Share

BALAS DENDAM SI KEMBAR
BALAS DENDAM SI KEMBAR
Penulis: Seccomander

Wasiat Ayah

"Nikah sama Barra? " ucap Mawar yang terkejut mendengar ucapan sang nenek di ruang tamu rumahnya.

"Iya, Mawar. Besok malam keluarga Tuan Mark skan datang untuk melamar kamu," seru Nyonya Rima.

"Bagaimana ini?" batin Mawar.

Sebelum Tuan Luthfi meninggal, ia pernah berpesan agar menjalankan janjinya dengan Tuan Mark beberapa tahun silam agar menikahkan anak mereka demi menjaga hubungan persahabatan keduanya.

Tuan Mark yang baru saja kembali ke Indonesia langsung menghubungi Nyonya Rima soal perjodohan Barra dan Mawar.

"Mawar, nenek harap kamu bisa menjalankan amanah ayahmu," ujar Nyonya Rima yang kembali ke kamarnya ditemani Balqis, adik Mawar.

-----

Malam ini rumah Nyonya Rima kedatangan keluarga Tuan Mark. Rencana perjodohan pun dibicarakan. Nyonya Rima sangat menyambut hangat sahabat anaknya itu.

"Saya senang sekali, bapak dan ibu Mark sudah mau datang ke rumah saya," sambut ibu Rima.

"Saya juga senang, Bu. Saya harap perjodohan ini bisa segera berlanjut ke jenjang pernikahan," sahut Pak Mark.

"Aku nggak suka dengan calon istri Barra. Ya sudahlah, demi nama baik keluarga, aku harus terima," ucap Cynthia, ibu Barra.

"Kenapa dia tidak menolak perjodohan ini? Padahal dia wanita pintar dan lulusan S1?" batin Barra.

"Jadi, kapan rencana pernikahannya, Pak?" tanya nenek Mawar itu.

"Barra harus keluar kota selama beberapa bulan. Ada proyek yang harus dia selesaikan di Bandung. Menurut saya, pernikahan dilaksanakan setelah Barra kembali. Mungkin sekarang kita bertunangan dulu. Gimana, Bu?" ujar pak Mark.

"Saya setuju. Biar mereka juga punya banyak waktu untuk saling mengenal lebih jauh lagi," jawab ibu Rima. Mawar dan Balqis hanya diam mendengarkan pembicaraan itu.

"Apa Mas Barra tidak menyetujui perjodohan ini?" batin Mawar ketika melihat wajah Barra yang nampak tidak senang dan banyak diam.

"Sebaiknya kalian mengobrol di taman saja. Biar lebih akrab," bujuk ibu Rima. Mawar pun akhirnya mengangguk. Barra pun akhirnya beranjak dari sofa ruang tamu itu bersama Mawar.

"Mas, apa kamu tidak suka dengan perjodohan ini? Apa sebaiknya aku batalkan saja rencana perjodohan ini?" saran Mawar.

"Jangan gila kamu!"

"Kamu mau membatalkan sekarang? Kamu mau bikin keluargaku malu? Sudah terlambat kalau kamu membatalkannya!" pekik Barra yang beranjak pergi meninggalkan Mawar.

Mawar terus berjalan, berusaha mengejar Barra yang sudah jauh berjalan di depannya. Namun, karena tidak fokus, ia tidak menyadari sebuah motor yang melaju kencang dan nyaris menabraknya.

"Lain kali hati-hati!" ujar Barra ketika berhasil menyelamatkan Mawar.

"Maaf, Mas."

-----

Barra mendapat tugas dari kantor untuk menjalani proyek di kota Bandung. Selama 6 bulan ia harus menetap di kota kembang itu.

Barra pun akhirnya sampai di rumah kostnya. Tempatnya tinggal selama berada di Bandung. Saat sedang membereskan pakaiannya, Barra mendengar suara ketukan pintu kamarnya.

Barra pun membuka pintu. Saat membukanya, sudah berdiri seorang wanita cantik berdiri di hadapannya.

"Hai, perkenalkan. Aku Bintang, anak pemilik kostan ini," sapanya ramah.

"Barra."

"Mas, sepertinya kerepotan bereskan barangnya ya?" tanya Bintang.

"Boleh aku bantu?" tanya Bintang.

"Oh, silakan jika tidak merepotkan," sahut Barra. Barra pun mempersilakan Bintang masuk ke dalam kamar kostnya.

Bintang pun masuk ke dalam kamar Barra dan melipat pakaiannya dan memasukkan ke dalam lemari.

"Wah, sepertinya Mas Barra ini nggak pernah merapihkan barangnya sendiri ya," goda Bintang.

"Iya. Maklumlah laki-laki," sahut Barra tertawa.

Setelah semua beres, Bintang pun mengajak Barra mengobrol di balkon atas. Ia pun membuatkan secangkir kopi untuk teman barunya itu.

"Mas, dicoba ini kopinya," ujar Bintang ketika memberikan secangkir kopi itu.

"Makasih ya. Ini enak banget loh," puji Barra.

"Cewek Bandung ternyata cantik juga. Aku nggak bakal kesepian di sini," ucap Barra dalam hatinya.

Waktu pun berjalan begitu cepat. Bintang dan Barra pun semakin dekat hingga banyak orang mengira jika keduanya telah berpacaran.

"Bintang, sebenarnya aku suka sama kamu," goda Barra. Bintang pun terlihat malu mendengar pengakuan teman dekatnya itu.

"Sebenarnya aku juga suka sama kamu, Mas. Tapi, aku nggak mau pacaran. Kalau memang kamu serius, aku maunya menikah," tegas Bintang.

"Menikah? Aku sama sekali tidak terpikir sampai menikah dengan Bintang," batin Barra.

Barra lama terdiam. Hingga membuat Bintang pun menduga jika Barra tidak serius menjalani hubungan dengannya.

"Ya sudah. Kalau kamu memang tidak serius, lebih baik kita menjauh saja agar tidak jadi fitnah," ucap Bintang yang memilih pergi.

"Tunggu, Bintang!"

"Aku serius sama kamu," ucap Barra tegas. Bintang pun tersenyum.

"Kalau gitu, kapan kamu mau menemui ibu aku untuk melamar, Mas?" tanya Bintang membuat wajah Barra seketika panik.

-------

Suatu hari Ibu Laksmi pun kedatangan Barra dan Bintang. Wanita paruh baya itu kaget saat mendengar pengakuan Bintang dan Barra yang ingin menjalani hubungan serius.

"Barra, kalau memang kamu serius dan kalian saling mencintai, sebaiknya segera menikah saja. Agar tidak menimbulkan fitnah di kemudian hari," ujar Ibu Laksmi.

"Duh! Kenapa jadi ribet gini sih? Ibu sama anak, sama saja. Mau cepat menikah," gerutu Barra dalam hatinya.

"Ibu Laksmi, saya ijin sebentar keluar untuk menelepon orang tua saya untuk meminta restu," ujar Barra.

"Oh ya, silakan."

"Aku kan cuma ingin pacaran. Kenapa dibuat ribet sih? Hidup sama perempuan itu susah!" gerutu Barra di teras rumah.

"Ya, sebaiknya aku nikahi saja Bintang. Toh, aku tidak selamanya di sini. Kalau sudah kembali ke Jakarta kan akan berbeda lagi nanti. Yang penting, selamatkan dulu situasi saat ini," gumam Barra.

Barra pun kembali menemui Ibu Laksmi dan Bintang di ruang tamu. Dengan sebuah keputusan, jika Barra akan segera menikahi putri sulung Ibu Laksmi itu.

"Begini, Bu. Orang tua saya pengen kita segera menikah, agar halal dulu. Kita menikah siri dulu," ujar Barra.

"Kenapa harus menikah siri dulu? Apa orang tua kamu tidak merestui?" tanya Ibu Laksmi.

"Oh, bukan begitu, Bu. Saya kan juga masih ada beberapa proyek yang harus diselesaikan di sini. Jadi , setelah semua selesai baru saya akan menikahi resmi Bintang," dalih Barra.

"Gimana menurut kamu, Bintang?" tanya Ibu Laksmi.

"Bintang terserah Ibu saja," sahutnya.

"Baiklah kalau begitu. Tapi, Ibu minta orang tua kamu datang ya saat acara akad nikahnya. Ibu juga kan harus mengenal orang tua kamu," pesan Ibu Laksmi.

"Iya, Bu."

"Itu sih masalah kecil. Tinggal sewa orang saja buat mengaku sebagai orang tuaku, semua beres," batin Barra tersenyum.

-----

Tuan Mark sedang ada meeting dengan seorang klien di kota Bandung. Ia pun hendak menjenguk putranya selepas urusannya selesai. Sebelum berangkat, ia mendatangi rumah Mawar dan mengajaknya ikut bertemu dengan Barra di Bandung.

Hari yang dinanti pun tiba. Barra dan Bintang akan segera melangsungkan pernikahan. Orang tua Barra pun datang. Orang tua bohongan yang disewanya khusus untuk acara pernikahannya bersama Bintang.

"Selamat datang, Pak, Bu. Saya senang akhirnya kita bisa berjumpa," sapa Ibu Laksmi hangat.

"Iya, Bu. Bapak sama Ibu juga senang bisa hadir," sahut Barra.

"Ya sudah, ayo kita masuk. Penghulunya juga sudah datang," ajak Ibu Laksmi.

Barra dan Bintang akhirnya melangsungkan pernikahannya. Kini keduanya sudah resmi menjadi suami istri walau hanya berstatus pernikahan siri.

Tuan Mark pun sudah sampai di depan kost Barra. Namun, tiba-tiba dadanya sesak. Penyakit jantungnya pun kambuh hingga akhirnya para warga sekitar membawa Papa Barra itu ke rumah sakit terdekat.

"Alhamdulillah. Akhirnya kalian sudah sah menjadi suami istri," ucap Ibu Laksmi.

"Selamat ya, Mir."

"Amir?" tanya Bintang kaget ketika Ayah pura-pura Barra memanggilnya dengan nama yang berbeda.

"Oh, Amir itu nama panggilan kesayangan aku di keluarga," dalih Barra.

"Maaf Bu Laksmi, kami harus segera ke Jakarta," pamit Ayah Barra itu.

"Loh, kok cepat, Pak?" tanya Bu Laksmi heran.

"Iya, mohon maaf sekali. Kami ada beberapa urusan yang tidak bisa ditinggalkan. Sekali lagi, kami mohon maaf. Kalau begitu, saya permisi dulu. Assalamualaikum ...." pamit pria berkemeja coklat itu.

"Akting mereka bagus juga. Enggak sia-sia aku bayar mereka mahal," batin Barra ketika melihat kedua orang bayarannya itu pergi meninggalkan rumah sang mertua.

"Bintang, kita istirahat dulu yuk di dalam," ajak Barra. Bintang pun mengangguk.

"Bu, kita ke dalam dulu ya," pamit Bintang.

"Iya."

Ponsel Barra berdering. Tertera di layar ponselnya, Mawar memanggil. Walau sempat enggan, Barra akhirnya menjawab panggilan itu dan Mawar menjelaskan kondisi Pak Mark.

[ Oke. Saya ke rumah sakit sekarang.]

Barra yang panik pun langsung bergegas pergi. Bintang yang melihat suaminya pergi terburu-buru pun langsung menyusul sang suami.

Barra pun akhirnya sampai di rumah sakit Kasih Bunda. Dia langsung menemui Papanya di ruang perawatan VIP.

"Pa, Papa baik-baik saja kan? Kenapa jadi begini, Pa?" tanya Barra panik.

"Papa baik-baik saja kok."

"Lain kali Papa harus hati-hati. Papa bisa langsung drop," ucap Barra.

"Siapa yang sakit ya?" pikir Bintang yang sudah berada di dekat kamar perawatan Pak Mark. Ketika Bintang beranjak mendekati kamar itu, Barra pun keluar dari kamar dan ia terkejut melihat Bintang yang sudah ada di hadapannya.

"Kamu ngapain di sini?" tanya Barra yang panik melihat Bintang sudah berada di depan kamar Papanya. Ia pun mengajak pergi menjauh.

"Mas, itu siapa yang sakit?" tanya Bintang.

"Kamu ngikutin aku ya?" tegur Barra.

"Iya, maaf, Mas," jawab Bintang tertunduk.

"Kamu sebagai istri harusnya tidak seperti ini," ucap Barra ketus.

"Iya, aku minta maaf, Mas," jawab Bintang.

"Ya sudah, kita pulang sekarang," ajak Barra.

-----

Enam bulan berlalu

Akhirnya pekerjaan Barra di Bandung selesai. Ia pun akan kembali ke Jakarta. Kembali ke aktifitas dan kehidupan yang sesungguhnya.

"Enggak kerasa ya, Mas, akhirnya tugas kamu sudah selesai di sini," ujar Bintang saat memasukkan pakaian suaminya ke dalam koper.

"Iya, akhirnya. Aku harus segera kembali ke Jakarta," sahut Barra.

"Nah, koper kamu sudah selesai. Sekarang tinggal aku membereskan koper aku," ujar Bintang.

"Kamu mau ngapain?" cegah Barra.

"Aku kan istri kamu. Masak kamu mau ke Jakarta, aku nggak ikut?" jawab Bintang.

"Kamu nggak usah ikut. Sekarang, proyek aku sudah selesai dan artinya pernikahan kita juga sudah selesai," tegas Barra.

"Apa, maksud kamu ini apa, Mas? Salah aku ke kamu apa, Mas?" ujar Bintang terisak.

"Enggak ada yang salah. Aku tidak punya pilihan. Kamu dan Ibu kamu memaksa aku untuk menikah saat itu. Mulai hari ini, pernikahan kita selesai. Aku jatuhi kamu talak!" gertak Barra.

"Enggak, Mas. Aku nggak bisa. Aku nggak terima, Mas," rintih Bintang. Ia memohon agar Barra mencabut kata-katanya.

"Mas, kamu jangan jahat sama aku, Mas. Ini nggak adil buat aku, Mas," teriak Bintang.

"Hidup itu memang nggak adil, Bintang!" bentak Barra.

"Kamu harus terima. Suka atau tidak suka. Kamu aku talak!" teriak Barra yang langsung mengangkat koper pergi meninggalkan rumah Ibu Laksmi.

"Mas, kamu jahat!" rintih Bintang.

Di dalam kamarnya bersama Barra, ia meluapkan semua tangisnya. Tangisnya pun pecah.

Bintang banyak berdiam diri sejak kepergian Barra. Meratapi nasib rumah tangganya.

"Kenapa nasib pernikahan aku seperti ini? Kenapa kamu tega sama aku, Mas," lirih Bintang terisak.

Tiba-tiba Bintang merasakan mual yang hebat. Rasa yang tidak tertahan akhirnya memaksanya ke kamar mandi. Ibu Laksmi yang sedang menyiapkan sarapan di meja makan pun cemas.

"Bintang, kamu kenapa?" tanya Bu Laksmi.

"Aku nggak tahu, Bu. Kayaknya masuk angin. Mual banget pengen muntah," jawab Bintang.

"Jangan-jangan kamu hamil," ujar Bu Laksmi bahagia. Bintang pun syok mendengarnya.

"Kamu tes dulu. Ibu belikan alatnya dulu," ujar Ibu Laksmi yang langsung bergegas pergi.

Bintang hanya terisak dan khawatir jika apa yang dikatakan Ibunya menjadi kenyataan.

30 menit berlalu

Bintang keluar dari kamar mandi dengan wajah sendu. Bulir bening itu membasahi wajahnya.

"Gimana hasilnya?"

"Aku hamil, Bu. Tapi, aku nggak tahu. Apa aku harus bahagia atau sedih. Karena sekarang aku bukan istri Mas Barra lagi," ucap Bintang terisak.

Ibu Laksmi pun syok

"Kenapa Barra menalak kamu? Apa kamu ada salah?" tanya Ibu Laksmi. Bintang menggeleng.

"Anya, kamu harus menyusul Barra ke Jakarta. Kamu bilang sama dia, kalau kamu itu hamil. Anak itu nggak salah. Kamu harus berjuang demi anak kamu, Bintang!" seru Ibu Laksmi.

"Aku harus gimana, Bu?" rintihnya.

"Ibu yakin, Barra pasti akan menerima kamu. Apalagi kalau dia tahu, kamu sedang mengandung anaknya," ujar Ibu Laksmi.

"Bu, tapi aku kan nggak tahu alamat rumah Mas Barra di Jakarta," dalih Bintang.

Ibu Laksmi ingat. Waktu awal Barra datang dan tinggal di kostnya, Barra meninggalkan identitasnya.

"Bintang, ini. Foto kopi KTP Barra. Sekarang kamu pergi ya ke Jakarta," pinta Ibu Laksmi.

"Ya Allah, bagaimana kalau Mas Barra tidak menerima aku dan bayi ini?" batin Bintang.

bersambung ....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status