Share

Jangan Mengatur Aku

BAHAGIA SETELAH BERPISAH 4

**

"Kamu di tanyain kok malah senyum-senyum gak jelas. Kamu ngejek atau bagaimana!" Ibu memasang wajah garang. 

"Yang pasti ya Bu. Duit membeli ini semua bukan dari Mas Hamdan," aku berkata santai sambil membuka makanan di depanku. 

"Terus duit siapa? secara kamu kere dan miskin, gak pernah di kasih duit sama anakku!" ujarnya dengan cibiran seakan senang aku diperlakukan tak adil. Lihat saja ya, Bu. Berkata lah seenak mu sekarang. 

"Aku sudah kerja dan majikanku baik. Aku dapat makanan ini dari dia. Soal laptop Fatih, dapat dari adikku di kampung," kataku santai. Ibu hanya sinis melihatku. Bibirnya di monyong kan ke depan buat mengejekku. 

"Kerja apa kamu? Paling jadi Babu?" 

"Walau jadi Babu, Bu. Yang penting majikanku baik. Aku boleh kerja bawa Sesil." 

"Kok bisa. Jangan-jangan Mbak Yuni jadi simpanan Om-om." Ambar tertawa menimpali. 

"Sembarangan. Jangan asal bicara ya. Bicara pakai ot*k. Majikanku seorang wanita dan dia wanita yang baik sekali. Seenaknya bicara." Aku menatap Ambar dengan geram, dia terdiam. Sejurus kemudian netranya memandang makanan yang kubawa. 

"Wah, kayaknya enak banget, Mbak. Aku mau dong," ucap Ambar mendekat. Aku langsung menarik makanan itu menjauh darinya. 

"Eh, ini buat Fatih. Udah lama kami gak makan enak. Ikat pinggang selalu. Kamu udah sering makan seperti ini." 

"Pelit amat kamu, Yuni. Kamu beli tiga. Bagi satu buat Ambar. Lagian Hamdan pasti sudah makan di kantor," kata Ibu mencibir padaku. 

"Ibu kira ini buat Mas Hamdan. Ibu salah besar." 

"Terus buat siapa kalau bukan buat Hamdan. Kamu beli tiga buah makanan? Tidak mungkin buat Sesil yang masih enam bulan?" kata Ibu heran. Aku hanya mengulas senyum lebih tepat mengejeknya. 

"Ini buat aku lah, Bu. Ibu tahu kan kalau aku ini menyusui. Asi ku sedikit karena kurang makan. Sementara Mas Hamdan tidak memenuhi kebutuhan dengan layak. Beras saja di paksa cukup-cukupkan buat sebulan. Ikan yang di beli Mas Hamdan cuma 4 ekor berukuran sedang. Di potong dua jadi delapan bagian. Buat makan siang aku hanya sepotong sementara Mas Hamdan dua potong. Buat makan malam aku sepotong dan Mas Hamdan dua potong serta sisanya buat sarapan pagi. Habis, 'kan. Bahkan anakku Fatih gak di jatahi makan ikan," kataku kembali mencibirnya. Wajah Ibu sudah memerah karena apa yang kukatakan benar. Sedangkan Ambar hanya meringis mendengarkan. 

"Halah, Hamdan juga jarang makan siang di rumah, 'kan! Di situlah anakmu makan!" Ibu masih membela anaknya dan memojokkan aku serta Fatih. 

"Ibu lupa, kalau Ibu sering datang ke sini. Ibu ikut makan kalau Mas Hamdan gak makan di rumah. Alasannya Ambar makan siang di kampus dan Bapak sudah dapat jatah makan dari kantor lurah," ucapku dengan sinis. Ibu hanya mendengkus padaku. Dia semakin menatapku dengan kesal. 

"Dasar pelit. Ayo Ambar kita pulang!" kata Ibu mendengkus marah ke arahku. Aku hanya mengedikkan bahu saja menanggapi. 

"Ambar lapar, Bu!" Adik iparku itu justru memperkeruh suasana. Ibu menjadi semakin kesal. Dia bergegas membuka kulkas.

"Minggir," ketusnya padaku. Dia kemudian mengambil telur yang berada di dalam kulkas. Aku terhenyak, di dalam kulkas ada tujuh buah telur dan baru saja di beli Mas Hamdan ketika awal bulan buat dia sarapan pagi jika tidak ada menu. 

"Loh, kenapa Ibu ambil telurnya!" sungut ku pada Ibu. 

"Diam lah kamu, anakku mau makan dan suamiku mau makan juga. Di rumah gak ada lauk. Lumayan bisa makan telur," kata nya begitu saja. 

"Itu buat sarapan anakmu, Bu." 

"Kalian beli lagi lah. Hamdan tidak seperti mu, pelit." Dia berkata seenaknya. 

"Gak sadar, Bu. Pelit? Aku? Kalian kali? Aku dapat makanan kok kalian pada sibuk! Aneh!" Cibirku, Ibu hanya menatap sengit ke arahku. Dia kemudian menarik tangan Ambar buat pulang. 

"Eh, Bu!" 

"Apa lagi!" 

"Tolong bawa buntalan pakaian yang Ibu bungkus itu! Gak ada yang mau juga buat mencuci nya. Aku sekarang sibuk," ucapku. Ibu semakin kesal menatapku. 

"Awas kamu, Yuni." katanya ketus sembari mengambil bungkusan kain itu. 

Setelah Ibu dan Ambar pulang. Aku memanggil Fatih yang dari tadi sibuk dengan dunianya sendiri. 

"Makan, Nak!" Anakku datang dan kami makan bersama. Setelah itu aku memberi makan Sesil. 

Sesil sudah tidur dalam ayunan. Seharian mengurus pekerjaan lelah juga. Namun, aku puas akhirnya aku bisa punya usaha sendiri. Usaha yang akan menghasilkan rupiah yang lumayan buat masa depan aku dan anakku. Aku akan fokus di usaha baruku. 

Fatih sudah kembali ke kamar. Aku memantau sebentar apa yang di kerjakan nya. Aku selalu me wanti-wanti agar anakku melakukan pekerjaan yang baik. Mengedit video yang baik pula. Aku mempercayakan padanya. 

"Bun, Fatih mau ngaji dulu ya," kata anakku sambil membawa gawainya. 

"Kamu benar ngaji ya, Nak! Jangan cuma buat konten aja," ucapku padanya. Penampilannya sudah rapi. 

"Beres, Bun. Pokoknya sebelum masukin konten, Fatih bakal laporan dulu ke Bunda," ujarnya sambil memberi hormat. 

"Pintar anak Bunda," kataku dan Fatih mencium tanganku setelah itu dia berpamitan hendak ke masjid. 

Aku merebahkan diriku di kasur. Ku lirik jam sudah pukul setengah delapan dan Mas Hamdan belum juga pulang. Aku mengambil gawaiku dan membuka aplikasi biru. Aku membuat akun baru dengan nama Inuy Keiko. Tak lupa photo gadis Jepang yang cantik ku sematkan. Nama itu kebalikan dari naman ku Inuy di balik Yuni. 

Mungkin banyak yang berpikir aku bodoh. Mengapa masih mau bertahan dengan Mas Hamdan. Namun, mereka yang berbicara seperti itu tak tahu rasanya di hina. Suamiku selalu berkata aku jelek, hitam dan bau bawang. Tak pandai mengatur uang. Tak pandai mengatur kebutuhan yang sudah aku beli, hanya tinggal mengolah saja banyak salahnya. Dia juga sering membandingkan aku dengan wanita-wanita yang lebih cantik seperti Mbak Astri dan Mbak Lia. Aku hanya ingin dia tahu kalau aku yang dia hina-hina ini bisa menjadi wanita yang bernilai. Aku ingin dia menghargai ku sebagai manusia. Aku ingin juga membalas perbuatannya yang menyakiti hatiku. 

Aku menambahkan pertemanan ke akun suamiku sambil melihat-lihat apa saja yang di postingnya. Beberapa saat kemudian dia menerima permintaan pertemanan ku. Aku bisa lebih leluasa melihat apa saja postingannya. 

'Dapat orderan banyak karena kehebatan tim kami' 

'Orderan banyak tenang traktir jalan. Selamat menikmati.'

Tulisnya di statusnya. Aku kemudian membaca komentar dari teman-teman kerjanya.

'baik banget. Bapak semoga naik jabatan,'

'Makasih, traktirannya, Pak.'

'Sama-sama Rahma, ( dengan emot love.) 

'Sukses, Pak. Di tunggu traktirannya lagi,'

'Sip (Dengan emot peluk.) 

Masih banyak lagi komentar-komentar yang membuat aku geram. Ternyata dia pulang terlambat karena mentraktir teman-temannya. Jahat, anak istri di rumah makan gak makan sementara dia bahagia di luar. Aku selama ini diam dan bersikap patuh padanya. Aku menyembunyikan uang ku dari Mas Hamdan karena dahulu ada rasa takut mengakui dan takut membantah nya. Aku menyembunyikan agar dia merasa aku lemah dan dia tak banyak menuntut ku. Karena uang itu akan ku gunakan buat sekolah dan masa depan anakku. 

Sekarang mataku sudah terbuka. Aku harus bangkit. Mas Hamdan tak boleh memperlakukan aku dengan buruk lagi. Aku akan buktikan. Aku bisa kerja dan dia tak akan meremehkan ku lagi. 

Mobil Mas Hamdan memasuki halaman rumah. Dia membuka pintu dan masuk dengan santai. Aku bergegas duduk di kursi makan yang berada di dapur.

"Baru pulang kamu, Mas!" 

"Iya," katanya santai. 

"Kamu udah makan?" tanya ku berpura-pura. 

"Udah, dong." 

"Enak makan di luar. Makan apa? Kami di ingat apa gak?" 

"Halah, makan jatah kantor, lagian aku udah belanja tadi pagi saat tukang sayur lewat. Aku beli ikan asin buat kamu. Besok aku beli telur buat kamu masak," sergahnya. Keterlaluan dia enak makan yang mahal dan kami cuma di jatah ikan asin. 

"Mulai besok aku gak bisa lagi masak, Mas!" .

"Maksudmu apa?" 

"Aku bakal kerja siang hari," 

"Kamu kerja? Kerja apa? Kok bisa? Kamu jadi pembantu ya? 

Bersambung.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Sri Wahyuni
Terserah dong mau kerja apa , kan punya suami juga gak kasih uang belanja
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status