Share

Mati Kutu

BAHAGIA SETELAH BERPISAH 5

**

PoV Yuni

"Aku kayaknya gak bisa masak lagi siang hari buat kamu, Mas," ucapku dengan wajah datar. Dahi Mas Hamdan berkerut.

"Kenapa?"

"Aku mulai besok sudah bekerja. Dan aku akan fokus ke pekerjaan aku," kataku dengan tenang. Dia menarik kursi dan duduk di sebelahku.

"Kerja? Emang kamu udah kerja? Kerja apa? Jadi pembantu ya?" Pertanyaan secara bertubi-tubi dia katakan padaku.

"Kerja yang halal lah, mau jadi babu atau gak yang penting aku bekerja secara halal supaya bisa beli susu dan diapers Sesil," sergahku ke arahnya. Wajahnya memerah, Mas Hamdan memajukan bibirnya seperti mengejekku.

"Kalau gak mau kerja juga gak apa. Pakaikan aja dia celana cuci kering dan kamu paksa Asi mu keluar supaya gak tekor beli Susu."

"Bagaimana Asiku bisa keluar kalau aku cuma di kasih makan ikan asin. Ikan segar di beli cuma empat potong dan aku di jatah cuma setengah potong siang dan malam. Duit kamu simpan sendiri, mending aku kerja. Aku mau gak kerja, Mas tetapi syarat uang gaji kamu berikan setengah buatku untuk memenuhi kebutuhan. Setengah lagi kamu pegang buat kebutuhan kamu dan keluargamu, aku rasa adil," ucapku dengan cibiran. Aku tahu dia akan menolak mentah-mentah.

"Enak banget kamu, kamu kira cari duit gampang. Udah, sekarang kamu kerja aja biar tahu rasanya cari uang. Aku berarti gak perlu repot-repot beli sayur dan lauk pauk di tukang sayur dan ke pasar segala. Kebutuhan rumah tangga kita akan berkurang." Mas Hamdan terlihat bahagia. Benar-benar keterlaluan, padahal nafkah adalah kewajibannya.

"Oh, kamu senang banget ya, Mas. Terserah kamu sih kalau suruh aku kerja. Tetapi aku gak rela nafkah ku jatuh ke tangan orang lain. Biarin dosanya kamu tanggung. Aku gak ikhlas,"

"Kamu sendiri yang mau kerja. Aku gak pernah maksa kamu kerja. Cuma kalau kamu mau ongkang-ongkang kaki di rumah harus ikut aturan ku. Karena kamu aku yang ngasi makan!" Aku mendengkus memandang lelaki ini. Rasa kasih sayangku untuknya menguap begitu saja. Apalagi teringat dia mentraktir teman-temannya dan mengabaikan aku serta Fatih dan Sesil yang masih membutuhkan susu.

"Aku pilih kerja karena majikan ku baik."

"Emang kalau jadi pembantu bisa bawa anak?" Dia bertanya lagi padahal aku merasa muak melihatnya.

"Bisa. Sudah aku bilang majikan ku itu baik. Dia juga cerita kalau dia sering di sakiti sang suami. Yang lebih parah. Pernah suaminya mentraktir teman-temannya dan majikan ku menunggu suami pulang. Saat di tanya dari mana, suaminya berbohong si istri tidak diberi nafkah yang layak sehingga majikan ku harus bekerja buat masa depan anaknya,"

"Kamu nyindir aku!" Mas Hamdan merasa tersindir. Aku tersenyum getir, merasa tersindir tetapi gak mau berubah.

"Apa suami nya mirip kamu. Hmmm â€Ĥ Kamu pernah traktir teman-temanmu?" Aku bertanya dan dia kebingungan.

"Ya gak lah. Aku mana pernah traktir mereka," dusta nya padaku.

"Jadi kenapa kamu merasa? Ini kisah majikan ku anehnya kamu merasa tersindir,"

"Ah, ya sudah terserah kamu!" Mas Hamdan berniat pergi namun aku sengaja menggeser sebuah lagi kotak makanan mahal yang belum ku makan .

"Apa itu?"

"Makanan aku?" kataku santai. Dia menggeser lagi duduk di sebelahku.

"Dari mana bisa beli makanan mahal, harga begituan bisa sampai seratus-dua ratus, loh." Aku memakan begitu saja tanpa menawari Mas Hamdan.

"Dari majikanku. Dia kasihan padaku karena Sesil kurang ASI-nya." Mas Hamdan ingin mengambil apa yang aku makan. Aku segera menggesernya.

"Apa sih, kamu. Pelit, suami mau gak boleh. Kayaknya enak."

"Kamu menyusui? Ini buat orang menyusui," sergahku padanya.

"Dikit doang."

"Kamu udah makan tadi, 'kan." 

"Cuma makan biasa jatah kantor."

"Tapi Mbak Desi buat status di W* nya kalau dia di traktir kamu. Katanya Mas Hamdan juga traktir satu tim kamu karena dapat goals orderan," aku tersenyum mengejeknya. Dia pasti bingung karena selama ini yang dia tahu gawaiku tidak ada dan adanya HP jadul hanya buat halo-halo dan SMS saja.

"Kamu tahu dari mana?" wajahnya pias.

"Dari ini." Ku tunjukkan android keluaran terbaru milikku. Dia langsung mengambilnya dan mencoba membukanya namun aku sudah menyetel sandi polanya.

"Ini android terbaru kamu kok bisa ada, kamu maling punya siapa?" Dia masih membalik-balik gawai ku. Aku segera mengambil gawaiku dari tangannya.

"Sembarangan, yang ada kamu yang maling. Maling nafkah aku. Cuma mikirin temanmu saja buat di traktir sementara aku dipaksa makan ikan asin. Ini android di berikan majikan ku!" kataku ketus padanya. Mas Hamdan gelisah perbuatannya ketahuan.

"Halah, cuma traktir kecil-kecilan,"

"Tapi kamu makan enak, 'kan? Udahlah jangan bohong Mbak Desi memphoto menu traktiran kamu yang lumayan mahal," kataku memajukan bibirku mengejeknya.

"Untuk keberhasilan tim kami. Kamu kan gak ikut kerja," dia malah berkata ketus.

"Oh ya sudah. Kalau gitu jangan minta makananku. Yang di beri juga aku karena menyusui. Kita impas," aku kembali mencibirnya dan makan dengan santai.

"Ya sudah, maaf ya. Aku minta sesuatu boleh." Aku hanya diam menanggapinya. Dia terus menggeser kursinya.

"Handphone kamu keren banget. Buat Mas ya, kamu bisa pakai handphone aku," dia merayu dan aku terbatuk ketika minum. Enak sekali! Enak di dia gak enak di aku.

"Enak sekali kamu."

"Kayaknya majikan kamu royal, Yun. Bilang aja hilang atau apalah biar kamu dapat ganti." Aku menatapnya sebentar. Emosiku sudah mulai meledak. Aku menghembuskan nafasku berusaha sabar. Beruntung saat dia menikahi ku aku tak pernah jujur padanya tentang keuanganku. Karena kalau aku jujur pasti dia akan moroti aku. Dia gak bisa diporoti sementara dia mau melakukan sebaliknya.

"Itu penipuan namanya. Kamu sering melakukan hal curang. Aku gak pernah diajarkan orang tuaku buat nipu. Majikan baik kok dikibuli!" kataku ketus. Wajah Mas Hamdan menjadi sinis.

"Kalau kamu mau kamu beli aja sendiri. Duit kamu kan banyak!" sergahku lagi. "Oh, emang aku boleh pegang dan buka handphone kamu, Mas. Biasanya kamu selalu gak senang aku lihat-lihat gawai mu. Kata kamu gak boleh membuka gawai kamu karena privasi. Kalau begitu aku juga gak mau kamu buka-buka gawaiku karena ini privasi-ku!" aku membalik ucapannya, dia semakin tak suka memandangku.

"Ya sudah! Dasar nyebelin kamu!" Dia beranjak pergi. Aku hanya tersenyum getir setelah dia pergi dan melanjutkan makan ku. Perlahan ya, Mas. Kamu bakal tahu siapa aku. Apapun yang kamu katakan akan aku bantah sekarang kalau gak sesuai dengan kehendak ku. Bila kamu kedapatan berkhianat siap-siap aku akan ninggalin kamu.

**

Aku sudah siap dan anakku juga sudah rapi. Sesil sedang bermain kerincingan di baby walkernya sedangkan Fatih sedang di depan menungguku. Seperti biasa Mas Hamdan masuk kantor juga sudah rapi dan heran mendapati ku sudah rapi. Dia membuka tudung saji dan merasa kecewa. Dia memanggilku dengan cukup keras. 

"Yuni!" Aku dengan malas ke belakang untuk melihatnya. 

"Apasih, Mas. Teriak-teriak!" 

"Mana makanan aku!" Dia masih berteriak. 

"Kamu gak lihat ada nasi dan ikan asin." 

"Kok cuma ini dimana telur nya. Aku mau telur mata sapi!" Perintahnya dengan marah. Dasar gak bersyukur, udah untung aku masakin ikan asin yang dia beli di pasar. Dia sendiri gak mau makan ikan asin sementara aku di kasih makan ikan asin. 

"Telur dibawa Ibu kemarin, semuanya dibawa buat dimasak. Kata Ibu dia gak ada lauk," aku mencibirnya. Wajah Mas Hamdan mengeras karena kesal. 

"Aku mau pergi dulu, ya. Mau kerja!" 

"Terus aku makan apa?"

"Makan aja apa adanya. Atau beli aja sarapan di depan sana," ucapku seadanya. Dia bertambah kesal namun aku tak peduli. Aku berlalu begitu saja dari Mas Hamdan. Senang juga melihat wajah kesalnya. Biasanya wajah kesal ku tak pernah di hiraukan nya. 

Bersambung.

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Retni Jumaidah
wooĊµ jeren novelnya
goodnovel comment avatar
Wiryosentono Wiryosentono
saya harap mahkluk seperti Hamdan hanya ada di cerita jangan sampai ada di kisah nyata
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status