remaja, ibu selalu bicara mengenai ayah. Bahwa di dunia ini ada beberapa anak yang memiliki dua ayah.“Ada yang punya ayah secara biologis, ada juga yang tidak.”“Maksudnya bagaimana bu?” Tanyaku kala itu ketika ibu tiba-tiba bicara mengenai hal yang baru saja dia ucapkan, kami tengah berada di dalam mobil.Sore sudah menjelang, langit berwarna jingga dan hanya ada kami berdua di parkiran daycare adikku.“Ya, ada yang kita panggil ayah namun bukan orang yang memberi kita kehidupan. Tapi dia adalah sosok yang menjelma sebagai ayah yang kita tahu sebagai anak. Ada juga seorang ayah yang memberikan kita kehidupan dan mungkin karena satu hal dia tidak menjadi sosok yang kita tahu.”Kalimat ibu begitu rumit, aku yang masih kecil tidak mengerti.Pembahasan itu berakhir begitu saja ketika adikku datang dan masuk ke dalam mobil dengan senyum lebar di wajahnya.Pembahasan ibu mengenai
Catur menatap pria di depannya, pria yang selama beberapa bulan terakhir menghantuinya. Pria itu menuntut banyak hal dari Catur termasuk memaksanya untuk ‘membawa’ kembali Nina.“Gue sudah bilang gue gak akan diem aja, lo ngerti maksud gue gak?” Gata melotot, wajahnya terlihat begitu merah karena emosi sudah mencapai puncaknya. Dia berjalan kesana kemari di depan Catur yang masih duduk dengan rokok di sela jarinya.Pria itu sudah berkali-kali datang menemui Catur, ketika dia datang ke warehouse dan Catur mencoba untuk menggertak serta mengancamnya pria itu malah semakin menjadi-jadi ketimbang takut akan hal itu.“Bisa berhenti obsesi sama Tikta gak sih lo?” Catur menghisap rokoknya disela perkataannya, berusaha untuk tetap tenang juga menghadapi pria di depannya yang semakin lama dia yakini sebagai seorang dengan gangguan jiwa.Gata menghentikan langkahnya, dengan penuh kedramatisan dia menoleh pada Catur. Pria itu suda