BALASAN UNTUK SUAMIKU YANG PELIT

BALASAN UNTUK SUAMIKU YANG PELIT

Oleh:  Rora Aurora  Baru saja diperbarui
Bahasa: Bahasa_indonesia
goodnovel16goodnovel
Belum ada penilaian
70Bab
1.2KDibaca
Baca
Tambahkan

Share:  

Lapor
Ringkasan
Katalog
Tinggalkan ulasan Anda di APP

Demi bisa membeli rumah cash, aku diperintahkan suami untuk bertahan hidup dengan sangat hemat dan terkadang tak masuk akal. Namun FAKTANYA, ternyata selama ini aku DIPELITI! Secara rahasia, aku pun membuat pembalasan yang setimpal. Andai dia tahu siapa yang telah diam-diam menguras hartanya hingga tak tersisa, apakah yang akan terjadi?

Lihat lebih banyak
BALASAN UNTUK SUAMIKU YANG PELIT Novel Online Unduh PDF Gratis Untuk Pembaca

Bab terbaru

Buku bagus disaat bersamaan

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Komen
Tidak ada komentar
70 Bab
BAB 1_ORDERAN ROTI YANG TERTOLAK
"Nyari siapa, Mbak?" tanya Mas Fadli terdengar dari dalam. Deeeghhh .... Jantungku langsung berdegub kencang sekali. Aku langsung mengintip dari balik tirai. Nampak Mas Fadli sedang berhadapan dengan seorang wanita. Di tangan wanita itu, terdapat plastik bening yang kuyakini adalah roti pesananku. Kugigit bibirku karena merasa bingung luar biasa. Harusnya pesananku datang dua jam kemudian. Aku sudah memesan begitu pada penjualnya. Kenapa datang sekarang? Aaah, apes! "Bawa saja kembali, Mbak!"Jelas suara Mas Fadli meminta wanita itu pergi. Aku langsung keluar. "Maaf, Mas. Itu roti pesananku. Aku lagi pengen makan roti isi red velvet. Gak mahal, cuman tiga puluh lima ribu, Mas.""Lain-lain saja kamu pesan. Tanpa seizinku pula," timpal Mas Fadli dengan mata melotot dan wajah masam. "Maaf, Mas. Aku benar-benar pengen. Aku akan bayar pakai uang tabunganku."Seolah abai dengan ucapanku, Mas Fadli menuju gerbang dan membukanya. Itu sudah menjadi isyarat bagi pedagang itu untuk segera k
Baca selengkapnya
BAB 2_UANG DI MAMA MERTUA
Ponselku berdering. Mas Fadli menelpon."Nah, sebentar ya, Mas. Aku cek dulu," ucapku berpura-pura. Dia memintaku mengecek hp androidnya. Takutnya jatuh di jalan. "Ada ini, Mas," lanjutku seolah-olah baru mengecek. Mas Fadli menutup panggilannya dan mengatakan akan segera pulang. Aku tercenung memikirkan bagaimana caranya membuka ponsel suamiku ini tanpa dia ketahui. Aku penasaran sekali hpnya itu isinya apa saja?! "Apa aku bobol saja di konter, ya?"Akal jahatku mulai bekerja. Dua tahun aku berusaha sabar dan tulus, rupanya ikatan suci ini ada kebusukannya. Aku akan memikirkan caranya, lihat saja. Segera kuletakkan ponsel itu seolah-olah tidak pernah kusentuh. Aku lalu mulai mencuci pakaian dan sprai bekas semalam. Meski hamil empat bulan, kulayani dia dengan baik, tapi pelitnya pada istri naudzubillah. Meski ibunya yang melahirkan, tapi dia akan hidup sampai tua bersama istrinya. Aku mencuci dengan tangan tanpa mesin cuci. Pernah aku meminta dibelikan mesin cuci. Pastilah untuk PN
Baca selengkapnya
BAB 3_FAKTA BARU
"Maaf Qiran, tanyakan aja sendiri sama Fadli. Takutnya Mama salah sebut. Yang pasti, belum cukuplah. Makanya, kalian harus hidup lebih hemat lagi.""Mama gak mau sebut atau jangan-jangan sudah habis ya, Ma?""Jangan asal bicara, ya! Sudah, kamu lanjutkan perkerjaanmu. Kan itu tugasmu di sini. Ibu hamil dilarang malas karena bisa buat bayi jadi susah lahir. Mama ke pasar dulu."Aku hanya menyandarkan diriku di dinding. Kutatap tanpa kedip Mama mertuaku itu. Nampak dia juga memakai gelang emas yang cukup besar di tangannya, baju gamisnya itu seperti baru dibeli, bahkan mataku menangkap ada beberapa panci dan ricecooker baru sekarang di meja dapur. Apa itu semua di beli dari uang Mas Fadli? Otakku makin curiga. Pasalnya ayah mertuaku hanya sebagai penjaga sekolah dasar tak jauh dari rumah.Aku kembali ke kamar. Tak mau lagi kukerjakan pekerjaan pembantu di rumah ini. Tulus ikhlas aku selama ini mengabdi, begini ternyata akhirnya. Mentang-mentang aku ini dari desa, lulusan kampus swasta y
Baca selengkapnya
BAB 4_SEBUAH RENCANA
"Kamu kenal laki-laki ini, Qi?!"Puuuk! Kupukul keras bahunya hingga dia tersungkur ke depan. Untung tidak di samping, bisa jatuh sohibku itu. Aku juga salah, kebiasaan barbar dengannya jadi kebawa-bawa. "Masa kamu tidak kenal suamiku, Pli?""Su-su-suami? Suami siapa, Qi?! Bicara yang jelas kamu!" Nampak Zulkifli tak kalah terkejut dan paniknya. "Dia suamiku!""Astaghfirullah! Ya Allah! Mudahan aku jadi orang kaya! Gini amat ujianku, Qiraaaan!"Zulkifli meremas rambutnya yang sudah seperti sapu ijuk. Sebenarnya wajar dia tidak tahu wajah Mas Fadli sebab saat aku menikah, dia sedang ikut pamannya kerja sebagai pekerja proyek pembuatan tol di ibu kota. Lalu setelah itu, aku kehilangan kontaknya. "Kalau kamu yang punya suami, terus enaknya kuapain, Qi? Ya Allah.""Sabar dan tenang. Aku juga baru tahu ini kalau suamiku tidak setia. Mestinya aku tidak heran sih, tapi, ya sudahlah.""Kok kamu nampak lebih tenang? Aku kira kamu akan lompat karena sakit hati."Aku mendecih. Sakit jelas s
Baca selengkapnya
BAB 5_PEMBASALAN PERTAMA
"Bagus ya kamu, Qirani! Pulang dari entah kemana, langsung masuk kamar dan tidur!""Aku pusing. Mual. Bawaan bayi," bohongku. Tekadku, pokoknya aku tidak akan mengabdi lagi di keluarga ini. "Alah!" cebik mertuaku.Aku langsung membungkus diriku dengan selimut. Terkadang aku juga heran, kok aku tidak muntah-muntah seperti orang hamil pada umumnya, ya? Apa jangan-jangan aku tidak hamil? Tapi perutku buncit dan hasil test pack juga positif kok. Tapi memang aku tidak pernah ke dokter kandungan. Mana mungkin Mas Fadli mau, buang-buang duit katanya. Nanti kalau sudah waktunya lahir, ya lahir saja. Bodohnya aku, tidak memiliki inisiatif sendiri untuk pergi memeriksa kondisiku sendiri. Otakku sepertinya ditutup karena terlalu mencintai suamiku itu. Sekarang setelah kutahu kebusukannya, sedikit demi sedikit lancar rasa aliran darah dan oksigen ke otakku hingga bisa berpikir jernih. Kepraaank! Keprrraank! Suara piring dan entah apa saja dari dapur yang dihempaskan oleh mertuaku. Aku tidak pe
Baca selengkapnya
BAB 6
"Qiraniiiiiii!!!" teriak mama mertua. Mas Fadli tak berkutik melihatku. "Aaaah, kepalaku pusing, Mas," lirihku. Aku langsung pura-pura oleng. Kupegang kepalaku selayaknya orang yang lagi pusing dan akan pingsan. Aku berakting berusaha berdiri tegak dan seakan-akan mau jatuh. Kubiarkan tanganku menjalar kemana-mana mencari keseimbangan, menabrak piring dan mangkok yang berjejer di kabinet, dekat sink (wadah tempat mencuci piring). Criiiing! Krink! Mangkok-mangkok itu berjatuhan. "Berhenti Qirani!!!" teriak Mama mertua.Aku langsung mematung dan luruh, berjongkok sembari menopang kepalaku. Aku menunduk, sebenarnya sedang menyembunyikan mulutku yang tersenyum senang. 'Mampus' jerit hatiku senang. Dalam hatiku terkekeh jahat. Entah setan mana yang sedang menggerogoti hatiku sekarang. "Dek! Ya ampun! Diam di situ! Jangan bergerak!" seru Mas Fadli terdengar panik. Suamiku itu berlari keluar. Rupanya dia memakai sandal dan mengambilkan aku aku sandal juga agar kakiku tidak tertusuk b
Baca selengkapnya
BAB 7
Mas Fadli meraih ponselnya dan jelas dia salah tingkah melihatku. "Kenapa, Mas? Kok panik gitu wajahnya? Selingkuhanmu?" tanyaku to the point. "Saring kalau bicara. Ini teman kantorku. Tau apa kamu?!" ketusnya. Aku mengangkat sedikit ujung bibirku, sinis. Jelas sekali wajah bertopeng suamiku itu. Sekarang dia keluar membawa hpnya. Jelaslah pasti dia akan berhubungan dengan pacarnya. Tak apa, aku tahan-tahan saja. Sekarang kamu bisa leluasa bersikap, Mas. Tapi lihat saja nanti, aku masih beri kamu waktu. "Aku mau pulang, Mas," ucapku ketika Mas Fadli kembali. Dia langsung mengangguk. Sepertinya karena dia tak ingin aku bertanya tentang wanita yang menelponnya itu. Aku sengaja tidak mau membahasnya, buang-buang tenaga. Kalau cinta sudah terkuras begini, perasaan illfill bergelayut. Dia saja tidak mencintaiku, kenapa aku harus terpuruk? Malam itu juga, aku kembali ke kontrakan, meninggalkan wajah cemberut Mama mertua dan adik ipar yang kelelahan. Pastilah mereka semakin membenciku.
Baca selengkapnya
BAB 8
Malam itu aku gelisah sekali. Aku pura-pura keluar kamar, untuk minum. Sekilas kupandangi bingkai foto habib. Tiba-tiba saja hatiku berdebar-debar. Bagaimana kalau gagal? Bukan aku peduli dengan uangnya, tapi kalau para warga datang, dan gebukin Si Kipli, sohibku. Aduuuh! "Sayang, main 'jungkat jungkit', dong," ucap Mas Fadli mendekatiku yang baru merebahkan tubuh. Barusan, aku sudah membuka kunci pintu agar Kipli dengan mudah masuk. "Maaf Mas, perutku sedang kram. Besok aja, ya!""Dosa loh, ajakan suami ditolak," ujarnya. "Nanti kalau anak kita kenapa-kenapa gimana, dong," ujarku manja. Jangan sampai, nanti saat ngeong-ngeong, Si Kipli muncul. Batinku tiba-tiba merinding. "Malas akh sama kamu," ancam Mas Fadli langsung membelakangiku. Aku menggigit bibirku. Baru pertama kali ini aku menolak. Lagi pula, jika kuingat dia memiliki wanita simpanan, rasa bersalahku seketika hilang. Sebab, bisa jadi mereka telah main jungkat-jungkit juga. Suara ngorok Mas Fadli terdengar bersamaan den
Baca selengkapnya
BAB 9
Mas Fadli langsung berbinar karena merasa ada bantuan datang. Ia bersemangat melihat perampok tadi diinjak-injak oleh Zulkifli. Aku sangat yakin, itu Zulkifli karena postur tinggi besarnya itu. Bisa-bisanya tadi aku ceroboh tidak mengenalinya. Padahal pria perampok itu setinggiku dan gempal. "Ampun, Bang! Ampun, Bang!" mohon Si Perampok bersimpuh. Bahkan pisau yang dibawanya sekarang sudah di tangan Zulkifli. Aku terkesima melihat ketangkasan sohibku itu. Pandai sekali dia melumpuhkan perampok dengan kaki dan tangannya. Wajar juga sih, hidupnya kan memang keras dan panas. Penjaga pasar juga debt collector. "Yes! Hajar, Bang! Hajar!" seru Mas Fadli berbinar. Aku hanya menelan salivaku membayangkan yang akan terjadi di menit berikutnya. Suamiku yang kikir ini begitu yakin, laki-laki bertopeng sarung itu adalah kawan. "Enak saja datang merampok!" seru Mas Fadli mendekati kedua pria asing itu. "Pergi," ucap Zulkifli terdengar jelas. Meski terdengar melirih, tapi aku mengenal suaranya.
Baca selengkapnya
BAB 10
Kleek! Aku langsung mematikan lampu. Kukira Mas Fadli akan keluar, rupanya tidak. Aku merasa lega. Kupandangi langit-langit rumah kontrakan ini. Orang bilang, waktu terasa sangat cepat. Tapi bagiku, dua tahun terasa lama sekali menjalani hidup. Mungkin karena diperlakukan seperti tidak terlalu berharga oleh suami jadi hidup terasa membosankan. [Gimana? Aman? Besok jam 10 pagi aku cari ke pasar ya] Aku mengirim pesan ke Zulkifli. [Ok!] jawabnya cepat. Aku tersenyum membayangkannya. Esok hari, Mas Fadli tidak ke kantor karena masih shock. Aku jadi sangsi untuk izin tapi dipikir-pikir, aku lebih baik keluar rumah saja. Ikut suntuk aku melihat wajah kusut suamiku. Nanti kucari cara agar bisa keluar dengan izinnya. "Perampok setan. Kita lapor polisi aja, yuk, Dek!""Gak usah! Jangan, Mas!" tegasku berulang. Aku langsung tegang. Mas Fadli mengernyitkan alisnya padaku. "Apa kamu gak ingat ancamannya? Dia bisa suruh anak buahnya buat balas dendam! Berani kamu?!"Mas Fadli tampak memiki
Baca selengkapnya
DMCA.com Protection Status