Tikta mengacak rambutnya, kemarin dua kali dia sudah mengirimkan pesan kepada wanita yang dia yakini bernama Gianina. Dua hari lalu adalah hari pertama dia bertemu dengan wanita itu, dia ada janji bertemu dengan Leonatan Yogaswara seorang bupati muda karena urusan bisnis.
Leonatan membawa serta istrinya Julie yang juga membawa ketiga temannya, Kumara, Catur serta Gianina. Setelah membicarakan urusan bisnis mereka akhirnya mengobrol dan minum-minum sampai akhirnya obrolan Tikta, Gata dan Catur ternyata cocok dan mereka memutuskan untuk berpindah tempat.
Malam itu, Catur tidak ingin membawa Gianina untuk pulang. Dia memutuskan membawa wanita itu ikut bersama mereka ke hotel.
Setelahnya, Tikta tidak mendengar apa-apa lagi dan yang dia ingat hanyalah bagaimana dia melihat Gianina dalam keadaan setengah telanjang di depannya.
Dia menghela napas panjang.
Dia yakin tidak ada yang terjadi padanya dan juga Gianina, tapi melihat wanita itu nampak terkejut dan melihat keadaannya dia jadi tidak percaya diri.
“Ta?” Sebuah panggilan dengan suara lembut dari balik pintu membuyarkan semua lamunan Tikta, dia yang tengah menatap ponselnya kini mengalihkan pandangannya kearah laptop yang terbuka. Seorang wanita paruh baya masuk ke dalam ruang kerjanya. “Masih sibuk?” Tanya wanita itu. Ibunya.
“Enggak bu, baru selesai ngecek semua yang harus Tikta kerjakan hari ini. Ada apa bu?”
Ibunya duduk di kursi di depan meja kerjanya, wanita paruh baya berambut abu-abu itu tampak jauh lebih tua dari yang Tikta ingat. Ya, sudah hampir sepuluh tahun Tikta tidak bertemu dengan ibunya. Ini baru bulan keenam dia kembali dari petualangannya menjauh dari rumah.
“Ibu dengar beberapa hari lalu kamu ketemu sama Gata?”
Tikta menoleh, mendapati ibunya tengah menatapnya dengan tatapan penuh kekhawatiran. Dia menghela napas, “Tikta pergi bertemu pak Leonatan bu, bupati muda itu. Bukannya bapak yang maksa Tikta membujuk pak Leo memakai produk kita ke depannya untuk semua urusan kampanyenya? Gata kenal dekat dengan pak Leo. Tikta minta tolong.” Dia menjelaskan panjang lebar kepada ibunya, wanita paruh baya itu menghela napas lega. Ibunya mendekat dan mengelus tangannya lembut.
“Jangan marah, ibu hanya bertanya karena khawatir.” Ujarnya lembut.
Tikta terdiam sesaat, menyambut tangan ibunya. “Tikta sudah berusaha bu, paling tidak tolong percaya sebentar saja. Toh Tikta sudah pulang, mengambil alih bisnis sesuai keinginan bapak sama ibu. Seenggaknya kasih Tikta waktu untuk beresin semuanya satu-satu.”
Ibunya menitikkan airmata, menangis di depannya. Tubuh kecil wanita itu berguncang, membuat perasaan Tikta digerogoti perasaan bersalah. Dia sudah mengabaikan wanita tua itu bertahun-tahun hanya karena tidak ingin melihat lagi ayahnya.
Hubungan Tikta dengan ayahnya tidak begitu baik, malah bisa dibilang buruk. Sebagai seorang anak tunggal Tikta tidak diperbolehkan mengambil jalannya sendiri. Jalan yang dipilih olehnya haruslah jalan yang sudah ayahnya buka.
Tidak ada opsi, tidak ada penawaran.
Beberapa bulan lalu, Tikta mendapat telepon dari ibunya, mengabarkan kalau ayahnya jatuh ketika bekerja dan kini tidak bisa bangun lagi dari tempat tidur. Dokter bilang ayahnya terkena stroke, penyebabnya banyak. Selain faktor usia, terlalu lelah, dan banyak pikiran.
“Ta, gak ada yang bisa nerusin perusahaan ini selain kamu. Ibu gak pernah ngerti, ayah gak pernah sekalipun ngizinin ibu untuk ngerti tentang perusahaan ini.” Kata ibunya kala itu, terisak di depan Tikta seperti sekarang.
Tikta bangun dari duduknya, berjalan mendekat ke ibunya dan memeluk wanita tua itu lembut.
“Maafin ibu ya Ta, ibu gak punya kekuasaan apapun untuk memutuskan di keluarga ini.” Bisik wanita itu lemah.
Tikta tidak menjawab, dia hanya diam sambil terus mengelus punggung wanita tua itu.
Tikta pulang ke rumah, kemudian mengumumkan pada publik kalau dia yang meneruskan bisnis ayahnya. Media lalu sibuk memberitakan hal tersebut, dia langsung terjun ke lapangan. Mengecek semua pabrik dan tetek bengeknya.
“Tikta sibuk bu, belum ada kepikiran untuk hal-hal lain. Kemarin bertemu Gata karena minta tolong saja..” Ujarnya pelan.
Ibunya mengangguk pelan, mengelus wajahnya dan kemudian berpamitan pergi dari ruang kerjanya. Tikta duduk di sofa ruang kerjanya, ruang kerja yang dipakainya sekarang adalah ruang kerja ayahnya. Sejak kecil Tikta tidak pernah diizinkan masuk ke ruang kerja ayahnya, si gila kerja itu selalu menghabiskan waktunya berjam-jam di ruangan ini.
Tikta berjalan menyusuri ruangan besar yang dikelilingi oleh rak buku. Ruang kerja yang selalu rapi dan bersih meskipun ayahnya sudah jarang datangi lagi kini menjadi miliknya sepenuhnya.
Dia membuka ponselnya, mengecek lagi pesan dari Gianina.
Dia harus menyelesaikan permasalahannya dengan wanita itu.
“Saya gak akan nuntut apa-apa. Kita lupain aja semuanya.”
Kata-kata Gianina teringat di benaknya.
Dia bukan takut dituntut oleh wanita itu, tapi dia tidak ingin wanita itu berpikiran buruk tentang dirinya. Dia yakin dia tidak melakukan apapun padanya, keadaan itu sungguh membingungkan. Dia sendiri juga tidak tahu kenapa semuanya jadi seperti itu sedangkan Gata sendiri sekarang tidak bisa dihubungi untuk dia tanyakan.
Dia menarik napas, membuangnya kencang-kencang sebelum akhirnya merebahkan dirinya lagi ke sofa. Ketika dia baru saja menutup matanya sebuah panggilan masuk ke dalam ponselnya, GIANINA.
Dia terkejut, “Halo?”
“Tikta?” Suara itu terdengar begitu lembut dan manja, suara yang dia dengar ketika mereka pertama kali bertemu di club malam, “Gianina, panggil Nina aja ya.”
“Ya? Gimana Nina? Bisa bertemu?” Dia kemudian bertanya, tidak ingin berbasa-basi.
“Anu, kalau ketemu, harus gimana ya?” Pertanyaan yang membuat Tikta terdiam.
“Begini, apa yang terjadi kemarin itu bikin benar-benar kepikiran sama saya. Memangnya kamu gak kepikiran?”
Hening panjang, “Kepikiran banget..” Ucap suara itu.
“Makanya, kita harus ketemu untuk ngobrol. Setidaknya biar meluruskan saja.”
“……ma kali.”
“Apa?” Tikta berkerut, suara Nina mendadak begitu kecil sampai hampir terdengar seperti gumaman.
“Itu pertama kalinya buat saya..” Ujar Nina diujung telepon.
Tikta menelan ludah, hatinya berdegup kencang.
“Kamu gak pakai pengaman? Atau KB?” Tikta bertanya, hening lagi diujung sana sebelum akhirnya wanita itu menjawab dengan suara pelan. “Gak pernah, soalnya gak pernah kepikiran bakalan kejadian.”
Perasaan buruk mendadak menyergap Tikta. Malam itu ada tiga laki-laki di dalam kamar tersebut, Tikta, Catur, Gata. Seingat Tikta selain Nina yang langsung masuk kamar untuk tidur karena kepalanya sakit, ketiganya minum sampai pagi dan mengobrol di ruang tengah. Saat itu dia memang mendengar seseorang memasuki kamar Nina, tapi dia tidak tahu siapa.
“Bisa bertemu sekarang?” Tanya Tikta lagi.
“Saya lagi di bali untuk urusan bisnis, kembali sekitar bulan depan.”
Tikta terdiam, malam itu Julie memang memperkenalkan Gianina padanya. Dan dia ingat nama itu, seorang desainer muda yang tengah melejit karena kalangan artis memakai desainnya. Jadwal wanita itu pasti sangat padat.
“Saya ke lombok bulan depan. Bisa bertemu akhir bulan di bulan depan saja?”
“Ya boleh..” Kata Nina pelan, Tikta belum menutup teleponnya, wanita itu juga belum menutupnya. Seperti ada sesuatu yang masih mau dia katakan.
“Nina?”
“Anu, kamu lihat ada bekas kondom di kamar gak? Karena seingatku, gak ada bekas kondom sama sekali.”
Tikta terdiam sebentar, “Ada bekas sperma yang keluar dari selangkangan kamu, saya pikir itu bukti kalau memang tidak ada pemakaian kondom ketika itu dilakukan.”
Tidak ada jawaban lagi dari ujung telepon dan tanpa permisi telepon itu ditutup.
Aku mencintai keluargaku.Namun ketika tahu kalau papa kami bukanlah orangtua kandung abang, aku sedikit bingung untuk bereaksi apa. Ada kalanya abang bilang kalau dia dan papa tidak begitu mirip, saat itu aku pikir dia terlalu berpikiran negatif karena omongan orang lain mengenai betapa tidak miripnya mereka kerap kali terdengar.“Kamu sudah dengar sendiri, papa bukan orangtua kandungku.”“Tapi, papa tetaplah orangtua kita.”“Orangtuamu.” Katanya menatapku dengan penuh rasa sedih.Aku tahu betapa memiliki seorang ayah adalah harapan terbesar kami, patah hatinya kurasakan meskipun dia tidak bilang dengan terus terang. Tatapan mata penuh kesedihan itu sudah bisa menjadi jawaban bagaimana pada akhirnya dia harus mengiyakan ucapan orang-orang mengenai betapa beda dia dan papa.Dan, pada dasarnya, mereka memang berbeda.“Abang masih marah?” Tanya Ibu ketika melihatku turun dari lantai dua, matanya terlihat bengkak dan suaranya agak serak. Di depan ibu yang tengah duduk di kursi meja makan
“Ga..” Papa memelukku ketika ibu menyampaikan kabar duka tentang kepergian ayah padaku. Ibu sudah menangis dengan begitu histeris, Pavita memeluknya berusaha menenangkan.Papa kemudian membawa kami pulang ke Indonesia, dimana ayah akan dikebumikan. Tidak ada siapapun disana selain kami sebagai keluarganya, hanya ada rasa kesepian yang berat. Tangis yang keluar hanya muncul dari ibu dan juga sahabatnya, tante Julie. Selain itu aku hanya menatap tubuh ayah yang sudah kaku.Ketika pemakaman sudah berakhir, ibu dibawa kembali ke kamar hotel oleh Pavita. Sedangkan aku dan papa masih berdiam diri di depan makam ayah.“Ucapkan salam terakhirmu.” Kata papa sambil mengelus punggungku.“Kenapa dia meninggalkanku?”Papa menoleh, tahu benar kalau aku tidak tengah mencari jawaban atas pertanyaan yang baru saja kulontarkan. Aku tidak menginginkan jawaban.“Aku bahkan belum mengenalnya dengan baik.”Dan sejurus kemudian airmataku mulai meleleh, tangisku pecah.Ayah menghela napasnya, seperti tahu in
“Itu papa?” Tanyaku pada ibu yang kemudian mengangguk pelan sambil menggendong adikku, Pavita.Aku ingat benar momen itu, momen dimana orang yang selama ini aku pikir tidak pernah ada di hidup kami kemudian muncul dengan senyum lebar. Segala kecanggungannya begitu terasa di setiap ujung jari yang merangkul aku dan adikku dengan erat.Selama hanya ada kami bertiga, ibu selalu menghindari pertanyaanku mengenai sosok seorang ayah. Ada kalanya, keperluan sekolah membuatku bertanya apakah aku memiliki seorang ayah yang nantinya akan ibu jawab dengan isakan tangis atau hanya anggukan.Tidak ada penjelasan sampai ia kemudian mulai menyinggung bahwa beberapa orang memiliki ayah lebih dari satu orang. Aku yang masih terlalu kecil tidak begitu mengerti hingga akhirnya menyadari kalau yang ibu maksud beberapa anak memiliki dua orang ayah salah satunya adalah diriku.Pertemuan dengan papa begitu canggung, Pavita sampai tidak berani mendekat karena masih belum terbiasa dan merasa bahwa pria di dep
“Hi, aku ayah kamu. Catur Rangga.”Aku masih begitu mengingat bagaimana akhirnya kami bertemu. Catur Rangga adalah ayah biologisku. Orang yang terlihat biasa saja, tingginya mungkin sekitar seratus tujuh puluh senti sekian, kulitnya seputih susu persis denganku.Ketika aku melihat wajahnya, aku baru mengerti.Ah, itulah kenapa orang-orang bilang aku tidak mirip dengan Pavita karena pada dasarnya aku mirip dengan orang ini. Hampir sembilan puluh persen fitur wajahku benar-benar mirip dengannya.Dia menyondorkan tangannya dengan canggung ketika pada akhirnya aku menyambut uluran tangan itu dan menjabatnya, tangannya berkeringat dan dingin. Aku rasa bukan hanya aku yang merasa gugup.Aku duduk di depannya, kami memilih meja berkursi dua berhadapan di pojok sebuah coffee shop. Papa mengantarku dengan mobil dan tengah menungguku di ujung jalan, dia bilang tidak akan ikut dan hanya ingin membuatku menikmati waktu bersama ayah biologisku.Pria itu masih menunduk di depanku, aku bisa mengerti
Ketika aku mulai tumbuh remaja, ibu selalu bicara mengenai ayah. Bahwa di dunia ini ada beberapa anak yang memiliki dua ayah.“Ada yang punya ayah secara biologis, ada juga yang tidak.”“Maksudnya bagaimana bu?” Tanyaku kala itu ketika ibu tiba-tiba bicara mengenai hal yang baru saja dia ucapkan, kami tengah berada di dalam mobil.Sore sudah menjelang, langit berwarna jingga dan hanya ada kami berdua di parkiran daycare adikku.“Ya, ada yang kita panggil ayah namun bukan orang yang memberi kita kehidupan. Tapi dia adalah sosok yang menjelma sebagai ayah yang kita tahu sebagai anak. Ada juga seorang ayah yang memberikan kita kehidupan dan mungkin karena satu hal dia tidak menjadi sosok yang kita tahu.”Kalimat ibu begitu rumit, aku yang masih kecil tidak mengerti.Pembahasan itu berakhir begitu saja ketika adikku datang dan masuk ke dalam mobil dengan senyum lebar di wajahnya.Pembahasan ibu mengenai
Catur menatap pria di depannya, pria yang selama beberapa bulan terakhir menghantuinya. Pria itu menuntut banyak hal dari Catur termasuk memaksanya untuk ‘membawa’ kembali Nina.“Gue sudah bilang gue gak akan diem aja, lo ngerti maksud gue gak?” Gata melotot, wajahnya terlihat begitu merah karena emosi sudah mencapai puncaknya. Dia berjalan kesana kemari di depan Catur yang masih duduk dengan rokok di sela jarinya.Pria itu sudah berkali-kali datang menemui Catur, ketika dia datang ke warehouse dan Catur mencoba untuk menggertak serta mengancamnya pria itu malah semakin menjadi-jadi ketimbang takut akan hal itu.“Bisa berhenti obsesi sama Tikta gak sih lo?” Catur menghisap rokoknya disela perkataannya, berusaha untuk tetap tenang juga menghadapi pria di depannya yang semakin lama dia yakini sebagai seorang dengan gangguan jiwa.Gata menghentikan langkahnya, dengan penuh kedramatisan dia menoleh pada Catur. Pria itu suda