"Kamu kenal laki-laki ini, Qi?!"
Puuuk!Kupukul keras bahunya hingga dia tersungkur ke depan. Untung tidak di samping, bisa jatuh sohibku itu. Aku juga salah, kebiasaan barbar dengannya jadi kebawa-bawa."Masa kamu tidak kenal suamiku, Pli?""Su-su-suami? Suami siapa, Qi?! Bicara yang jelas kamu!"Nampak Zulkifli tak kalah terkejut dan paniknya."Dia suamiku!""Astaghfirullah! Ya Allah! Mudahan aku jadi orang kaya! Gini amat ujianku, Qiraaaan!"Zulkifli meremas rambutnya yang sudah seperti sapu ijuk. Sebenarnya wajar dia tidak tahu wajah Mas Fadli sebab saat aku menikah, dia sedang ikut pamannya kerja sebagai pekerja proyek pembuatan tol di ibu kota. Lalu setelah itu, aku kehilangan kontaknya."Kalau kamu yang punya suami, terus enaknya kuapain, Qi? Ya Allah.""Sabar dan tenang. Aku juga baru tahu ini kalau suamiku tidak setia. Mestinya aku tidak heran sih, tapi, ya sudahlah.""Kok kamu nampak lebih tenang? Aku kira kamu akan lompat karena sakit hati."Aku mendecih. Sakit jelas sakit karena rasa kecewa yang tak terukur. Rasa kecewa atas pembalasan pengabdianku selama jadi istrinya ternyata sebusuk ini. Kurampas ponsel retak dari tangan Zulkifli yang masih shock. Kembali kulihat foto wanita simpanannya Mas Fadli. Cantik? Lumayan. Tapi jelas dia murahan, lebih murah dari wanita malam sekali pun. Karena dia wanita bersuami tapi menjalin hubungan dengan pria beristri. Terlihat mereka sedang berselfie ria di restauran mewah. Jelas, pasti suamiku yang bayar. Makin membara hatiku jika kuingat orderan rotiku yang ditolaknya hanya karena harganya tiga puluh ribu."Qiran! Gimana ini?! Daritadi diam terus kamu! Aku apain suami kamu yang sudah rebut istriku?! Pebinor!""Idih. Jangan lupakan. Perselingkuhan itu terjadi atas dasar suka sama suka dan adanya kesepakatan bersama. Jadi tidak bisa kamu salahin salah satunya, ya! Istrimu juga pelakor!"Zulkifli makin nampak gusar. Kali ini dia kembali duduk. Ia menatap kosong ke arah langit. Nampak matanya berkaca-kaca. Sepertinya dia berusaha menahan air matanya agar tidak jatuh. Aku yakin dia sangat mencintai istrinya itu."Aku gak nyangka bakal jadi begini, Qi. Cinta mati aku sama Nilam. Aku kalau sudah komitmen susah sekali move on. Dulu aku masih sering kasih uang banyak, pas proyek sama Paman Ong masih jalan. Setiap hari dia selalu manis. Tak ada seribu pun kupakai tanpa dia tahu. Dia beli segala yang dia mau, aku gak pernah marah. Sekarang lagi sepi. Nilam jadi berubah menjadi sangat dingin. Jangankan untuk kuajak tidur, kuajak bicara saja dia ketus. Kalau aku gak angkat barang, gak ada kerjaan lain yang bisa aku lakukan sementara ini."Sedih juga mendengar cerita Si Kipli ini. Andai suamiku jujur, dan tidak pelit seperti dia, tiap hari kucuci kakinya karena baktiku. Haduh, nasib kami kok hampir sama?! Ini pasti akibat dari kelamaan bergaul dengannya."Ya sudah. Gini saja. Kita coba ajak bicara pasangan kita masing-masing. Pernikahanku juga baru seumur jagung, apalagi kamu. Buat mikirin cerai aku gak. Mungkin ini ujian awal pernikahan kita, Pli. Asal kamu tahu, suamiku juga banyak cacatnya. Biar kata aku ini istri PNS, tapi aku ngos-ngosan."Zulkifli hanya mengangguk dan setuju. Kami pun bertukar nomor. Dengan motor legendanya, aku diboncengnya pulang. Tiba-tiba sesuatu terpikir di otakku saat dalam perjalanan."Pli, kamu masih berani nyolong mangga goleknya Pak Dodit, gak?!" tanyaku di tengah jalan."Hahaha. Masih. Kalau dulu sembunyi-sembunyi, sekarang terang-terangan! Bapak itu kan makin tua, mana berani dia. Paling ngomel saja dia kalau aku bawa kresek besar. Aku makan ramai-ramai sama anak-anak. ""Kalau ngerampok, berani gak?" cecarku."Biar gini-gini, aku ini preman soleh! Kasihan Emak kalau aku masuk penjara atau mati digebukin orang. Selain jaga keamanan pasar, paling banter kan aku jadi penagih utang, suruhannya Si Mambo. Kalau sama orang yang punya hutang ngeyel, siap-siap rontok giginya!" jawab Zulkifli masih fokus mengendarai motornya yang menimbulkan banyak asap. Sebentar lagi kami sampai, aku langsung menepuk-nepuk pundaknya menyuruhnya berhenti."Apaan? Sudah sampai kita?" tanya Zulkifli penasaran."Belum. Aku nanti jalan aja. Takut dikira yang nggak-nggak. Kamu mau duit gak?" tanyaku dengan wajah serius."Orang yang tak waras yang gak mau duit. Tapi usahakan yang halal, ya, buat emak beli beras. Kalau buat aku, campuran juga tak apa," kekehnya. Aku tertawa renyah. Si Kipli sohibku masih seperti yang kukenal."Halal kok, tenang saja." Zulkifli mengangkat alisnya penasaran. Aku celingak-celinguk seolah memastikan tidak ada yang mendengar ucapanku. Meski sohib kentalku ini bau ikan, terpaksa aku mendekatinya berbisik. "Bantu aku merampok uang suamiku di kontrakan," bisikku.Zulkifli langsung terkesiap kaget. Aku langsung memberikannya keyakinan."Apa kamu sakit demam, Qi? Habis makan jamur e'o sapi kamu?""Iiish! Aku masih waras! Aku yang akan bantuin kamu. Dijamin kita pasti berhasil. Aku akan mencari letak penyimpanan harta suamiku. Nanti kukabari kamu. Aku akan bantu kamu biar mudah masuk ke kontrakan.""Qi, aku tahu kamu dulu ketuanya tim nyolong telur ayamnya Pak Udin, janganlah kamu bawa tindakan kriminalmu ini sampai mau rampok suamimu segala. Apa susahnya kamu minta baik-baik sama dia? Kan dia suamimu.""Ooh susah, sangat susah! Dia pelit medit sekali sama istrinya sedangkan sama keluarganya hambur-hambur. Tidak mungkin istrimu itu mau kencan sama suamiku kalau dia dipelitin. Ngerti ora?"Zulkifli angguk-angguk. Aku menepuk-nepuk bahunya agar dia semakin yakin dan mau mengikuti rencanaku. Bodoh jika aku langsung meningalkan Mas Fadli sebelum kubuat habis hartanya yang selama ini dia tahan-tahan untukku. Dia salah lawan, belum tahu siapa aku ini sebenarnya. Langganan masuk BP ini masa sekolah."Pokoknya kalau ada apa-apa, janji jangan lepas aku, ya. Resiko ditanggung berdua," ujar Zulkifli panik berani."Ya, tenang saja. Nanti kalau uang suamiku terkuras, istrimu pasti menjauh." Lagi-lagi, Zulkifli mengangguk seperti lebih bersinar. "Eh tapi, memang kamu mau benar-benar maafin istrimu dan balikan sama dia setelah dia mengkhianati kamu?" cecarku. Lagi-lagi Zulkifli mengangguk pasti."Haiiih, bucin," cerocosku yang disambut wajah malu-malu oleh pria berbadan kekar itu.Sebenarnya kalau ditelusuri lebih cermat, kawanku ini tidak jelek-jelek amat. Hanya nasibnya saja yang kurang beruntung. Sejak kecil aku dan ibuku sering membantunya. Aku sama sekali tidak pernah melihat ayahnya. Kata orang, Zulkifli lahir tanpa bapak."Aku balik ke rumah mertuaku, ya. Aku akan menghubungimu segera jika sudah tepat waktunya. Ini pake beli makan siang," ucapku menyerahkan uang lima puluh ribu."Tidak, Qi. Bawa aja. Kita sudah bukan anak-anak lagi. Dari dulu kamu sering kasih aku uang jajan, sekarang meski pun aku masih miskin, aku tidak akan menerima uang dari orang lain lagi tanpa aku bekerja. Sekedar untuk makan, aku ada," ucapnya nampak serius.Aku mengerucutkan mulutku tersenyum kecil. "Oke, lah. Aku hargai prinsipmu sekarang. Aku pamit. Assalamu'alaikum!""Waalaikumsalam!" jawabnya lalu meninggalkanku.Aku kembali berjalan sembari tersenyum membayangkan kejadian yang sudah kurencakan."Akan kukuras hartamu yang telah kamu tangguhkan untukku, Mas. Sampai kamu merasa, pernikahan kita adalah bencana besar untukmu. Jangan kira aku akan diam saja melihatmu main perempuan, menghamburkan uang untuknya dan keluargamu sedangkan aku kau biarkan tercekik. Kamu salah. Diamnya air laut di tengah itu menenggelamkan. Bersiaplah," desisku sendirian sembari melangkah cepat mendekati rumah mertuaku."Bagus ya kamu, Qirani! Pulang dari entah kemana, langsung masuk kamar dan tidur!""Aku pusing. Mual. Bawaan bayi," bohongku. Tekadku, pokoknya aku tidak akan mengabdi lagi di keluarga ini. "Alah!" cebik mertuaku.Aku langsung membungkus diriku dengan selimut. Terkadang aku juga heran, kok aku tidak muntah-muntah seperti orang hamil pada umumnya, ya? Apa jangan-jangan aku tidak hamil? Tapi perutku buncit dan hasil test pack juga positif kok. Tapi memang aku tidak pernah ke dokter kandungan. Mana mungkin Mas Fadli mau, buang-buang duit katanya. Nanti kalau sudah waktunya lahir, ya lahir saja. Bodohnya aku, tidak memiliki inisiatif sendiri untuk pergi memeriksa kondisiku sendiri. Otakku sepertinya ditutup karena terlalu mencintai suamiku itu. Sekarang setelah kutahu kebusukannya, sedikit demi sedikit lancar rasa aliran darah dan oksigen ke otakku hingga bisa berpikir jernih. Kepraaank! Keprrraank! Suara piring dan entah apa saja dari dapur yang dihempaskan oleh mertuaku. Aku tidak pe
"Qiraniiiiiii!!!" teriak mama mertua. Mas Fadli tak berkutik melihatku. "Aaaah, kepalaku pusing, Mas," lirihku. Aku langsung pura-pura oleng. Kupegang kepalaku selayaknya orang yang lagi pusing dan akan pingsan. Aku berakting berusaha berdiri tegak dan seakan-akan mau jatuh. Kubiarkan tanganku menjalar kemana-mana mencari keseimbangan, menabrak piring dan mangkok yang berjejer di kabinet, dekat sink (wadah tempat mencuci piring). Criiiing! Krink! Mangkok-mangkok itu berjatuhan. "Berhenti Qirani!!!" teriak Mama mertua.Aku langsung mematung dan luruh, berjongkok sembari menopang kepalaku. Aku menunduk, sebenarnya sedang menyembunyikan mulutku yang tersenyum senang. 'Mampus' jerit hatiku senang. Dalam hatiku terkekeh jahat. Entah setan mana yang sedang menggerogoti hatiku sekarang. "Dek! Ya ampun! Diam di situ! Jangan bergerak!" seru Mas Fadli terdengar panik. Suamiku itu berlari keluar. Rupanya dia memakai sandal dan mengambilkan aku aku sandal juga agar kakiku tidak tertusuk b
Mas Fadli meraih ponselnya dan jelas dia salah tingkah melihatku. "Kenapa, Mas? Kok panik gitu wajahnya? Selingkuhanmu?" tanyaku to the point. "Saring kalau bicara. Ini teman kantorku. Tau apa kamu?!" ketusnya. Aku mengangkat sedikit ujung bibirku, sinis. Jelas sekali wajah bertopeng suamiku itu. Sekarang dia keluar membawa hpnya. Jelaslah pasti dia akan berhubungan dengan pacarnya. Tak apa, aku tahan-tahan saja. Sekarang kamu bisa leluasa bersikap, Mas. Tapi lihat saja nanti, aku masih beri kamu waktu. "Aku mau pulang, Mas," ucapku ketika Mas Fadli kembali. Dia langsung mengangguk. Sepertinya karena dia tak ingin aku bertanya tentang wanita yang menelponnya itu. Aku sengaja tidak mau membahasnya, buang-buang tenaga. Kalau cinta sudah terkuras begini, perasaan illfill bergelayut. Dia saja tidak mencintaiku, kenapa aku harus terpuruk? Malam itu juga, aku kembali ke kontrakan, meninggalkan wajah cemberut Mama mertua dan adik ipar yang kelelahan. Pastilah mereka semakin membenciku.
Malam itu aku gelisah sekali. Aku pura-pura keluar kamar, untuk minum. Sekilas kupandangi bingkai foto habib. Tiba-tiba saja hatiku berdebar-debar. Bagaimana kalau gagal? Bukan aku peduli dengan uangnya, tapi kalau para warga datang, dan gebukin Si Kipli, sohibku. Aduuuh! "Sayang, main 'jungkat jungkit', dong," ucap Mas Fadli mendekatiku yang baru merebahkan tubuh. Barusan, aku sudah membuka kunci pintu agar Kipli dengan mudah masuk. "Maaf Mas, perutku sedang kram. Besok aja, ya!""Dosa loh, ajakan suami ditolak," ujarnya. "Nanti kalau anak kita kenapa-kenapa gimana, dong," ujarku manja. Jangan sampai, nanti saat ngeong-ngeong, Si Kipli muncul. Batinku tiba-tiba merinding. "Malas akh sama kamu," ancam Mas Fadli langsung membelakangiku. Aku menggigit bibirku. Baru pertama kali ini aku menolak. Lagi pula, jika kuingat dia memiliki wanita simpanan, rasa bersalahku seketika hilang. Sebab, bisa jadi mereka telah main jungkat-jungkit juga. Suara ngorok Mas Fadli terdengar bersamaan den
Mas Fadli langsung berbinar karena merasa ada bantuan datang. Ia bersemangat melihat perampok tadi diinjak-injak oleh Zulkifli. Aku sangat yakin, itu Zulkifli karena postur tinggi besarnya itu. Bisa-bisanya tadi aku ceroboh tidak mengenalinya. Padahal pria perampok itu setinggiku dan gempal. "Ampun, Bang! Ampun, Bang!" mohon Si Perampok bersimpuh. Bahkan pisau yang dibawanya sekarang sudah di tangan Zulkifli. Aku terkesima melihat ketangkasan sohibku itu. Pandai sekali dia melumpuhkan perampok dengan kaki dan tangannya. Wajar juga sih, hidupnya kan memang keras dan panas. Penjaga pasar juga debt collector. "Yes! Hajar, Bang! Hajar!" seru Mas Fadli berbinar. Aku hanya menelan salivaku membayangkan yang akan terjadi di menit berikutnya. Suamiku yang kikir ini begitu yakin, laki-laki bertopeng sarung itu adalah kawan. "Enak saja datang merampok!" seru Mas Fadli mendekati kedua pria asing itu. "Pergi," ucap Zulkifli terdengar jelas. Meski terdengar melirih, tapi aku mengenal suaranya.
Kleek! Aku langsung mematikan lampu. Kukira Mas Fadli akan keluar, rupanya tidak. Aku merasa lega. Kupandangi langit-langit rumah kontrakan ini. Orang bilang, waktu terasa sangat cepat. Tapi bagiku, dua tahun terasa lama sekali menjalani hidup. Mungkin karena diperlakukan seperti tidak terlalu berharga oleh suami jadi hidup terasa membosankan. [Gimana? Aman? Besok jam 10 pagi aku cari ke pasar ya] Aku mengirim pesan ke Zulkifli. [Ok!] jawabnya cepat. Aku tersenyum membayangkannya. Esok hari, Mas Fadli tidak ke kantor karena masih shock. Aku jadi sangsi untuk izin tapi dipikir-pikir, aku lebih baik keluar rumah saja. Ikut suntuk aku melihat wajah kusut suamiku. Nanti kucari cara agar bisa keluar dengan izinnya. "Perampok setan. Kita lapor polisi aja, yuk, Dek!""Gak usah! Jangan, Mas!" tegasku berulang. Aku langsung tegang. Mas Fadli mengernyitkan alisnya padaku. "Apa kamu gak ingat ancamannya? Dia bisa suruh anak buahnya buat balas dendam! Berani kamu?!"Mas Fadli tampak memiki
Aku menunggu Zulkifli mandi di masjid dekat pasar. Pria itu keluar dengan kondisi nampak jauh lebih segar dan sedikit basah di pakaiannya. Bentuk rahanya semakin keras, tatapannya tajam dan bulu-bulu di lengannya membuatnya sebenarnya gagah. Tapi karena panas matahari dan hidup lebih banyak di pasar, yang membuat rambutnya merah dan kulitnya menghitam tak terawat. "Kita ke danau, yuk!" ucapnya. Aku mengangguk. Selama perjalanan, pikiranku menimbang-nimbang. Untuk pertama kalinya aku keluar bersama pria lain, meskipun Zulkifli sahabat kentalku tetap saja jauh di lubuknhatiku ini, ada rasa bersalah pada Mas Fadli. Aku menghela napasku kuat-kuat karena sepertinya setiap sisi aku berat. Sekitar perjalanan 30 menit, kami sampai. Nampak agak sepi pariwisata danau ini. Sepertinya karena siang hari dan juga bukan hari libur. Aku duduk di warung lesehan yang menghadap pemandangan danau. Warung itu memiliki tempat yang berkotak-kotak memanjang, dipisah oleh pagar bambu. Jadi setiap tamu tida
"Anu ... telapak kaki istri saya lagi sakit, keseleo, Buk. Mau ganti tempat duduk, suasana baru. Kami makan di sana aja ya, nanti saya ambil makanannya," ujar Zulkifli yang membuat aku seperti kena serangan jantung mendengar ucapannya. Zulkifli sudah berdiri sedangkan aku masih gemetaran tak berani mengangkat tubuhku, bisa langsung kelihatan oleh penghuni kotak di sebelah. Kuharap Mas Fadli tidak keluar menyaksikan perbincangan ini. "Ooh gitu. Suami istri rupanya. Oke. Itu digendong aja istrinya daripada merayap macam tokek gitu.""Ii-iiya," jawab Zulkifli berjongkok dan langsung menyambar tubuhku. Diangkatnya tubuhku dengan cepat, seperti tubuhku ini hanya kapas di tubuh besarnya. Zulkifli terus berjalan memapahku. Sudah ... sudah habis napasku sekarang! "Tu-turunin," bisikku menekan suaraku sedemikian rupanya. Ya Allah, aku malu sekali. Zulkifli justru meremas pinggangku dan aku langsung membeliak marah. Tepat saat tanganku akan memukul apapun dari anggota tubuhnya, terdengar sua