Share

Denda 10 Juta

Penulis: lasminuryani92
last update Terakhir Diperbarui: 2024-08-22 09:19:10

Herin yang baru saja bersantai setelah mendapat respons dari suaminya, duduk sembari menikmati cemilan. Ia mencoba mengalihkan rasa kesalnya pada beberapa tayangan televisi. Herin sadar kalau sikapnya terus-terusan seperti itu malah akan membuat hubungannya dengan Farhan merenggang.

Wanita itu melirik ponsel di atas meja saat berbunyi nyaring. Hayfa menghubunginya.

[Ada apa?]

[Ma, kenapa mobil kita ada di kampus. Mama ke kampus aku?] tanyanya.

[Tidak. Aku sedang menonton tv.]

[Terus, mobil ini? Aku yakin ini mobil kita.]

[Fatin yang pake.]

[Fatin? Kok, bisa?]

[Papa memberikannya?]

[Apa?! Kenapa cuma Fatin yang diberikan mobil, sedangkan aku harus naik angkutan umum, Ma?]

[Mama juga tidak tahu.]

[Ma! Aku nggak mau! Enak aja. Kenapa justru dia yang diberikan mobil ini dan bukan aku. Bertahun-tahun mobil itu berada di rumah kita, mama selalu nggak boleh aku pake mobil itu dengan alasan aku masih remaja. Sekarang, apa? Mama sama papa malah memberikannya pada Fatin!]

[Bukan aku yang memberikannnya, Hayfa, tapi papamu!]

[Nggak mau! Aku juga harus punya mobil, atau mobil ini harus jadi milikku!] Hayfa menjadi sangat kesal. Ia mematikan ponselnya dengan suara yang masih terdengar marah. Kepala Herin yang hampir dingin kembali memanas.

"Memang, benar! Mobil itu sudah lama bersamaku, di sini. Aku pun berpikir kalau Hayfa bisa menggunakannya saat kuliah. Eh! Aku malah tertinggal satu langkah!" Herin menghempaskan remot di tangannya. Ia berdiri dan mondar-mandir lagi. Berpikir, bagaimana caranya mobil itu bisa kembali.

*

"Mas." Herin tersenyum menyambut kepulangan suaminya dari kantor. Farhan biasanya pulang pukul 16.00 sore, tapi kali ini, Farhan pulang lebih awal, mungkin untuk memenuhi janjinya pada Damar, meski terlambat. Herin sudah menyiapkan makanan-makanan kesukaan suaminya untuk mengambil simpati.

"Mas nggak mau makan, dulu?"

Farhan malah mengambil handuk, alih-alih mencicipi hidangan yang sudah disiapkan Herin. Pria itu tidak menjawab, ia hendak melangkah ke kamar mandi sebelum ponselnya berdering.

[Pa.]

[Fatin?] Herin meruncingkan telinga, mendengar percakapan itu.

[Aku di kantor polisi, Pa.]

[Kantor polisi?] Farhan terlihat syok. Herin hanya mengangguk pelan. [Kenapa kamu bisa di sana?]

[Ban belakang mobilnya tiba-tiba kempes. Aku oleng dan menabrak tembok pagar rumah orang lain.]

[Kamu tidak apa-apa 'kan, Fatin?]

[Tidak, Pa. Tapi, pemilik rumah melaporkan Fatin ke polisi.]

[Papa akan segera datang.]

Farhan segera bergegas, Herin tidak mau kalah langkah, ini adalah kesempatannya.

"Sudah mama duga, dia pasti buat masalah!" umpat Herin. Farhan tidak menggubris. Ia langsung mengambil kunci. Memicingkan mata sebentar sebelum menaiki mobil. Istrinya sudah masuk lebih, dulu.

"Kenapa kamu ikut?" tanya Farhan. Rasanya tidak mungkin kalau istrinya khawatir, barusan saja dia sudah mengumpat dan menyalahkan Fatin. "Bukannya Damar sedang sakit?"

"Dia sudah minum obat dan tidur, Mas. Aku harus pastikan kalau mobilnya baik-baik saja," ujar Herin. Farhan menghembuskan napas kasar. Ia tidak habis pikir, namun tidak ingin menghabiskan energi. Pria itu harus segera ke kantor polisi dan melihat keadaan putrinya. Tidak bisa ia bayangkan, Fatin mungkin ketakutan, sekarang.

Sampai di kantor polisi. Herin langsung turun dan mencari mobilnya, sedangkan Farhan masuk dan menemui Fatin.

"Pa." Fatin langsung berdiri dari duduknya. Ia menunduk mengakui kesalahan. "Maaf, Pa."

"Kamu tidak apa-apa?" Pria itu memeriksa.

Fatin menggeleng.

"Selamat, siang, Pak." Seorang petugas polisi menyapa.

"Siang, Pak."

"Silahkan duduk. Ada yang harus saya sampaikan."

Farhan duduk bersama satu petugas polisi dan pemilik rumah. Fatin, duduk sedikit lebih jauh. Ia mendengarkan percakapan papanya dan petugas polisi.

"Putri Anda harus mengganti kerugian korban sebanyak 10 juta."

"Saya tidak punya uang sebanyak itu, Pak." Fatin mengiba. Farhan menoleh. "Pa, tolong jangan hubungi Mama." Air mata sudah terlihat memenuhi kelopak matanya. Pria itu menarik napas dan kembali melihat lawan bicaranya.

"Saya akan mengganti kerugiannya, Pak," tukas Farhan.

"Baik kalau begitu. Jika, Pak Farhan mengganti kerugian pada korban, maka tuntutan dari pelapor akan dicabut dan putri Anda tidak perlu berurusan lagi dengan hukum. Kecelakaan ini memang benar-benar murni dari ban mobil yang kempes."

"Baik, Pak. Terimakasih. Saya siapkan dulu uangnya." Farhan beranjak dari sana.

Herin masuk dan melihatnya. "Bagaimana, Mas? Apa Fatin harus dipenjara?" tanyanya berbisik, melirik pada Fatin yang masih duduk menunduk. Ada senyum puas yang tersembunyi.

"Pinjam dompetmu," ujar Farhan.

"Untuk apa, Mas?"

"Pinjam saja!"

Herin mengeluarkan dompet miliknya. Farhan terlihat mencari sesuatu dan mengambil satu kartu ATM.

"Kenapa kamu ambil ATM tabungan kita, Mas?"

"Aku butuh uang 10 juta untuk menebus Fatin," jawab Farhan sembari keluar. Ia lihat ada mesin ATM di seberang kantor polisi.

"Mas! Itu uang tabungan anak-anak!" Herin menyusulnya. Mencoba merebut kembali. "Uang itu untuk biaya sekolah Haifa dan Damar!"

"Aku akan mengumpulkannya lagi."

"Enggak, Mas!" Herin menghalanginya. "Itu uangku dan anak-anak. Dia bisa minta pada ibunya. Kenapa harus menggunakan uangku!"

"Aku yang memberikan mobilnya, Herin. Dan ini adalah kecelakaan!"

"Tapi, tidak harus kita yang menanggungnya, Mas. Kita sudah berbaik hati memberikannya mobil, biarkan itu menjadi tanggung jawab Lanita!"

"Ini tabungan anak-anak, kan?" tanya Farhan.

Herin mengangguk tegas. Membenarkan.

"Aku sengaja menabung untuk keperluan anak-anak. Dan, Fatin adalah anakku. Aku tidak mungkin membiarkannya tidur di lantai dingin di penjara kantor polisi."

"Tapi, kamu bisa bicara pada ibunya, Mas. Dia mungkin punya uang atau bisa pinjam kalau ada yang percaya," ucap Herlin.

"Aku sudah tidak ingin berdebat, Herin!"

"Kalau begitu, aku akan mengambil kembali mobilnya!"

Farhan tidak lagi menjawab dan menyingkirkan kasar istrinya dari jalan.

"Mas! Itu uangku! Aku tidak terima kamu mengambilnya, meski sepeser! Aku akan mengambil mobilnya, jika kamu menarik uangnya!" teriak wanita itu, namun tidak digubris Farhan.

Herin benar-benar muak, suaminya tidak merespons sama sekali. Farhan sudah kembali dan memberikan uang senilai 10 juta kepada pemilik rumah. Wanita itu melipat tangannya di dada. Ia sangat ingin memaki anak tirinya itu.

"Terimakasih, Pa."

"Kamu harus lebih hati-hati, Fatin. Periksa dulu sebelum menaikinya."

Fatin mengangguk.

"Papa akan bawa dulu mobilnya ke bengkel. Kamu bisa mengenakannya lagi kalau sudah diperbaiki. Ayo, Papa antar pulang."

Fatin melihat ibu tirinya berdiri membuang wajah di sebelah sana.

"Fatin naik kendaraan umum saja, Pa."

"Ini sudah malam dan angkutan umum sudah sulit di dapat. Ayo naik lah!"

Fatin berjalan ragu mendekati mobil.

Farhan mengajak istrinya untuk naik. Tapi, melihat Fatin sudah berjalan menuju mobilnya, ia mengangkat alis.

"Aku akan mengantarkan Fatin pulang."

"Apa?!" Mata Herin melotot, bahwasanya baru kali ini setelah 8 tahun suaminya itu akan mengunjungi rumah yang dihuni oleh mantan istri dan anaknya itu. "Kamu sudah gila, Pa! Kamu sengaja melakukannya untuk bertemu Lanita, 'kan?"

"Kamu mau ikut apa tidak?"

"Tidak sudi aku pergi ke rumah wanita itu!"

"Baiklah kalau begitu. Itu keputusanmu!" Farhan meninggalkannya begitu saja.

Herin benar-benar menyadari suaminya pergi dan meninggalkan ia di sana.

"Mas!" teriaknya. "Kamu keterlaluan!" Suaranya melengking, namun mobil Farhan tetap saja berlalu.

Bersambung ....

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • BALASAN UNTUK IBU TIRI SERAKAH    Cinta itu Ada

    "Mau aku antar lagi?" Fatin mengacuhkan suara itu dan bergegas mengambil langkah. Langkah Hans tak kalah cepat menyeimbangi."Mungkin cukup. Berandalan itu sudah bisa mengenali wajahmu. Tidak akan ada lagi yang berani mengganggu.""Baguslah!""Terus, untuk apa kamu masih terus membuntutiku?" Fatin berhenti dan menoleh."Kamu lupa sudah menggunakan uangku untuk ongkos taksi. Eum---kurang lebih 50 ribu dikali 5. Berapa ya?""Apa?!" Fatin membuang wajah keki sembari meronggoh tas. 'Asem!' umpatnya berkali-kali dalam hati."Aku hanya bercanda." Hans tergelak. "Mana ada pria kaya sepertiku meminta uang pada perempuan."Mata Fatin melotot kesal! Ia segera kembali menyimpan uangnya ke dalam tas. "Sebenarnya ada sesuatu yang ingin aku katakan padamu," ucap Hans lagi.Fatin tidak lagi ingin mendengar. Mempercepat langkahnya sebisa mungkin, malas berbicara dan enggan menanggapi. Apapun yang dikatakan dan dilakukan oleh Hans hanya untuk menggodanya saja. Pria menyebalkan yang mirip permen kare

  • BALASAN UNTUK IBU TIRI SERAKAH    Cinta di Kesempatan Kedua

    "Maafkan aku, Ma.""Jangan pikirkan itu. Tugasmu adalah sembuh!"Hayfa masih menoleh ke belakang saat petugas membawanya masuk ke dalam mobil petugas. Ia akan dipindahkan ke tempat rehabilitasi. Cukup jauh jaraknya, butuh beberapa jam untuk bisa ke sana. Tempatnya berada di pinggiran kota. Herin bahkan tidak bisa ikut karena harus menaiki angkutan umum dengan ongkos lumayan, sedangkan uangnya tinggal beberapa lembaran hijau saja.Air mata Herin menetes, tapi ia segera menepisnya. Mobil yang ditumpangi putrinya perlahan menjauh. Hayfa masih melirik ke belakang, memandang ibunya yang tengah mematung melambaikan tangan.Herin menyeka pelipis, terik panas matahari membuat keningnya berkeringat. Tapi, bukan masalah itu yang menghimpit hatinya saat ini. Terik matahari itu seolah bukan lagi masalah besar. "Ibu harus menyiapkan uang sekitar 5 juta rupiah setiap bulannya untuk biaya Hayfa selama berada di tempat rehabilitasi," ujar pengacara sebelum gadis itu dipindahkan.Herin hanya bisa men

  • BALASAN UNTUK IBU TIRI SERAKAH    Melanjutkan Hidup 2

    "Makanlah!" Herin meraih tangan Hayfa untuk menyentuh makanan yang ia bawa. Tangan gadis itu terasa begitu dingin seperti tidak bernyawa. Tatapannya kosong dan tidak banyak bicara, ia bahkan tidak berani menatap wajah ibunya."Di dalam sel, kamu tidak bisa makan makanan seperti ini. Jadi, makanlah dengan cepat sekarang!" pinta Herin lagi. Namun, tangan Hayfa terlalu lemas untuk meraihnya. Sorot mata itu? Seolah tidak ada kehidupan lagi di dalamnya."Belikan aku sedikit saja obat itu, Ma." Bibir Hayfa yang kering dan pias bergerak pelan. "Aku sangat tersiksa dan merasa akan mati saat ini."Herin menatap lekat putrinya saat kata-kata meluncur dari sana. Ia menyeka tetesan air mata yang lolos dengan sendirinya. Tangannya gamang menyentuh jemari Hayfa yang bergetar. "Kamu akan sembuh, Nak," ucap Herin pelan. Lalu, berusaha menyuapi putrinya. Ia membeli makanan kesukaan Hayfa. Gadis itu mengunyah pelan dengan tatapan kosong."Kamu sudah bertemu dengan pengacaranya bukan? Dia akan mengelua

  • BALASAN UNTUK IBU TIRI SERAKAH    Melanjutkan Hidup

    "Bagaimana hasilnya, dokter?" Seorang dokter tersenyum melihat dua pasang bola mata yang tidak berkedip menatapnya. "Saya harap dokter tidak menyembunyikan apapun dari saya," timpal Lanita. Ia bersikap seolah begitu tegar dan siap mendengar apapun hasil dari pemeriksaan yang telah dilakukannya. Setelah beberapa hari berada di Rumah Sakit untuk mendapatkan beberapa pemeriksaan, Lanita belajar untuk bisa menerima semuanya."Baik, Pak Arya dan Bu Lanita. Saya sudah mendapatkan hasil dari serangkaian pemeriksaan yang telah kita lakukan sebelumnya. Dan juga sudah berdiskusi dengan beberapa dokter spesial serupa untuk melihat hasilnya."Tangan Lanita sudah begitu dingin, mengepal pakaian yang dikenakannya untuk menguatkan hati. Arya melirik dan mengangguk pelan meyakinkan kalau semuanya akan baik-baik saja."Bapak dan Ibu bisa lihat sendiri." Dokter itu berbalik dan menunjukkan sebuah layar di sampingnya. Terlihat sebuah gambar jaringan otak yang sengaja diperbesar. "Kekebalan tubuh Ibu L

  • BALASAN UNTUK IBU TIRI SERAKAH    Kehilangan Semuanya 2

    "Aku takut, Mas." Lanita terlihat gelisah saat tubuhnya terbaring di sebuah ranjang mirip tabung. Arya membawanya bertemu dengan dokter spesialis saraf. Salah satu dokter terbaik di negeri ini."Tidak ada yang perlu ditakutkan. Kamu akan melihatku lagi setelah diperiksa." Mata Arya meyakinkan. Lanita terlihat resah, pertama kalinya ia melakukan pemeriksaan MRI seperti ini. Selain karena begitu takut dengan hasilnya, Lanita sangat mengkhawatirkan putrinya, ia sangat takut matanya terpejam saat pemeriksaan dan tidak bisa membuka mata untuk melihat putrinya lagi. Fatin sengaja tidak diberitahu dan dilakukan saat ia tengah kuliah. Lanita bersedia diobati, tanpa harus merepotkan putrinya itu. Ia tidak ingin Fatin terganggu dalam belajar.Lanita mencoba untuk tenang. Tanganya yang bersidekap di atas perut, tampak dingin dan lemas. Rupanya ia benar-benar ketakutan, padahal dokter sudah mengatakan kalau pemeriksaan ini tidak akan menimbulkan sakit, ia hanya diminta untuk tenang, berbaring dan

  • BALASAN UNTUK IBU TIRI SERAKAH    Kehilangan Semuanya

    "Bagaimana keadaan Hayfa?" Bu Fatma yang sejak pagi menunggu kabar langsung memburu Herin saat datang. Pak Ramzi ayahnya hanya diam sembari mengisap sebatang rokok yang hampir habis."Dia harus ditahan dan tinggal di penjara.""Astagfirullahal'adzim." Bu Fatma memekik kaget mendengar jawaban itu. Cucu dari anak sambungnya itu memang tidak lagi terlihat batang hidungnya selain pada malam kedatangannya. Mobil yang ia antarkan tiba-tiba saja ada di halaman rumah. Sejak itu, Hayfa menghilang dan Herin terus mencari-carinya. Sekalinya dapat info malah panggilan dari kantor polisi."Kenapa Hayfa harus di penjara?" tanya Bu Fatma lagi. Hatinya masih bergetar karena syok.Herin melihat pada ayahnya yang masih diam sembari menyembulkan asap dari hisapan rokok yang hanya tinggal beberapa inci dari jarinya. "Dia terjerat nar koba.""Astagfirullah!" Bu Fatma memekik untuk kedua kalinya. Berkali-kali ia bahkan mengelus dada. Jantungnya sudah tidak sekuat dulu saat mendengar kabar-kabar mengejutka

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status