"Maaf Qiran, tanyakan aja sendiri sama Fadli. Takutnya Mama salah sebut. Yang pasti, belum cukuplah. Makanya, kalian harus hidup lebih hemat lagi."
"Mama gak mau sebut atau jangan-jangan sudah habis ya, Ma?""Jangan asal bicara, ya! Sudah, kamu lanjutkan perkerjaanmu. Kan itu tugasmu di sini. Ibu hamil dilarang malas karena bisa buat bayi jadi susah lahir. Mama ke pasar dulu."Aku hanya menyandarkan diriku di dinding. Kutatap tanpa kedip Mama mertuaku itu. Nampak dia juga memakai gelang emas yang cukup besar di tangannya, baju gamisnya itu seperti baru dibeli, bahkan mataku menangkap ada beberapa panci dan ricecooker baru sekarang di meja dapur. Apa itu semua di beli dari uang Mas Fadli? Otakku makin curiga. Pasalnya ayah mertuaku hanya sebagai penjaga sekolah dasar tak jauh dari rumah.Aku kembali ke kamar. Tak mau lagi kukerjakan pekerjaan pembantu di rumah ini. Tulus ikhlas aku selama ini mengabdi, begini ternyata akhirnya. Mentang-mentang aku ini dari desa, lulusan kampus swasta yang tidak ternama, mau dibodoh-bodohi lagi. Kurebahkan tubuhku sembari menatap ke atas langit-langit kamar, berpikir bagaimana caranya aku mengambil hakku sedangkan selama ini aku sudah menjalankan kewajibanku. Cukup lama aku berpikir sampai-sampai aku tak sadar ojek Mama mertuaku sudah kembali ke rumah."Qirani!"Aku terjungkal. Kubuka sedikit tirai kamar, dan nampak Mama mertua sudah di teras lengkap dengan semua bahan belanjanya. Cepat otakku berpikir. Aku langsung bergegas meraih air di sampingku lalu keciprat-cipratkan di wajahku. Kututup diriku dengan selimut."Loh, baru jam 9 kok sudah tidur?! Kerjaanmu juga nampak gak kesentuh, Qiran!""Aku pusing, Ma. Bau bawang merah itu langsung buat aku mual dan beberapa kali muntah," bohongku."Astaga! Bisa-bisanya. Dulu Mama hamil gak kayak gini!"Hoooooeeeek!Aku langsung berusaha memuntahkan isi perutku. Selama di dalam selimut,aku mencoba memasukkan jemariku ke dalam mulut ku. Kuludahi sprei itu hingga membuat Mama Mertuaku sepertinya jijik."Haaaih! Anak zaman sekarang kok manja-manja sekali!"Suara kaki ibu mertuaku menghentak. Aku meludah karena tadi aksiku benar-benar dibuat ingin muntah. Lega rasanya. Enak saja menyuruhku kerja di sini, setelah kalian memperlakukan tidak adil."Mau kemana kamu?" cecar ibu mertuaku yang sedang membuka jilbabnya."Mau ke depan, Ma. Mau cari minyak kayu putih siapa tahu bisa reda mual ini," bohongku.Kecut, masam dan tentu tak enak dipandang ekspresi yang ditunjukkan oleh mertuaku itu. Tak peduli, aku keluar melenggang meninggalkannya. Aah lega rasanya. Kenapa butuh waktu dua tahun ya untuk aku sadar. Dua tahun itu lama hidup menderita.Aku memutuskan berjalan kaki menuju warung bakso. Bersyukur, kehamilanku tidak pernah membuatku repot. Tidak pernah mual, tidak pernah dibuat pusing. Mungkin ini yang namanya hamil kebo. Aku menikmati baksoku dengan lahap dan kembali dalam keadaan kenyang. Syukurnya aku masih memiliki uang di rekeningku.Mas Fadli tidak tahu, selama ini, sekali dalam tiga bulan, ibuku kirim sebagian hasil penjualan kelapa untukku. Sekali kirim, dua juta. Sekarang aku baru mengerti kenapa ibuku memperingatiku agar uang milikku tidak perlu diketahui suami. Takutnya ada apa-apa, ada pegangan. Dan sekarang aku baru mengerti seratus persen maksud ibuku. Semula aku berniat menabung hingga bisa beli cash motor matic yang baru dan jadi suprise atau kejutan untuk suamiku. Niatku motor itu bisa dipakai oleh Mas Fadli, ganti motornya yang butut. Tapi ternyata ... ah, sakit sekali diperlakukan tidak memiliki makna.Ketika aku asik berjalan pulang, di sisi jalan, di atas ujung jembatan, aku melihat sosok yang tak asing sedang duduk berayun. Aku semakin berjalan cepat dan mempertajam pandanganku. Semakin jelas wajah pria muda yang sedang terlihat sangat sayu dan sedih."Loh! Loh! Bukannya itu Si Kipli? Aduh! Ngapain dia di sana? Mau b*nuh diri dia? Astaghfirullah!"Aku segera mempercepat langkahku. Kipli itu temanku sejak masa SD kami bersama sampai aku menikah. Nama aslinya Zulkifli. Dia juga sudah menikah setahun setelah aku. Itu kenapa dia jadi kayak orang sinting begitu? Berayun-ayun di pojokan jembatan macam mau lompat. Meski tidak terlalu tinggi, tapi di bawah jembatan itu isinya batu dan kerikil. Air lagi kering. Ini kalau jatuh, bisa langsung menghadap Allah Si Kipli ini."Pli! Kipli! Oooi! Zulkifli! Wooooi!"Zulkifli menolehku. Dia cukup terkesiap melihatku dan hampir saja dia jatuh kalau dia tidak cepat-cepat berpegangan di besi jembatan itu. Seperti akan lepas jantungku, ya Allah. Segera kupercepat langkahku sedikit menanjak hingga berhasil berada di depannya."Kamu ngapain di sini, Qi?!" tanya Zulkifli langsung bangkit dan menyambutku."Laah! Ini desa mertuaku. Kamu ngapain mau b*nuh diri di sini? Sudah gila kah? Preman kok begini kamu.""Siapa yang mau b*nuh diri?! Heeh! Aku lagi pusing, penat. Istriku selingkuh dan memaksaku menceraikannya."Aku menutup mulutku terkejut. Tapi jika kulihat-lihat, cocok juga memang perempuan itu minta cerai. Tampilan sudah seram, makin amburadul begini, tak teurus. Sudah berapa bulan ini orang gak pernah mandi? Rambut sampai gimbal begitu. Mana merah orang abu tak jelas warna rambutnya."Katanya dia malu punya suami buruh kasar sepertiku. Sebelumnya dia tidak masalah, tapi semenjak aku belikan hp dan kenal medsos, dia menggila. Dia selingkuh sama abdi negara," lanjut Zulkifli dengan wajah sedih sekali."Beli hp istri bisa, beli sabun mandi kamu gak bisa kah, Pli? Asli, kek orang gila kutengok kamu! Bau amis. Beneran mual aku ini.""Tak usah kamu komentar. Ini aku habis bawa ikan orang sampai 10 bak. Basah, ya bau ikan tubuhku. Begitu caraku cari uang pake beliin istri hp supaya senang. Tapi diselingkuhinnya aku."Aku hanya mengecap-ngecap mencoba paham dan maklum. Karena kami begitu dekat sejak masih SD sampai dewasa, dan hilang kontak ketika aku menikah, itu artinya sudah dua tahun aku tidak bertemu Zulkifli sahabatku ini. Sekarang dipertemukan dalam kondisi begini, kasihan juga dia. Memang kami asalnya orang kampung, tapi hidup Zulkifli bisa dikatakan miskin. Ibunya janda dan hanya punya Zulkifli."Aku santetbatau kuhabisi langsung mereka, ya, Qi? Tapi takut juga aku sama dosa. Aku sudah tobat jadi preman. Giliran sudah tobat, ujian gini amat, yah."Tampak Zulkifli menyalakan ponselnya lalu langsung mataku menangkap sebuah foto di ponsel yang sedang dia genggam dan tatap. Belum sempat kubertanya, dia sudah bicara duluan."Rasanya mau kupisahkan aja kepalanya laki ini, Qi. Tapi selain takut dosa, aku takut masuk penjara. Kasihan Emak di rumah, makin tua, gak ada yang cariin makan."Zulkifli menatap ponselnya dan aku mendekat untuk memenuhi rasa penasaranku yang belum tuntas. Setelah jelas isi layar ponsel Zulkifli yang banyak retaknya, kedua bola mataku langsung membeliak hebat. Netraku menangkap foto dua orang yang terlihat mesra di layar itu. Aku tidak mengenal yang perempuan, tapi aku yakin, dia adalah istrinya Zulkifli. Akan tetapi yang laki-laki, dia adalah ...."Mas Fadli?!""Kamu kenal laki-laki ini, Qi?!"Puuuk! Kupukul keras bahunya hingga dia tersungkur ke depan. Untung tidak di samping, bisa jatuh sohibku itu. Aku juga salah, kebiasaan barbar dengannya jadi kebawa-bawa. "Masa kamu tidak kenal suamiku, Pli?""Su-su-suami? Suami siapa, Qi?! Bicara yang jelas kamu!" Nampak Zulkifli tak kalah terkejut dan paniknya. "Dia suamiku!""Astaghfirullah! Ya Allah! Mudahan aku jadi orang kaya! Gini amat ujianku, Qiraaaan!"Zulkifli meremas rambutnya yang sudah seperti sapu ijuk. Sebenarnya wajar dia tidak tahu wajah Mas Fadli sebab saat aku menikah, dia sedang ikut pamannya kerja sebagai pekerja proyek pembuatan tol di ibu kota. Lalu setelah itu, aku kehilangan kontaknya. "Kalau kamu yang punya suami, terus enaknya kuapain, Qi? Ya Allah.""Sabar dan tenang. Aku juga baru tahu ini kalau suamiku tidak setia. Mestinya aku tidak heran sih, tapi, ya sudahlah.""Kok kamu nampak lebih tenang? Aku kira kamu akan lompat karena sakit hati."Aku mendecih. Sakit jelas s
"Bagus ya kamu, Qirani! Pulang dari entah kemana, langsung masuk kamar dan tidur!""Aku pusing. Mual. Bawaan bayi," bohongku. Tekadku, pokoknya aku tidak akan mengabdi lagi di keluarga ini. "Alah!" cebik mertuaku.Aku langsung membungkus diriku dengan selimut. Terkadang aku juga heran, kok aku tidak muntah-muntah seperti orang hamil pada umumnya, ya? Apa jangan-jangan aku tidak hamil? Tapi perutku buncit dan hasil test pack juga positif kok. Tapi memang aku tidak pernah ke dokter kandungan. Mana mungkin Mas Fadli mau, buang-buang duit katanya. Nanti kalau sudah waktunya lahir, ya lahir saja. Bodohnya aku, tidak memiliki inisiatif sendiri untuk pergi memeriksa kondisiku sendiri. Otakku sepertinya ditutup karena terlalu mencintai suamiku itu. Sekarang setelah kutahu kebusukannya, sedikit demi sedikit lancar rasa aliran darah dan oksigen ke otakku hingga bisa berpikir jernih. Kepraaank! Keprrraank! Suara piring dan entah apa saja dari dapur yang dihempaskan oleh mertuaku. Aku tidak pe
"Qiraniiiiiii!!!" teriak mama mertua. Mas Fadli tak berkutik melihatku. "Aaaah, kepalaku pusing, Mas," lirihku. Aku langsung pura-pura oleng. Kupegang kepalaku selayaknya orang yang lagi pusing dan akan pingsan. Aku berakting berusaha berdiri tegak dan seakan-akan mau jatuh. Kubiarkan tanganku menjalar kemana-mana mencari keseimbangan, menabrak piring dan mangkok yang berjejer di kabinet, dekat sink (wadah tempat mencuci piring). Criiiing! Krink! Mangkok-mangkok itu berjatuhan. "Berhenti Qirani!!!" teriak Mama mertua.Aku langsung mematung dan luruh, berjongkok sembari menopang kepalaku. Aku menunduk, sebenarnya sedang menyembunyikan mulutku yang tersenyum senang. 'Mampus' jerit hatiku senang. Dalam hatiku terkekeh jahat. Entah setan mana yang sedang menggerogoti hatiku sekarang. "Dek! Ya ampun! Diam di situ! Jangan bergerak!" seru Mas Fadli terdengar panik. Suamiku itu berlari keluar. Rupanya dia memakai sandal dan mengambilkan aku aku sandal juga agar kakiku tidak tertusuk b
Mas Fadli meraih ponselnya dan jelas dia salah tingkah melihatku. "Kenapa, Mas? Kok panik gitu wajahnya? Selingkuhanmu?" tanyaku to the point. "Saring kalau bicara. Ini teman kantorku. Tau apa kamu?!" ketusnya. Aku mengangkat sedikit ujung bibirku, sinis. Jelas sekali wajah bertopeng suamiku itu. Sekarang dia keluar membawa hpnya. Jelaslah pasti dia akan berhubungan dengan pacarnya. Tak apa, aku tahan-tahan saja. Sekarang kamu bisa leluasa bersikap, Mas. Tapi lihat saja nanti, aku masih beri kamu waktu. "Aku mau pulang, Mas," ucapku ketika Mas Fadli kembali. Dia langsung mengangguk. Sepertinya karena dia tak ingin aku bertanya tentang wanita yang menelponnya itu. Aku sengaja tidak mau membahasnya, buang-buang tenaga. Kalau cinta sudah terkuras begini, perasaan illfill bergelayut. Dia saja tidak mencintaiku, kenapa aku harus terpuruk? Malam itu juga, aku kembali ke kontrakan, meninggalkan wajah cemberut Mama mertua dan adik ipar yang kelelahan. Pastilah mereka semakin membenciku.
Malam itu aku gelisah sekali. Aku pura-pura keluar kamar, untuk minum. Sekilas kupandangi bingkai foto habib. Tiba-tiba saja hatiku berdebar-debar. Bagaimana kalau gagal? Bukan aku peduli dengan uangnya, tapi kalau para warga datang, dan gebukin Si Kipli, sohibku. Aduuuh! "Sayang, main 'jungkat jungkit', dong," ucap Mas Fadli mendekatiku yang baru merebahkan tubuh. Barusan, aku sudah membuka kunci pintu agar Kipli dengan mudah masuk. "Maaf Mas, perutku sedang kram. Besok aja, ya!""Dosa loh, ajakan suami ditolak," ujarnya. "Nanti kalau anak kita kenapa-kenapa gimana, dong," ujarku manja. Jangan sampai, nanti saat ngeong-ngeong, Si Kipli muncul. Batinku tiba-tiba merinding. "Malas akh sama kamu," ancam Mas Fadli langsung membelakangiku. Aku menggigit bibirku. Baru pertama kali ini aku menolak. Lagi pula, jika kuingat dia memiliki wanita simpanan, rasa bersalahku seketika hilang. Sebab, bisa jadi mereka telah main jungkat-jungkit juga. Suara ngorok Mas Fadli terdengar bersamaan den
Mas Fadli langsung berbinar karena merasa ada bantuan datang. Ia bersemangat melihat perampok tadi diinjak-injak oleh Zulkifli. Aku sangat yakin, itu Zulkifli karena postur tinggi besarnya itu. Bisa-bisanya tadi aku ceroboh tidak mengenalinya. Padahal pria perampok itu setinggiku dan gempal. "Ampun, Bang! Ampun, Bang!" mohon Si Perampok bersimpuh. Bahkan pisau yang dibawanya sekarang sudah di tangan Zulkifli. Aku terkesima melihat ketangkasan sohibku itu. Pandai sekali dia melumpuhkan perampok dengan kaki dan tangannya. Wajar juga sih, hidupnya kan memang keras dan panas. Penjaga pasar juga debt collector. "Yes! Hajar, Bang! Hajar!" seru Mas Fadli berbinar. Aku hanya menelan salivaku membayangkan yang akan terjadi di menit berikutnya. Suamiku yang kikir ini begitu yakin, laki-laki bertopeng sarung itu adalah kawan. "Enak saja datang merampok!" seru Mas Fadli mendekati kedua pria asing itu. "Pergi," ucap Zulkifli terdengar jelas. Meski terdengar melirih, tapi aku mengenal suaranya.
Kleek! Aku langsung mematikan lampu. Kukira Mas Fadli akan keluar, rupanya tidak. Aku merasa lega. Kupandangi langit-langit rumah kontrakan ini. Orang bilang, waktu terasa sangat cepat. Tapi bagiku, dua tahun terasa lama sekali menjalani hidup. Mungkin karena diperlakukan seperti tidak terlalu berharga oleh suami jadi hidup terasa membosankan. [Gimana? Aman? Besok jam 10 pagi aku cari ke pasar ya] Aku mengirim pesan ke Zulkifli. [Ok!] jawabnya cepat. Aku tersenyum membayangkannya. Esok hari, Mas Fadli tidak ke kantor karena masih shock. Aku jadi sangsi untuk izin tapi dipikir-pikir, aku lebih baik keluar rumah saja. Ikut suntuk aku melihat wajah kusut suamiku. Nanti kucari cara agar bisa keluar dengan izinnya. "Perampok setan. Kita lapor polisi aja, yuk, Dek!""Gak usah! Jangan, Mas!" tegasku berulang. Aku langsung tegang. Mas Fadli mengernyitkan alisnya padaku. "Apa kamu gak ingat ancamannya? Dia bisa suruh anak buahnya buat balas dendam! Berani kamu?!"Mas Fadli tampak memiki
Aku menunggu Zulkifli mandi di masjid dekat pasar. Pria itu keluar dengan kondisi nampak jauh lebih segar dan sedikit basah di pakaiannya. Bentuk rahanya semakin keras, tatapannya tajam dan bulu-bulu di lengannya membuatnya sebenarnya gagah. Tapi karena panas matahari dan hidup lebih banyak di pasar, yang membuat rambutnya merah dan kulitnya menghitam tak terawat. "Kita ke danau, yuk!" ucapnya. Aku mengangguk. Selama perjalanan, pikiranku menimbang-nimbang. Untuk pertama kalinya aku keluar bersama pria lain, meskipun Zulkifli sahabat kentalku tetap saja jauh di lubuknhatiku ini, ada rasa bersalah pada Mas Fadli. Aku menghela napasku kuat-kuat karena sepertinya setiap sisi aku berat. Sekitar perjalanan 30 menit, kami sampai. Nampak agak sepi pariwisata danau ini. Sepertinya karena siang hari dan juga bukan hari libur. Aku duduk di warung lesehan yang menghadap pemandangan danau. Warung itu memiliki tempat yang berkotak-kotak memanjang, dipisah oleh pagar bambu. Jadi setiap tamu tida