Membawa Lari Benih Komandan

Membawa Lari Benih Komandan

last updateHuling Na-update : 2025-08-31
By:  NamNamjoo Ongoing
Language: Bahasa_indonesia
goodnovel18goodnovel
Hindi Sapat ang Ratings
5Mga Kabanata
5views
Basahin
Idagdag sa library

Share:  

Iulat
Buod
katalogo
I-scan ang code para mabasa sa App

Lima tahun lalu aku dinodai seorang Tentara. aku pergi dengan rahasia besar, aku hamil! Kini aku hidup bersama anakku, hasil dari malam kelam itu. Kupikir aku sudah aman, sampai dia muncul kembali di hadapanku. Praja. Komandan muda yang dulu merenggut segalanya dariku. “Anak itu darah dagingku. Aku akan mengambilnya, Sekar.” design by canva

view more

Kabanata 1

Chapter 1

Angin malam perbatasan menusuk tulang. Hutan gelap itu hanya ditemani suara jangkrik dan lolongan anjing liar dari kejauhan.

Sekar berjalan dengan kaki diseret, tangannya terikat kasar, mulutnya ditutup kain kotor.

Beberapa lelaki bertubuh kasar menyeretnya tanpa belas kasih.

“Diam, Nduk! Jangan banyak gerak!” bentak salah satu pria berambut gondrong. Ia mendorong Sekar sampai jatuh tersungkur di tanah berpasir.

Sekar meronta, tapi sia-sia. Tubuh mungilnya terlalu lemah melawan cengkeraman mereka. Air matanya mengalir, bercampur debu yang menempel di pipi.

“Mahal ini. Besok laku keras di kota. Cantik, muda,” ucap lelaki lain sambil tertawa kasar.

Sekar menutup matanya rapat. Ketakutan mencekik. Doa tak putus dari hatinya.

Tiba-tiba

DORRR!

Suara tembakan memecah malam. Burung-burung beterbangan dari dahan. Para lelaki itu sontak panik.

“Siapa itu?!”

“Sial, tentara!”

Dari balik kegelapan, seorang pria berseragam loreng muncul.

Tubuhnya tegap, wajahnya keras. Ia mengangkat senjata dengan sigap. Namun ada yang aneh.

Matanya tidak fokus, napasnya berat, seolah sedang menahan sesuatu dari dalam tubuhnya.

“Lepaskan dia!” suaranya bergema lantang, membuat beberapa lelaki mundur.

“Tch! Sudah kena obat, tuh. Kita bisa kalahkan dia!” sahut yang gondrong sambil menghunus parang.

Mereka serempak menyerang.

Praja begitu nama prajurit muda itu melesat maju. Gerakannya cepat, tapi tak teratur. Peluh membasahi pelipisnya.

Tubuhnya panas, wajahnya memerah. Obat bius bercampur perangsang yang dicampur musuh mulai mengambil alih kesadarannya.

Namun, naluri militernya masih tajam. Satu tendangan keras menghantam perut lawan, membuat lelaki itu terkapar. Satu lagi dipukul dengan popor senapan. Sisanya kabur tunggang-langgang.

Sekar masih terduduk di tanah, terikat. Nafasnya memburu, tubuhnya gemetar.

Praja mendekat. Mata tajamnya menatap Sekar, tapi bukan dengan kejernihan. Ada kabut ganjil di sorotannya.

“Tenang kamu aman,” suaranya bergetar, serak.

Praja jongkok, melepaskan ikatan di tangan Sekar. Namun setelah itu, tubuhnya limbung. Nafasnya berat, wajahnya semakin merah.

“Mas kamu kenapa?” Sekar memberanikan diri bertanya, meski suaranya parau.

Praja tidak menjawab. Kepalanya menunduk, seolah melawan sesuatu. Tangannya mengepal, urat di leher menegang.

“Aku harus bawa kamu pergi dari sini,” katanya akhirnya, suara serak bercampur lirih.

Menarik Sekar berdiri, menuntunnya dengan langkah terhuyung.

Namun malam itu, di bawah cahaya bulan yang muram, sesuatu berubah. Obat di tubuh Praja semakin meracuni

kesadarannya. Nalurinya sebagai prajurit bercampur dengan dorongan yang tidak bisa kendalikan.

Sekar terdiam. Rasa takut yang tadi pada para penculiknya kini berganti bingung. Matanya menatap Praja penyelamat sekaligus ancaman yang tak pernah diduga.

Dan malam itu, di tengah hutan perbatasan, takdir keduanya terikat dengan cara yang kelak tak pernah bisa mereka lupakan.

Sekar menatap prajurit di depannya dengan hati yang campur aduk. Lelaki itu jelas tentara, seragamnya masih melekat, lengkap dengan emblem di lengan. Tapi cara dia berdiri goyah, peluhnya menetes tanpa henti, seperti orang sedang melawan racun.

“Mas kamu sakit?” suara Sekar pelan, ragu-ragu.

Praja menahan kepala dengan satu tangan, menggertakkan gigi. “Bukan bukan sakit. Aku harus bawa kamu keluar dari sini.”

Dia berusaha tegap, tapi langkahnya semakin kacau.

Sekar masih gemetar. Tadi nyawanya hampir direnggut para penculik, kini ia bersama prajurit yang menyelamatkannya tapi kenapa matanya semakin aneh? Ada hawa panas yang terpancar.

Mereka berjalan beberapa langkah ke arah hutan yang lebih dalam. Namun tiba-tiba Praja berhenti. Nafasnya tersengal, tubuhnya terhuyung lalu menabrak batang pohon.

“Mas!” Sekar refleks mendekat, meski masih takut.

Praja menatapnya. Tatapan itu menusuk, seakan ia tak lagi bisa membedakan siapa kawan, siapa lawan. Pupus sudah kejernihan di matanya. Yang tersisa hanyalah bara yang mengganas.

“Aku tidak bisa tahan lama,” gumamnya lirih, suaranya pecah.

Sekar mundur setapak, naluri ketakutannya kembali bangkit. Tapi sebelum ia bisa lari, tangan Praja lebih dulu menggenggam lengannya. Kuat. Hangat. Bergetar.

“Jangan tinggalkan aku,” bisik Praja, seakan itu jeritan terakhir akalnya yang tersisa.

Sekar membeku. Ada detik panjang, hanya suara jangkrik dan desiran angin yang terdengar.

“Aku takut,” lirih Sekar, matanya berkaca.

Praja menggenggam rambutnya, matanya semakin merah. Tubuhnya mendekat, panas tubuhnya jelas menyergap. Ia berusaha menahan diri, terlihat dari rahangnya yang mengeras, tapi racun obat itu membuat kendalinya terlepas sedikit demi sedikit.

“Maafkan aku,” hanya itu yang keluar dari bibirnya sebelum semuanya gelap dalam kabut kabur kesadaran.

Malam itu, di hutan perbatasan, Sekar tak lagi bisa membedakan apakah ia sedang diselamatkan atau justru jatuh ke dalam jerat nasib yang lebih pahit.

Sekar masih berusaha melepaskan genggaman tangan prajurit itu. Tubuhnya yang lelah membuat ia tak punya tenaga. Napasnya naik-turun, dada terasa sesak oleh rasa takut dan pasrah sekaligus.

“Lepaskan aku,” bisiknya, hampir tak terdengar.

Praja menggeleng, peluhnya menetes semakin deras. “Aku tidak bisa. Kepalaku panas sekali. Aku tidak mengerti.”

Sekar menatap wajah itu lebih dekat. Wajah seorang tentara muda, rahang kokoh, sorot matanya tajam. Tapi kini, sorot itu berubah jadi kabur, seperti terbakar api yang tak bisa dipadamkan.

Ada sesuatu yang membuat Sekar tercekat, ketampanan itu kontras dengan keadaan genting mereka. Seakan ia berhadapan dengan dua sisi manusia sekaligus: penyelamatnya sekaligus ancaman yang bisa menghancurkan dirinya.

“Mas tolong sadar. Aku ini korban, bukan musuhmu,” ucap Sekar gemetar.

Praja menutup mata sejenak, giginya bergemeletuk. “Aku tahu tapi tubuhku...” Praja berhenti, napasnya memburu, wajahnya menegang seakan melawan dorongan yang tak terkendali. “Aku tidak bisa menguasainya!”

Tangannya terulur, menarik Sekar ke dadanya. Sekar terperanjat, tubuhnya membeku. Ia ingin berteriak, tapi suaranya tercekat.

“Lepas aku takut,” suara Sekar pecah, air matanya jatuh begitu saja.

Namun Praja seperti orang linglung. “Jangan pergi. Jangan tinggalkan aku sendiri di kegelapan ini.”

Tubuhnya bergetar hebat, seolah obat itu merampas kesadarannya detik demi detik. Dalam kekalutan itu, ia hanya tahu satu halkehadiran Sekar adalah satu-satunya yang bisa ia genggam agar tidak jatuh sepenuhnya ke dalam jurang.

Sekar mencoba mendorong dada kekar itu, tapi genggaman Praja terlalu kuat. Semakin ia meronta, semakin erat pula pelukan yang mengekangnya.

“Kenapa harus aku?!” Sekar menangis lirih, memukul bahu tentara itu dengan lemah. “Kenapa aku lagi?!”

Praja mengerang, kepalanya menunduk, suaranya pecah penuh rasa bersalah yang samar. “Maafkan aku aku tak bisa.”

Malam itu, waktu seakan berhenti. Hutan perbatasan hanya menyisakan angin yang berdesir kencang, bercampur jeritan batin dua manusia yang terjebak di luar kendali.

Sekar akhirnya hanya bisa menutup mata, air matanya mengalir deras. Dalam hatinya ia bersumpah: aku akan pergi, aku tidak akan biarkan diriku hancur di sini.

Praja akhirnya ambruk di tanah, napasnya tersengal berat, seperti habis bertarung dengan dirinya sendiri. Ia jatuh pingsan, meninggalkan Sekar terkulai di sampingnya dengan tubuh gemetar.

Sekar menatap lelaki itu, wajahnya penuh air mata. “Kau penyelamatku tapi juga perusak hidupku,” ucapnya lirih, hampir berbisik pada angin malam.

Di kejauhan, suara langkah kaki para pasukan lain mulai terdengar. Sekar segera bangkit, tubuhnya goyah, tapi ia tahu ia harus pergi sebelum semuanya terlambat.

Sekar menoleh sekali lagi pada prajurit itu—lelaki yang bahkan tak tahu apa yang baru saja terjadi.

“Semoga aku tidak pernah bertemu denganmu lagi,” katanya getir.

Sekar lalu melangkah ke dalam gelap.

Palawakin
Susunod na Kabanata
I-download

Pinakabagong kabanata

Higit pang Kabanata

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Mga Comments

Walang Komento
5 Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status