Sepuluh tahun pernikahan bukanlah waktu yang singkat bagi Kiara menunggu sebuah keajaiban yang tak kunjung datang. Seorang anak. Aris, suaminya yang seorang dokter, hanya berkata singkat, "sabar, Ra. Mungkin belum waktunya." Namun kata itu tak lagi menenangkan. Yang lebih menyesakkan, Aris bukanlah Pria tanpa anak. Dari pernikahan pertamanya dengan Lestari, ia memiliki Putri berusia sebelas tahun, Dinda. Sementara di rumah lain, Arhan dan Dewi tampak pasangan yang sempurna. Tapi di baliknya, hanya ada kehampaan. suara yang paling sering terdengar di rumah mereka hanyalah notifikasi ponsel, bukan percakapan ataupun tawa. Akankah dua pasangan ini menemukan jalannya menuju bahagia? Atau tenggelam dalam kekosongan yang mereka coba sembunyikan?
View MoreCermin bulat di kamar Kiara menampilkan wajah seorang istri yang sempurna. Kulitnya terawat, matanya indah, bahkan senyumannya begitu lembut. Senyum yang sering membuat orang iri saat melihatnya di arisan atau sekedar di minimarket. Tapi di balik semua itu, ia hanyalah seorang perempuan yang menunggu.
Sudah sepuluh tahun menikah tapi perutnya masih juga rata. Tidak ada tanda-tanda kehidupan di dalam sana. Tidak ada juga tangisan seorang anak yang memanggilnya 'Mama'. Yang ada cuma pertanyaan orang-orang yang makin lama makin terdengar menyakitkan. 'Kapan hamil Kiara?' 'Kapan nih punya momongan?' 'Masih berdua terus aja.' Dengan mata yang masih melihat cermin, dia menarik nafas panjang, tangannya refleks mengusap perut. Tanpa sadar air matanya jatuh begitu saja. Kiara hampir larut dengan kesedihannya, namun suara pintu depan terdengar. Aris pulang. Kiara langsung menghapus air matanya, merapikan rambut, lalu keluar kamar seolah tidak terjadi apa-apa. Suaminya berdiri di ruang tengah dengan jas dokter yang masih menempel di tubuh. Wajahnya terlihat lelah dan dingin. "Kamu belum tidur?" tanyanya singkat. "Aku baru saja selesai bikin kue. Besok ada pesanan," jawab kiara sambil mencoba tersenyum. "Pesanan untuk kafe biasa?" kiara tak membalas, hanya mengangguk. "Kamu ngapain capek-capek bikin pesanan kue? apa uang bulanan kamu kurang?" tanya Aris tiba-tiba. Kiara sedikit kaget mendengar ucapan yang keluar dari mulut suaminya barusan. Namun belum sempat Kiara menjawab, Aris sudah menimpalinya lebih dulu. "Tapi terserah kamu lah, suka-suka kamu." Tanpa banyak bicara lagi, dia memberikan tas nya pada Kiara, lalu jalan ke kamar. Tidak ada pelukan apalagi ciuman. Bahkan sekedar 'gimana kabar hari ini' pun tidak ada. Kiara diam ditempat. Melihat punggung suaminya dari belakang, yang semakin lama makin terasa asing. Hatinya sesak. Tapi dia sudah cukup kebal. Malam-malam seperti ini terlalu sering terjadi. - Kiara masuk kamar setelah menghangatkan makan malam suaminya. Lampu sudah diredupkan. AC menyala dingin. Aris duduk di tepi ranjang, sibuk membuka kancing kemejanya satu per satu. "Pasien banyak banget hari ini," ucapnya singkat, nadanya terdengar datar. Kiara ingin sekali menanggapi, menanyakan detail seperti dulu. Tentang kasus-kasus yang ia ceritakan penuh semangat. Tapi sudah terlalu sering ia mencoba. Dan selalu berakhir dengan jawaban pendek yang mematikan percakapan. Malam ini ia memilih diam. Aris masuk kamar mandi, meninggalkan kiara sendiri. Kiara duduk dengan mengaitkan jari-jarinya. Ada perasaan aneh setiap kali berada di ruangan yang sama dengan suaminya. Dekat secara jarak, tapi seperti jauh dirasakan hati. Beberapa menit kemudian, Aris keluar dengan piyama. Ia langsung merebahkan diri di kasur. "Tidur ya Ra. Besok aku harus berangkat pagi," ucapnya tanpa menatap. namun tangannya meraih ponsel. sebuah pesan suara terdengar samar. "Papa, jangan lupa ya hari sabtu." Aris nampak membalas sambil tersenyum. Kiara memberanikan diri membuka suara. "Kamu nggak makan dulu? Aku tadi bikin sup ayam, dan sudah aku siapkan di meja makan." Aris menggeleng. membalikan badan dan meletakan ponselnya. "Aku tadi sudah makan di rumah sakit." Mereka berdampingan ada dalam satu ruangan, tapi jaraknya terasa jauh. Lagi-lagi Kiara merasa terabaikan. Aris sudah memejamkan mata, nafasnya perlahan stabil, tenggelam dalam tidur. Malam itu, sekali lagi, hanya ada keheningan. Dua orang berada di dalam satu atap yang sama, namun terasa seperti berada di dunia yang berbeda. Akhirnya Kiara kembali ke dapur. Makan malam sendirian. padahal dirinya sudah menahan untuk tidak makan lebih dulu, sengaja menunggu suaminya pulang agar bisa makan berdua. masih dengan perasaan kesepian, ia merapikan kembali meja makannya. Kemudian menyelesaikan pesanannya. Loyang-loyang berisi brownies yang baru keluar dari oven masih berjejer di meja. Aromanya manis, wangi coklatnya bikin siapapun betah. Ironisnya, wangi itu malah membuat hati Kiara seperti diejek. Rumahnya wangi kue, namun hatinya tak sedikitpun merasakan manis. Satu per satu brownies-brownies dikeluarkan dari loyang. Besok pagi, semua harus diantar ke sebuah kafe, dekat deretan perkantoran. Tempat yang tanpa Kiara tau bakal jadi persimpangan sulit dalam hidupnya. -Arhan masih berdiri di tempat, pandangannya tak lepas dari Kiara yang terisak di tepi jalan. Dunia di sekitarnya terasa hening, hanya suara tangisnya yang terdengar samar di antara angin.Haruskah ia mendekat?Atau justru pergi saja, pura-pura tak melihat?Jari-jarinya mengepal pelan. Dengan wajah bimbang, ia akhirnya meraih ponsel dan menekan panggilan ke nomor Kiara.Di depan sana, Kiara menatap layar ponselnya. Ada panggilan masuk. Ia buru-buru mengapus air mata. "Halo." Suaranya berpura-pura normal, namun masih terdengar sedikit bergetar.Suara di seberang telepon, hening. Tak ada jawaban. Kiara menurunkan ponselnya dari telinga, menatap layar, memastikan apa masih tersambung panggilannya.Samar-samar, suara gemuruh kereta terdengar. Bukan hanya di telinganya, tapi juga dari seberang telepon.Keningnya berkerut, ia menoleh ke kanan, ke kiri, mencari sumber suara.Sampai akhirnya pandangan itu berhenti pada sosok pria yang berdiri tak jauh darinya, dengan ponsel yang masih di tel
Malam perlahan turun. Kiara meringkuk di ranjang, masih mengenakan sweater kuning yang diberikan Arhan. Matanya setengah terpejam ketika suara pintu terbuka pelan. Aris pulang, membawa aroma wangi mobil dan udara dingin dari luar. “Kiara?” suaranya terdengar pelan, sedikit serak. Kiara membuka mata, berusaha tersenyum. “Kamu baru pulang?” tanyanya lirih.Aris mengangguk sambil menaruh tas di kursi. “Iya. Tadi jalanan macet.” Ia mendekat ke sisi ranjang, duduk di tepi tempat tidur. “Kamu kenapa? Sakit?”"Iya, sedikit demam. Soalnya punggungku muncul ruam herpes."Kiara ingin melanjutkan jawabanya dan bercerita lebih banyak dengan nada lembut, sedikit manja, berharap Aris akan memegang tangannya, atau sekadar menunjukkan rasa khawatir. Namun saat ia baru membuka mulut, Aris sudah menimpali lebih dulu, “Syukurlah kalau cuma demam. Herpes memang suka begitu, kadang bikin panas tinggi, tapi itu normal kok. Minum obat, nanti juga sembuh sendiri.” Kiara terdiam. Senyumnya pelan-pela
"Biar saya bantu..." Kiara sempat ingin menolak. Tapi Arhan sudah lebih dulu membantu. Dengan hati-hati, ia memakaikan sweater kuning itu. Jarak keduanya begitu dekat, hingga Kiara mampu mencium wangi parfum yang menempel di baju Arhan. Inilah saat melodi romantis biasanya mengalun. Mengiringi gerakan demi gerakan yang penuh kehatian-kehatian dan rasa canggung yang mendebarkan. "Oh ya... Panggil saja Kiara." ucap Kiara berusaha terlihat tenang. Sekali lagi mereka bertemu pandang. "Hm.. oke. Kiara," sahut Arhan dengan senyum tipis, senyum yang lagi-lagi membuat Kiara menunduk malu. "Kalau begitu berikan nomer HP-mu. Nanti aku akan ganti biaya rumah sakitnya." Arhan menerima ponsel yang Kiara sodorkan dan menuliskan nomornya. Merekapun berjalan keluar beriringan dalam diam. Di depan rumah sakit, Arhan membukakan pintu taksi untuk Kiara. Kiara menatapnya ragu, alisnya sedikit terangkat. “Silakan,” ucap Arhan tenang. “Aku akan mengantarmu pulang.” Kiara menggeleng pelan. “Hah?
Arhan berlari menyeberang tanpa memperdulikan kendaraan yang melintas. Rintik hujan yang makin deras membasahi bahunya, tapi matanya hanya terfokus pada tubuh Kiara yang terkulai di trotoar. Ia berlutut, mengguncang pelan bahu perempuan itu. Wajah Kiara tampak pucat, bibirnya kering, napasnya dangkal. Tanpa pikir panjang, Arhan melepaskan jaket yang ia kenakan dan menutupinya agar tak semakin basah. “Mbak... dengar aku, kan?” ucapnya pelan tapi cemas. Arhan menatap sekeliling dengan panik, lalu melambaikan tangan ke arah taksi yang baru berhenti di depan minimarket. “Pak, tolong bantu saya! Dia pingsan!” Dengan bantuan sopir taksi yang membukakan pintu, Arhan mengangkat tubuh Kiara ke dalam mobil. Gerimis makin deras saat pintu mobil tertutup, menyisakan suara hujan yang membasahi kaca. Di dalam taksi, Arhan menatap wajah Kiara yang terpejam di pangkuannya. Ada rasa takut yang ia sendiri tak sepenuhnya paham. 'Kenapa aku secemas ini pada seseorang yang bahkan belum aku tahu n
Pagi itu langit tampak muram. Gerimis lagi-lagi turun sejak subuh, menetes lembut di balik jendela kamar.Kiara membuka mata dengan tubuh yang terasa lemah. Wajahnya pucat, tanpa energi.Di sebelahnya, Aris, suaminya, masih terlelap. Hari itu hari Sabtu, hari di mana ia bisa bangun sedikit siang karena tidak ada jadwal di rumah sakit.Kiara beranjak perlahan, berniat menuju kamar mandi. Namun langkahnya terhenti saat ponsel di meja samping tempat tidur bergetar pelan.Layar menyala, menampilkan satu nama kontak yang kini sudah tak asing lagi di matanya."Mamanya Dinda." > “Hari ini jadi kan? Dinda sejak kemarin sudah merengek minta ke rumah neneknya. Sekalian ke Puncak.” Kiara menatap layar itu tanpa ekspresi. Tapi ketika ponsel kembali bergetar, matanya refleks melirik. > “Kalau bisa jangan ajak istrimu. Takut Dinda jadi kurang nyaman menghabiskan waktu liburannya.” Jemarinya langsung menegang mengepal. Ia menarik napas panjang, lalu menghembuskannya cepat, mencoba menahan sesu
Punggung pria itu terlihat hangat. Kemeja putih yang ia kenakan membuatnya semakin terlihat tenang. Kiara berdiri dan memberanikan diri memanggil. "Permisi..." Pria itu menoleh. Saat berbalik, garis rahangnya tampak tegas dari samping. "Iya..." Tatapan mereka sempat bertemu. Cepat-cepat Kiara mengalihkan tatapannya. "Sekali lagi, terima kasih." Kiara mengulurkan tangannya, memberikan sekotak cheescake. Pria itu memiringkan kepalanya, tampak heran. "Ah... Ini sebagai ucapan terima kasih. Mohon untuk diterima," ujar cepat Kiara. "Oke, aku terima. Makasih ya." Tangannya cukup besar saat menerima kotak cheescake. sebelum pergi, ia sempat menoleh sekali lagi ke arah Kiara, meninggalkan senyuman manis yang membuat hati Kiara sedikit berdesir. Senyum itu masih tersisa di benaknya bahkan setelah sosok pria itu benar-benar melangkah pergi. Kiara menarik napas pelan, lalu kembali ke arah kasir. Saat melihat Rani, pelayan kafe tadi. Rasanya Kiara ingin menanyakan kesalapahaman yang
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments