BAGIAN 26
“Saya rasa, itu sebaiknya tidak dibahas, ibu-ibu. Apa pun yang terjadi pada Gista maupun suaminya, Faris, itu adalah ranah pribadi mereka.” Pak Ken menyerobot. Membuat berpasang-pasang mata langsung tertuju padanya.
Aku hanya bisa diam. Tak berani menjawab. Tubuhku pun makin gemetar saja rasanya.
“Baiklah kalau begitu. Saya minta maaf kalau pertanyaan tadi kurang berkenan.” Mbak Ambar langsung menganggukan kepalanya agak dalam. Dia lalu beringsut dari hadapanku. Diikuti oleh Bu Qoni, Nabila, dan beberapa orang perempuan lainnya. Mereka membubarkan diri, mungkin karena tak puas dengan jawaban Pak Ken barusan.
“Kamu sudah enakan? Sudah siap untuk ketemu s
BAGIAN 27 “G-gista ….” Bibir Mas Faris bergerak. Lelaki itu tiba-tiba memanggil namaku saat kusentuh tangannya. Aku kaget luar biasa melihat pria yang kini tengah dipasangi neck collar alias alat penyangga leher itu mulai membuka matanya perlahan. Jemari Mas Faris pun mulai bergerak-gerak, seolah ingin memberikan kode bahwa dia sudah mulai sadar.Kata dokter, berdasarkan hasil rontgen dan CT scan, Mas Faris hanya mengalami cedera tulang leher dan cedera kepala ringan. Kesadarannya bisa segera pulih, serta presentase untuk sembuh total sangat besar. Semua yang dokter bilang terbukti kebenarannya. Tepat di pukul 10.00 pagi, suamiku sudah mulai menunjukkan tanda-tanda bahwa dirinya akan segera sadar penuh.“Mas,” panggilku. Kudekatkan wajahku ke telinganya. Membisiki pria yang masih dipa
BAGIAN 28 “Iya, Bu. Aku hamil. Sudah USG ke dokter kandungan kemarin. Pak Ken yang temani. Iya kan, Pak?” ucapku sambil menoleh ke arah Pak Ken. Lelaki yang telah mencopot jasnya tersebut mengangguk. Dia lalu beralih menatap ibu mertuaku dengan mata yang teduh. “Sudah enam minggu.” Mas Faris seharusnya malu saat mendengar kalimat Pak Ken barusan. Lelaki lain, yang bahkan tidak punya hubungan sangkut pau apa pun denganku, malah lebih tahu kondisi kehamilanku ketimbang suami sendiri. Sabar, Gis. Bukankah di depan sudah terlihat seperti apa balasan dari suami yang zalim? “Masyaallah!” Ibu langsung memeluk tubuhku erat. Menangis lagi dalam pelukannya yang semak
BAGIAN 29 “Antar sampai sini aja, Pak.” Aku membuat Pak Ken mengurungkan dirinya untuk melepaskan sabuk pengaman. Tahu bahwa pria itu akan turun ke rumah, cepat kuhentikan geraknya. Aku tidak mau lelaki itu berlama di rumahku soalnya. “Oh, nggak apa-apa?” tanya Pak Ken sambil menatapku serius. “Iya. Nggak apa-apa. Aku bisa turun di sini dan jalan ke dalam.” Aku senyum. Melepas sabuk pengaman dari pundak, lalu menyampirkan ke bahuku. “Makasih buat tumpangan dan bantuannya, Pak. Maaf aku selalu merepotkan,” pungkasku. “Sama-sama. Istirahat yang cukup, Gista. Jangan ter
BAGIAN 30 “Terus, apalagi, Gis? Apalagi yang masih kamu sembunyikan tentang Faris dan keluarganya?” Kulepaskan diri dari dekapan dada Mama yang hangat. Kuseka sisa air mata di wajah. Aku harus menceritakan semuanya supaya tidak ada rasa penasaran lagi pada mamaku. “Ibu bilang … Mas Faris memang dia minta untuk mendekati Adiba supaya nantinya bisa segera dinikahi setelah kami bercerai, Ma.” Mama langsung menyipitkan mata. Mulutnya pun membuka besar. “Astaghfirullah! Tidak habis pikir Mama sama mertua dan suamimu itu, Gis. Ya Allah, apa yang mereka pikirkan sebenarnya?” Aku mengg
BAGIAN 31 “Lho, Gis? Mau ke mana?” Mama bertanya padaku. Nadanya agak heran. Aku hanya menoleh sekilas. “Mandi, Ma. Aku nggak ikutan makan malam, deh,” ucapku kesal. “Lha? Kenapa? Orang yang mau datang itu bosmu, kok!” “Mantan bos!” Aku setengah berteriak. Buru-buru berjalan menuju kamarku. Aku kesal. Sekaligus agak malu, sih. Teringat kenapa aku marah-marah segala pada Pak Ken. Saking jengkelnya, ponsel sengaja aku matikan. Malas kalau Pak Ken tiba-tiba menelepon atau membalas pesan WA-ku tadi. Di k
BAGIAN 32 “Sudah-sudah. Pada makan dulu semuanya. Gista, kamu makan yang banyak. Janinmu butuh asupan lebih dari bundanya. Vitamin udah diminum hari ini?” Mama mulai menasihati. Membuatku berhenti memandangi Pak Ken dengan penuh kesinisan. “Udah, Ma. Tadi sebelum salat minumnya,” kataku lembut. “Bagus. Biar anaknya pinter dan cantik kaya bundanya.” Pak Ken ikut nimbrung. Membuatku melemparkan senyum manyun ke arahnya. Acara makan malam kami pun berlangsung cukup khidmat. Semua makan dengan lahap, termasuk diriku. Nasi hangat, lauk pauk yang menggoda selera, plus jus buah naga buatan Mama langsung tandas tak tersisa. Mama yang terlihat paling bahagia karena
BAGIAN 33 Mas Faris sudah dipindahkan ke ruang perawatan yang berada di lantai dua. Informasi itu kami dapatkan dari perawat jaga IGD tempat suamiku tadinya dirawat. Kami pun gegas naik ke lantai dua. Menuju ke ruang VIP 1 tempat Mas Faris menginap. Baru saja kaki kami menginjakkan lorong yang menghubungkan ruang demi ruangan VIP, suara ribut-ribut sudah terdengar menggelegar. Pekik jerit dan adu mulut riuh rendah. Dua orang satpam bahkan tampak kewalahan untuk melerai pertengkaran itu. “Semua gara anakmu! Anakku sekarang mati! Cepat tanggung jawab! Hidupkan anakku lagi!” Pekik itu menggema memenuhi lorong. Berasal dari beberapa meter di depan sana. Tak jauh dari sebuah pintu dengan plang di atasnya yang tertulis VIP 1.
BAGIAN 34 “Gista!” Ibu yang tengah duduk sambil menangis tersedu di samping tempat tidur Mas Faris langsung berseru memanggil namaku. Beliau bangkit. Terlihat sisa air mata yang membasahi wajah kusut Ibu. Aku baru saja masuk ke ruangan tempat Mas Faris menginap. Di dampingi Mama dan Papa. Di dalam ruangan, kulihat sudah ada Farah dan Pak Ken. Sedang Mas Faris masih terbaring lemah di atas pembaringan, lengkap dengan pelindung leher dan perban di kepalanya. “Iya, Bu.” Aku menyahut dengan suara datar. Mendatangi Ibu tanpa sebuah perasaan apa pun di dada. Semuanya biasa. Aku sepertinya memang sudah kehilangan respect kepada ibu mertuaku.