LOGINLima tahun pernikahan bukanlah waktu yang singkat bagi Kiara menunggu sebuah keajaiban yang tak kunjung datang. Seorang anak. Aris, suaminya yang seorang dokter, hanya berkata singkat, "sabar, Ra. Mungkin belum waktunya." Namun kata itu tak lagi menenangkan. Yang lebih menyesakkan, Aris bukanlah Pria tanpa anak. Dari pernikahan pertamanya dengan Lestari, ia memiliki Putri berusia sepuluh tahun, Dinda. Sementara di rumah lain, Arhan dan Dewi tampak pasangan yang sempurna. Tapi di baliknya, hanya ada kehampaan. suara yang paling sering terdengar di rumah mereka hanyalah notifikasi ponsel, bukan percakapan ataupun tawa. Akankah dua pasangan ini menemukan jalannya menuju bahagia? Atau tenggelam dalam kekosongan yang mereka coba sembunyikan?
View MorePagi itu langit tampak muram. Gerimis turun sejak subuh.
Kiara membuka mata dengan tubuh yang terasa lemah. Wajahnya pucat, tanpa energi. Di sebelahnya, Aris, suaminya, masih terlelap. Hari itu hari Sabtu, hari di mana ia bisa bangun sedikit siang karena tak ada jadwal di rumah sakit. Kiara beranjak perlahan, berniat menuju kamar mandi. Namun, langkahnya terhenti saat ponsel di meja samping tempat tidur bergetar pelan. Layar menyala, menampilkan satu pesan dari kontak. Mamanya Dinda. “Hari ini jadi kan? Dinda sejak kemarin sudah merengek minta ke rumah neneknya. Sekalian ke puncak.” Kiara menatap layar itu tanpa ekspresi. Namun, ketika ponsel kembali bergetar, matanya refleks melirik. “Kalau bisa jangan ajak istrimu. Takut Dinda jadi nggak nyaman menghabiskan waktu liburannya.” Jemarinya mengepal. Ia menarik napas panjang, lalu mengembuskannya cepat, mencoba menahan rasa muak yang sejak lama ia pendam. - Pagi itu terasa lebih berat dari biasanya. Dengan tubuh yang masih terasa lemah, Kiara memaksakan diri menyiapkan sarapan. Tak lama, Aris keluar dengan kaus polos dan celana panjang. Namun, Kiara tahu dari raut wajah dan jam tangannya yang sudah terpasang, suaminya sedang bersiap untuk bepergian. Dengan langkah pelan, Kiara meletakkan sarapan di meja makan. Aris duduk tanpa menoleh, matanya sibuk menatap ponsel. “Hari ini aku mau ke tempat Dinda. Sekalian mampir ke rumah Ibu,” katanya datar. Kiara hanya mengangguk kecil. “Kamu mau ikut?” tanyanya, suaranya terdengar seperti basa-basi. Lalu tanpa menunggu jawaban, ia menambahkan, “Tapi kayaknya kamu ada pesanan kue dari tetangga, kan?” Bilang saja, ajakan itu cuma basa-basi. Aku tahu, kamu memang tak ingin aku ikut, Kiara membatin. Di tengah Aris menikmati sarapan, ponselnya kembali bergetar. Suara anak perempuan terdengar samar dari ujung telepon. Riang, manja. “Iya, Sayang. Sebentar lagi Papa ke rumah, ya. Tunggu Papa.” Nada lembut itu menampar ruang sepi di dada Kiara. Aris meneguk minumannya cepat, lalu berdiri. Ia mengambil kunci mobil di atas meja. “Kalau begitu, aku berangkat dulu,” ucapnya singkat tanpa menatap Kiara yang kini terlihat pucat. Pintu tertutup perlahan, meninggalkan keheningan yang hanya diisi detak jam dan suara gerimis yang belum juga reda. Kiara memejamkan mata, mencoba menelan rasa yang entah sudah berapa lama ia pendam. Sementara tanpa ia tahu, sda seorang yang diam-diam menanti kedatangannya. Arhan sudah cukup lama duduk berdiam di kafe menunggu Kiara muncul. "Apa hari ini dia tidak mengantar pesanan?" gumamnya dengan melihat jam di tangannya. Di waktu yang sama, wanita yang ditunggu Arhan masih merasakan tubuhnya semakin lemah. Meski begitu, ia tetap memaksakan diri untuk menyelesaikan pesanan. Ia sudah terlanjur mengiyakan permintaan tetangganya yang akan mengadakan arisan sore ini, dan menolak bukan pilihan. Namun, ketika membuka lemari dapur, ia menyadari sesuatu. Butter-nya habis. Kiara menatap kosong sejenak, lalu menghela napas panjang. 'It's oke, beli sebentar saja,' pikirnya. Tangannya sempat meraih kunci di atas meja, tapi segera terhenti. Pandangannya kabur membuatnya sedikit limbung. Ia menatap kunci sebentar, lalu menurunkannya pelan, memilih memesan taksi menuju minimarket terdekat. Di dalam taksi, ia duduk bersandar, matanya terpejam setengah, mencoba menenangkan degup jantungnya yang tak beraturan. Setelah berbelanja, langkahnya terasa kian berat. Dunia di sekelilingnya tampak berputar pelan, warnanya memudar. Keringat dingin mulai membasahi wajah dan lehernya. Dari seberang jalan, Arhan, yang kebetulan baru keluar dari kafe, melihat sosok Kiara. Sudut bibirnya perlahan terangkat, ada kilau hangat di matanya, seperti seseorang yang akhirnya menemukan sosok yang telah lama ia tunggu. Ia refleks melambaikan tangan. Namun, Kiara tak membalas. Pandangannya mulai buram, napasnya tersengal, dan tiba-tiba tubuhnya ambruk begitu saja di tepi trotoar. Tanpa pikir panjang, Arhan langsung berlari menyeberangi jalan. Wajahnya yang tadi merekah seketika menegang panik, langkahnya menembus suara kendaraan dan rintik hujan yang mulai deras. Di antara riuh dan degup jantungnya, tak ada yang tahu, hari-hari sebelumnya, hidup Kiara memang sunyi. Seperti serangkaian hari yang kosong, tanpa arah, tanpa warna. -Dewi menatap Rani dengan antusias. “Kamu udah tahu belum, Ran, siapa teman spesial Kiara? Kalian kan udah dekat banget. Pasti dia udah cerita lah ke kamu?”Kiara langsung tersedak.“Dew—”Kini Kiara dan Dewi sama-sama menatap Rani, seperti menunggu kalimat apa kira-kira yang akan keluar dari mulutnya.Tapi Rani tak langsung merespon, ia justru menaikkan alis — pura-pura bingung.“Teman spesial?”Ia menatap Kiara sambil mengerutkan kening.“Emang iya, Mbak? Sekarang kamu punya teman spesial?”Nada suaranya lugu, seolah benar-benar tidak tahu apa-apa.Dewi langsung manyun.“Hmmm, Kirain kamu tahu.”Rani menahan senyum tipis—bukan mengejek, tapi seperti sengaja memberi Kiara waktu untuk bicara sendiri.“Wahh, aku baru dengar malah,” katanya ringan. "Kenapa Mbak Dewi tiba-tiba tanya tentang hal ini?""Hehe karena sebenarnya, aku pernah salah ngira kalau Mbakmu itu ada hubungan sama Erwin.""Owh, Mbak Dewi past cumai salah duga aja."Dewi memeluk bantal sofa dan cemberut lucu.“Ya ampuun,
Erwin akhirnya menyerah dan melangkah pergi. Namun, sebelum benar-benar membalikkan badan, ia masih sempat memanggil pelan—hampir seperti helaan napas yang putus asa.“Ran….”Rani berpaling cepat. Air matanya menggantung di ujung mata; ia tak berani menatap Erwin. Bukan karena benci—justru karena rasa rindu itu ternyata masih ada dan lebih kuat dari yang ingin ia akui.Kiara yang melihat keduanya hanya bisa menarik napas pelan. Ada sesuatu dalam cara mereka saling menghindar, tapi tetap saling menahan, yang terasa terlalu familiar baginya. Sebuah sisa cinta yang keras kepala—persis seperti hubungannya sendiri dengan Arhan yang tak pernah benar-benar sederhana.Dengan hati yang enggan, akhirnya pelan-pelan Erwin melangkah menjauh dari sana.Setelah Erwin benar-benar pergi, Rani buru-buru mengusap pipinya yang masih basah. Suasana kafe juga mulai kembali normal; para pengunjung yang tadi sempat menoleh kini sudah tenggelam lagi dalam urusan masing-masing.Kiara langsung merangkul Rani s
Di dalam mobil, Arhan menyetir dengan menyandarkan kepala, keningnya sedikit berkerut, seperti baru saja mengingat sesuatu."Kiara...." ucapnya pelan. "Wanita tadi, wanita yang hamil itu ..., bukannya dia yang pernah kerja di kafe dekat kantor, kan?"Kiara yang tadi masih menatap ke luar jendela, kini menatap Arhan. "Iya, dia Rani yang itu."Arhan hanya mengangguk, tak berani berkata lebih banyak."Kenapa? Kamu khawatir?""Enggak." Arhan langsung menggelengkan kepala. "Aku justru tadi sempat khawatir, kalau dia itu saudara kamu atau—" ucapannya menggantung, bibirnya bahkan terasa kaku jika ia harus melanjutkan sampai dengan kata 'suami'.""Dia bisa dipercaya, kok," tambah Kiara.Keheningan kembali turun, tapi perlahan tangan kiri Arhan menggenggam jemari Kiara. Dan tersenyum ke arahnya, seolah mengatakan, "kalau ada apa-apa. Aku akan selalu ada buat kamu."Kiara membalas senyum itu. Ia menggeser duduknya sedikit, mendekat ke arah Arhan, lalu menyandarkan kepalanya di bahunya.-Keesok
Kembang api masih mekar satu per satu di langit Jakarta—merah, hijau, ungu—semuanya memantul di mata Kiara, membuat malam itu seperti terasa jauh lebih berwarna.Arhan berdiri tepat di belakangnya,ia merangkul Kiara dari belakang.Pelan, dan penuh keromantisan. Kiara tidak menjauh.Kedua tangannya justru terangkat, menyentuh lengan Arhan yang melingkar di bahunya.Keduanya sama-sama diam, hanya menatap langit.Cincin di jari mereka—dua cincin berbeda—berkilat tipis terkena cahaya kembang api.Kesadaran itu menampar mereka seketika.Perlahan, Kiara menurunkan tangan Arhan dari bahunya.Namun jari mereka masih saling menggenggam—erat, seperti enggan dilepas.Dan ketika Kiara akhirnya menatap Arhan, hatinya terjun bebas begitu saja. Tak terhitung sudah berapa kali ia jatuh pada pria ini …, jatuh tanpa bisa menahan dirinya sendiri.“Kiara….” suara Arhan memanggil dengan lembut. “Aku ingin tinggal bersamamu.”Dunia Kiara berhenti.Kalimat itu bukan angin lalu. Bukan sekadar luapan emosi s






Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
reviewsMore