Banyak Adegan Dewasa 🔞 --- Terlahir di tengah keluarga berkecukupan, wajah tampan dan karir cemerlang ternyata tak cukup membuat kisah cintanya semulus wajah aktor-aktor kenamaan tanah air. Galih kembali merasakan patah hati untuk kesekian kalinya. Dia bahkan rela menjadi orang lain demi mencari wanita yang benar-benar tulus mencintainya. Konflik dengan keluarga, sampai difitnah oleh orang-orang yang dikenalnya, tak membuatnya menyerah untuk memperjuangkan cintanya. Apakah dia berhasil menemukan pujaan hati atau justru kembali terluka? Bagaimana nasib cintanya setelah mulai membuka hati kembali? Temukan jawabannya dalam cerita ini
ดูเพิ่มเติมTidak ada yang lebih menyakitkan daripada perpisahan dengan seseorang yang dicintai. Lelaki itu merasa sepanjang sisa usianya tak lagi bermakna. Di atas tanah merah basah dengan taburan bunga itu, Galih tertunduk.
“Kenapa, Tuhan? KENAPAAAA?” dia bertanya pada Sang Pencipta atas takdir yang terjadi.
Tangan perempuan berusia akhir empat puluhan itu menyentuh bahunya dengan lembut. Galih mendongak. Bayi tiga bulan dalam gendongan perempuan itu terpejam.
“Sudah, Nak. Kita pulang, yuk. Amel sudah tenang. Biarkan dia beristirahat. Mama akan bantu kamu mengurus anakmu,” kata perempuan itu.
Galih berdiri. Dia kembali menegakkan langkahnya. Ada buah cintanya yang masih membutuhkan kasih sayangnya.
“Papa! Pa! Bangun udah siang!” Suara itu perlahan membuat Galih tersadar. Dia baru saja bermimpi buruk.
Bersandar di bahu ranjang, Galih menandaskan air di gelas meja dekat tempat tidurnya. Bocah lelaki di sisinya itu masih menatapnya.
“Papa mimpi buruk, ya?” tanyanya.
Galih balik bertanya, “kok kamu bisa tahu? Kamu bisa lihat, ya?”
Bocah lelaki itu bersedekap. “Ya … soalnya Papa ngigau manggil-manggil nama Mama. Kayaknya Papa kangen sama Mama, ya?”
Galih mengangguk. “Iya, Papa berharap ada seseorang yang bisa menggantikan posisi Mama. Bukan sebagai Mamamu, tapi sebagai teman hidup Papa. Apa kamu nggak keberatan?”
“Tergantung orangnya. Kalau dia cantik, i think nggak masalah,” sahut bocah lelaki itu.
Galih mengusap rambut anak lelakinya. “Kamu tahu banget selera Papa. Tapi, Papa berharap kali ini dia nggak cuma lihat dari luarnya aja.”
“Semoga ya, Pa. Kalau Papa seneng, aku bakal pertimbangkan.”
Galih tersenyum tipis, “kalau Miss Dea, gimana?”
***
Galih menatap tumpukan berkas di meja kerjanya. Beberapa hari ke depan, dia akan disibukkan dengan kerjasama merek kosmetik dan fashion kenamaan. Galih meraih gagang telepon di mejanya lalu berbicara, “sepertinya saya akan sibuk selama beberapa minggu ke depan. Tolong kamu temani Jason dan urus keperluannya sekolah, ya.”
Setelah mendapatkan persetujuan dari seseorang di seberang telepon, Galih kembali meletakkan gagang telepon ke tempatnya. Dia lalu mengirimkan pesan pada seseorang di daftar kontaknya.
Baik, Pak Galih. Balasan pesan teks yang dikirimkan Galih berbalas kalimat singkat itu. Namun, efek kejutan di dadanya sepertinya tak singkat. Galih mendambakan seseorang sebagai pengganti Amel yang terlebih dahulu kembali ke sisi Tuhan.
“Gimana caranya supaya kita lebih dekat lagi?” gumam Galih.
Dia mengirimkan pesan balasan pada kontak tersebut. Sebuah kalimat yang membuatnya akan kehilangan wajah jika seseorang yang diharapkannya itu menolak. Namun, jawaban balasan itu membuat Galih seketika terbangun dari kursinya. Dia bahagia, sekaligus khawatir jika membuat kesalahan.
“Santai aja, Gal. Kamu udah pengalaman. Jason juga bakalan setuju dan mendukung kok,” dia terus meyakinkan diri.
Galih menyemprotkan pengharum mulut dan parfum ke beberapa titik tubuhnya. Seperti remaja dimabuk asmara, degup jantung Galih saat itu tak bisa berkilah.
Galih segera menuju mobilnya kemudian melaju menuju rumah. Bunyi klakson mobil menghentikan pembicaraan kedua orang di ruang tamu itu. Jason menarik tangan gadis cantik yang menjadi tutor itu untuk mengikutinya. Mobil sport milik Galih sudah menunggu.
“Pak Galih, saya nggak apa-apa kok kalau nggak dijemput,” kata Dea ketika Galih membukakan pintu mobil untuknya.
“Saya nggak terima penolakan lagi, Miss Dea. Lagipula ini permintaan Jason, dia mau kita mampir makan di restoran dulu.”
Mata Dea membelalak ketika Galih menyebutkan restoran. Itu artinya Galih mengajaknya makan bersama.
‘Mau taruh di mana muka aku kalau begini? Malu banget!!’ Dea tak bisa menampilkan wajah tenang, ekspresi khawatirnya terlihat jelas.
“Miss Dea tenang aja, semuanya Papa yang traktir, kok. Anggap aja bonus karena nilai matematika aku naik sejak Miss Dea ngajarin aku,” kata Jason.
Dea menoleh ke arah Jason, “makasih banyak ya, Jason! Nanti Miss Dea gantian traktir kalian.”
Dea akhirnya duduk di kursi samping kemudi. Galih menutup pintu mobil setelah melambaikan tangannya pada anak lelakinya. Galih yang berada di belakang setir tersenyum, “aku justru senang kalau bisa traktir Miss Dea. Miss Dea itu udah kayak temen buatku sejak kepergian Mama Jason.”
Dea memaksakan diri untuk tersenyum. Dia berharap situasi akan menyelamatkannya dari obrolan Galih yang semakin menjurus ke privasinya.
“Saya senang bisa membantu Jason, Pak Galih,” katanya.
Galih berdehem, “panggil Mas aja, Miss Dea. Saya nggak keberatan.”
Mobil mulai melaju. Galih memaksakan dirinya untuk tersenyum meski pandangannya menatap padatnya jalanan Kota Metropolitan. Dea lagi-lagi hanya tersenyum canggung. Ketika mobil milik Galih berhenti di sebuah restoran, Dea berharap tak akan ada yang mengenalinya di sana.
“Mari, Miss Dea,” kata Galih.
Gadis berambut panjang itu segera mengekor langkah Galih. Dea dengan berat hati terpaksa harus menanggalkan rasa malunya dan duduk berhadapan dengan Galih. Suasana canggung membuat Dea hanya bisa berpura-pura membaca buku menu di tangannya.
“Silakan, Miss Dea.” Galih mengisyaratkan pada gadis itu untuk memilih menu yang disukainya.
“Maaf, Pak Galih. Saya nggak biasa ada di restoran mewah kayak gini. Jadi, Pak Galih aja yang pilihin menunya buat saya,” katanya.
Galih menganggukkan kepalanya. Dia melambaikan tangannya untuk memanggil pramusaji mencatat menu pesanan mereka. Selagi menunggu, gadis itu mengeluarkan komputer jinjing miliknya.
Galih mengernyit, dalam hati dia menerka apa yang dilakukan gadis di depannya. Ketika gadis itu memutar layar 14 inci itu ke arahnya, Galih menyadari jika dia salah langkah.
“Mengenai Jason, ini daftar nilai dia selama ulangan harian, Pak Galih. Semoga Bapak puas dengan pekerjaan saya,” terang gadis itu.
Galih memijit pangkal hidungnya. ‘Padahal aku niatnya mau pedekate sama dia, malah bahas kerjaannya ke Jason!’ batinnya merutuk.
“Jujur saya senang dengan pekerjaan Miss Dea. Itu lebih dari cukup buat saya. Tapi, saya minta tolong, jangan dulu bahas pekerjaan sekarang.” Galih mulai menyantap menu di piringnya.
“Mak-maksud Bapak, kita ngobrol …” gadis itu menunjuk ke arah Galih.
“Saya mau makan bareng Miss Dea. Itu saja.”
Gadis di hadapan Galih mengangguk-angguk. “Baik, Pak.”
Galih menyadari jika dia telah membuat gadis itu ketakutan. “Tenang aja, Miss Dea. Saya nggak akan komplain masalah pekerjaan. Karena saya sendiri senang dengan pekerjaan Miss Dea. Saya ke sini cuma mau traktir Miss Dea makan, sambil ngobrol supaya kita lebih dekat.”
“Lebih dekat gimana ya, Pak?” Gadis itu menggaruk tengkuknya.
Galih mengalihkan pandangannya ke arah meja lainnya. “Kalau boleh jujur, saya tertarik dengan Miss Dea. Apa Miss Dea punya pacar, sekarang?” tanyanya.
Gadis itu menggeleng sesaat tetapi menganggukkan kepalanya kemudian. “S-saya … baru putus, Pak.”
Galih melonggarkan lengan kemejanya, menggulungnya sebatas siku. “Berarti saya ada kesempatan untuk jadi orang yang istimewa buat Miss Dea?”
“Bapak sepertinya … salah paham,” kata gadis itu.
“Jadi, saya baru aja ditolak, ya?” hatinya mendadak mendung. Gadis itu adalah perempuan yang mengingatkannya pada sosok Amel.
Gadis itu buru-buru menyahut, “bukan begitu, Pak Galih. Saya … saat ini saya nggak dekat dengan siapapun. Ta-tapi …”
“Tapi apa, Miss Dea?” rasanya Galih ingin menepikan mobilnya di sebuah penginapan agar bisa leluasa dengan gadis itu, tetapi tidak. Sisi baiknya masih mengambil alih sisi buruk.
“Saya … maaf, saya tidak punya rasa ketertarikan terhadap lawan jenis ke Bapak.” Gadis itu menatap meja makan, tak berani menatap Galih.
Galih tersenyum, “makasih banyak Miss Dea sudah jujur. Tapi, saya belum menyerah.”
Siang itu langit di atas gedung kantor tampak kelabu, seperti mencerminkan suasana hati Galih yang penuh tekanan. Ia berdiri di balkon lantai lima, menyandarkan tubuh pada pagar besi sembari memandangi jalanan kota yang sibuk. Fariz menyusulnya, membawa dua gelas kopi hitam dengan asap kecil mengepul.“Aku yakin ada orang yang nggak suka sama Aster, Mas,” ujar Fariz, menyerahkan segelas kopi ke Galih. “Bukan cuma nggak suka... tapi juga berusaha jatuhin dia.”Galih mengangguk perlahan. “Kalau tebakan aku benar, ini kerjaannya Katrina. Tapi dia bukan tipe yang akan ngaku, apalagi kalau nggak kepepet. Kita butuh bukti kuat. Pengakuan, rekaman suara... sesuatu yang bisa menjerat dia tanpa bisa mengelak.”Fariz menatap Galih penuh harap. “Jadi, apa rencana kamu, Mas?”Galih menyesap kopinya perlahan, lalu menatap ke arah jalanan dengan tatapan penuh strategi. “Kita perlu seseorang yang bisa deketin dia. Bikin dia lengah. Ngerasa menang.
Ruang kerja Galih terasa lebih sesak dari biasanya. Meski lampu putih menyala terang, ventilasi bekerja dengan baik, dan kopi panas masih mengepul di atas meja kaca. Namun, ketegangan yang dibawa oleh Fariz membuat udara seakan membeku.Fariz berdiri di depan meja, menggenggam map biru di tangannya. Wajahnya tak biasa. Tersirat ada keraguan sekaligus kecemasan yang tak bisa ditutupi.“Mas Galih,” ucap Fariz pelan, membuka pembicaraan. “Ada pemberitahuan penting dari manajer keuangan. Ini terkait selisih dana dua puluh juta waktu itu.”Galih yang sedang membolak-balik dokumen, langsung menghentikan gerakannya. Kepalanya terangkat, matanya fokus menatap rekan kerjanya itu.“Jadi, gimana?” tanyanya cepat.Fariz menarik napas sebelum menjawab, lalu meletakkan map di atas meja. “Yang jelas, sistem pelaporan kita nggak keliru. Transaksi itu nyata. Tapi... ada sesuatu yang aneh.”“Maksud kamu?” Galih balik
Beberapa hari kemudian, Katrina sengaja mengatur sebuah kebetulan agar bertemu Jason saat anak itu keluar dari tempat les piano. Ia turun dari mobil mewahnya sambil membawa buku fiksi bersampul tebal berjudul Mission Impossible in Vegarun karangan Mita Yulia Hikmawati.“Jason, ya?” sapanya dengan nada ramah.Jason menoleh, sedikit bingung. “Iya, Tante siapa?”“Tante temennya Papa kamu. Nama Tante Katrina. Dulu Tante juga suka main piano, tapi sekarang aku lebih suka baca buku fantasi. Nih, kamu suka buku beginian ‘kan?” ujarnya sambil menyodorkan buku.Jason mengernyit curiga, tetapi menerima buku itu perlahan. “Iya sih… aku suka. Tapi Papa nggak pernah cerita soal Tante.”Katrina tertawa kecil. “Papa kamu dulu sering cerita tentang kamu, tapi mungkin dia lupa nyebut aku. Gimana kalau kita ngobrol sambil makan es krim? Tante tahu tempat es krim enak deket sini.”Jason ragu sejenak, tapi rasa penasara
Ruang makan keluarga Winda malam itu penuh aroma ikan gurame bakar pedas manis. Masakan khas yang selalu menjadi cara ibunya memancing nostalgia Galih. Namun malam itu, aromanya seperti racun.Galih berdiri kaku di ambang pintu ruang makan, napasnya tercekat begitu melihat Katrina duduk manis di salah satu kursi, mengenakan dress formal dengan senyum manis yang terkesan manipulatif. Aster yang berdiri di sebelahnya juga langsung menyadari sesuatu yang tak beres.“Ibu nggak bilang kalau dia tamu yang Ibu maksud,” suara Galih terdengar dingin, nyaris berbisik pada ibunya.Winda menaruh sendok besar ke atas meja dan memutar tubuh, wajahnya tersenyum tipis tapi suaranya tajam. “Galih! Jaga bicara kamu. Dia tamu Ibu. Dan dia juga lulusan luar negeri, lebih baik dari pacar kamu secara finansial.”Kalimat itu menghantam Aster seperti tamparan di wajah. Namun ia menunduk, mencoba tetap tenang. Galih tidak. Tangannya segera menggenggam
Baru saja Galih meletakkan tas kerjanya di meja ketika ponselnya bergetar kencang. Di layar ponsel tertera nama Ibu dengan huruf kapital dan emotikon bunga melati yang dia tambahkan sendiri.Tangannya segera menggeser tombol di layar, menjawab telepon itu. Dia berdiri dekat jendela kantornya sambil menghela napas pendek.Biasanya, telepon pagi dari ibunya berisi kabar seputar tanaman baru di taman atau cerita tetangga yang memelihara burung mahal. Namun, nada suara ibunya kali ini terdengar berbeda.Lebih serius, seperti memanggilnya untuk menghadiri pertemuan penting. Dan Galih memiliki firasat tak nyaman."Ya, Bu?" sapanya lembut.Matanya sambil menatap pemandangan gedung tinggi yang berbaris rapat di balik jendela kantornya."Nanti malam kamu ada acara, Galih?" tanya suara perempuan setengah baya dari seberang, terdengar tenang. Namun, Galih paham ada maksud lain di balik pertanyaan itu."Malam ini kebetulan free, Bu. Ada apa?""Ibu ada tamu penting. Malam ini kamu ke rumah, ya? Ib
Langit senja mulai memudar di balik jendela mobil saat kendaraan dinas itu melaju di jalan tol yang lengang. Di dalam kabin yang sunyi, hanya suara AC dan lagu lembut dari radio yang terdengar samar.Aster tertidur lelap di bahu Galih. Wajahnya tenang, sesekali menarik napas pelan seperti anak kecil yang baru saja berhenti menangis.Wajahnya terlihat lelah. Riasan wajahnya mulai pudar, rambutnya sedikit berantakan, dan jemari tangannya menggenggam map presentasi yang tadi pagi masih ia baca berulang-ulang.Galih menatap wajah itu dengan perasaan yang bercampur aduk. Bangga, haru, dan sedikit bersalah.Lelaki tampan itu menggenggam tangan Aster dengan lembut, lalu menunduk dan mengecup punggung tangan itu perlahan. Hanya satu sentuhan hangat yang tidak akan membangunkannya, tetapi cukup untuk menggambarkan perasaannya yang dalam pada Aster.“Kasihan banget sayang aku… capek ya, Neng?” bisiknya lirih, seolah takut mengganggu mimpi kekasihnya itu. “Maaf, ya. Kamu jadi kerja berat kayak g
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
ความคิดเห็น