Galih baru saja melepaskan kemeja kerjanya, meletakkannya di keranjang baju kotor ketika panggilan telepon masuk ke ponselnya.
Nama Mama dengan emotikon hati tertampil di layar. Galih tersenyum sebelum memulai obrolan via telepon itu dengan sang mama. “Ya, Bu?” katanya mengawali percakapan itu. “Ibu punya kabar gembira buat kamu!” suara mamanya terdengar bahagia. “Ada apa memangnya, Bu? Aku baru pulang dari kantor,” katanya. “Kamu tahu Elda anaknya tante Ranti yang kuliah di Oxford itu? Dia udah selesai kuliah dan balik ke Indo!” mamanya terdengar bersemangat. Galih bisa menebak jalan pikiran mamanya. Sudah kali ke sekian mamanya melakukan hal itu. Mamanya sangat senang membawanya pada teman-teman di lingkaran sosialnya untuk dikenalkan dengan anak gadis mereka. “Ibu mau ngenalin aku sama anaknya tante Ranti? Bukannya mama bilang tante Ranti manipulatif dan suka playing victim ya?” “Aduh … Ibu yakin dia nggak akan nurunin sifat itu. Soalnya ayahnya orang baik-baik,” sanggah sang mama. Galih mendesah. “Ya udah, jadi, kapan aku harus ketemu Elda anaknya tante Ranti itu?” “Gimana kalau besok malam? Di Cafe Djo. Kalian ngobrol santai aja. Kalau udah cocok baru ketemu sama keluarga besarnya,” kata mamanya. “Oke, Bu. Ibu bisa kirim kontaknya ke aku. Nanti aku hubungi dia. Ya, ya, boleh sekalian fotonya juga supaya aku nggak salah orang,” kata Galih. Sambungan telepon terputus. Ketukan di pintu membuat Galih harus kembali menahan tubuhnya yang lelah. Dia mengayun langkah gontai untuk membuka pintu. Wajah tampan anak lelakinya menyambut pandangannya. “Pa. Boleh aku masuk? Aku mau ngobrol,” katanya. “Okay. Tapi, Papa perlu mandi dulu. Papa capek banget hari ini. Boleh?” Jason menganggukkan kepalanya. Dia duduk di kursi empuk depan meja komputer papanya. Galih meraih handuk miliknya dan menghilang di balik pintu kamar mandi. Di bawah guyuran air hangat yang membuat nyaman otot-otot tegang di seluruh tubuhnya, Galih kembali teringat dengan wajah tutor matematika Jason itu. Dari penolakan gadis itu, dia tak mengerti jika semua pesona yang ada pada dirinya bisa membuat perempuan tak nyaman bahkan menjauh. Dia bahkan tak terlihat seperti laki-laki di depan gadis itu. Usai membersihkan diri dan mengganti bajunya dengan kaus tanpa kerah dengan celana spandeks sepanjang lututnya, Galih duduk di sisi tempat tidur. Menunggu cerita Jason. “Oke, Boy. Ada cerita apa hari ini?” tanyanya. “Pa, aku mau nanya. Tapi, janji ya, Papa nggak akan marah?” Galih mengernyit, tetapi kemudian mengangguk. “Apa? Apa yang perlu Papa jelasin?” “Pa … apa bener, kalau pegangan tangan sama perempuan itu bisa buat perempuan hamil?” Galih terbelalak. Dia mengorek telinganya dengan kelingking, memastikan jika pendengarannya tak bermasalah. “Papa nggak salah denger, kok. Aku tanya, apa bener, kalau pegangan tangan sama perempuan itu bisa bikin mereka hamil?” Bukannya menjawab, Galih justru balik bertanya pada anak lelakinya itu. “Kamu denger dari mana, Boy? Siapa yang ngasih tau itu sama kamu? Om Evan, ya?” Jason menggeleng. “Aku denger dari cewek di kelas sebelah. Dia nyuruh aku jauh-jauh dari dia. Galak banget lagi!” Galih tertawa tetapi menyadari raut wajah anak lelakinya cemberut, dia menghentikan tawanya. “Itu nggak bener, Boy. Dengar, ya. Perempuan itu nggak akan hamil hanya karena pegangan tangan sama kamu, atau mandi di kolam renang yang sama dengan kamu. Semua itu nggak bener. Tapi … ada tapinya, ya. Kamu nggak boleh pegang tangan perempuan sembarangan kalau belum dewasa dan belum siap menikah.” “Jadi kalau udah dewasa dan udah siap menikah boleh ya, Pa?” Galih mengangguk pelan meski ragu. Dia khawatir tak bisa memberikan pemahaman pada Jason. “Aku ngerti sekarang, Pa. Terus Pa, kalau mantap-mantap itu apa, Pa?” Pertanyaan Jason membuat Galih menutup wajahnya. Jason yang sempat kebingungan dengan ayahnya itu bertanya apakah Galih baik-baik saja. “Papa cuma kaget sama pertanyaan kamu. Menurutmu, mantap-mantap itu apa, Boy?” “Ya … sesuatu yang menyenangkan. Kayak main game, pergi jalan-jalan sama Papa atau temen-temen, belajar sama Miss Dea juga.” Wajah dan telinga Galih memerah ketika Jason menyebut nama Dea. Otak lelakinya lantas membayangkan wajah gadis itu dalam dekapannya. “Oke. Kayaknya cukup. Kamu bener. Sekarang kamu udah ngerti, Boy. Ingat, kalau kamu suka sama cewek, bilang. Bukan malah mengganggunya atau bahkan ngajakin pacaran. Kamu belum dewasa. Ada masanya untuk ngajak cewek pacaran sampai menikah. Oke?” Jason mengangguk-angguk. “Thanks ya, Pa! Aku balik ke kamar kalau gitu. Semoga Papa bisa cepet dapet pacar dan menikah,” katanya sebelum berlalu. Galih terkekeh-kekeh mendengar kalimat Jason. Dia ingin menikah, tetapi tidak siap dengan proses panjang sebelum pernikahan. “Apa takdirku nggak bisa nemuin seseorang yang akan jadi pengganti Amel lagi?” Dia bertanya pada takdirnya sendiri. *** Usai pamit pada Jason, Galih melajukan mobilnya menuju Cafe Djo, tempat yang disepakati oleh mamanya dengan tante Ranti untuk bertemu dengan anak gadisnya. Galih memarkir mobil miliknya di luar area parkir Cafe, lalu berjalan menuju Cafe yang ramai dipenuhi pengunjung berusia dewasa muda itu. Galih menghubungi nomor kontak yang diberikan mamanya. Seorang gadis dengan kaus crop top lengan panjang dipadu celana jeans highwaist itu melambaikan tangan ke arahnya sambil mendekatkan ponsel ke telinganya. Galih balas melambai, lalu memutuskansambungan telepon ke nomor gadis itu. Secangkir frappuccino dengan roti panggang dioles selai kacang di atasnya sudah tersedia di meja. Galih mengulurkan tangannya ke arah perempuan itu. “Galih,” katanya sebelum menarik kursi untuknya sendiri. Perempuan itu menjabat tangannya, “Elda. Kak Galih pasti sudah tau kalau aku anak tante Ranti, ‘kan?” kata perempuan itu, tanpa basa-basi. Galih melepaskan topi baseball miliknya di meja. “Ya, aku tahu. Itu alasan aku setuju ketemu di sini,” katanya. “Tapi maaf, Kak Galih. Jujur aja, ya. Aku kurang suka dengan cara berpakaian Kak Galih. Kaus oblong sama topi itu bukan tipe ideal aku banget untuk jadi suami. Ya meskipun Kak Galih ganteng dan tinggi kayak temen-temen bule aku, tapi kayaknya kita nggak usah lanjutin pertemuan ini, ya? Aku bakalan bilang sama mamaku. Jadi, Kak Galih nggak usah repot-repot lagi dateng ke rumah aku nanti.” Galih hanya mengulas senyum. “Kebetulan kalau gitu. Aku juga sama sekali nggak ada niat untuk melanjutkan perkenalan ini lebih jauh. Kalau begitu, silakan nikmati malammu. Aku permisi.” Galih berlalu dari meja cafe Djo tanpa memesan menu apapun selain kekesalan luar biasa. Dia sudah merendahkan diri dengan datang menemui gadis itu. “Emang bener, ya. Buah jauh nggak jauh dari pohonnya. Nggak anak, nggak ibunya. Sama-sama bikin kesal!” Galih mengarahkan tinjunya ke setir mobil. Di tengah emosinya yang tidak stabil, bukannya berbalik menuju rumah, Galih justru memutuskan untuk melajukan mobilnya ke sebuah pusat perbelanjaan. Galih turun dengan tergesa-gesa hingga tak sengaja menabrak kantong belanja seorang perempuan. Kantung berisi kebutuhan rumah tangga itu berserak di lantai. Galih buru-buru berjongkok untuk membantu perempuan itu. “Maaf, maaf. Saya nggak sengaja.” “Nggak ‘pa-pa kok, Mas. Saya yang nggak ngeliat tadi. Nggak ‘pa-pa.” Dari suara perempuan itu, Galih menduga jika dia berusia lebih muda darinya. “Sekali lagi maafin saya,” kata Galih lalu mengulurkan tangannya. Perempuan itu menyambut uluran tangannya lalu berlalu. Galih menatap punggung perempuan itu sesaat sebelum meneruskan langkahnya menuju salah satu toko yang menjual pakaian pria. Dia memang sengaja memakai pakaian yang nyaman untuk bertemu dengan Elda. Namun, melihat reaksi Elda yang langsung menolaknya, membuat Galih tak ingin lagi mencoba dekat dengan perempuan manapun yang direkomendasikan oleh ibunya. Tak peduli lulusan universitas luar negeri sekalipun. “Emang udah bener aku ngejar Miss Dea, bukan malah nerima tawaran ibu untuk kenalan sama cewek-cewek yang cuma bisa ngandelin nama orang tuanya!” tangan Galih mengepal. Dia kesal ketika teringat kejadian tempo hari di rumahnya, ketika Evan dengan terang-terangan mengaku jika dia ada hubungan istimewa dengan Dea. Ditambah lagi, fakta jika dia adik laki-lakinya yang sangat menyebalkan dan haus perhatian! “Cih! Bisa apa sih Evan? Menang muda doang!” Tak ingin menarik perhatian orang sekitar, Galih akhirnya memilih untuk menelan emosinya sendiri. Selesai membayar belanjaan di kasir, dia kembali menuju mobil. Bukannya memutar arah menuju rumah, Galih justru melajukan mobilnya menuju Hotel Bulan.Galih memutar kunci dan menutup pintu ruangannya rapat-rapat. Sunyi. Hanya suara pendingin ruangan yang samar terdengar, seolah memberi ruang bagi keheningan yang memuat banyak rasa di antara mereka.Aster berdiri terpaku ketika Galih membalikkan badan dan menghampirinya. Tatapan mata lelaki itu tajam, tetapi bukan karena marah, melainkan karena rindu. Ada kerinduan yang dia tahan seharian.Galih menyentuh wajah Aster perlahan, menyisir anak rambut yang terjuntai di pelipisnya. Jarinya hangat, dan tatapannya melembut saat mata mereka bertemu."Malam ini... aku pengen sama kamu terus, Neng," bisiknya, suara serak dan pelan, seolah menyimpan hasrat dan ketulusan dalam satu tarikan napas.Aster menggigit bibir bawahnya. Pipinya merona. Tangannya mencengkeram ujung kemejanya sendiri, menahan gejolak rasa di dadanya yang tak bisa dia kendalikan."Mas Gal... nggak capek setelah kerjaan yang nggak selesai-selesai tadi?" tanyanya pelan.Aster berusaha mengalihkan suasana, meski matanya tetap
Keesokan harinya, atmosfer di Dreams Studio terasa berbeda. Suara berbisik-bisik yang berseliweran di lorong kantor membuat langkah Aster sedikit ragu. Beberapa pasang mata menoleh saat dia melangkah. Mata-mata itu memberi tatapan penuh tanya yang cukup mengganggu. Namun, Aster memilih untuk menegakkan kepala dan melanjutkan langkahnya seperti biasa. Dia tak mau terjebak dalam asumsi atau rasa tidak enak hati karena gosip yang entah dari mana asalnya.Dengan tablet di tangan dan beberapa berkas tertata rapi dalam map bening, Aster menuju ruangan Divisi Kreatif yang terletak di lantai dua. Saat pintu dibuka, aroma kopi dan udara sejuk dari AC langsung menyambutnya. Beberapa anggota tim kreatif sudah duduk di kursi mereka, sibuk dengan layar laptop dan moodboard masing-masing.Rein, kepala Divisi Kreatif, sedang berdiri di depan whiteboard, tampak tengah menuliskan beberapa ide konsep iklan. Begitu melihat Aster masuk, dia segera menyambutnya dengan tersenyum ramah.“Pagi, Aster. Sudah
Aster menatap undangan berdesain minimalis dengan tinta emas itu, jemarinya menyentuh bagian nama penerima: Untuk Bapak Galih Pramudya — undangan makan malam pribadi dari Yuki Yamada.Meski desainnya elegan, maksud dari kartu itu tidak mampu menyamarkan hal yang terlalu pribadi. Di mata Aster, undangan itu jelas-jelas meremehkannya. Aster meletakkannya kembali ke meja dengan sedikit sentakan halus.Galih bersandar di kursinya, memperhatikan Aster yang berdiri di seberangnya dengan ekspresi yang sukar diterjemahkan. “Kayaknya bukan cuma aku yang tertarik sama kamu, Mas,” ujar Aster sambil melipat tangan di dada. “Sampai orang Jepang itu juga terang-terangan ngundang makan malam.”Galih menyipitkan mata, separuh tersenyum. “Kamu cemburu, sayang?”Aster mengedikkan bahu dengan gaya yang terlalu ringan untuk menyembunyikan ketidaknyamanan yang sebenarnya. “Lebih tepatnya kesel sih. Kayak nggak ada cowok lain aja. Kenapa mesti kamu?”Galih tertawa pelan, matanya masih memandangi Aster sepe
Aster mengayun langkah menuju meja Galih. Pelan, dia meletakkan laporan dari semua proyek yang mereka selesaikan bulan itu.Galih menyandarkan punggungnya ke kursi kerja, senyumnya belum pudar sejak Aster datang ke mejanya dan meletakkan tumpukan laporan di sana. Matanya tak bergerak sedikit pun dari wajah perempuan itu. Perempuan yang bukan hanya sekretarisnya, tetapi juga sosok yang mengisi hatinya sejak dia memutuskan untuk menjadi seorang Jamal di masa lalu."Ah, saya lupa kalau sekarang sudah di kantor," ucap Galih dengan nada menggoda, menyeringai santai. "Padahal saya masih pengen mandangin wajah cantiknya calon istri saya."Aster mengerjapkan mata, lalu menunduk pelan, menyembunyikan rona merah muda yang perlahan merambat ke pipinya. Jemarinya merapikan selembar dokumen yang agak miring.“Saya bantu cek jadwal Bapak hari ini,” ucap Aster, suaranya lembut tapi jelas. “Setelah itu, kita bisa luangkan waktu untuk… nonton film, mungkin?”Galih terkekeh ringan. “Nonton film?” ulang
Syuting berjalan tanpa hambatan yang berarti dan selesai menjelang pukul sebelas malam. Para kru mulai merapikan peralatan. Model mulai pamit satu per satu, dan suara bising di studio IV mereda perlahan.Galih menyandarkan tubuhnya di sofa panjang di belakang area set. Kemejanya sedikit kusut, dasinya telah longgar sejak dua jam lalu. Matanya terlihat lelah, tetapi masih bisa memberi tatapan menggebu saat menatap Aster.Aster berdiri tak jauh dari pantry kecil di sudut studio. Dia mengisi dua cangkir kertas dengan kopi hangat dari mesin otomatis. Aroma kopi menyebar ringan di antara dinginnya ruangan studio yang mulai sepi.Dia menghampiri Galih dan menyodorkan secangkir penawar kelelahan dalam bentuk kopi.“Kopi hitam. Satu sendok teh gula. Favorit Mas Gal,” katanya pelan.Galih menerimanya. “Cuma kamu yang hafal detail sampai sekecil itu.”Aster duduk di sampingnya. Mereka berdua menyeruput kopi da
Galih menyambut hangat uluran tangan Bu Shanti, seorang wanita paruh baya dengan gaya elegan dan percaya diri. Dia aadalah pemilik dari brand kosmetik terkenal yang baru saja menandatangani kontrak kerja sama untuk kampanye iklan jangka panjang bersama agensi Dreams Studio Ltd. milik Galih."Selamat, Pak Galih. Kami percaya proyek ini akan sukses besar di masa depan," ujar Bu Shanti sambil tersenyum lebar.Galih membalas senyumnya. "Terima kasih, Bu Shanti. Kepercayaan Ibu adalah kehormatan bagi kami. Tim kami akan selalu berusaha memberikan yang terbaik."Beberapa orang di sisi Bu Shanti, yang merupakan anggota tim marketing dan Public Relations dari perusahaan kosmetik tersebut, turut bertepuk tangan. Mereka tampak antusias, membicarakan rancangan visual yang sebelumnya telah dipresentasikan oleh Divisi Kreatif.Di samping Galih, Aster berdiri dengan anggun dalam balutan setelan blazer warna nude yang senada dengan sepatu hak tingginya. Senyumnya tipis tetapi hal itu sangat menawan,
Pagi itu, Aster melangkah mendekati Galih. Senyumnya masih menawan, seperti biasa. "Mas Gal ..." suara merdu Aster menyapa telinga Galih. Galih mendongak. Menatap Aster hingga tatapan mereka bertemu di titik sama. Aster meletakkan kertas yang dibalut pita cantik di atas meja kerja Galih. "Apa ini sayang?" tanya Galih. Galih menatap kertas itu, jemarinya gemetar ketika menyentuh permukaannya yang dingin. Balutan pita warna merah muda itu kontras dengan warna kertas gading yang mewah. Undangan pernikahan. Dan namanya tak tertera di sana. "Itu undangan pernikahan aku, Mas Gal.” Senyum masih menggantung di bibir cantik Aster, tetapi matanya basah oleh air mata yang belum jatuh. Galih menggeleng. "Nggak. Ini nggak boleh terjadi. Aku sayang kamu, Aster. Neng, kamu pasti bohong 'kan?" “Aku minta maaf. Tapi, kita sudahi hubungan kita sampai di sini.” Galih merasakan dunia berhenti berputar. Suara-suara dari luar ruang kerjanya seperti hilang, hanya ada detak jantungnya sendiri
Matahari baru saja tenggelam ketika Audi A5 Sportback berwarna merah metalik berhenti di pelataran rumah bergaya kolonial milik keluarga Kesuma. Lampu-lampu taman menyala lembut, menyambut kedatangan Galih yang turun dari kursi kemudi.Dia segera membuka pintu belakang dan mengulurkan tangan pada Jason, yang langsung melompat keluar dengan riang.“Akhirnya, kita ke rumah Nenek lagi! Aku udah kangen sama Mama Dea, Pa!” seru Jason sambil menatap bangunan megah itu dengan mata berbinar.Galih tersenyum singkat. “Iya. Tapi ingat, kamu harus sopan, ya. Jangan lari-lari di dalam. Nenek masih belum pulih banget soalnya. Jangan sampai Nenek marah.”“Siap, Pa!” Jason mengangguk penuh semangat, lalu menggenggam tangan Galih. Mereka berjalan menuju pintu utama, dan sebelum sempat mengetuk, pintu sudah terbuka.“Galih, akhirnya datang juga,” sapa Winda, ibunda Galih, dengan senyum lebar yang terasa penuh tuntutan terselubung.Wanita paruh baya itu mengenakan kebaya modern berwarna gading, rambutn
Pintu ruang kerja Galih tertutup rapat dengan suara dentum lembut. Di dalamnya, udara terasa lebih panas. Mungkin karena dipenuhi ketegangan yang tak bisa ditepis sejak mereka meninggalkan ruangan Divisi Kreatif.Galih memutar kunci pintu, lalu berbalik cepat. Pandangannya tertuju penuh pada Aster yang berdiri beberapa langkah darinya, masih menunduk, tampak bingung dengan perubahan ekspresi pria itu.Tanpa banyak kata, Galih melangkah cepat, menyingkirkan jarak di antara mereka. Tangannya terangkat, menyentuh lembut sisi wajah Aster, lalu membawa bibirnya mendekat. Memburu dalam ciuman yang dalam, penuh hasrat, seolah ingin menegaskan bahwa hanya dia yang berhak atas gadis itu. Tidak Rein. Tidak lelaki mana pun.Aster terkejut, tubuhnya sedikit menegang, tetapi dia tak menolak. Sentuhan Galih bukan sekadar desakan, tapi juga luka yang baru saja tersentuh. Luka karena cemburu, karena takut kehilangan.Galih mencium lagi, kali ini lebih pelan namun intens. Napasnya berat, menyapu pelip