Venus John Eleanor sudah muak dengan suaminya. Tanpa pikir panjang, ia nekat menukarnya di sebuah toko misterius di pasar gelap daring. Ketika suami pengganti tiba—sempurna dalam segala hal, persis seperti yang ia impikan—Venus pun mulai bertanya-tanya: Apa yang sebenarnya terjadi pada suaminya yang asli? °°° Hai kakak-kakak pembaca tersayang, penulis akan sangat berterima kasih jika kakak semua berkenan meninggalkan jejak komentar, ulasan dan menambahkan cerita ini ke pustaka. Love <3
더 보기Malam itu, aroma ayam panggang kecap memenuhi ruang makan. Bagian potongan utuh itu mengilat di bawah cahaya lampu kristal, memantulkan bayangan Venus yang sedang tersenyum. Perempuan cantik itu menyusun nasi putih di piring, menatap Eric, suaminya.
Lelaki yang duduk di seberangnya dengan postur sempurna, dasi longgar di leher, dan senyum yang selalu membuat jantungnya berdegup kencang. "Menu spesial buat kamu," ucap Venus lembut, meletakkan piring di depan Eric. Suaminya itu mengangguk, matanya berbinar. "Aku suka masakan kamu malam ini, Venusku sayang,” katanya. Kalimat itu terdengar hangat di telinganya. Venus hampir tak percaya karena akhir-akhir ini Eric jarang sekali memuji. Biasanya, yang keluar dari mulutnya hanyalah keluhan atau permintaan singkat. Namun malam itu, semuanya terasa berbeda. “Aku seneng kalau kamu suka. Habis makan malam kita mandi bareng ya? Habis itu ….” Venus menarik gelas minumnya, jari-jarinya yang halus melingkari kristal tipis itu. Saat bibirnya hampir menyentuh air dalam gelas itu— "Kamu nggak denger ya aku ngomong apa?" Suara Eric yang tiba-tiba menggelegar membuatnya tersentak. Venus terkejut. Gelas di genggamannya nyaris terlepas. Ia mengerjapkan mata, melihat Eric masih duduk di kursinya, tetapi ekspresinya sudah berubah. Ekspresi tak tergapai, dingin, seperti topeng yang tiba-tiba retak. "Ya, sayang? Kamu mau apa? Maaf aku sedikit nggak fokus," Venus mencoba menyembunyikan getar di suaranya. Eric menghela napas, mengusap dahinya. "Aku mau langsung tidur. Makasih udah masakin makan malam." Tanpa menunggu respon atau sekadar sahutan, lelaki itu berdiri, meninggalkan Venus di tengah meja makan yang tiba-tiba terasa terlalu besar. Suara langkahnya menghilang di tangga, meninggalkan kesunyian yang menusuk. Venus menatap piring Eric. Ayam masakannya masih utuh, hampir tak tersentuh. “Tadi … aku berkhayal lagi, ya? Ya ampun, saking kangennya aku sama kehangatan dia,” gumam Venus. Ia menarik napas dalam, mencoba mengusir bayangan Eric yang lain. Eric yang hangat, yang memujinya, yang mungkin tak pernah benar-benar ada saat ini. Di lantai atas, suara pintu kamar terkunci, menggema. Venus mengangkat sendok, memaksakan sesuap nasi ke mulutnya. Ia mencoba tetap menikmati makan malam itu, meski rasanya pahit. Sambil menjejali mulutnya dengan nasi dan ayam panggang kecap buatannya. Piring Eric masih penuh. Ayam kecapnya sudah tidak mengeluarkan uap lagi, lapisan sausnya mengeras di pinggiran piring. Venus menyentuh nasi di piringnya sendiri. Sudah dingin. Ia berdiri dan berjalan ke rak buku di ruang tamu. Album foto pernikahan mereka terselip di antara buku-buku resep masakan. Kulit sampulnya sudah mulai mengelupas di sudut-sudutnya. Jari Venus yang gemetar membuka halaman demi halaman. Ada foto mereka di dapur apartemen pertama mereka. Saat Eric memakai apron bergambar sapi lucu, wajahnya belepotan tepung. Foto lain menunjukkan mereka di bioskop, Eric sedang mengikatkan syal di leher Venus dengan ekspresi serius yang lucu. "Kamu dulu selalu … romantis. Kenapa sekarang jadi aku yang selalu ngejar kamu?" Venus menahan isak. Venus menutup album dengan keras. Di sudut ruangan, jaket denim Eric tergantung di kursi. Jaket yang sama yang pernah menyelimutinya di bioskop. Jaket itu kini terlihat kusam, dengan noda kopi di lengan kanan yang tidak pernah sepenuhnya hilang meski sudah dicuci bersih. Dia meraih jaket itu tanpa berpikir, menempelkan wajahnya ke kain yang sudah kehilangan aroma sandalwood itu. Yang tersisa hanya bau rokok dan bau samar sesuatu yang asing. Bau parfum yang bukan miliknya. “Aku nggak bisa kayak gini. Aku harus cari pelampiasan lain,” gumam Venus sambil membawa jaket Eric ke kamar belakang. Venus mengunci diri di balik pintu kamar mandi di belakang. Ia menyalakan keran air hangat, uap panas menyebar, cermin besar di dinding sudah berkabut. Air pancuran deras mengaliri tubuhnya yang menggigil. Di lantai marmer, jaket denim Eric tergeletak. Jaket yang ia curi dari tempatnya, saat Eric masih mendengkur di kamar. Venus memungutnya dengan gemetar. "Bodoh sekali kamu, Venus," bisiknya pada bayangannya sendiri di kaca yang buram. Namun, tangannya sudah bergerak sendiri. Membawa jaket itu ke wajahnya, menghirup dalam-dalam. Bau itu langsung menerpa seperti pukulan telak. Sebuah campuran parfum sandalwood milik Eric yang memudar, rokok kretek, dan sesuatu yang baru. Bau vanilla-mint yang terasa terlalu feminin. “Gila kamu, Venus! Gara-gara Eric kamu jadi begini," katanya sambil meremas-remas jaket itu. Tubuhnya bereaksi sebelum otaknya bisa protes. Tangannya yang basah menyelinap ke bawah, jari-jarinya bergerak dengan kenangan dalam memorinya seperti dulu saat Eric masih memandangnya dengan hasrat, bukan dengan wajah bosan yang sekarang selalu ia dapatkan. "Oh, God. Maafin aku, Tuhan!" erangnya. Punggungnya menempel ke dinding dingin untuk menahan kaki yang mulai lemas. Pikiran terakhir sebelum orgasme menyambar adalah wajah Eric di pagi hari ulang tahun pernikahan mereka dulu, saat suaminya itu membangunkannya dengan ciuman dan tangan nakal yang mahir. "Argh! Sialan kamu, Eric!" Suaranya menggema di kamar mandi sempit. Venus terpeleset, jatuh berlutut di lantai basah, jaket itu masih melekat erat di wajahnya seperti perban pada luka. *** Jam di nakas menunjuk pukul 3:47. Venus menatap langit-langit kamar belakang. Tempat yang seharusnya menjadi tempat berbaring suaminya. Telepon genggamnya menyala dengan chat terakhir dari Eric yang belum sempat ia buka sejak kemarin malam. "Aku lembur lagi. Jangan tunggu." Venus mengubah posisinya menjadi duduk bersandar di ranjang. Ia meraih ponsel, membuka galeri foto, menggeser-geser gambar sampai menemukan tangkapan layar dari pesan yang disembunyikannya di folder "Tagihan". Foto-foto mereka saat sikap Eric masih sehangat mentari pagi. Tangannya mengepal. Tiba-tiba, ia meraih jaket itu lagi, tetapi kali ini dengan gunting yang ia keluarkan dari laci nakas di samping. Dengan gerakan kasar, ia mulai mencabuti benang di bagian label dalam. Satu per satu benang terlepas sampai sebuah tulisan dari bordir terlihat. “V+E - 05.05.2018" Tanggal pernikahan mereka. Venus terisak. Di luar, hujan mulai turun, mengetuk jendela seperti jari-jari Eric yang dulu selalu mengetuk pintu kamar mandi saat ia mandi terlalu lama.Ian menyeringai. Dia kembali mendekatkan wajahnya ke arah Venus.“Ternyata selama ini kau hanya fokus pada dirimu sendiri, ya?”“Kau benar-benar tidak tahu apa-apa tentang aku. Kau tidak tahu bagaimana aku mengejarmu. Sejak lama.”Keheningan yang tiba-tiba terasa lebih menusuk daripada erangan mereka sebelumnya. Pernyataan Ian menggantung di udara, berat dan penuh arti, mematikan semua hasrat yang baru saja berkobar.Venus memandangnya, mata yang baru saja dipenuhi nafsu kini dipenuhi dengan kebingungan dan ketakutan yang mendalam. “Apa maksudmu, Ian?” tanyanya, suaranya bergetar.Ian menarik diri, duduk di tepi tempat tidur, punggungnya menghadap Venus. Bahunya naik turun mengikuti napasnya yang masih berat. “Aku mencintaimu,” ulangnya, suaranya rendah namun jelas. “Jauh sebelum kau dan Eric menjadi dingin.”Kalimat itu seperti pukulan bagi Venus. Pikirannya berputar cepat, mencoba memahami implikas
Udara malam yang seharusnya romantis tiba-tiba berubah menjadi tegang. Pertanyaan Ian menggantung di antara mereka, tajam dan tak terduga. Venus terdiam, matanya menghindari tatapan Ian yang menusuk. Kebersamaannya dengan Ian memang sudah melewati batas normal, tetapi nama Eric masih seperti bayangan yang mengikutinya. Bagaimanapun, mereka masih berstatus sebagai suami-istri. “Apa aku boleh tidak menjawab?” tanya Venus, suaranya kecil, mencoba mencari celah untuk mengelak. Senyum Ian sedikit memudar, digantikan oleh sorot mata yang lebih gelap. “Maka kau kalah, Sayang," ujarnya, nada suaranya rendah. “Dan hukumanmu akan berlaku.” Venus meneguk habis anggur di gelasnya, berusaha menenangkan gemetar di tangannya. Cairan merah tua itu terasa pahit di lidahnya. “Hukum saja aku,” katanya, akhirnya menyerah. “Aku tidak bisa menjawabnya.” Pengakuan itu keluar seperti desahan, sebuah pengakuan kekalahan dalam pe
Venus berdiri di ambang pintu, mantel bulu putihnya yang mewah menutupi gaun merah di baliknya. Jantungnya berdebar-debar, momen itu adalah momen penantiannya untuk misi yang lebih penting. Setiap detik menunggu kedatangan Ian terasa sangat panjang.Akhirnya, bel pintu berbunyi. Venus menarik napas dalam, mencoba melatih senyum terbaiknya sebelum membuka pintu.“Sayang, kau sudah pulang,” sambutnya, suara dibuat semanis mungkin. Tanpa basa-basi, dia mendekat dan langsung mengalungkan tangannya ke tengkuk Ian, menariknya dalam pelukan hangat.Ian, yang terkejut namun senang dengan sambutan ini, menyeringai. Tangannya secara refleks merangkul pinggang Venus.“Sambutan yang luar biasa, Sayang,” gumannya, sebelum menunduk dan mengecup bibir Venus dengan penuh nafsu, namun singkat. “Kita langsung pergi?” tanyanya, matanya berbinar melihat penampilan Venus yang terlihat sangat istimewa.Venus mengangguk, berusaha terlih
Rumah Sakit Anggrek ….Udara di ruangan itu tiba-tiba terasa sangat dingin dan sesak. Dokter Argus berdiri kaku di belakang mejanya, wajahnya pucat melihat Ian memasuki ruangannya tanpa permisi. Senyum tipis di wajah Ian terasa lebih mengancam daripada amarah.“Tuan Ian,” Argus membuka percakapan, berusaha menjaga nada suaranya tetap stabil. “Apa yang membawa Anda kemari?”Ian tidak langsung menjawab. Dia berjalan mendekat, setiap langkahnya penuh wibawa, dan berhenti tepat di depan meja. “Aku tahu kau bertemu istriku, Dokter,” ucapnya, suaranya rendah dan datar, namun setiap katanya mengandung bahaya.Dokter Argus menelan ludah. “Saya hanya memberikan informasi yang seharusnya didapatkannya, Tuan Ian.” Dia mencoba bersikap profesional, memegang prinsip etiknya.Ian menyeringai, sinis. “Cukup basa-basinya.” Dia meletakkan kedua tangannya di atas meja, membungkuk sedikit sehingga wajahnya sejajar dengan Argus. “Kat
Ian tidak menjawab dengan kata-kata. Jawabannya datang melalui sentuhan. Dua jarinya, yang hangat dan terlatih, menemukan ritme yang sempurna di antara kaki Venus. Tekanannya tepat, bergerak dengan mahir, seolah-olah ia menghafal setiap pusat kenikmatan di tubuh Venus.Venus mengerang, kepalanya terlempar ke belakang. Gelombang kenikmatan yang begitu kuat menyapu semua pikiran tentang amplop, tentang rahasia, tentang segala sesuatu yang bukan tentang saat ini. Rasanya seperti dikendalikan oleh arus listrik, setiap sarafnya hidup dan berteriak menyambut setiap gerakan Ian.“Ian …” erangnya, tetapi bukan bentuk protes Venus melainkan pengakuan, sebuah penyerahan.Ian membungkuk, bibirnya menangkap erangan Venus dalam ciuman yang dalam dan menguasai. Dia tidak memberikan jeda. Jari-jarinya terus bekerja, mempercepat ritme, mendorong Venus lebih dekat ke puncak gairahnya.Dunia menyempit hanya menjadi sensasi fisik. Menjadi napas I
Amplop cokelat itu tergeletak di atas tempat tidur seperti sebuah ancaman. Venus menatapnya, jantungnya berdebar kencang. Dengan napas tertahan, dia akhirnya membukanya.Dokumen-dokumen medis dengan grafik yang rumit membuat kepalanya pusing. Namun yang membuat darahnya membeku adalah beberapa foto hitam-putih yang terselip di antara berkas-berkas itu. Foto-foto itu menunjukkan Ian sedang berbicara dengan seorang pria bertubuh tegap yang mengenakan seragam laboratorium putih. Pria itu berdiri membelakangi kamera, wajahnya tidak terlihat, tetapi postur tubuhnya ...“Sepertinya aku pernah melihat seseorang yang posturnya seperti ini,” gumam Venus, jari-jarinya menelusuri bayangan pria dalam foto. Sebuah rasa familiar yang mengganggu menggelitik ingatannya, tetapi dia tidak bisa menangkapnya. “Apa hanya perasaanku saja, ya? Sepertinya dia mirip seseorang.”Tiba-tiba, deru mesin mobil dan suara klakson yang familiar memecah konsentrasinya.
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
댓글