Share

BAB 4_SEBUAH RENCANA

"Kamu kenal laki-laki ini, Qi?!"

Puuuk!

Kupukul keras bahunya hingga dia tersungkur ke depan. Untung tidak di samping, bisa jatuh sohibku itu. Aku juga salah, kebiasaan barbar dengannya jadi kebawa-bawa.

"Masa kamu tidak kenal suamiku, Pli?"

"Su-su-suami? Suami siapa, Qi?! Bicara yang jelas kamu!"

Nampak Zulkifli tak kalah terkejut dan paniknya.

"Dia suamiku!"

"Astaghfirullah! Ya Allah! Mudahan aku jadi orang kaya! Gini amat ujianku, Qiraaaan!"

Zulkifli meremas rambutnya yang sudah seperti sapu ijuk. Sebenarnya wajar dia tidak tahu wajah Mas Fadli sebab saat aku menikah, dia sedang ikut pamannya kerja sebagai pekerja proyek pembuatan tol di ibu kota. Lalu setelah itu, aku kehilangan kontaknya.

"Kalau kamu yang punya suami, terus enaknya kuapain, Qi? Ya Allah."

"Sabar dan tenang. Aku juga baru tahu ini kalau suamiku tidak setia. Mestinya aku tidak heran sih, tapi, ya sudahlah."

"Kok kamu nampak lebih tenang? Aku kira kamu akan lompat karena sakit hati."

Aku mendecih. Sakit jelas sakit karena rasa kecewa yang tak terukur. Rasa kecewa atas pembalasan pengabdianku selama jadi istrinya ternyata sebusuk ini. Kurampas ponsel retak dari tangan Zulkifli yang masih shock. Kembali kulihat foto wanita simpanannya Mas Fadli. Cantik? Lumayan. Tapi jelas dia murahan, lebih murah dari wanita malam sekali pun. Karena dia wanita bersuami tapi menjalin hubungan dengan pria beristri. Terlihat mereka sedang berselfie ria di restauran mewah. Jelas, pasti suamiku yang bayar. Makin membara hatiku jika kuingat orderan rotiku yang ditolaknya hanya karena harganya tiga puluh ribu.

"Qiran! Gimana ini?! Daritadi diam terus kamu! Aku apain suami kamu yang sudah rebut istriku?! Pebinor!"

"Idih. Jangan lupakan. Perselingkuhan itu terjadi atas dasar suka sama suka dan adanya kesepakatan bersama. Jadi tidak bisa kamu salahin salah satunya, ya! Istrimu juga pelakor!"

Zulkifli makin nampak gusar. Kali ini dia kembali duduk. Ia menatap kosong ke arah langit. Nampak matanya berkaca-kaca. Sepertinya dia berusaha menahan air matanya agar tidak jatuh. Aku yakin dia sangat mencintai istrinya itu.

"Aku gak nyangka bakal jadi begini, Qi. Cinta mati aku sama Nilam. Aku kalau sudah komitmen susah sekali move on. Dulu aku masih sering kasih uang banyak, pas proyek sama Paman Ong masih jalan. Setiap hari dia selalu manis. Tak ada seribu pun kupakai tanpa dia tahu. Dia beli segala yang dia mau, aku gak pernah marah. Sekarang lagi sepi. Nilam jadi berubah menjadi sangat dingin. Jangankan untuk kuajak tidur, kuajak bicara saja dia ketus. Kalau aku gak angkat barang, gak ada kerjaan lain yang bisa aku lakukan sementara ini."

Sedih juga mendengar cerita Si Kipli ini. Andai suamiku jujur, dan tidak pelit seperti dia, tiap hari kucuci kakinya karena baktiku. Haduh, nasib kami kok hampir sama?! Ini pasti akibat dari kelamaan bergaul dengannya.

"Ya sudah. Gini saja. Kita coba ajak bicara pasangan kita masing-masing. Pernikahanku juga baru seumur jagung, apalagi kamu. Buat mikirin cerai aku gak. Mungkin ini ujian awal pernikahan kita, Pli. Asal kamu tahu, suamiku juga banyak cacatnya. Biar kata aku ini istri PNS, tapi aku ngos-ngosan."

Zulkifli hanya mengangguk dan setuju. Kami pun bertukar nomor. Dengan motor legendanya, aku diboncengnya pulang. Tiba-tiba sesuatu terpikir di otakku saat dalam perjalanan.

"Pli, kamu masih berani nyolong mangga goleknya Pak Dodit, gak?!" tanyaku di tengah jalan.

"Hahaha. Masih. Kalau dulu sembunyi-sembunyi, sekarang terang-terangan! Bapak itu kan makin tua, mana berani dia. Paling ngomel saja dia kalau aku bawa kresek besar. Aku makan ramai-ramai sama anak-anak. "

"Kalau ngerampok, berani gak?" cecarku.

"Biar gini-gini, aku ini preman soleh! Kasihan Emak kalau aku masuk penjara atau mati digebukin orang. Selain jaga keamanan pasar, paling banter kan aku jadi penagih utang, suruhannya Si Mambo. Kalau sama orang yang punya hutang ngeyel, siap-siap rontok giginya!" jawab Zulkifli masih fokus mengendarai motornya yang menimbulkan banyak asap. Sebentar lagi kami sampai, aku langsung menepuk-nepuk pundaknya menyuruhnya berhenti.

"Apaan? Sudah sampai kita?" tanya Zulkifli penasaran.

"Belum. Aku nanti jalan aja. Takut dikira yang nggak-nggak. Kamu mau duit gak?" tanyaku dengan wajah serius.

"Orang yang tak waras yang gak mau duit. Tapi usahakan yang halal, ya, buat emak beli beras. Kalau buat aku, campuran juga tak apa," kekehnya. Aku tertawa renyah. Si Kipli sohibku masih seperti yang kukenal.

"Halal kok, tenang saja." Zulkifli mengangkat alisnya penasaran. Aku celingak-celinguk seolah memastikan tidak ada yang mendengar ucapanku. Meski sohib kentalku ini bau ikan, terpaksa aku mendekatinya berbisik. "Bantu aku merampok uang suamiku di kontrakan," bisikku.

Zulkifli langsung terkesiap kaget. Aku langsung memberikannya keyakinan.

"Apa kamu sakit demam, Qi? Habis makan jamur e'o sapi kamu?"

"Iiish! Aku masih waras! Aku yang akan bantuin kamu. Dijamin kita pasti berhasil. Aku akan mencari letak penyimpanan harta suamiku. Nanti kukabari kamu. Aku akan bantu kamu biar mudah masuk ke kontrakan."

"Qi, aku tahu kamu dulu ketuanya tim nyolong telur ayamnya Pak Udin, janganlah kamu bawa tindakan kriminalmu ini sampai mau rampok suamimu segala. Apa susahnya kamu minta baik-baik sama dia? Kan dia suamimu."

"Ooh susah, sangat susah! Dia pelit medit sekali sama istrinya sedangkan sama keluarganya hambur-hambur. Tidak mungkin istrimu itu mau kencan sama suamiku kalau dia dipelitin. Ngerti ora?"

Zulkifli angguk-angguk. Aku menepuk-nepuk bahunya agar dia semakin yakin dan mau mengikuti rencanaku. Bodoh jika aku langsung meningalkan Mas Fadli sebelum kubuat habis hartanya yang selama ini dia tahan-tahan untukku. Dia salah lawan, belum tahu siapa aku ini sebenarnya. Langganan masuk BP ini masa sekolah.

"Pokoknya kalau ada apa-apa, janji jangan lepas aku, ya. Resiko ditanggung berdua," ujar Zulkifli panik berani.

"Ya, tenang saja. Nanti kalau uang suamiku terkuras, istrimu pasti menjauh." Lagi-lagi, Zulkifli mengangguk seperti lebih bersinar. "Eh tapi, memang kamu mau benar-benar maafin istrimu dan balikan sama dia setelah dia mengkhianati kamu?" cecarku. Lagi-lagi Zulkifli mengangguk pasti.

"Haiiih, bucin," cerocosku yang disambut wajah malu-malu oleh pria berbadan kekar itu.

Sebenarnya kalau ditelusuri lebih cermat, kawanku ini tidak jelek-jelek amat. Hanya nasibnya saja yang kurang beruntung. Sejak kecil aku dan ibuku sering membantunya. Aku sama sekali tidak pernah melihat ayahnya. Kata orang, Zulkifli lahir tanpa bapak.

"Aku balik ke rumah mertuaku, ya. Aku akan menghubungimu segera jika sudah tepat waktunya. Ini pake beli makan siang," ucapku menyerahkan uang lima puluh ribu.

"Tidak, Qi. Bawa aja. Kita sudah bukan anak-anak lagi. Dari dulu kamu sering kasih aku uang jajan, sekarang meski pun aku masih miskin, aku tidak akan menerima uang dari orang lain lagi tanpa aku bekerja. Sekedar untuk makan, aku ada," ucapnya nampak serius.

Aku mengerucutkan mulutku tersenyum kecil. "Oke, lah. Aku hargai prinsipmu sekarang. Aku pamit. Assalamu'alaikum!"

"Waalaikumsalam!" jawabnya lalu meninggalkanku.

Aku kembali berjalan sembari tersenyum membayangkan kejadian yang sudah kurencakan.

"Akan kukuras hartamu yang telah kamu tangguhkan untukku, Mas. Sampai kamu merasa, pernikahan kita adalah bencana besar untukmu. Jangan kira aku akan diam saja melihatmu main perempuan, menghamburkan uang untuknya dan keluargamu sedangkan aku kau biarkan tercekik. Kamu salah. Diamnya air laut di tengah itu menenggelamkan. Bersiaplah," desisku sendirian sembari melangkah cepat mendekati rumah mertuaku.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status