Share

Wajah Iri

Bahagia Setelah Berpisah 3

.

**

Aku mengantar anakku sekolah menaiki Bus. Sesil terlihat ceria dengan mainan 'gigitan bayi' ditangannya.

"Bunda, tembus sejuta lima ratus. Fatih mau beli laptop sekalian ganti Handphone," ujarnya sumringah.

Aku menatap bocah yang usianya hampir 12 tahun ini. Dia sebentar lagi masuk SMP, bocah yang seharusnya mendapat kasih sayang penuh itu sudah pandai mencari duit sendiri.

Anakku diam-diam menjadi kreator konten di aplikasi merah dan yang menyukai videonya belum banyak masih sekitar 1k subscriber. Konten yang di masukkan selalu ku awasi.

Dia membuat konten tentang pelajaran di sekolahnya. Bagaimana menyelesaikan persoalan matematika. Bagaimana cara mengajari anak usia 5 tahun membaca. Bagaimana mengaji dengan baik, tentu dia mengambil konten sudah minta persetujuan Ustaz di masjid yang mengajarinya.

Fatih juga menggunakan buku tabunganku buat pembayaran dari pihak aplikasi merah.

"Ngapain nunggu dapat duit. Bunda beliin, mau?" tanyaku meliriknya.

Wajahnya seketika sumringah.

"Mau. Tetapi Bunda uang dari mana? Bunda kan gak kerja? Biar aku yang kerja, Bund, buat membahagiakan Bunda."

Hati ini tergetar mendengar ucapan anakku. Dia masih tiga bulan ini getol membuat konten dan mencari uang. Aku sempat memarahinya namun dia menegaskan padaku kalau anak lelaki harus kerja dan tidak banyak membebankan orang tua. Apalagi Fatih berkata akan membuat konten yang bagus.

"Sebenarnya uang Bunda ada. Cuma, Bunda gak menampakkan karena tahu sendiri Bapak sama nenek dan keluarganya kayak apa. Uang Bunda juga buat biaya pendidikan kamu dan Sesil di masa depan," ucapku sambil mengulas senyum dan mengelus kepala anakku.

"Kalau di pakai buat beli laptop dan handphone baru. Nanti habis dong buat tabungan masa depan, Bun. Tapi tenang nanti Fatih ganti berlipat-lipat buat, Bunda."

"Duit kamu adalah milik kamu, sayang. Kita nanti bakal buat rekening sendiri buat kamu kalau kamu sudah ada KTP. Biarlah sekarang di Bunda dulu duitnya takutnya Bapakmu curiga. Itu penghasilan dan kerja keras kamu. Kalau duit Bunda insya Allah ada buat masa depan kamu dan sekalian buka usaha. Bunda mau kamu jaga rahasia dan kerja sama. Bisa gak?"

Fatih mengerutkan dahinya dia perlahan mengangguk. Aku kemudian membisikkan sesuatu ke telinga anakku. Dia menganggukkan kepalanya sembari tersenyum.

Fatih sudah masuk ke halaman sekolah. Aku katakan padanya nanti pulang sekolah kami bersama akan membeli gawai dan laptop baru yang dia mau. Tentu dia sumringah karena dengan modal itu, anakku bisa edit video yang akan dijadikannya konten.

"Pesan es teh manis satu," kataku duduk di warung tak jauh dari sekolah Fatih. Seorang pelayan tergopoh datang dan bergegas membawakan pesanan ku.

"Rosita ya?" tanyaku pada gadis yang membawa pesanan ku itu.

Dia melirikku dan netranya membola melihatku.

"Mbak Yuni, apa kabar?"

"Baik, Ros. Kamu kerja di sini?" tanyaku dengan dahi mengernyit. Dia hanya mengangguk. Rosita tetanggaku di kampung sekaligus temannya Wira, adikku.

"Mbak sendiri? dan itu anak Mbak yang kecil ya?" tanyanya, aku mengangguk.

"Rosita …," panggilan itu membuat Rosita bergegas. Warung belum terlalu ramai.

Aku meminum perlahan es yang ku pesan. Anakku Sesil sudah tidur dengan nyaman dalam gendongan. 

Sungguh kasihan kamu, Nak. Seharusnya kamu nyaman tidur di ayunan. Namun, Bapak dan Nenekmu lebih senang kamu tersiksa dan Bunda bekerja dari pada memenuhi kebutuhan kita secara layak. Terpaksa Bunda harus turun tangan buat kerja untuk masa depan kamu juga dan biar Bapak dan Keluarganya tahu kita seperti apa. Jangan mau di remehkan terus sama mereka dan menganggap kita bulan-bulanannya. Aku membatin dalam hati.

"Maafkan saya, Mbak." terdengar suara cicit-an Rosita di belakang. Aku dengan perlahan bergerak ke sana.

"Kamu kalau kerja yang benar Ros. Masa piringku bisa pecah gini. B*g* emang kamu."

"Mbak. Duit saya bulan lalu belum di bayar. Saya kepikiran buat bayar kos-kosan saya. Makanya tidak konsentrasi. Maaf," cicit Rosita sambil menunduk.

"Kerja aja gak benar udah berani minta duit. Uang kamu saya potong!" ucap majikannya itu garang, seorang wanita paruh baya yang lumayan gemuk mendengkus ke arah Rosita.

"Gak apa dipotong Mbak. Mohon hari ini di bayarkan karena saya sangat butuh."

"Bulan depan saya bayar sekalian."

"Gak bisa Mbak. Saya bisa di usir dari kos," kata Rosita memelas.

"Itu urusan kamu. Kerja gak betul ngarap duit. Kamu pikir cari kerja gampang apa."

"Mohon maaf, ada apa ya Mbak?" tanyaku begitu saja karena kasihan melihat Rosita.

"Ini Babu saya kerja gak benar. Masa piring bisa pecah," katanya mendengkus ke Rosita dan gadis itu hanya tertunduk.

"Jangan begitu, Mbak. Dia saudara saya. Ros kamu berhenti aja kerjanya."

Aku mencibir majikannya. Seenaknya memperlakukan orang.

"Eh, Mbak, Siapa ikut campur urusan kami!"

"Saya saudaranya. Saya gak suka Mbak jahat sama adik saya. Cepat kasih gaji adik saya bulan ini. Atau saya lapor sama saudara saya polisi biar Mbak di tindak!" kataku geram padanya.

Dia memandang sengit dan beranjak sebentar. Kemudian dia melempar uang tiga lembar berwarna merah.

"Kok cuma segini, Mbak. Gaji saya kan satu juta."

"Enak kali kamu di gaji segitu kerja aja gak becus!" dengkus nya marah.

"Saya gak ikhlas ya, Mbak," ucap Rosita.

"Udah, Ros. Kita keluar aja dari sini," kataku sekalian membayar uang es teh yang ku pesan.

Kami duduk di sebuah taman dan Rosita mendesah sekaligus menghapus butiran air di pelupuk mata.

"Kenapa kamu nangis, Ros?"

"Zaman sekarang susah cari kerja, Mbak. Uang kos juga kurang buat di bayar. Aku pasti diusir," lirihnya pilu.

Aku menepuk bahunya.

"Kamu mau kerja sama Mbak?"

Wajah Rosita kembali berbinar. Dia dengan cepat bertanya.

"Kerja apa, Mbak?"

"Mbak butuh empat, lima orang lagi Ros. Dua perempuan dan tiga laki-laki. Jadi lengkap anggota Mbak ada enam sama kamu," ujarku sembari tersenyum.

"Emang kerja apa sih, Mbak?"

"Kamu ada gak teman yang menganggur? Kalau kerja sama Mbak. Insya Allah akan diperlakukan layaknya saudara. Karena karyawan adalah saudara kita."

Aku mengulas senyum ke Rosita. Dahinya mengernyit.

"Ada sih, Mbak. Teman-teman aku banyak yang nganggur."

"Amanah dan kamu kenal?"

"Kenal Mbak. Bisa diinterview kalau belum yakin."

"Bagus."

Dahi Rosita kembali mengernyit dia memandangku heran.

"Emang kita mau kerja apa, Mbak? Gak aneh-aneh kan?"

"Sini Mbak bisikin." Aku mendekatkan diri ke telinga Rosita dan dia mendengarkan ucapanku.

"Gimana? Kamu mau?"

"Mau banget, Mbak!" ucapnya dengan wajah cerah. "Terima kasih, Mbak!"

**

"Hebat, sudah sore baru pulang. Kamu gak mikir suami kamu?" ucap Ibu saat aku dan Fatih baru saja pulang.

Mata mereka membola melihat aku membawa belanjaan yang banyak.

"Dari mana kamu, Ha!" hardiknya padaku.

"Bunda, aku masuk dulu ya. Makasih Bund!"

Aku mengangguk sekaligus mengusap kepala anakku. Fatih membawa tas yang berisi gawai dan laptop baru ke kamarnya.

"Ibu ngapain, sih. Nunggu aku pulang?" tanya ku dengan cibiran.

"Ini rumah anakku. Anakku yang bayar sewa. Terserah aku, dong. Kamu gak masak? Nasi cuma dikit biasanya banyak?!"

"Aku juga ikut andil bayar sewa ya, Bu. Uang ku dipakai setengah karena aku juga udah gak kerasan tinggal sama Ibu!" sungut ku ke mereka.

"Uang mu itu uang anakku juga. Dari mana kamu dapat duit kalau bukan dari Hamdan."

"Udah deh, gini aja, Bu. Aku gak akan masak lebih lagi. Aku juga bakal jarang makan di rumah. Sekarang aku udah kerja. Biarin Mas Hamdan yang mengatur buat makan dia. Karena uang aku juga gak pegang."

"Sombong kamu, jadi Babu aja belagu!" sergah Ibu padaku.

"Aku mau makan dulu sama anak-anak sudah lapar, Bu."

Aku mengulas senyum padanya. Kemudian ku-letakkan Sesil di Baby Walker-nya. Dia mengernyit.

"Dari mana kamu dapat uang buat beli makanan seenak itu dan belanja banyak kayak gitu?"

Ibu mengikuti ke belakang bersama Ambar.

"Ada aja!" seruku membuka bungkusan pizza, ayam goreng dari restoran ternama.

Kulihat mereka menelan salivanya ingin makan apa yang aku bawa.

"Mbak, si Fatih juga beli Laptop baru. Mbak duit dari mana, sih?"

Aku hanya tersenyum melihat wajah terkejut mereka. Baru ini yang ku beli sudah ke bakaran jenggot. Bagaimana yang lain?

Bersambung.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Sri Wahyuni
Bagus tunjukin siapa km yuni
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status