Home / Romansa / Ayo Menikah, Mas Duda! / Bab 2: Mantap-mantap

Share

Bab 2: Mantap-mantap

Author: Mita Yoo
last update Last Updated: 2025-02-05 16:39:44

Galih baru saja melepaskan kemeja kerjanya, meletakkannya di keranjang baju kotor ketika panggilan telepon masuk ke ponselnya.

Nama Mama dengan emotikon hati tertampil di layar. Galih tersenyum sebelum memulai obrolan via telepon itu dengan sang mama.

“Ya, Bu?” katanya mengawali percakapan itu.

“Ibu punya kabar gembira buat kamu!” suara mamanya terdengar bahagia.

“Ada apa memangnya, Bu? Aku baru pulang dari kantor,” katanya.

“Kamu tahu Elda anaknya tante Ranti yang kuliah di Oxford itu? Dia udah selesai kuliah dan balik ke Indo!” mamanya terdengar bersemangat.

Galih bisa menebak jalan pikiran mamanya. Sudah kali ke sekian mamanya melakukan hal itu. Mamanya sangat senang membawanya pada teman-teman di lingkaran sosialnya untuk dikenalkan dengan anak gadis mereka.

“Ibu mau ngenalin aku sama anaknya tante Ranti? Bukannya mama bilang tante Ranti manipulatif dan suka playing victim ya?”

“Aduh … Ibu yakin dia nggak akan nurunin sifat itu. Soalnya ayahnya orang baik-baik,” sanggah sang mama.

Galih mendesah. “Ya udah, jadi, kapan aku harus ketemu Elda anaknya tante Ranti itu?”

“Gimana kalau besok malam? Di Cafe Djo. Kalian ngobrol santai aja. Kalau udah cocok baru ketemu sama keluarga besarnya,” kata mamanya.

“Oke, Bu. Ibu bisa kirim kontaknya ke aku. Nanti aku hubungi dia. Ya, ya, boleh sekalian fotonya juga supaya aku nggak salah orang,” kata Galih.

Sambungan telepon terputus. Ketukan di pintu membuat Galih harus kembali menahan tubuhnya yang lelah. Dia mengayun langkah gontai untuk membuka pintu. Wajah tampan anak lelakinya menyambut pandangannya.

“Pa. Boleh aku masuk? Aku mau ngobrol,” katanya.

“Okay. Tapi, Papa perlu mandi dulu. Papa capek banget hari ini. Boleh?”

Jason menganggukkan kepalanya. Dia duduk di kursi empuk depan meja komputer papanya. Galih meraih handuk miliknya dan menghilang di balik pintu kamar mandi.

Di bawah guyuran air hangat yang membuat nyaman otot-otot tegang di seluruh tubuhnya, Galih kembali teringat dengan wajah tutor matematika Jason itu. Dari penolakan gadis itu, dia tak mengerti jika semua pesona yang ada pada dirinya bisa membuat perempuan tak nyaman bahkan menjauh. Dia bahkan tak terlihat seperti laki-laki di depan gadis itu.

Usai membersihkan diri dan mengganti bajunya dengan kaus tanpa kerah dengan celana spandeks sepanjang lututnya, Galih duduk di sisi tempat tidur. Menunggu cerita Jason.

“Oke, Boy. Ada cerita apa hari ini?” tanyanya.

“Pa, aku mau nanya. Tapi, janji ya, Papa nggak akan marah?”

Galih mengernyit, tetapi kemudian mengangguk. “Apa? Apa yang perlu Papa jelasin?”

“Pa … apa bener, kalau pegangan tangan sama perempuan itu bisa buat perempuan hamil?”

Galih terbelalak. Dia mengorek telinganya dengan kelingking, memastikan jika pendengarannya tak bermasalah.

“Papa nggak salah denger, kok. Aku tanya, apa bener, kalau pegangan tangan sama perempuan itu bisa bikin mereka hamil?”

Bukannya menjawab, Galih justru balik bertanya pada anak lelakinya itu. “Kamu denger dari mana, Boy? Siapa yang ngasih tau itu sama kamu? Om Evan, ya?”

Jason menggeleng. “Aku denger dari cewek di kelas sebelah. Dia nyuruh aku jauh-jauh dari dia. Galak banget lagi!”

Galih tertawa tetapi menyadari raut wajah anak lelakinya cemberut, dia menghentikan tawanya. “Itu nggak bener, Boy. Dengar, ya. Perempuan itu nggak akan hamil hanya karena pegangan tangan sama kamu, atau mandi di kolam renang yang sama dengan kamu. Semua itu nggak bener. Tapi … ada tapinya, ya. Kamu nggak boleh pegang tangan perempuan sembarangan kalau belum dewasa dan belum siap menikah.”

“Jadi kalau udah dewasa dan udah siap menikah boleh ya, Pa?”

Galih mengangguk pelan meski ragu. Dia khawatir tak bisa memberikan pemahaman pada Jason.

“Aku ngerti sekarang, Pa. Terus Pa, kalau mantap-mantap itu apa, Pa?”

Pertanyaan Jason membuat Galih menutup wajahnya. Jason yang sempat kebingungan dengan ayahnya itu bertanya apakah Galih baik-baik saja.

“Papa cuma kaget sama pertanyaan kamu. Menurutmu, mantap-mantap itu apa, Boy?”

“Ya … sesuatu yang menyenangkan. Kayak main game, pergi jalan-jalan sama Papa atau temen-temen, belajar sama Miss Dea juga.”

Wajah dan telinga Galih memerah ketika Jason menyebut nama Dea. Otak lelakinya lantas membayangkan wajah gadis itu dalam dekapannya.

“Oke. Kayaknya cukup. Kamu bener. Sekarang kamu udah ngerti, Boy. Ingat, kalau kamu suka sama cewek, bilang. Bukan malah mengganggunya atau bahkan ngajakin pacaran. Kamu belum dewasa. Ada masanya untuk ngajak cewek pacaran sampai menikah. Oke?”

Jason mengangguk-angguk. “Thanks ya, Pa! Aku balik ke kamar kalau gitu. Semoga Papa bisa cepet dapet pacar dan menikah,” katanya sebelum berlalu.

Galih terkekeh-kekeh mendengar kalimat Jason. Dia ingin menikah, tetapi tidak siap dengan proses panjang sebelum pernikahan.

“Apa takdirku nggak bisa nemuin seseorang yang akan jadi pengganti Amel lagi?” Dia bertanya pada takdirnya sendiri.

***

Usai pamit pada Jason, Galih melajukan mobilnya menuju Cafe Djo, tempat yang disepakati oleh mamanya dengan tante Ranti untuk bertemu dengan anak gadisnya. Galih memarkir mobil miliknya di luar area parkir Cafe, lalu berjalan menuju Cafe yang ramai dipenuhi pengunjung berusia dewasa muda itu.

Galih menghubungi nomor kontak yang diberikan mamanya. Seorang gadis dengan kaus crop top lengan panjang dipadu celana jeans highwaist itu melambaikan tangan ke arahnya sambil mendekatkan ponsel ke telinganya. Galih balas melambai, lalu memutuskansambungan telepon ke nomor gadis itu.

Secangkir frappuccino dengan roti panggang dioles selai kacang di atasnya sudah tersedia di meja. Galih mengulurkan tangannya ke arah perempuan itu.

“Galih,” katanya sebelum menarik kursi untuknya sendiri.

Perempuan itu menjabat tangannya, “Elda. Kak Galih pasti sudah tau kalau aku anak tante Ranti, ‘kan?” kata perempuan itu, tanpa basa-basi.

Galih melepaskan topi baseball miliknya di meja. “Ya, aku tahu. Itu alasan aku setuju ketemu di sini,” katanya.

“Tapi maaf, Kak Galih. Jujur aja, ya. Aku kurang suka dengan cara berpakaian Kak Galih. Kaus oblong sama topi itu bukan tipe ideal aku banget untuk jadi suami. Ya meskipun Kak Galih ganteng dan tinggi kayak temen-temen bule aku, tapi kayaknya kita nggak usah lanjutin pertemuan ini, ya? Aku bakalan bilang sama mamaku. Jadi, Kak Galih nggak usah repot-repot lagi dateng ke rumah aku nanti.”

Galih hanya mengulas senyum. “Kebetulan kalau gitu. Aku juga sama sekali nggak ada niat untuk melanjutkan perkenalan ini lebih jauh. Kalau begitu, silakan nikmati malammu. Aku permisi.”

Galih berlalu dari meja cafe Djo tanpa memesan menu apapun selain kekesalan luar biasa. Dia sudah merendahkan diri dengan datang menemui gadis itu.

“Emang bener, ya. Buah jauh nggak jauh dari pohonnya. Nggak anak, nggak ibunya. Sama-sama bikin kesal!”

Galih mengarahkan tinjunya ke setir mobil. Di tengah emosinya yang tidak stabil, bukannya berbalik menuju rumah, Galih justru memutuskan untuk melajukan mobilnya ke sebuah pusat perbelanjaan.

Galih turun dengan tergesa-gesa hingga tak sengaja menabrak kantong belanja seorang perempuan. Kantung berisi kebutuhan rumah tangga itu berserak di lantai.

Galih buru-buru berjongkok untuk membantu perempuan itu. “Maaf, maaf. Saya nggak sengaja.”

“Nggak ‘pa-pa kok, Mas. Saya yang nggak ngeliat tadi. Nggak ‘pa-pa.” Dari suara perempuan itu, Galih menduga jika dia berusia lebih muda darinya.

“Sekali lagi maafin saya,” kata Galih lalu mengulurkan tangannya.

Perempuan itu menyambut uluran tangannya lalu berlalu. Galih menatap punggung perempuan itu sesaat sebelum meneruskan langkahnya menuju salah satu toko yang menjual pakaian pria.

Dia memang sengaja memakai pakaian yang nyaman untuk bertemu dengan Elda. Namun, melihat reaksi Elda yang langsung menolaknya, membuat Galih tak ingin lagi mencoba dekat dengan perempuan manapun yang direkomendasikan oleh ibunya. Tak peduli lulusan universitas luar negeri sekalipun.

“Emang udah bener aku ngejar Miss Dea, bukan malah nerima tawaran ibu untuk kenalan sama cewek-cewek yang cuma bisa ngandelin nama orang tuanya!” tangan Galih mengepal. Dia kesal ketika teringat kejadian tempo hari di rumahnya, ketika Evan dengan terang-terangan mengaku jika dia ada hubungan istimewa dengan Dea. Ditambah lagi, fakta jika dia adik laki-lakinya yang sangat menyebalkan dan haus perhatian!

“Cih! Bisa apa sih Evan? Menang muda doang!” Tak ingin menarik perhatian orang sekitar, Galih akhirnya memilih untuk menelan emosinya sendiri.

Selesai membayar belanjaan di kasir, dia kembali menuju mobil. Bukannya memutar arah menuju rumah, Galih justru melajukan mobilnya menuju Hotel Bulan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ayo Menikah, Mas Duda!   Bab 149: Dreams Come True

    Ballroom mewah itu telah berubah menjadi negeri dongeng. Awan-awan gantung dari krep putih bergerak lembut di langit-langit, seolah menari-nari ditiup angin AC. Dua buaian kecil berhias pita sutra biru muda berdiri megah di panggung utama, dikelilingi oleh balon-balon berbentuk burung bangau yang seolah terbang membawa kabar bahagia. Galih, yang biasanya selalu tampil sempurna dalam setelan jas, hari itu membiarkan keriputan di kemejanya. Ia lebih memilih kenyamanan untuk berlutut di samping Aster yang duduk di sofa khusus dengan perutnya yang membesar seperti bulan purnama.  Galih berdiri di depan tamu-tamu yang telah berkumpul, jari-jarinya gemetar memegang mikrofon. Kaus kasual bertuliskan "Daddy of Twins" yang melekat di tubuhnya terasa asing. Seolah sebuah pembebasan dari belitan dasi dan setelan jas yang biasa mengekangnya.  "Terima kasih..." Suaranya pecah di tengah kalimat ketika pandangannya tertumbuk pada sosok Aster yang baru s

  • Ayo Menikah, Mas Duda!   Bab 148: Ngidam Lagi

    Pukul 11:36 malam. Galih baru saja menutup laptopnya ketika Aster muncul di pintu ruang kerjanya. Tangannya menopang punggung yang pegal, matanya berkaca-kaca dengan tatapan yang bahkan sudah dihafal Galih.Tatapan "ngidam" yang berbahaya untuknya. Entah apa yang Aster minta kali ini."Mas..." Suaranya seperti anak kecil yang memohon permen.  Galih menghela napas dalam, sudah bisa menebak arah pembicaraan itu. "Apa yang mau kamu makan malem-malem begini, Sayang? Mangga muda dicocol sambel? Es krim rasa durian? Atau—"  "Cilok," Aster memotong kalimat Galih. "Tapi bukan beli. Aku mau Mas yang bikin."  Galih membeku. Tangannya yang sedang meraih kacamata terhenti di udara. "Kamu tahu Sayang, aku bahkan nggak bisa bedain antara tepung kanji sama tepung beras, ‘kan?"  Aster melangkah mendekat, meletakkan tangan di perutnya yang membesar. "Si kembar bilang, mereka juga mau….”  Galih meng

  • Ayo Menikah, Mas Duda!   Bab 147: Aku Mimpi Buruk

    Lorong rumah itu sunyi ketika Jason muncul di balik pintu kamar Galih. Ia membawa bantal kesayangannya yang sudah usang terjepit erat di bawah ketiak.Rambutnya yang masih lembap setelah mandi berantakan, dan piyama bergambar dinosaurus terlihat sedikit kecil untuk tubuhnya yang mulai besar dan bertambah tinggi. Ia berdiri di ambang pintu, jari-jari kakinya menggaruk-garuk karpet dengan gugup.  "Bunda... Papa..." Suaranya kecil karena ragu, terdengar seperti rintihan angin malam. "Aku boleh tidur di sini malam ini?"Aster yang sedang bersandar di tumpukan bantal langsung menoleh ke arah Galih, menatap dengan tatapan memohon. Perutnya yang membuncit membuatnya kesulitan bergerak, tetapi matanya sudah mengatakan "ya" sebelum mulutnya terbuka.  Galih, yang sedang memijat kaki bengkak istrinya mengangkat alis. "Kasur kamar Papa udah sempit, Boy. Ditambah perut Bunda yang udah makin besar—"  "Aku janji nggak akan ng

  • Ayo Menikah, Mas Duda!   Bab 146: Bacakan Dongeng

    Lampu bintang-bintang kecil di langit-langit kamar Jason memantulkan cahaya redup, menari-nari di dinding seperti peri yang bersembunyi di balik bayangan. Aster mengatur posisi duduknya dengan susah payah, perutnya yang membuncit membuatnya harus bersandar pada tumpukan bantal ekstra. Jason sudah berbaring di tempat tidur, selimut bergambar dinosaurus terseret sampai ke dagunya, hanya matanya yang berbinar-binar terlihat. Mata yang penuh harap dan sedikit rasa bersalah.Jason melirik Aster, lalu berbisik penuh harap. "Bunda, aku minta sesuatu boleh?” tanyanya.Aster menatap Jason. “Minta apa, Sayang?”“ Aku minta bacain dongeng yang seru. Satu buku aja, Bunda. Yang ada ksatria sama naganya,” ucapnya, ia mengecilkan suaranya seperti bisikan angin malam.Aster mengangguk. “Ya udah, tapi Kakak yang ambil bukunya, ya?”Jason beringsut dari tempat tidur menuju rak buku. Meraih satu buku kisah ksatria dan naga laku meny

  • Ayo Menikah, Mas Duda!   Bab 145: Bangun Tengah Malam

    Meja makan besar di rumah Winda dan Kesuma dipenuhi berbagai hidangan lezat. Rendang, sayur lodeh, sambal terasi, dan ikan bakar yang masih mengepul. Lampu chandelier di atas meja memantulkan cahaya hangat pada wajah-wajah bahagia di sekelilingnya.Aster tersenyum, duduk di kursi khusus dengan bantal tambahan, perutnya yang membesar hampir menyentuh meja.  Winda meraih piring, lalu menyendokkan nasi untuk Aster. "Aster sayang, makan yang banyak ya. Soalnya kamu perlu makan untuk tiga orang sekarang!"  Kesuma tersenyum lalu dengan bijak memberi nasehat putra sulungnya itu. "Galih, kamu harus ekstra perhatian sekarang. Istri yang hamil kembar butuh support penuh. Jangan sampai dia stres menjelang lahiran."    Jason yang duduk di antara kakek-neneknya tiba-tiba berdiri dengan gelas jus di tangan.   "Tolong dengerin aku dulu, semuanya! Aku mau kasih pengumuman! Sebagai calon kakak, aku janji akan bantu j

  • Ayo Menikah, Mas Duda!   Bab 144: Menagih Janji

    Malam minggu yang tenang di ruang keluarga tiba-tiba pecah ketika Jason melompat ke pangkuan Galih yang sedang asyik membaca laporan kantor. Matanya berbinar dengan tekad yang sudah dipendam berbulan-bulan.   "Papa, ingat janji Papa waktu Bunda baru hamil? Katanya kalau aku jagain Bunda baik-baik, nanti adiknya bisa jadi laki-laki..."  tanya Jason dengan nada serius.  Galih salah tingkah, laporannya terjatuh. Aster yang sedang minum teh di seberang tersedak.  Aster terbatuk-batuk. "Jason sayang, itu kan—"  Jason melirik Galih dengan tatapan tajam. "Sekarang Bunda hamil kembar, tapi kata dokter bisa jadi dua-duanya adik perempuan juga!" Ia melipat tangan di dada, "Papa bohong ya?"  Galih menghela napas panjang, menarik Jason ke pelukannya. Di sudut ruangan, Winda yang sedang berkunjung menutupi tawanya dengan serbet.  "Sayang, jenis kelamin bayi itu bukan Papa yang nentuin. Itu kayak..

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status