Share

BAB 3_FAKTA BARU

"Maaf Qiran, tanyakan aja sendiri sama Fadli. Takutnya Mama salah sebut. Yang pasti, belum cukuplah. Makanya, kalian harus hidup lebih hemat lagi."

"Mama gak mau sebut atau jangan-jangan sudah habis ya, Ma?"

"Jangan asal bicara, ya! Sudah, kamu lanjutkan perkerjaanmu. Kan itu tugasmu di sini. Ibu hamil dilarang malas karena bisa buat bayi jadi susah lahir. Mama ke pasar dulu."

Aku hanya menyandarkan diriku di dinding. Kutatap tanpa kedip Mama mertuaku itu. Nampak dia juga memakai gelang emas yang cukup besar di tangannya, baju gamisnya itu seperti baru dibeli, bahkan mataku menangkap ada beberapa panci dan ricecooker baru sekarang di meja dapur. Apa itu semua di beli dari uang Mas Fadli? Otakku makin curiga. Pasalnya ayah mertuaku hanya sebagai penjaga sekolah dasar tak jauh dari rumah.

Aku kembali ke kamar. Tak mau lagi kukerjakan pekerjaan pembantu di rumah ini. Tulus ikhlas aku selama ini mengabdi, begini ternyata akhirnya. Mentang-mentang aku ini dari desa, lulusan kampus swasta yang tidak ternama, mau dibodoh-bodohi lagi. Kurebahkan tubuhku sembari menatap ke atas langit-langit kamar, berpikir bagaimana caranya aku mengambil hakku sedangkan selama ini aku sudah menjalankan kewajibanku. Cukup lama aku berpikir sampai-sampai aku tak sadar ojek Mama mertuaku sudah kembali ke rumah.

"Qirani!"

Aku terjungkal. Kubuka sedikit tirai kamar, dan nampak Mama mertua sudah di teras lengkap dengan semua bahan belanjanya. Cepat otakku berpikir. Aku langsung bergegas meraih air di sampingku lalu keciprat-cipratkan di wajahku. Kututup diriku dengan selimut.

"Loh, baru jam 9 kok sudah tidur?! Kerjaanmu juga nampak gak kesentuh, Qiran!"

"Aku pusing, Ma. Bau bawang merah itu langsung buat aku mual dan beberapa kali muntah," bohongku.

"Astaga! Bisa-bisanya. Dulu Mama hamil gak kayak gini!"

Hoooooeeeek!

Aku langsung berusaha memuntahkan isi perutku. Selama di dalam selimut,aku mencoba memasukkan jemariku ke dalam mulut ku. Kuludahi sprei itu hingga membuat Mama Mertuaku sepertinya jijik.

"Haaaih! Anak zaman sekarang kok manja-manja sekali!"

Suara kaki ibu mertuaku menghentak. Aku meludah karena tadi aksiku benar-benar dibuat ingin muntah. Lega rasanya. Enak saja menyuruhku kerja di sini, setelah kalian memperlakukan tidak adil.

"Mau kemana kamu?" cecar ibu mertuaku yang sedang membuka jilbabnya.

"Mau ke depan, Ma. Mau cari minyak kayu putih siapa tahu bisa reda mual ini," bohongku.

Kecut, masam dan tentu tak enak dipandang ekspresi yang ditunjukkan oleh mertuaku itu. Tak peduli, aku keluar melenggang meninggalkannya. Aah lega rasanya. Kenapa butuh waktu dua tahun ya untuk aku sadar. Dua tahun itu lama hidup menderita.

Aku memutuskan berjalan kaki menuju warung bakso. Bersyukur, kehamilanku tidak pernah membuatku repot. Tidak pernah mual, tidak pernah dibuat pusing. Mungkin ini yang namanya hamil kebo. Aku menikmati baksoku dengan lahap dan kembali dalam keadaan kenyang. Syukurnya aku masih memiliki uang di rekeningku.

Mas Fadli tidak tahu, selama ini, sekali dalam tiga bulan, ibuku kirim sebagian hasil penjualan kelapa untukku. Sekali kirim, dua juta. Sekarang aku baru mengerti kenapa ibuku memperingatiku agar uang milikku tidak perlu diketahui suami. Takutnya ada apa-apa, ada pegangan. Dan sekarang aku baru mengerti seratus persen maksud ibuku. Semula aku berniat menabung hingga bisa beli cash motor matic yang baru dan jadi suprise atau kejutan untuk suamiku. Niatku motor itu bisa dipakai oleh Mas Fadli, ganti motornya yang butut. Tapi ternyata ... ah, sakit sekali diperlakukan tidak memiliki makna.

Ketika aku asik berjalan pulang, di sisi jalan, di atas ujung jembatan, aku melihat sosok yang tak asing sedang duduk berayun. Aku semakin berjalan cepat dan mempertajam pandanganku. Semakin jelas wajah pria muda yang sedang terlihat sangat sayu dan sedih.

"Loh! Loh! Bukannya itu Si Kipli? Aduh! Ngapain dia di sana? Mau b*nuh diri dia? Astaghfirullah!"

Aku segera mempercepat langkahku. Kipli itu temanku sejak masa SD kami bersama sampai aku menikah. Nama aslinya Zulkifli. Dia juga sudah menikah setahun setelah aku. Itu kenapa dia jadi kayak orang sinting begitu? Berayun-ayun di pojokan jembatan macam mau lompat. Meski tidak terlalu tinggi, tapi di bawah jembatan itu isinya batu dan kerikil. Air lagi kering. Ini kalau jatuh, bisa langsung menghadap Allah Si Kipli ini.

"Pli! Kipli! Oooi! Zulkifli! Wooooi!"

Zulkifli menolehku. Dia cukup terkesiap melihatku dan hampir saja dia jatuh kalau dia tidak cepat-cepat berpegangan di besi jembatan itu. Seperti akan lepas jantungku, ya Allah. Segera kupercepat langkahku sedikit menanjak hingga berhasil berada di depannya.

"Kamu ngapain di sini, Qi?!" tanya Zulkifli langsung bangkit dan menyambutku.

"Laah! Ini desa mertuaku. Kamu ngapain mau b*nuh diri di sini? Sudah gila kah? Preman kok begini kamu."

"Siapa yang mau b*nuh diri?! Heeh! Aku lagi pusing, penat. Istriku selingkuh dan memaksaku menceraikannya."

Aku menutup mulutku terkejut. Tapi jika kulihat-lihat, cocok juga memang perempuan itu minta cerai. Tampilan sudah seram, makin amburadul begini, tak teurus. Sudah berapa bulan ini orang gak pernah mandi? Rambut sampai gimbal begitu. Mana merah orang abu tak jelas warna rambutnya.

"Katanya dia malu punya suami buruh kasar sepertiku. Sebelumnya dia tidak masalah, tapi semenjak aku belikan hp dan kenal medsos, dia menggila. Dia selingkuh sama abdi negara," lanjut Zulkifli dengan wajah sedih sekali.

"Beli hp istri bisa, beli sabun mandi kamu gak bisa kah, Pli? Asli, kek orang gila kutengok kamu! Bau amis. Beneran mual aku ini."

"Tak usah kamu komentar. Ini aku habis bawa ikan orang sampai 10 bak. Basah, ya bau ikan tubuhku. Begitu caraku cari uang pake beliin istri hp supaya senang. Tapi diselingkuhinnya aku."

Aku hanya mengecap-ngecap mencoba paham dan maklum. Karena kami begitu dekat sejak masih SD sampai dewasa, dan hilang kontak ketika aku menikah, itu artinya sudah dua tahun aku tidak bertemu Zulkifli sahabatku ini. Sekarang dipertemukan dalam kondisi begini, kasihan juga dia. Memang kami asalnya orang kampung, tapi hidup Zulkifli bisa dikatakan miskin. Ibunya janda dan hanya punya Zulkifli.

"Aku santetbatau kuhabisi langsung mereka, ya, Qi? Tapi takut juga aku sama dosa. Aku sudah tobat jadi preman. Giliran sudah tobat, ujian gini amat, yah."

Tampak Zulkifli menyalakan ponselnya lalu langsung mataku menangkap sebuah foto di ponsel yang sedang dia genggam dan tatap. Belum sempat kubertanya, dia sudah bicara duluan.

"Rasanya mau kupisahkan aja kepalanya laki ini, Qi. Tapi selain takut dosa, aku takut masuk penjara. Kasihan Emak di rumah, makin tua, gak ada yang cariin makan."

Zulkifli menatap ponselnya dan aku mendekat untuk memenuhi rasa penasaranku yang belum tuntas. Setelah jelas isi layar ponsel Zulkifli yang banyak retaknya, kedua bola mataku langsung membeliak hebat. Netraku menangkap foto dua orang yang terlihat mesra di layar itu. Aku tidak mengenal yang perempuan, tapi aku yakin, dia adalah istrinya Zulkifli. Akan tetapi yang laki-laki, dia adalah ....

"Mas Fadli?!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status