Главная / Romansa / Ayo Menikah, Mas Duda! / Bab 3: Ganteng, Kenalan Yuk!

Share

Bab 3: Ganteng, Kenalan Yuk!

Aвтор: Mita Yoo
last update Последнее обновление: 2025-02-06 21:30:55

Sudah tiga puluh menit Galih memandangi area lobby Hotel Bulan. Di tangannya satu sloki kosong tak tersisa. Soda dengan lemon di cangkir kecil di sisinya masih tersisa setengah.

Dia tak ingin kehilangan kesadaran yang hanya akan berujung penyesalan. Setelah menimbang-nimbang, dia memutuskan untuk berjalan ke arah resepsionis yang segera menyambutnya dengan senyum ramah khas pegawai Hotel Bulan.

“Saya minta kamar basic untuk satu malam ya,” katanya sambil menyerahkan kartu identitas pada resepsionis itu.

“Mohon ditunggu sebentar, Pak. Akan kami siapkan,” katanya.

Selagi menunggu, Galih mengirimkan pesan suara pada Jason melalui aplikasi W******p. Dia berpesan agar anak lelakinya tidak menunggunya pulang malam itu.

“Sepertinya aku butuh seseorang malam ini,” gumamnya.

Galih masih sibuk dengan pikirannya sendiri dan baru tersadar ketika resepsionis itu memberinya kartu akses menuju kamarnya.

“Ini kunci pas kamarnya, Pak. Silakan ikuti bellboy kami untuk menuju kamar Bapak,” kata resepsionis itu.

Galih mengucapkan terima kasih sebelum melangkah mengekori petugas hotel. Ketika sampai di kamar 4023 miliknya, dia kembali mengucapkan terima kasih pada petugas lelaki yang mengantarkannya itu.

Galih melepaskan jas kerja miliknya ke kursi di sisi tempat tidur. Dia menyetel pengatur suhu ruangan di angka sembilan belas sebelum melemparkan tubuh lelahnya ke atas tempat tidur.

Galih menggapai ponselnya, menghubungi seseorang di kontaknya.

“Malam, Pak Galih. Ada yang bisa saya bantu?” tanya suara di seberang.

“Seperti biasa, Miss Dea. Tolong laporkan mengenai proses belajar Jason hari ini,” katanya.

Galih menekan tombol pengeras suara di ponselnya. Ketika suara perempuan di seberang telepon mulai menceritakan tentang bagaimana proses belajar Jason hari itu, hatinya sedikit tenang. Meski perempuan yang menarik hatinya itu menolak, Galih masih belum menyerah. Dia akan berusaha untuk lebih dekat dengan gadis itu.

“Miss Dea sekarang di mana?” tanya Galih.

“Saya di rumah, Pak Galih.” Jawaban gadis itu membuat Galih ingin mengetahui lebih banyak.

“Bukan di Kos-kosan?”

“Nggak, saya nginap di rumah malam ini karena besok jadwal saya free.”

“Kalau begitu besok tolong datang untuk ngajar Jason saja, Miss Dea.”

“Tapi, Pak …” Lagi-lagi, gadis itu membantah.

“Saya akan kasih ekstra f*e untuk itu. Dan saya akan jemput Miss Dea dari rumah.”

“Nggak usah, Pak …”

Klik. Galih memutuskan sambungan telepon secara sepihak dengan gadis itu. Dia tidak ingin mendengar penolakan dari gadis itu.

“Selama ini aku dianggap apa sama dia? Bos? Atasan? Rekan kerja? Aku bahkan nggak bisa ngobrol santai sama dia.”

Galih menyandarkan punggungnya di sisi tempat tidur, memandang pantulan dirinya di cermin. Dia cukup tampan untuk lelaki matang mendekati empat puluh tahun.

“Apa karena status dan pekerjaanku, ya? Setiap orang yang aku suka jadi segan dan bahkan nggak mau kenal lebih jauh sama aku? Apa aku harus jadi orang lain?” Dia kembali bertanya pada diri sendiri.

Sebuah ketukan di pintu kamar membuatnya terpaksa membukakan pintu. Gadis cantik dengan lipstik merah dipadu midi dress model sabrina berdiri di depan pintu. Di tangannya sebuah tas jinjing dari kanvas tergenggam. Galih hanya mendesah lalu mengisyaratkan gadis itu masuk.

“Saya nggak butuh apa-apa dari kamu. Kamu cukup hapus semua riasan kamu dan temani saya tidur!” kata Galih.

“Jadi, saya nggak perlu buka baju atau pakai baju haram nih, Bapak Ganteng?” perempuan itu mencolek dagu Galih.

Galih buru-buru menepis tangan perempuan itu. “Nggak usah! Dan lagi, jangan panggil saya Bapak! Saya nggak setua itu! Baru tiga tujuh!”

“Iya, deh. Mas Ganteng. Gimana kalau kita ngobrol-ngobrol sebelum tidur?” Perempuan bergincu merah itu mengusap lengan Galih. Namun, lelaki beralis tebal itu segera menepis tangannya.

“Ya kamu aja yang cerita. Saya dengerin.” Galih menarik bantal dan selimut dari tempat tidur.

“Ngomong-ngomong, kalau nggak mau ngapa-ngapain, kenapa nggak pesan kamar double bed, Mas Ganteng? Aku tidur di mana, dong?” tanya perempuan itu dengan nada manja.

“Saya yang tidur di bawah!” Galih menggelar selimut dan bantal di atas lantai.

Perempuan itu menutup mulutnya. “Jadi Mas Ganteng ini nggak doyan perempuan, ya?”

Galih buru-buru menyahut sebagai protes, “jangan sembarangan! Saya cuma nggak mau ngapa-ngapain aja! Lagi pula, kamu punya suami ‘kan?”

Lagi-lagi, perempuan itu menutup mulutnya. “Selain ganteng dan pengertian, ternyata Mas juga peramal, ya? Kok bisa tahu kalau aku punya suami?”

Galih bersiap memejamkan mata. Namun, telinganya masih mendengar cerita perempuan itu.

“Suami aku, Bang Wismar itu, suka main tangan, Mas. Udah gitu doyan perempuan, curigaan banget, lagi. Nggak tenang hidupku selama jadi istrinya.”

“Terus, kenapa mau jadi istrinya? Nggak pisah aja?” Galih menyahut sedangkan matanya mulai terpejam. Galih merasa kelopak matanya semakin berat, dia mulai mengantuk mendengar cerita perempuan itu.

Perempuan itu terdiam sejenak. Melihat itu, Galih dengan sigap memberikan air minum pada perempuan itu.

“Makasih, Mas,” kata perempuan itu lalu meneguk air dalam gelas hingga tandas.

“Aku masih ngumpulin uang untuk kabur dari rumah itu sambil bawa anak-anak, Mas. Aku nggak tega ninggalin anak-anakku sama bapaknya yang bajingan itu. Jadi aku ngumpulin duit dulu buat memulai hidup baru sama anak-anakku.”

Meski dia terpejam, tetapi Galih masih berusaha mengimbangi percakapan itu. “Berapa anakmu?”

“Dua, Mas,” jawab perempuan itu.

Galih menggumam. “Kalau kamu butuh duit, kenapa kerja kayak begini?”

“Ya … ini pekerjaan cepat untuk dapat uang dan nggak butuh ijazah, Mas. Yang penting aku cantik, laki-laki tertarik, aku bisa dapat uang. Toh dia juga selingkuh berkali-kali. Jadi, sama aja ‘kan?”

Galih tak menanggapi. Dia menarik selimut dan bantal ke kepalanya. Benar-benar akan bersiap tidur.

“Kamu cerita aja. Aku tidur. Besok aku transfer pembayarannya ke rekening kamu,” kata Galih.

“Mas Ganteng siapa namanya? Aku nggak enak kalau cerita ke orang nggak tahu namanya.” Perempuan itu masih berusaha mencari informasi tentang Galih.

“Nggak perlu tau. Lagi pula, aku cuma butuh temen tidur. Anakku udah besar, nggak mau tidur sekamar. Aku duda, udah sepuluh tahun ditinggal istri.”

“Mudah-mudahan Mas Ganteng cepet dapet jodoh, ya. Mas orang baik.”

Kalimat itu membuat Galih cepat-cepat menyanggah,  “saya nggak sebaik itu. Kalau orang baik, nggak akan pernah manggil cewek buat nemenin,” sanggah Galih.

“Tapi Mas nggak ngelakuin apapun sama aku dan malah dengerin ceritaku.”

“Udah saya bilang, saya butuh temen tidur. Saya lagi nggak bisa tidur soalnya. Sedangkan besok ada pertemuan penting.”

“Iya, Mas Ganteng. Ya udah, saya matikan lampunya. Selamat tidur.”

Galih tak menanggapi ucapan perempuan itu. Dia mulai memejamkan mata dan beralih ke alam bawah sadarnya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Ayo Menikah, Mas Duda!   Bab 149: Dreams Come True

    Ballroom mewah itu telah berubah menjadi negeri dongeng. Awan-awan gantung dari krep putih bergerak lembut di langit-langit, seolah menari-nari ditiup angin AC. Dua buaian kecil berhias pita sutra biru muda berdiri megah di panggung utama, dikelilingi oleh balon-balon berbentuk burung bangau yang seolah terbang membawa kabar bahagia. Galih, yang biasanya selalu tampil sempurna dalam setelan jas, hari itu membiarkan keriputan di kemejanya. Ia lebih memilih kenyamanan untuk berlutut di samping Aster yang duduk di sofa khusus dengan perutnya yang membesar seperti bulan purnama.  Galih berdiri di depan tamu-tamu yang telah berkumpul, jari-jarinya gemetar memegang mikrofon. Kaus kasual bertuliskan "Daddy of Twins" yang melekat di tubuhnya terasa asing. Seolah sebuah pembebasan dari belitan dasi dan setelan jas yang biasa mengekangnya.  "Terima kasih..." Suaranya pecah di tengah kalimat ketika pandangannya tertumbuk pada sosok Aster yang baru s

  • Ayo Menikah, Mas Duda!   Bab 148: Ngidam Lagi

    Pukul 11:36 malam. Galih baru saja menutup laptopnya ketika Aster muncul di pintu ruang kerjanya. Tangannya menopang punggung yang pegal, matanya berkaca-kaca dengan tatapan yang bahkan sudah dihafal Galih.Tatapan "ngidam" yang berbahaya untuknya. Entah apa yang Aster minta kali ini."Mas..." Suaranya seperti anak kecil yang memohon permen.  Galih menghela napas dalam, sudah bisa menebak arah pembicaraan itu. "Apa yang mau kamu makan malem-malem begini, Sayang? Mangga muda dicocol sambel? Es krim rasa durian? Atau—"  "Cilok," Aster memotong kalimat Galih. "Tapi bukan beli. Aku mau Mas yang bikin."  Galih membeku. Tangannya yang sedang meraih kacamata terhenti di udara. "Kamu tahu Sayang, aku bahkan nggak bisa bedain antara tepung kanji sama tepung beras, ‘kan?"  Aster melangkah mendekat, meletakkan tangan di perutnya yang membesar. "Si kembar bilang, mereka juga mau….”  Galih meng

  • Ayo Menikah, Mas Duda!   Bab 147: Aku Mimpi Buruk

    Lorong rumah itu sunyi ketika Jason muncul di balik pintu kamar Galih. Ia membawa bantal kesayangannya yang sudah usang terjepit erat di bawah ketiak.Rambutnya yang masih lembap setelah mandi berantakan, dan piyama bergambar dinosaurus terlihat sedikit kecil untuk tubuhnya yang mulai besar dan bertambah tinggi. Ia berdiri di ambang pintu, jari-jari kakinya menggaruk-garuk karpet dengan gugup.  "Bunda... Papa..." Suaranya kecil karena ragu, terdengar seperti rintihan angin malam. "Aku boleh tidur di sini malam ini?"Aster yang sedang bersandar di tumpukan bantal langsung menoleh ke arah Galih, menatap dengan tatapan memohon. Perutnya yang membuncit membuatnya kesulitan bergerak, tetapi matanya sudah mengatakan "ya" sebelum mulutnya terbuka.  Galih, yang sedang memijat kaki bengkak istrinya mengangkat alis. "Kasur kamar Papa udah sempit, Boy. Ditambah perut Bunda yang udah makin besar—"  "Aku janji nggak akan ng

  • Ayo Menikah, Mas Duda!   Bab 146: Bacakan Dongeng

    Lampu bintang-bintang kecil di langit-langit kamar Jason memantulkan cahaya redup, menari-nari di dinding seperti peri yang bersembunyi di balik bayangan. Aster mengatur posisi duduknya dengan susah payah, perutnya yang membuncit membuatnya harus bersandar pada tumpukan bantal ekstra. Jason sudah berbaring di tempat tidur, selimut bergambar dinosaurus terseret sampai ke dagunya, hanya matanya yang berbinar-binar terlihat. Mata yang penuh harap dan sedikit rasa bersalah.Jason melirik Aster, lalu berbisik penuh harap. "Bunda, aku minta sesuatu boleh?” tanyanya.Aster menatap Jason. “Minta apa, Sayang?”“ Aku minta bacain dongeng yang seru. Satu buku aja, Bunda. Yang ada ksatria sama naganya,” ucapnya, ia mengecilkan suaranya seperti bisikan angin malam.Aster mengangguk. “Ya udah, tapi Kakak yang ambil bukunya, ya?”Jason beringsut dari tempat tidur menuju rak buku. Meraih satu buku kisah ksatria dan naga laku meny

  • Ayo Menikah, Mas Duda!   Bab 145: Bangun Tengah Malam

    Meja makan besar di rumah Winda dan Kesuma dipenuhi berbagai hidangan lezat. Rendang, sayur lodeh, sambal terasi, dan ikan bakar yang masih mengepul. Lampu chandelier di atas meja memantulkan cahaya hangat pada wajah-wajah bahagia di sekelilingnya.Aster tersenyum, duduk di kursi khusus dengan bantal tambahan, perutnya yang membesar hampir menyentuh meja.  Winda meraih piring, lalu menyendokkan nasi untuk Aster. "Aster sayang, makan yang banyak ya. Soalnya kamu perlu makan untuk tiga orang sekarang!"  Kesuma tersenyum lalu dengan bijak memberi nasehat putra sulungnya itu. "Galih, kamu harus ekstra perhatian sekarang. Istri yang hamil kembar butuh support penuh. Jangan sampai dia stres menjelang lahiran."    Jason yang duduk di antara kakek-neneknya tiba-tiba berdiri dengan gelas jus di tangan.   "Tolong dengerin aku dulu, semuanya! Aku mau kasih pengumuman! Sebagai calon kakak, aku janji akan bantu j

  • Ayo Menikah, Mas Duda!   Bab 144: Menagih Janji

    Malam minggu yang tenang di ruang keluarga tiba-tiba pecah ketika Jason melompat ke pangkuan Galih yang sedang asyik membaca laporan kantor. Matanya berbinar dengan tekad yang sudah dipendam berbulan-bulan.   "Papa, ingat janji Papa waktu Bunda baru hamil? Katanya kalau aku jagain Bunda baik-baik, nanti adiknya bisa jadi laki-laki..."  tanya Jason dengan nada serius.  Galih salah tingkah, laporannya terjatuh. Aster yang sedang minum teh di seberang tersedak.  Aster terbatuk-batuk. "Jason sayang, itu kan—"  Jason melirik Galih dengan tatapan tajam. "Sekarang Bunda hamil kembar, tapi kata dokter bisa jadi dua-duanya adik perempuan juga!" Ia melipat tangan di dada, "Papa bohong ya?"  Galih menghela napas panjang, menarik Jason ke pelukannya. Di sudut ruangan, Winda yang sedang berkunjung menutupi tawanya dengan serbet.  "Sayang, jenis kelamin bayi itu bukan Papa yang nentuin. Itu kayak..

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status