Ballroom masih ramai dengan sorak pelan dan denting gelas. Musik mengalun lembut, dan aroma bunga segar bercampur dengan wewangian mewah para tamu menyelimuti udara.
Galih dan Aster baru saja menyelesaikan percakapan ringan dengan salah satu kolega bisnisnya ketika seorang perempuan muda mendekat. Ia mengenakan gaun pastel dengan rambut digerai dan riasan natural yang memancarkan kehangatan. Senyumnya lebar saat menatap Galih.“Eh, siapa ya?” tanya Galih sambil mengerutkan alis, mencoba mengingat.“Ya ampun, Kak. Ini aku, Dewi … adek kelas waktu SMA. Kita dulu sering bareng waktu di OSIS,” jawab perempuan itu dengan semangat dan tatapan penuh nostalgia.Galih mengangguk pelan, lalu tersenyum ketika ingatannya mulai menyatu. “Oh… Dewi yang itu, ya?”Aster yang berdiri di sampingnya mengangguk ke arah Dewi dengan sopan.Dewi menatap Aster dari wajah sampai ujung sepatu. “Siapa nih, Kak?” tanyanya.Di sore yang tenang setelah mereka kembali dari Jepang, halaman belakang rumah Galih dipenuhi cahaya hangat matahari yang mulai condong ke barat. Jason duduk bersila di atas rumput yang rapi, bermain dengan robot mini yang dibelinya dari liburan ke Jepang.Aster duduk tak jauh darinya di kursi kayu rotan, sambil melipat selimut tipis yang baru dijemur. Angin sepoi-sepoi menyapu lembut helaian rambutnya.Jason menoleh, memandangi Aster beberapa detik sebelum akhirnya bangkit dan duduk di sampingnya. Ia menatap wajah perempuan yang kini resmi menjadi bundanya dengan mata bulat dan harapan penuh.“Bunda…” panggil Jason pelan.Aster menoleh sambil mengelus kepala anak itu. “Ya, sayang?”“Aku mau adik cewek…” katanya dengan polos. “Kata Om Evan aku bisa ngomong ke Bunda langsung. Soalnya katanya kalau aku minta, Bunda pasti kabulin permintaan aku.”Aster tertawa kecil, lalu memeluk Jason dari samping. “Hm… kamu lucu banget sih. Ya, na
Matahari pagi menyambut mereka di tepi Danau Kawaguchi. Kabut tipis masih menggantung di atas permukaan air, menciptakan suasana magis yang seolah datang dari lukisan musim semi. Gunung Fuji berdiri megah di kejauhan, puncaknya diselimuti salju seperti mahkota putih yang abadi.Aster menarik napas dalam-dalam sambil merangkul lengan Galih. "Mas, aku nggak nyangka kita bisa lihat Gunung Fuji yang seindah ini."Galih menatap ke arah puncak gunung, kemudian memandangi istrinya yang sedang tersenyum. "Gunung Fuji memang indah. Tapi senyum kamu lebih indah dari pemandangan mana pun."Aster memukul lengan Galih pelan, “gombal, deh! Lama-lama jadi kayak Jamal.”Galih tertawa. “Ya dia memang aku, kok!”Jason yang sibuk melempar kerikil ke danau menoleh dan berseru, “Papa! Foto aku dong di sini! Aku mau bikin wallpaper buat tablet aku!”Dea tertawa kecil. “Sini, Mama aja yang fotoin. Biar Papa kamu bisa berdu
Aster bersandar di sandaran kepala tempat tidur hotel dengan piyama satin warna krem yang lembut membalut tubuhnya. Lampu kuning hangat di sisi tempat tidur menciptakan bayangan lembut di pipinya. Di tangannya, remote TV masih menyala, tapi pandangannya sesekali mencuri-curi arah Galih yang duduk di sisi ranjang, menatapnya penuh makna.Galih tersenyum simpul. Matanya menari di wajah Aster, seolah sedang menghafalkan setiap detailnya untuk disimpan di sudut terdalam ingatan.“Kasih aku satu ciuman, sayang,” bisik Galih, suaranya rendah dan dalam, penuh nada rayuan.Aster memutar bola matanya sambil tertawa pelan. “Mas, jangan genit, ah! Aku lagi nonton ini...” katanya sambil menunjuk layar TV, padahal pikirannya sudah tak lagi berada di sana.Galih tak menjawab. Ia hanya mencondongkan tubuh, jemarinya menyentuh lembut pipi istrinya. “Kita udah suami istri, sayang. Nggak usah malu,” ucapnya lirih.Lelaki itu berkata lirih, seakan setiap ka
Jason melonjak kegirangan begitu kakinya menginjak lantai pesawat. Tatapan matanya yang berbinar penuh semangat menoleh ke segala arah. Ia tidak bisa menyembunyikan sukacita yang meledak sejak mendengar kabar keberangkatan mereka ke Jepang."Hore... Liburan ke Jepang!" serunya, mengangkat kedua tangannya seperti pemenang undian besar.Di kursi baris tengah kelas bisnis, Aster tersenyum melihat antusiasme putranya. Ia menyandarkan kepala lembut di bahu Galih, yang duduk di sampingnya. Jari-jari mereka saling bertaut erat di atas sandaran tangan kursi, menciptakan rasa tenang di tengah riuh kabin pesawat yang mulai terisi penumpang.Dea yang duduk berseberangan dengan mereka menoleh sambil melepas sabuk pengaman sebentar untuk berbicara. Wajahnya berseri-seri meskipun belum lama tadi sibuk membantu Jason merapikan isi tas ranselnya."Makasih banyak ya, Mas, udah ngajak aku sama Evan juga," ucapnya tulus, menatap Galih yang hanya
Jason melonjak kegirangan begitu kakinya menginjak lantai pesawat. Tatapan matanya yang berbinar penuh semangat menoleh ke segala arah. Ia tidak bisa menyembunyikan sukacita yang meledak sejak mendengar kabar keberangkatan mereka ke Jepang."Hore... Liburan ke Jepang!" serunya, mengangkat kedua tangannya seperti pemenang undian besar.Di kursi baris tengah kelas bisnis, Aster tersenyum melihat antusiasme putranya. Ia menyandarkan kepala lembut di bahu Galih, yang duduk di sampingnya. Jari-jari mereka saling bertaut erat di atas sandaran tangan kursi, menciptakan rasa tenang di tengah riuh kabin pesawat yang mulai terisi penumpang.Dea yang duduk berseberangan dengan mereka menoleh sambil melepas sabuk pengaman sebentar untuk berbicara. Wajahnya berseri-seri meskipun belum lama tadi sibuk membantu Jason merapikan isi tas ranselnya."Makasih banyak ya, Mas, udah ngajak aku sama Evan juga," ucapnya tulus, menatap Galih yang hanya
Saat itu siang hari, cahaya matahari menyusup lembut ke dalam restoran hotel tempat mereka menikmati makan siang. Meja mereka tertata rapi, lengkap dengan bunga kecil dan serbet linen. Aster duduk menyilang kaki, menatap suaminya yang tengah menyendok sup dengan tenang. Ia tampak berpikir sejenak sebelum akhirnya bertanya.“Kita kapan pulang ke rumah kamu, Mas? Jason nggak akan nyariin?” tanya Aster sambil menusuk potongan salmon di piringnya.Galih menoleh padanya dengan senyum santai. “Jason udah bilang kok, kalau setelah pernikahan, kita harus cepat bulan madu biar dia cepet punya adik.”Aster mengangkat alis. “Bulan madu ke mana emangnya?”“Gimana kalau Jepang, sayang?” Galih menyebutkan destinasi itu sambil mencondongkan tubuh sedikit, penuh antusiasme.Mata Aster berbinar mendengar rencana itu. “Aku nggak masalah. Tapi... beneran nggak mau ngajak Jason juga? Kayaknya seru deh kalau rame-rame.”