Sudah tiga puluh menit Galih memandangi area lobby Hotel Bulan. Di tangannya satu sloki kosong tak tersisa. Soda dengan lemon di cangkir kecil di sisinya masih tersisa setengah.
Dia tak ingin kehilangan kesadaran yang hanya akan berujung penyesalan. Setelah menimbang-nimbang, dia memutuskan untuk berjalan ke arah resepsionis yang segera menyambutnya dengan senyum ramah khas pegawai Hotel Bulan. “Saya minta kamar basic untuk satu malam ya,” katanya sambil menyerahkan kartu identitas pada resepsionis itu. “Mohon ditunggu sebentar, Pak. Akan kami siapkan,” katanya. Selagi menunggu, Galih mengirimkan pesan suara pada Jason melalui aplikasi W******p. Dia berpesan agar anak lelakinya tidak menunggunya pulang malam itu. “Sepertinya aku butuh seseorang malam ini,” gumamnya. Galih masih sibuk dengan pikirannya sendiri dan baru tersadar ketika resepsionis itu memberinya kartu akses menuju kamarnya. “Ini kunci pas kamarnya, Pak. Silakan ikuti bellboy kami untuk menuju kamar Bapak,” kata resepsionis itu. Galih mengucapkan terima kasih sebelum melangkah mengekori petugas hotel. Ketika sampai di kamar 4023 miliknya, dia kembali mengucapkan terima kasih pada petugas lelaki yang mengantarkannya itu. Galih melepaskan jas kerja miliknya ke kursi di sisi tempat tidur. Dia menyetel pengatur suhu ruangan di angka sembilan belas sebelum melemparkan tubuh lelahnya ke atas tempat tidur. Galih menggapai ponselnya, menghubungi seseorang di kontaknya. “Malam, Pak Galih. Ada yang bisa saya bantu?” tanya suara di seberang. “Seperti biasa, Miss Dea. Tolong laporkan mengenai proses belajar Jason hari ini,” katanya. Galih menekan tombol pengeras suara di ponselnya. Ketika suara perempuan di seberang telepon mulai menceritakan tentang bagaimana proses belajar Jason hari itu, hatinya sedikit tenang. Meski perempuan yang menarik hatinya itu menolak, Galih masih belum menyerah. Dia akan berusaha untuk lebih dekat dengan gadis itu. “Miss Dea sekarang di mana?” tanya Galih. “Saya di rumah, Pak Galih.” Jawaban gadis itu membuat Galih ingin mengetahui lebih banyak. “Bukan di Kos-kosan?” “Nggak, saya nginap di rumah malam ini karena besok jadwal saya free.” “Kalau begitu besok tolong datang untuk ngajar Jason saja, Miss Dea.” “Tapi, Pak …” Lagi-lagi, gadis itu membantah. “Saya akan kasih ekstra f*e untuk itu. Dan saya akan jemput Miss Dea dari rumah.” “Nggak usah, Pak …” Klik. Galih memutuskan sambungan telepon secara sepihak dengan gadis itu. Dia tidak ingin mendengar penolakan dari gadis itu. “Selama ini aku dianggap apa sama dia? Bos? Atasan? Rekan kerja? Aku bahkan nggak bisa ngobrol santai sama dia.” Galih menyandarkan punggungnya di sisi tempat tidur, memandang pantulan dirinya di cermin. Dia cukup tampan untuk lelaki matang mendekati empat puluh tahun. “Apa karena status dan pekerjaanku, ya? Setiap orang yang aku suka jadi segan dan bahkan nggak mau kenal lebih jauh sama aku? Apa aku harus jadi orang lain?” Dia kembali bertanya pada diri sendiri. Sebuah ketukan di pintu kamar membuatnya terpaksa membukakan pintu. Gadis cantik dengan lipstik merah dipadu midi dress model sabrina berdiri di depan pintu. Di tangannya sebuah tas jinjing dari kanvas tergenggam. Galih hanya mendesah lalu mengisyaratkan gadis itu masuk. “Saya nggak butuh apa-apa dari kamu. Kamu cukup hapus semua riasan kamu dan temani saya tidur!” kata Galih. “Jadi, saya nggak perlu buka baju atau pakai baju haram nih, Bapak Ganteng?” perempuan itu mencolek dagu Galih. Galih buru-buru menepis tangan perempuan itu. “Nggak usah! Dan lagi, jangan panggil saya Bapak! Saya nggak setua itu! Baru tiga tujuh!” “Iya, deh. Mas Ganteng. Gimana kalau kita ngobrol-ngobrol sebelum tidur?” Perempuan bergincu merah itu mengusap lengan Galih. Namun, lelaki beralis tebal itu segera menepis tangannya. “Ya kamu aja yang cerita. Saya dengerin.” Galih menarik bantal dan selimut dari tempat tidur. “Ngomong-ngomong, kalau nggak mau ngapa-ngapain, kenapa nggak pesan kamar double bed, Mas Ganteng? Aku tidur di mana, dong?” tanya perempuan itu dengan nada manja. “Saya yang tidur di bawah!” Galih menggelar selimut dan bantal di atas lantai. Perempuan itu menutup mulutnya. “Jadi Mas Ganteng ini nggak doyan perempuan, ya?” Galih buru-buru menyahut sebagai protes, “jangan sembarangan! Saya cuma nggak mau ngapa-ngapain aja! Lagi pula, kamu punya suami ‘kan?” Lagi-lagi, perempuan itu menutup mulutnya. “Selain ganteng dan pengertian, ternyata Mas juga peramal, ya? Kok bisa tahu kalau aku punya suami?” Galih bersiap memejamkan mata. Namun, telinganya masih mendengar cerita perempuan itu. “Suami aku, Bang Wismar itu, suka main tangan, Mas. Udah gitu doyan perempuan, curigaan banget, lagi. Nggak tenang hidupku selama jadi istrinya.” “Terus, kenapa mau jadi istrinya? Nggak pisah aja?” Galih menyahut sedangkan matanya mulai terpejam. Galih merasa kelopak matanya semakin berat, dia mulai mengantuk mendengar cerita perempuan itu. Perempuan itu terdiam sejenak. Melihat itu, Galih dengan sigap memberikan air minum pada perempuan itu. “Makasih, Mas,” kata perempuan itu lalu meneguk air dalam gelas hingga tandas. “Aku masih ngumpulin uang untuk kabur dari rumah itu sambil bawa anak-anak, Mas. Aku nggak tega ninggalin anak-anakku sama bapaknya yang bajingan itu. Jadi aku ngumpulin duit dulu buat memulai hidup baru sama anak-anakku.” Meski dia terpejam, tetapi Galih masih berusaha mengimbangi percakapan itu. “Berapa anakmu?” “Dua, Mas,” jawab perempuan itu. Galih menggumam. “Kalau kamu butuh duit, kenapa kerja kayak begini?” “Ya … ini pekerjaan cepat untuk dapat uang dan nggak butuh ijazah, Mas. Yang penting aku cantik, laki-laki tertarik, aku bisa dapat uang. Toh dia juga selingkuh berkali-kali. Jadi, sama aja ‘kan?” Galih tak menanggapi. Dia menarik selimut dan bantal ke kepalanya. Benar-benar akan bersiap tidur. “Kamu cerita aja. Aku tidur. Besok aku transfer pembayarannya ke rekening kamu,” kata Galih. “Mas Ganteng siapa namanya? Aku nggak enak kalau cerita ke orang nggak tahu namanya.” Perempuan itu masih berusaha mencari informasi tentang Galih. “Nggak perlu tau. Lagi pula, aku cuma butuh temen tidur. Anakku udah besar, nggak mau tidur sekamar. Aku duda, udah sepuluh tahun ditinggal istri.” “Mudah-mudahan Mas Ganteng cepet dapet jodoh, ya. Mas orang baik.” Kalimat itu membuat Galih cepat-cepat menyanggah, “saya nggak sebaik itu. Kalau orang baik, nggak akan pernah manggil cewek buat nemenin,” sanggah Galih. “Tapi Mas nggak ngelakuin apapun sama aku dan malah dengerin ceritaku.” “Udah saya bilang, saya butuh temen tidur. Saya lagi nggak bisa tidur soalnya. Sedangkan besok ada pertemuan penting.” “Iya, Mas Ganteng. Ya udah, saya matikan lampunya. Selamat tidur.” Galih tak menanggapi ucapan perempuan itu. Dia mulai memejamkan mata dan beralih ke alam bawah sadarnya.Baru saja Galih meletakkan tas kerjanya di meja ketika ponselnya bergetar kencang. Di layar ponsel tertera nama Ibu dengan huruf kapital dan emotikon bunga melati yang dia tambahkan sendiri.Tangannya segera menggeser tombol di layar, menjawab telepon itu. Dia berdiri dekat jendela kantornya sambil menghela napas pendek.Biasanya, telepon pagi dari ibunya berisi kabar seputar tanaman baru di taman atau cerita tetangga yang memelihara burung mahal. Namun, nada suara ibunya kali ini terdengar berbeda.Lebih serius, seperti memanggilnya untuk menghadiri pertemuan penting. Dan Galih memiliki firasat tak nyaman."Ya, Bu?" sapanya lembut.Matanya sambil menatap pemandangan gedung tinggi yang berbaris rapat di balik jendela kantornya."Nanti malam kamu ada acara, Galih?" tanya suara perempuan setengah baya dari seberang, terdengar tenang. Namun, Galih paham ada maksud lain di balik pertanyaan itu."Malam ini kebetulan free, Bu. Ada apa?""Ibu ada tamu penting. Malam ini kamu ke rumah, ya? Ib
Langit senja mulai memudar di balik jendela mobil saat kendaraan dinas itu melaju di jalan tol yang lengang. Di dalam kabin yang sunyi, hanya suara AC dan lagu lembut dari radio yang terdengar samar.Aster tertidur lelap di bahu Galih. Wajahnya tenang, sesekali menarik napas pelan seperti anak kecil yang baru saja berhenti menangis.Wajahnya terlihat lelah. Riasan wajahnya mulai pudar, rambutnya sedikit berantakan, dan jemari tangannya menggenggam map presentasi yang tadi pagi masih ia baca berulang-ulang.Galih menatap wajah itu dengan perasaan yang bercampur aduk. Bangga, haru, dan sedikit bersalah.Lelaki tampan itu menggenggam tangan Aster dengan lembut, lalu menunduk dan mengecup punggung tangan itu perlahan. Hanya satu sentuhan hangat yang tidak akan membangunkannya, tetapi cukup untuk menggambarkan perasaannya yang dalam pada Aster.“Kasihan banget sayang aku… capek ya, Neng?” bisiknya lirih, seolah takut mengganggu mimpi kekasihnya itu. “Maaf, ya. Kamu jadi kerja berat kayak g
Galih melirik ke arah Aster yang duduk di sampingnya, mengenakan kemeja putih polos yang dimasukkan rapi ke dalam celana longgar berwarna krem. Rambutnya diikat rendah, wajahnya tanpa riasan mencolok, tetapi justru itulah yang membuatnya terlihat begitu alami dan memikat di mata Galih. Di antara cahaya lembut kabin pesawat dan suara samar dari pengumuman pramugari, suasana terasa begitu intim, meski mereka sedang berada di antara deretan kursi penumpang lain.Galih tersenyum sambil menyandarkan kepalanya ke sisi kursi, menatap Aster dengan pandangan hangat."Kalau kamu kayak gini terus, aku jadi bayangin gimana cantik dan gantengnya anak-anak kita nanti, sayang," bisiknya, suaranya rendah tetapi penuh kehangatan.Aster spontan menoleh, matanya membulat kecil, lalu menunduk sambil menutupi wajahnya dengan tangan. "Mas Gal, aku malu... Nanti didenger sama penumpang lain, lho," protesnya pelan dengan pipi yang memerah.Galih tertawa kecil, masih menjaga suaranya agar tak mengganggu penum
Galih menutup laptopnya perlahan. Matanya kini fokus ke wajah Katrina. “Kamu berani nyebut nama Aster, setelah semua drama kamu di kantor ini?”Katrina mendadak terdiam, seperti tak menduga Galih akan langsung menyerang balik.“Aku tahu apa yang kamu lakukan, Katrina. Kamu pikir aku nggak bisa lihat permainan kecil kamu? Dari cara kamu manfaatin pantry, nyebar gosip, sampai ngadu domba tim desain. Termasuk kamu ngunci Aster di kamar mandi, ‘kan?”Katrina terkejut, wajahnya berubah pucat seketika. “Aku... aku nggak—”“Keluar!” potong Galih, suaranya tegas, nyaris tak bisa dibujuk.Katrina berdiri kaku, bibirnya terbuka seakan hendak berkata sesuatu, tapi Galih sudah berdiri dari kursinya. Sorot matanya dingin.“Sekarang!” Dia mengulang kalimatnya, sambil menunjuk ke arah pintu.Katrina akhirnya berbalik, berjalan keluar tanpa kata. Pintu tertutup kembali, menyisakan Galih yang kini berdi
Aster mengernyit, menurunkan bolpoin yang sedari tadi dia gunakan untuk mencatat. Sorot matanya mencerminkan keraguan ketika Katrina tiba-tiba muncul dari balik pintu dengan ekspresi netral yang sulit ditebak. Di tangannya, Katrina membawa beberapa lembar dokumen, tapi matanya tak lepas dari wajah Aster.“Kamu dipanggil sama Pak Rein ke ruang rapat belakang, yang dekat gudang itu,” kata Katrina, menyodorkan selembar memo.Aster mengambil memo itu, membaca cepat tulisan tangan yang nyaris tak terbaca. Katrina meneruskan kalimatnya. “Katanya, proyek Aeris Pure.”Aster mengangkat alis. “Beneran?” Suaranya ragu.Katrina mengangguk tanpa senyum. “Iya. Barusan aku yang dipesenin buat kasih tahu kamu.”Aster menatap memo itu sekali lagi, masih dengan keraguan yang terasa menggelayut. “Tapi kenapa Pak Rein nggak langsung chat aku lewat messenger kantor? Biasanya juga gitu.”Katrina mengangkat bahu, pura-pura tak peduli. “Mana aku tahu. Mungkin dia lagi buru-buru. Katanya penting.”Aster meng
Galih merapikan jasnya, menarik napas panjang di depan cermin besar yang menempel di dinding ruang kerjanya. Garis tegas wajahnya tercermin jelas, mata yang menyimpan keyakinan, tetapi juga beban tanggung jawab yang tak ringan.Pikirannya melayang pada Aster. Senyumnya, tawanya, bahkan tatapan jahilnya saat menggoda di tengah rapat. Galih menyentuh dada kirinya, seolah ingin memastikan bahwa tekad yang tumbuh di sana memang nyata adanya."Aku udah mutusin. Cuma tinggal waktu yang belum berpihak," gumamnya lirih.Langkahnya terhenti saat terdengar ketukan halus di pintu.Tok... Tok...“Masuk,” katanya sambil membalik badan.Fariz, manajer sekaligus staf kepercayaannya, muncul dengan wajah tegang. Membawa map tebal yang dipegang erat. “Bos, ada masalah di bagian keuangan,” lapornya cepat. “Ada ketidaksesuaian antara laporan yang dicetak dan data digital di sistem. Selisihnya lumayan besar.”Alis Galih terangkat. “Selisih berapa?”“Kurang lebih dua puluh juta, Bos.”Galih mendesah, mener