Masuk(Mengandung adegan 21+ di bab tertentu) Venus John Eleanor sudah muak dengan suaminya. Tanpa pikir panjang, ia nekat menukarnya di sebuah toko misterius di pasar gelap daring. Ketika suami pengganti tiba—sempurna dalam segala hal, persis seperti yang ia impikan—Venus pun mulai bertanya-tanya: Apa yang sebenarnya terjadi pada suaminya yang asli? °°° Hai kakak-kakak pembaca tersayang, penulis akan sangat berterima kasih jika kakak semua berkenan meninggalkan jejak komentar, ulasan dan menambahkan cerita ini ke pustaka. Love <3
Lihat lebih banyakMalam itu, aroma ayam panggang kecap memenuhi ruang makan. Bagian potongan utuh itu mengilat di bawah cahaya lampu kristal, memantulkan bayangan Venus yang sedang tersenyum. Perempuan cantik itu menyusun nasi putih di piring, menatap Eric, suaminya.
Lelaki yang duduk di seberangnya dengan postur sempurna, dasi longgar di leher, dan senyum yang selalu membuat jantungnya berdegup kencang. "Menu spesial buat kamu," ucap Venus lembut, meletakkan piring di depan Eric. Suaminya itu mengangguk, matanya berbinar. "Aku suka masakan kamu malam ini, Venusku sayang,” katanya. Kalimat itu terdengar hangat di telinganya. Venus hampir tak percaya karena akhir-akhir ini Eric jarang sekali memuji. Biasanya, yang keluar dari mulutnya hanyalah keluhan atau permintaan singkat. Namun malam itu, semuanya terasa berbeda. “Aku seneng kalau kamu suka. Habis makan malam kita mandi bareng ya? Habis itu ….” Venus menarik gelas minumnya, jari-jarinya yang halus melingkari kristal tipis itu. Saat bibirnya hampir menyentuh air dalam gelas itu— "Kamu nggak denger ya aku ngomong apa?" Suara Eric yang tiba-tiba menggelegar membuatnya tersentak. Venus terkejut. Gelas di genggamannya nyaris terlepas. Ia mengerjapkan mata, melihat Eric masih duduk di kursinya, tetapi ekspresinya sudah berubah. Ekspresi tak tergapai, dingin, seperti topeng yang tiba-tiba retak. "Ya, sayang? Kamu mau apa? Maaf aku sedikit nggak fokus," Venus mencoba menyembunyikan getar di suaranya. Eric menghela napas, mengusap dahinya. "Aku mau langsung tidur. Makasih udah masakin makan malam." Tanpa menunggu respon atau sekadar sahutan, lelaki itu berdiri, meninggalkan Venus di tengah meja makan yang tiba-tiba terasa terlalu besar. Suara langkahnya menghilang di tangga, meninggalkan kesunyian yang menusuk. Venus menatap piring Eric. Ayam masakannya masih utuh, hampir tak tersentuh. “Tadi … aku berkhayal lagi, ya? Ya ampun, saking kangennya aku sama kehangatan dia,” gumam Venus. Ia menarik napas dalam, mencoba mengusir bayangan Eric yang lain. Eric yang hangat, yang memujinya, yang mungkin tak pernah benar-benar ada saat ini. Di lantai atas, suara pintu kamar terkunci, menggema. Venus mengangkat sendok, memaksakan sesuap nasi ke mulutnya. Ia mencoba tetap menikmati makan malam itu, meski rasanya pahit. Sambil menjejali mulutnya dengan nasi dan ayam panggang kecap buatannya. Piring Eric masih penuh. Ayam kecapnya sudah tidak mengeluarkan uap lagi, lapisan sausnya mengeras di pinggiran piring. Venus menyentuh nasi di piringnya sendiri. Sudah dingin. Ia berdiri dan berjalan ke rak buku di ruang tamu. Album foto pernikahan mereka terselip di antara buku-buku resep masakan. Kulit sampulnya sudah mulai mengelupas di sudut-sudutnya. Jari Venus yang gemetar membuka halaman demi halaman. Ada foto mereka di dapur apartemen pertama mereka. Saat Eric memakai apron bergambar sapi lucu, wajahnya belepotan tepung. Foto lain menunjukkan mereka di bioskop, Eric sedang mengikatkan syal di leher Venus dengan ekspresi serius yang lucu. "Kamu dulu selalu … romantis. Kenapa sekarang jadi aku yang selalu ngejar kamu?" Venus menahan isak. Venus menutup album dengan keras. Di sudut ruangan, jaket denim Eric tergantung di kursi. Jaket yang sama yang pernah menyelimutinya di bioskop. Jaket itu kini terlihat kusam, dengan noda kopi di lengan kanan yang tidak pernah sepenuhnya hilang meski sudah dicuci bersih. Dia meraih jaket itu tanpa berpikir, menempelkan wajahnya ke kain yang sudah kehilangan aroma sandalwood itu. Yang tersisa hanya bau rokok dan bau samar sesuatu yang asing. Bau parfum yang bukan miliknya. “Aku nggak bisa kayak gini. Aku harus cari pelampiasan lain,” gumam Venus sambil membawa jaket Eric ke kamar belakang. Venus mengunci diri di balik pintu kamar mandi di belakang. Ia menyalakan keran air hangat, uap panas menyebar, cermin besar di dinding sudah berkabut. Air pancuran deras mengaliri tubuhnya yang menggigil. Di lantai marmer, jaket denim Eric tergeletak. Jaket yang ia curi dari tempatnya, saat Eric masih mendengkur di kamar. Venus memungutnya dengan gemetar. "Bodoh sekali kamu, Venus," bisiknya pada bayangannya sendiri di kaca yang buram. Namun, tangannya sudah bergerak sendiri. Membawa jaket itu ke wajahnya, menghirup dalam-dalam. Bau itu langsung menerpa seperti pukulan telak. Sebuah campuran parfum sandalwood milik Eric yang memudar, rokok kretek, dan sesuatu yang baru. Bau vanilla-mint yang terasa terlalu feminin. “Gila kamu, Venus! Gara-gara Eric kamu jadi begini," katanya sambil meremas-remas jaket itu. Tubuhnya bereaksi sebelum otaknya bisa protes. Tangannya yang basah menyelinap ke bawah, jari-jarinya bergerak dengan kenangan dalam memorinya seperti dulu saat Eric masih memandangnya dengan hasrat, bukan dengan wajah bosan yang sekarang selalu ia dapatkan. "Oh, God. Maafin aku, Tuhan!" erangnya. Punggungnya menempel ke dinding dingin untuk menahan kaki yang mulai lemas. Pikiran terakhir sebelum orgasme menyambar adalah wajah Eric di pagi hari ulang tahun pernikahan mereka dulu, saat suaminya itu membangunkannya dengan ciuman dan tangan nakal yang mahir. "Argh! Sialan kamu, Eric!" Suaranya menggema di kamar mandi sempit. Venus terpeleset, jatuh berlutut di lantai basah, jaket itu masih melekat erat di wajahnya seperti perban pada luka. *** Jam di nakas menunjuk pukul 3:47. Venus menatap langit-langit kamar belakang. Tempat yang seharusnya menjadi tempat berbaring suaminya. Telepon genggamnya menyala dengan chat terakhir dari Eric yang belum sempat ia buka sejak kemarin malam. "Aku lembur lagi. Jangan tunggu." Venus mengubah posisinya menjadi duduk bersandar di ranjang. Ia meraih ponsel, membuka galeri foto, menggeser-geser gambar sampai menemukan tangkapan layar dari pesan yang disembunyikannya di folder "Tagihan". Foto-foto mereka saat sikap Eric masih sehangat mentari pagi. Tangannya mengepal. Tiba-tiba, ia meraih jaket itu lagi, tetapi kali ini dengan gunting yang ia keluarkan dari laci nakas di samping. Dengan gerakan kasar, ia mulai mencabuti benang di bagian label dalam. Satu per satu benang terlepas sampai sebuah tulisan dari bordir terlihat. “V+E - 05.05.2018" Tanggal pernikahan mereka. Venus terisak. Di luar, hujan mulai turun, mengetuk jendela seperti jari-jari Eric yang dulu selalu mengetuk pintu kamar mandi saat ia mandi terlalu lama.Pagi itu, cahaya matahari menyinari kantor catatan sipil dengan lembut. Venus dan Ian berdiri berdekatan, tangan tak lepas saling menggenggam. Untuk pertama kalinya sejak ‘kembali’ menjadi normal, Ian tidak mengenakan topi atau berusaha menutupi bekas luka di pipi kirinya.Ian berdiri tegak, dengan sedikit senyum simpul di bibirnya, membiarkan dunia melihatnya apa adanya. Dan bagi Venus, itu justru membuatnya semakin tampan. Sebuah bukti nyata dari ketangguhan g dan keberaniannya.“Kamu yakin dengan pilihan ini?” bisik Ian, tatapannya menatap Venus dalam-dalam, seolah masih tidak percaya dengan kebahagiaan yang dialaminya.Venus hanya menjawab dengan menggenggam tangannya lebih erat. “Aku nggak pernah seyakin ini tentang apapun sebelumnya.”Cincin sederhana di jari Venus berkilau samar, sebuah janji yang kini akan mereka wujudkan dalam sebuah ikatan sakral. Proses itu berjalan lancar, penuh dengan pandangan penuh berkah dari pe
Hari itu Venus memberanikan diri untuk memeriksa kandungannya. Tanpa meminta waktu Eric untuk mendampinginya, dia memutuskan mengunjungi dokter kandungan sendiri.Saat menunggu panggilan untuk bertemu dokter, Venus mendengar suara lelaki yang familiar memanggil namanya. Dia menoleh ke arah suara, dan matanya terbelalak saat melihat pria itu. Pertemuan tak terduga itu membuat ruang tunggu dokter kandungan terasa sempit.“Kamu periksa kandungan? Eric, suami kamu gimana kabarnya?” tanya pria itu.“Eric baik-baik saja, katanya.Kalimat kebohongan itu terasa pahit di ujung lidah Venus. Venus masih terduduk, mencoba mencerna kata-katanya sendiri yang terlanjur meluncur sebagai pertahanan diri untuk menjaga citra pernikahannya dengan Eric sebelum putusan resmi dari pengadilan.Venus balik bertanya, “kamu, nemenin istri ke sini?”Pria itu—Virgo tertawa pelan, dan tawanya seperti mengurai sedikit ketegangan.
Empat bulan kemudian ….Ruang sidang itu terasa pengap, meski pendingin ruangan dinyalakan di angka 17 derajat Celsius. Setiap tarikan napas Venus terasa berat, dipenuhi ketegangan.Venus duduk tegak, tetapi tangan yang tergenggam di pangkuannya menghujam pucat. Di sampingnya, Arjuna menyusun berkas-berkas dengan tenang. Sorot matanya tajam, terpaku pada Eric yang duduk di seberang mereka dengan wajah dingin.“Yang Mulia,” suara Arjuna menggelegar, memecah kesunyian ruangan itu. “Kami hari ini tidak hanya akan membuktikan adanya keretakan perkawinan yang tidak dapat diperbaiki lagi, tetapi juga menunjukkan bahwa pihak Termohon, Tuan Eric, telah secara sadar dan berulang kali melanggar janji suci pernikahan melalui hubungan di luar pernikahan dengan saudari Venus John Eleanor.”Dari dalam map berwarna coklat, Arjuna mengeluarkan setumpuk dokumen. Venus menunduk, napasnya tersendat. Ini adalah momen yang paling ditakutkan dan sek
Ruangan konsultasi yang rapi dan sejuk itu tiba-tiba terasa seperti perangkap. Venus duduk kaku, menatap tak percaya pada pria yang duduk di seberangnya. Bukan pengacara biasa yang dia harapkan, tetapi Arjuna, suami Felicia, dan yang dia curigai terlibat jauh lebih dalam dengan situs Mountbatten.com.“Aku tidak menyangka kamu akan melakukan hal seperti ini, Venus,” ucap Arjuna, suaranya datar, tetapi matanya yang tajam menelusuri setiap ekspresi di wajah Venus.Venus menahan gejolak di dadanya. “Aku sudah muak. Aku lelah bertahan, Arjuna," jawabnya, suaranya tegas meski tangannya menggenggam erat tepi kursi.Venus sudah muak dengan semua kebohongan, semua permainan, dan semua orang yang tampaknya tahu lebih banyak tentang hidupnya daripada dirinya sendiri.Arjuna menyeringai, sebuah ekspresi yang membuat Venus merinding. Pria itu tidak terkejut. Sepertinya dia sudah menunggu. Dengan gerakan santai, dia mengeluarkan sebuah map d
Tanpa berkata-kata, Venus merogoh amplop cokelat yang dia sembunyikan dan mengeluarkan sebuah foto. Foto itu jelas, bujti yang tak lagi terbantahkan.Foto itu menangkap wajah Eric dan Nova, sedang keluar dari sebuah pintu kamar hotel, sedang bertatapan mesra sambil tangan mereka saling menggenggam.Wajah Eric berubah seketika. Darahnya mengalir menjauh dari wajahnya, meninggalkan warna pucat yang mencolok. Matanya membelalak, tidak percaya. “A-apa ini?” dia tergagap-gagap dengan suara serak.“Eric.” Venus menatapnya langsung, matanya yang biasanya lembut sekarang penuh dengan kekecewaan dan keputusan yang tak tergoyahkan. “Maafkan aku, aku ingin bercerai.”“Tidak!” Eric berseru, panik. Tangannya meraih lengan Venus, tapi Venus menariknya kembali. “Semuanya salah paham, Sayang!”“Tidak perlu mengelak, Eric.” Venus menggeleng, suaranya datar, lelah. Semua drama, semua kebohongan, sudah cukup. “Aku sudah tahu semuany
Udara di antara mereka terasa pengap. Nova mendekap bayinya lebih erat, wajahnya campur aduk antara terkejut, tidak percaya, dan sedikit harap saat mendengar ucapan Venus.“Aku akan bercerai dari Eric,” ucap Venus.Dia berbicara seolah Keputusannya sudah bulat.Nova terbelalak. “Apa? Kamu yakin? Kamu nggak bercanda?” Bayi di gendongan Nova menggeliat, seolah merasakan ketegangan.“Aku udah janji,” jawab Venus, menatap langsung ke mata Nova. “Begitu anak itu lahir, aku akan mengurus perceraian dengan Eric.” Janji itu, yang dulu diucapkan dalam keputusasaan untuk menenangkan Nova, untuk memenangkan hati Eric, kini dia tepati. Venus memenuhi janji itu bukan untuk Nova, melainkan untuk dirinya sendiri. Untuk kebebasannya. Untuk Ian.“Ta-tapi ..." Nova tampak bingung dengan perubahan drastis itu. “Tapi Eric bilang, dia menyuruhku menjauh dari hidup kalian.” Ucapan itu seperti pengakuan, sebuah pengakuan












Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen