Lelaki tua yang duduk di kursi hanya mampu menangis. Merasa dirinya ikut menjadi penyebab bencana yang menimpa anak gadisnya.
Sementara kakaknya melunak. Sadar bila selama ini tidak pernah memberikan uang pada orang tuanya yang sakit-sakitan.
“Sudah, Mas Alif. Sudah! Jangan kamu marahi Ilma. Dia butuh dirangkul. Butuh perlindungan kita. Sebaiknya sekarang, kamu langsung ke kantor polisi. Laporkan masalah ini, biar yang memperkosa Ilma mendapatkan hukuman atas perbuatannya,” sahut ibu Ilma menengahi. Anak yang dipanggilnya Alif mengangguk pelan. Ada rasa malu juga bersalah dengan apa yang Ilma sampaikan. Beban atas penyakit bapaknya, seolah ditanggung Ilma seorang diri.
***
Menjelang Dhuhur, dosen yang berangkat hari itu sudah banyak yang kembali ke kantor usai mengajar mahasiswanya. Dua orang polisi dating mengejutkan semua yang ada di sana. Kecuali Arya. Pria yang menyukai Fani itu sudah tahu kalau kasus Ilma dibaw
Pagi hari Fani berangkat ke kampus seperti biasa. Yuda hanya memberi kabar kalau dirinya pulang. Setelah Fani membalas hati-hati, tidak ada lagi chating darinya. Membuat Fani merasa kesepian.Sampai di lorong depan kelas. Masih ia dengar kasak-kusuk tentang Ilma. Tentu menjadi berita heboh karena gadis itu selalu menunjukkan perangai yang baik. Bahkan seakan memiliki akhlaq sempurna bagi orang-orang yang tidak tahu kasus skripsi Fani.“Tahu gak, Fan. Si llma ternyata selama ini buatin skripsi buat mahsiswa pemalas, lho. Pantesan ya, penampilannya selalu terlihat berkelas. Meskipun pakai baju syar’i gitu tetap terlihat kalau baju-baju yang dipakai dia mahal,” celetuk Anya begitu Fani mendaratkan tubuh di kursi.“Kamu teliti banget!” jawab Fani asal. “Waktunya tagihan. Bawa sini, uannya. Mau buat belanja lagi,” celetuk Fani, abai dengan berita yang menimpa Ilma.
“Gak sayang kuliahnya bentar lagi kelar?” Alex tertawa mendengar pertanyaan Fani.“Sayang itu kalau aku, Fan. Yuda gak usah punya ijazah sarjana saja sudah bisa menghidupi keluarganya kelak. Dia kuliah itu buat menghindari keluarga baru papahnya. Makanya, ngerjain skripsi juga asal. Biar tambah lama dia di sini. Kalau misalnyamaaf, ya, papah dia gak berumur panjang, kayaknya dia benar-benar gak bakal balik lagi, Fan.”“Oh, gitu, ya?”“Iya. Kenapa? Kamu merasa kehilangan, ya? Kamu sih, Fan, gak mau terima dia. Dia suka lho sama kamu. Secara ya, tampangnya ‘kan tampan, ditambah lagi udah kelihatan tajirnya. Banyak cewek pedekate sama dia sebenarnya. Tapi, Yuda menjauhi dan cuek gitu. Padahal sering dibawain makanan enak ke kost, lho.”“Wah, seneng kamu dong. Lex!” kelakar Fani.“Aku juga kehilangan dia, Fan. Di
Kehilangan Yuda, adalah hal yang terasa berat di hati Fani. Kini, diakuinya kalau sebenarnya, pemuda itu memiliki tempat yang spesial dalam hati. Hanya saja, selama ini tidak ia rasa karena terbiasa bersama. Seakan menganggap jika Yuda biasa saja. Ketika ia tak lagi ada di sisinya, terasa ada banyak hal yang berbeda.Ada ruang yang hampa yang seringkali membuat dadanya sesak bila mengingat sosok pemuda berhidung bangir itu. Hari-hari terakhir Fani di kampus, ia lalui dengan rasa yang sepi. Pada akhirnya, dia merasa bahwa kehadiran Yuda begitu penting dalam hidupnya yang tidak pernah dekat dengan lelaki manapun.*Hari yang dinanti Fani dan teman-temannya pun telah tiba. Sedari pagi, gadis itu sudah bersiap dirias oleh perias yang dipanggil ke kost. Sedianya akan menggunakan jasa salah satu teman yang mengambil jurusan tata rias. Namun, karena belum terlalu mahir maka memilih yang sudah berpengelaman.
Mobil yang dikendarai Yuda memasuki dereta parkir yang sudah mulai memanjang. Sebelumnya Fani telah menghubungi Nia, sehingga, langsung menuju tempat yang dekat dengan mobil Irsya.Saat Fani turun, ia melihat kedua keponakannya telah berada di sana. Juga keluarganya. Irsya terlihat menelisik dengan pandangan, kendaraan yang dibawa oleh teman adik iparnya itu. Ia yang paham harga mobil langsung tahu, bahwa pemuda yang bersama Fani tidak berasal dari keluarga sembarangan.Yuda membukakan pintu untuk gadis yang sangat dipuja itu.“Silakan, calon Nyonya Yuda,” ucap Yuda, membuat pipi Fani bersemu merah. Di tangannya masih membawa bunga yang diberikan oleh pemuda kaya itu.“Tante!” seru Dinta dan berlari kea rah Fani. “Tante cantik sekali,” puji Dinta.“Oh, terima kasih, keponakan Tante yang cantik. Kita emang sama-sama cantik,” jawab Fa
Sembari menunggu, mereka melakukan banyak hal. Melihat-lihat pedagang, berjalan-jalan, atau hanya sekadar main ponsel.Menjelang Dhuhur, Dinda datang. Dan tidak berapa lama, Fani keluar setelah rangkaian acara selesai.“Din, kamu bawa benda yang aku minta, ‘kan?” tanya Fani begitu melihat sahabatnya sudah berada di sana.“Iya. Lipstik, blash on, bedak, sama mascara, ‘kan?” Dinda balik bertanya.“Gak usah disebutkan kenapa sih?” sungut Fani kesal.“Lhah, takut salah,” jawab Dinda.“Kita mau kemana ini? Makan dulu yuk,” ajak Irsya.“Jangan! Kita mau ke studio foto. Kamu udah booking ‘kan, Din?”“Iya,” jawab Dinda lagi.“Kamu asisten Fani, Din?” cibir Nia.“Pemb
Malam hari, sesuai dengan yang telah disepakati, Fani dan kawan-kawannya berkumpul fi rumah kost Hayun. Semua telah dipersiapkan oleh Yuda dengan sempurna. Alat untuk memanggang serta ayam yang sudah siap panggang sudah ia beli.Fani sudah bersiap sejak setelah sholat Maghrib dan menunggu jemputan di teras.“Yuk, Din, ikut,” ajak Fani pada sahabatnya.“Ogah ih,” tolak Dinda.“Kenapa? Takut ketemu Alex?”“Bukan takut, fani. Males,” sungut Dinda dengan muka masam.“Gak papa, ‘kan kamu sama aku,”“Beneran nih, nanti kamu sama aku? Ya kali, Si Yuda gak nempel terus kayak perangko. Berapa tahun kalian enggak ketemu?”“Ya Allah, Din, pikirannya,”“Dah, itu mobil Yuda udah datang. Aku nanti mau k
"Kita akan kemana?” tanya Fani memecah kesunyian.“Fan, apa yang kamu rasakan saat tidak ada aku?” Pertanyaan Yuda terdengar tiba-tiba. Dan fani bingung menjawab.“Biasa-biasa saja,” kilah Fani.“Benarkah?”“Iya,”“Kenapa takut aku pergi?”“Apa kamu akan pergi lagi?”“Bukan pergi, Fani. Tapi pulang.” Jawaban Yuda membuat hatinya sedih. Pemuda itu memang sedari dulu selalu selalu membuatnya kesal.“Iya, kamu akan pulang, aku juga. Kita akan kembali ke rumah masing-masing,”Yuda menepikan kendaraan di jalanan yang lengang. Toko di pinggir jalan sudah banyak yang tutup.“Aku pergi, aku menghilang karena memang Papa membutuhkan aku. Aku tidak mau kalau sampai istrinya mengua
Dengan perasaan campur aduk, Yuda melajukan kendaraan menuju tempat yang diminta Dinda.“Teman kamu itu ada masalah apa , ya? Kenapa apes banget jadi orang,” celetuk Yuda di tengan deru suara mobil yang ia kemudikan.“Waktu ibunya mengandung salah ngidam kali,” jawab Fani asal.“Ngerasa gak sih, kalau sialnya dia kok gitu-gitu terus?” ujar Yuda lagi.“Ya, ‘kan baru dua kali ini,” kilah Fani agak tidak rela temannya diejek.“Ya tapi ,kan berturut-turut.”“Baru dua kali Yuda, siapa tahu yang ke tiga enggak. Kita juga tidak tahu ‘kan, itu kejadian sebenarnya seperti apa,” bela Fani.“Dinda gak bisa gitu lihat cowok yang kira-kira dompetnya tebel? Kok main mau aja gitu diajak jalan, endingnya, dia yang kasihan,”“Ya mana