LOGINBagi Aurora, perjodohan ini adalah bencana. Namun saat Rasya menantangnya bermain peran, Aurora meladeni. "Aktingmu hebat, Tuan Pradana." Aurora memangkas jarak, merapikan kerah kemeja pria itu, dan berbisik seduktif. "Bisa bayangkan serunya sandiwara kita ke depannya... Sayang?" Senyum main-main di wajah Rasya seketika lenyap, tangannya mengepal erat. Aroma manis Aurora bukan hanya menggoda, tapi membangunkan insting primitif Rasya yang selama ini terkekang.
View MoreMalam ini Aurora tengah disibukkan dengan pekerjaannya di dalam sebuah paviliun pribadi, sebuah bangunan modern minimalis yang terpisah di halaman belakang rumah utama keluarga. Paviliun yang biasa menjadi guest house itu ia sulap menjadi ruang kerja yang lengkap dengan segala fasilitasnya.
Tiba-tiba ada yang mengetuk pintu. Tok.. tok.. tok... "Masuk aja, pintunya nggak aku kunci," ucapnya agak teriak. "Malam sayang," sapa bunda Aurora yang bernama Martha. "Malam bun." Aurora menoleh sekilas lalu kembali tenggelam dalam pekerjaannya. Setumpuk kertas berisi sketsa gaun berserakan di mejanya, dan di tangannya sibuk memilah mana yang akan masuk ke koleksi terbaru. "Ini sudah malam loh, harusnya kamu sudah istirahat." Martha mendudukan dirinya di sofa ruang kerja putrinya itu. "Iya bun, sebentar lagi ya, soalnya ini tanggung." Martha mendengus. "Kebiasaan." "Buat acara apa emangnya?" "Bukan buat acara apa-apa bun. Ini untuk koleksi terbaru minggu depan. Aku masih mau milih mana yang paling cocok." Martha mengangguk mengerti. "Oh iya.. untuk acara Fashion Show kamu itu. Gimana perkembangannya? Apa sekarang sudah dapat sponsor utama?" Aurora menggeleng pelan. "Belum bun, masih nyari. Hana juga masih terus ngajuin proposal ke beberapa perusahaan. Ada banyak perusahaan yang tertarik, tapi mereka belum bisa ngasih yang aku mau. Belum bisa meng-cover seluruh anggaran yang aku butuhkan. Mereka nggak berani, terlalu takut mengambil risiko." Martha mengangguk mengerti. "Bagaimana jika... kamu terima saja tawaran ayah waktu itu?" "Bunda, sudah aku katakan sebelumnya. Meskipun ayah bertindak sebagai sponsor/investor, aku tidak ingin memakai dana dari keluarga Meschach," ucap Aurora hati-hati, takut menyinggung sang Bunda. Bundanya menggeleng. Putrinya ini memang benar-benar berprinsip dan juga keras kepala. Mengingatkan dirinya di masa muda. Hening sebentar, lalu .... "Aurora, sayang.. bisa ke sini sebentar.." Martha meminta dengan intonasi serius sambil menepuk sofa di sampingnya. Mendengar permintaan itu, Aurora langsung tak enak hati, pasalnya jika sang bunda sudah berbicara dengan intonasi seperti itu, akan ada hal serius yang menyangkut kehidupannya. "Aurora?" panggilnya dengan suara yang lembut namun terkesan tegas. "Hah? Oh iya bisa bun." Aurora mengampiri bundanya dengan raut wajah yang tak terbaca. Lantas dia duduk di samping Bundanya. "Ada apa, bun?" Martha mendaratkan tangan kirinya pada paha putrinya itu. "Gini... Bunda ingin kamu bertemu dengan putra temennya bunda..." "Bunda, aku tidak mau di jodohkan," balasnya cepat. "...bukan menjodohkan. Bunda cuma pengen kamu ketemu dulu orangnya. Habis itu kamu boleh menentukan mau melanjutkan ke hubungan yang lebih serius atau tidak," sambung Martha "Itu sama saja dengan menjodohkan bun," ucap Aurora ketus. "Beda dong, ini mempertemukan bukan menjodohkan, sayang." Martha mengelus punggung putrinya. "Menurutku sama saja bun." "Kamu memang keras kepala. Intinya bunda mau kamu ketemu sama anak sahabat bunda titik," sambungnya cepat Aurora mendelik aneh. "Tadi katanya temen, sekarang sahabat. Jadi mana yang betul bun?" Martha tampak berpikir sejenak. "Ya.. pokoknya intinya sama." "Ya ampuuun... beda dong bun," "Lagi pula temen bunda yang mana sih, bun? Hampir semua temen bunda, sahabat bunda itu semuanya aku tau." "Hampir kan? berarti belum semuanya kamu tau." "Iiiih bundaaaa." Aurora memelas seraya menggelengkan kepalanya. "Bunda ingat terakhir kali aku ketemu anak temen Bunda? nggak berhasil bun. Jangan aneh aneh lagi deh. Pokoknya rencana bunda menjodohkan aku nggak akan berhasil, serius deh bun." Aurora mengerling kepada Bundanya. "Itu karena kamu tidak ada niat dan kamu terlalu cuek." "Kan memang dari awal aku bilang nggak mau. Lagi pula, aku masih muda, masih mau berkarir, belum mau terikat dengan siapapun." "Setidaknya kamu harus mencoba dulu. Yang ini, bunda jamin kamu bakalan suka deh," ucapnya sedikit antusias. "Dengarkan Bunda, Ra. Peraturannya masih sama dengan yang lalu. Kalau kamu ngerasa nggak match atau dia yang menolak, maka pertemuan berakhir di kali pertama kalian bertemu." "Lagian... Bunda juga nggak habis pikir sih. Kenapa Anak cantik, cerdas dan membanggakan seperti kamu bisa-bisanya di tolak. Apa jangan-jangan kamu yang mengancam mereka?" tanya Bundanya penuh selidik. Aurora lantas bangkit dari duduk nya seraya berucap, "Apa sih Bun? jangan ngaco ah." Aurora lalu berjalan ke arah meja kerjanya. "Bun, kalo nggak ada yang mau disampaikan lagi. Aku mau lanjutin kerjaan dulu yaa." Martha mendengus geli, selalu seperti ini. "Yasudah silahkan lanjutkan, nanti kita bicarakan lagi. Jangan terlalu malam, ingat! Kamu itu manusia, bukan robot. Butuh istirahat juga." "Iya bun." "Bunda tetap mengharapkan pertemuan antara kamu dan anak sahabat bunda itu terjadi," ucap Martha sambil bangkit dari sofa lalu keluar. Selepas Bundanya keluar, lantas Aurora termenung sesaat. "Maafkan aku bun, aku tidak bermaksud membangkang. Aku hanya tidak ingin menambah luka dihatiku lagi" Aurora Iskandar Meschach adalah anak pertama dari salah satu pasangan dokter paling dihormati di kota itu. Ayahnya, Fattah Iskandar Meschach, adalah seorang dokter ahli bedah kardiotoraks legendaris yang kini memimpin sebuah rumah sakit swasta miliknya sendiri. Sementara ibunya, Martha Adinda Meschach, adalah seorang dokter bedah saraf yang brilian. Tumbuh di tengah dunia medis yang penuh presisi dan kecerdasan, Aurora justru memilih jalan yang berbeda. Alih-alih mengikuti jejak orang tuanya, ia lebih memilih menjadi seorang Desainer Busana dan merintis usahanya sendiri, ia menjadi pemilik sebuah butik yang mulai dikenal masyarakat luas. Dan, diusianya yang sudah menginjak seperempat abad ini, dia masih nyaman dengan status lajangnya. Bukan tidak mau membuka hati untuk para pria diluaran sana, hanya saja kejadian di masa lalu membuatnya berfikir ribuan kali untuk menjalin suatu hubungan.Di dalam mobil kantor yang hening, Aurora duduk termenung. Pak Ruslan, sopir pribadi Rasya, sesekali melirik cemas lewat spion tengah tapi tidak berani bertanya.Kalimat Rasya terngiang di kepala Aurora: "Pulanglah ke rumah kita."Tapi, untuk saat ini Aurora tidak sanggup. Rumah mereka itu penuh dengan jejak Rasya. Penuh dengan mimpi-mimpi yang kini terasa seperti beban bagi suaminya.Ia butuh napas. Ia butuh tempat di mana ia bisa menjadi Aurora, bukan Nyonya Pradana."Pak Ruslan," panggil Aurora memecah keheningan. "Putar balik di depan. Kita ke rumah orang tua saya saja."Pak Ruslan tampak terkejut, matanya menatap spion. "M—maaf, Bu. Tapi perintah Pak Rasya tadi tegas. Ibu harus langsung diantar ke rumah di Seruni. Saya nggak berani melanggar, Bu.""Saya tahu..." Aurora mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan, suaranya memelas. "Tapi tolong saya, Pak. Bapak cukup antar saya. Kalau Mas Rasya marah, bilang saya yang memaksa Bapak. Saya janji Pak Ruslan aman."Hening sejenak.
Rasya terdiam. Jakunnya naik turun. Ia tidak bisa berbohong lebih banyak lagi."Sejak... satu minggu setelah mengajukan berkas ke Federasi Prancis," aku Rasya jujur. Aurora melepas paksa pelukan Rasya. Ia mundur selangkah, berpegangan pada sandaran kursi agar tidak jatuh."Tiga hari sebelum nikah..." Aurora tertawa hambar, tawa yang menyakitkan. "Berarti saat kita teleponan malam-malam itu... saat kamu bilang 'tenang aja, semuanya beres'... kamu udah tahu?""Aku nggak mau bikin kamu panik, Aurora. Itu hari bahagia kita," bela Rasya."Dan saat kita ijab kabul?" desak Aurora lagi, suaranya bergetar hebat. "Kamu sudah menyimpan rahasia sebesar ini?""Aku melakukannya buat melindungi kamu!" seru Rasya frustrasi. "Aku nggak mau kamu stres! Tugasku membereskan masalah, bukan membebani kamu!""TAPI KITA PARTNER!"Teriakan Aurora menggema di ruangan luas itu, memotong pembelaan Rasya."Kamu lupa telepon kita m
Wajah Rasya yang tadi penuh amarah, seketika pucat pasi begitu melihat siapa yang baru saja masuk."Aurora?" bisik RasyaPemandangan di dalam sana kacau.Meja rapat penuh dengan kertas berserakan. Peta proyek Prestige terbentang, ditimpa oleh dokumen-dokumen invoice mata uang asing (Poundsterling).Dan Rasya...Rasya duduk di ujung meja. Kemejanya yang tadi pagi rapi kini lengan bajunya digulung berantakan. Dasinya sudah longgar. Wajahnya tampak lelah dan tertekan, jauh dari wajah segar yang ia tampilkan tadi pagi.Aurora berdiri mematung. Wajahnya pias, air mata menggenang di pelupuk matanya. Rasya melihat mata istrinya yang merah, dan ia melihat Raka yang menunduk pasrah.Rasya tahu. Ia tahu Aurora sudah tahu."Aurora... Ada apa?" tanya Rasya, berjalan memutari meja mendekati Aurora. "Kamu nggak ngabarin mau kes—"TAK!Suara tablet yang dibanting Aurora ke atas meja marmer memotong kalimat Rasya. Layar tablet itu menyala, menampilkan email pembatalan dari Paris.Langkah Rasya terh
Aurora turun dari mobil di lobi gedung pencakar langit itu. Wajahnya keras, kacamata hitam menutupi matanya yang sembab, menyembunyikan badai emosi di baliknya."Terima kasih Hana, kamu langsung balik ke butik aja," perintah Aurora sebelum menutup pintu mobil. "Urus para staf. Bilang ke mereka jangan panik dulu. Dan kamu kerja aja seperti biasa.""Ba-baik, Bu," cicit Hana, lalu mobil itu melaju pergi.Aurora melangkah masuk. Security lobi yang sudah mengenalnya segera membukakan akses menuju Private Elevator. Aurora mengangguk singkat sebagai ucapan terima kasih, lalu masuk.Ia menekan tombol lantai 42.Di dalam lift yang bergerak naik, Aurora mengepalkan tangannya, mencoba menahan gemuruh di dada. Ia sudah menyusun kalimat di kepalanya. Ia akan menuntut transparansi.Ting.Pintu lift terbuka.Berbeda dengan lobi yang sibuk, lantai eksekutif ini jauh lebih tenang. Tidak ada orang berlalu-lalang. Hanya ada deretan ruangan kaca kedap suara dan meja sekretariat di bagian tengah. Ka












Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.