Share

BAB 5_PEMBASALAN PERTAMA

Author: Rora Aurora
last update Last Updated: 2024-04-16 17:18:46

"Bagus ya kamu, Qirani! Pulang dari entah kemana, langsung masuk kamar dan tidur!"

"Aku pusing. Mual. Bawaan bayi," bohongku. Tekadku, pokoknya aku tidak akan mengabdi lagi di keluarga ini.

"Alah!" cebik mertuaku.

Aku langsung membungkus diriku dengan selimut. Terkadang aku juga heran, kok aku tidak muntah-muntah seperti orang hamil pada umumnya, ya? Apa jangan-jangan aku tidak hamil? Tapi perutku buncit dan hasil test pack juga positif kok. Tapi memang aku tidak pernah ke dokter kandungan. Mana mungkin Mas Fadli mau, buang-buang duit katanya. Nanti kalau sudah waktunya lahir, ya lahir saja. Bodohnya aku, tidak memiliki inisiatif sendiri untuk pergi memeriksa kondisiku sendiri. Otakku sepertinya ditutup karena terlalu mencintai suamiku itu. Sekarang setelah kutahu kebusukannya, sedikit demi sedikit lancar rasa aliran darah dan oksigen ke otakku hingga bisa berpikir jernih.

Kepraaank! Keprrraank!

Suara piring dan entah apa saja dari dapur yang dihempaskan oleh mertuaku. Aku tidak peduli. Jika dia menganggapku menantu, istri anaknya, dia tidak akan menyembunyikan informasi tentang uang itu. Dia akan mempercayaiku mengatur uang itu karena aku istri putranya. Apa jika dia di posisiku, akan bisa bersabar sepertiku? Dibiarkan hidup hemat mencekik, sedangkan uang berjuta-juta dipegang mertua. Ciih. Aku mencebik makin tidak punya rasa.

"Nita! Nita! Bangun kamu! Sudah siang ini!"

"Apa sih, Ma?!" timpal Nita, adik iparku dari dalam dengan suara yang serak.

"Bantu Mama di dapur. Nanti sore ada acara!"

"Loh, bukannya ada Mbak Qiran?! Suruh dia aja, Ma. Aku lagi persiapan wawancara kerja ini."

"Yah, sebentar aja. Kakak iparmu itu hamil pemalas! Anaknya pasti akan jadi pemalas juga nanti."

Aku tersenyum sinis. Biarlah anak gadisnya yang asli pemalas itu yang menggantikanku. Selama ini, aku yang melayani mereka seperti pembantu jika di sini. Dalam sebulan bisa seminggu aku dibawa suamiku. Alasannya bakti pada orang tua. Tapi ternyata, kasih sayangku mereka curangi.

Dengan terpaksa kudengar Nita ikut membantu ibunya. Aku mengerucutkan mulut, tidak peduli lagi dengan tajamnya ucapan mereka. Mau menggunjingku sampai habis napas kalian silahkan. Sepanjang hari ibu mertuaku merepet menyindirku pada tetangga yang dia bayar untuk membantunya. Orang saja dia bayar, pada menantunya sendiri dianggap budak. Tak usahlah dibayar pakai uang, cukup dengan dianggap dan dihargai saja sebenarnya. Apalagi adik iparku yang baru dua bulan wisuda, sudah seperti ikan koi saja mulutnya kalau kami berpapasan.

Acara arisan selesai dan aku tahu rupanya setoran bulanan arisan mama mertuaku sampai dua juta. Hebat sih, dia berarti punya uang segitu setiap bulan. Darimana? Sedangkan aku tahu, gaji penjaga sekolah biasa tidak sampai segitu. Bapak mertua pernah memberitahuku gajinya hanya sejuta lima ratus. Patut kucurigai ibu mertuaku ini.

"Qi, sotonya enak. Udah rasa?" tanya Mas Fadli saat masuk kamar dan langsung merebahkan diri.

"Belum. Nanti ajalah, Mas," jawabku sembari langsung memijit kakinya. Susah payah kutahan diriku karena perbuatannya yang sedang menduakanku. Tapi aku harus menujukkan gelagat biasa saja agar dia tidak curiga. Aku sudah punya rencana sendiri untuk suamiku ini.

"Mas, kamu yakin, uangmu tidak dipakai Mama buat bayar arisan?" pancingku.

"Biarin aja. Toh nanti balik pas dapat," jawabnya santai.

Aku menggigit bibirku.

"Mas, bagaimana kalau aku saja yang pegang uang itu, Mas? Kata ustad, uang yang di tangan istri itu berkah."

"Kalau istrinya boros, mana ada berkah-berkahnya. Apalagi model kamu. Beli roti aja kamu online. Itu kamu baru punya uang sedikit. Gimana kalau kamu pegang uang banyak? Udahlah, Qi. Berhenti bahas tentang tabunganku sama Mama. Nanti kalau sudah jadi rumah, baru kamu sadar kalau Mamaku itu paling jago pegang uang."

Tanganku yang sedang memijitnya langsung berhenti. Aku mengangguk-angguk samar. Berarti Mas Fadli ingin menabuh perang denganku. Kucoba beri dia kesempatan tapi dia benar-benar merasa diri paling. Apa dia sadar, ucapannya itu menyinggung perasaanku?

"Oke, Mas. Tapi mulai hari ini, aku ingin uang jajanku ditambah jadi 10 ribu, ya," rayuku lagi mencoba kembali mencari kejelasan.

"Kamu minta 5 ribu sehari aja, gak, Qiran. Demi rumah kita. Kamu jangan kayak anak kecil. Untuk mendapatkan sesuatu yang besar, kamu harus berkorban yang besar juga. Sudah ah, aku mau tidur. Kamu bantu Mama cuci piring sana. Tadi sudah numpuk piring kotor di dapur."

Aku diam saja mendengar rempetan suamiku itu. Sekarang hatiku sangat mantap untuk berbuat curang padanya. Padahal, semenjak menikah, aku berusaha membuang jiwa kriminalku ini, Mas. Tapi rupanya kamu membangunkan serigala yang sedang tertidur.

Aku lalu keluar. Bukan ke tempat cuci piring tapi kamar mandi. Kebersihkan diriku agar segar dan otakku kembali on. Ucapan suamiku yang seolah mengatakan tidak ada keberkahan dalam diriku sebagai istri untuk memegang uang, membuatku konslet. Saat keluar, ibu mertuaku sudah di depan wajahku.

"Sudah puas di kamar seharian, Tuan Putri? Sekarang tugasmu cuci piring dan mangkok bekas makan itu."

"Baik, Ma," ucapku manut.

Sepertinya tak masalah aku cuci piring, mangkok, dan gelas juga wajan bekas memasak yang sudah menggunung itu karena perutku lapar. Sudah seperti gunung Himalaya kutengok tinggi tumpukannya. Setidaknya aku mendapatkan makanan dari hasil bekerja. Apalagi kulihat wajah mertuaku kusut karena kelelahan. Tetap saja aku kasihan meski sudah bertekad abai. Tapi sebelum melakukan tugasku, aku mencari sisa soto untuk menambah tenaga. Namun, yang kutemukan hanya kuah dan sayur toge.

"Ma, dimana sisa ayamnya?" tanyaku pada mama mertua yang sedang selonjoran.

"Tidak ada. Kalau kamu mau makan soto, pake kuah sama nasi saja! Masih ada kerupuk itu di toples." timpalnya. Aku mematung di depan panci itu. Baiklah. Tidak mengapa. Namun beberapa saat kemudaian, jelas kudengar sayup-sayup suara mama mertua bicara sendirian. "Gaya-gayaan mau makan ayam."

Teees ....

Teriris hebat rasa hatiku. Sebegitu rendahnya aku, tidak berharganya aku di mata ibu dari suamiku itu. Sampai sekedar secuil suir ayam saja tidak pantas untukku. Basah pipiku karena air mataku tak terbendung. Ini bukan perkara makan ayam tapi ini lebih dari itu. Ini tentang rasa tidak dihargai, tidak disayangi dan tidak memiliki makna.

Pikiranku langsung kalut. Jiwa liar tanpa rasa takut itu muncul seperti mengalir kembali dalam aliran darahku. Kupilih mangkok-mangkok besar bening berukuran besar, sedang dan kecil. Ketiganya begitu cantik dan apik. Hanya dikeluarkan saat menyambut tamu istimewa karena mampu melambangkan kemewahan. Aku tahu, harganya cukup untuk membeli puluhan mangkok soto bertoping ayam yang banyak. Dengan cepat kususun, lalu kuangkat tinggi-tinggi.

Wusssh!

Criiiiing!

Besar sekali suara gemerincing dentuman dari mangkok-mangkok yang jatuh secara bersamaan dari tanganku. Berhamburan di segala sisi. Sedetik aku menyeringai puas lalu menutup mulutku seolah kaget melihat beling yang berceceran.

"Suara apa itu?!!!" teriak mama mertua tergopoh-gopoh.

Mas Fadli yang tengah tertidur lelap langsung keluar. Ibu dan anak itu terlihat terkejut luar biasa. Teriakan kencang mama mertua melihat ketiga mangkok cantiknya hancur lebur menusuk di gendang telinga yang mendengarnya. Tapi di telingaku, suara pekikannya bagai alunan kidung peri hutan yang merdu. Aku puas.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • BALASAN UNTUK SUAMIKU YANG PELIT   ENDING

    "Mas?! Kamu kenapa?!""Ni ... Nilam, Qiran. Dia pergi membawa bayi kami." "Maksudmu?!!" tanya Qiran langsung tegang. "Nilam kabur, Qiran!""Ooh ya, Allah...."Qiran menggigit bibirnya. Ia tahu, tidak mudah di posisi Nilam. Dia sudah merasakan di posisi wanita itu dan Nilam merasakan imbas yang terparah. Ternyata yang diucapkan Nilam waktu itu serius. ***"Aku ingin bercerai," ujar Nilam saat baru seminggu dia disecar. "Cerai?" tanya Qiran. "Iya. Kamu hebat bisa tahan 2 tahun, aku tak sampai setahun sudah habis jiwaku, Qiran.""Kamu yakin? Bayimu butuh ayahnya.""Bayiku lebih butuh ibu yang bahagia. Bukankah begitu?"Qiran diam. Sejak itu Nilam tak pernah bicara soal itu lagi. Dia mengira, Nilam tidak melanjutkan niat itu karena ia melihat Fadli sepertinya mulai lebih luwes pada istrinya. Setiap kali dia ke sana menjenguk Nilam, dia sudah menemukan aneka roti dan buah di dekat meja. Qiran mengira itu semua bisa meluluhkan perasaan Nilam. Tapi rupanya, dua bulan terlewati, wanita i

  • BALASAN UNTUK SUAMIKU YANG PELIT   BAB 83

    Fadli terkejut tak mengerti. Alisnya yang mengkerut dengan kening berlipat-lipat itu menandakan dia heran. Nilam pun yang sedang menggendong bayinya juga ikut bingung. "Uangmu yang hilang di rekening sejumlah 63 juta itu, aku yang ambil. Jadi yang 2 jutanya anggap aku sedekah saja," ucap Qiran tanpa keraguan sedikit pun. "Bicara yang jelas, Qirani," ujar Fadli tegang. "Perlu aku ulang, Mas?" tanya Qirani dengan wajah biasa saja. Dddrrrrtt... Ponsel Qirani bergetar. Qiran mengangkat tangannya seolah mengisyaratkan agar Fadli diam dulu. Pembawaan Qiran santai saja seolah-olah tidak ada beban. Sedangkan Fadli masih terbengong-bengong. "Ya, Yank. Ooh, oke deh. Tunggu dah sebentar lagi ... Gak, Yank. Nanti lah di Star Five aja, belum kucoba menu yang itu. Oke. Siap."Panggilan selesai. Nilam hanya tersenyum kecil. Itu pasti dari mantan suaminya. Luar biasa beruntung Qirani, hidup mewah, makan siang di hotel. Tapi sekarang Nilam tak mau iri lagi pada Qiran meski sakit itu jelas masih

  • BALASAN UNTUK SUAMIKU YANG PELIT   BAB 82

    SCENE FLASH BACKNita dan Pak Hasan secara tidak sengaja mendengar percakapan dokter yang sedang merayu Fadli dan Bu Sita agar setuju Nilam dioperasi. Mendapati keduanya masih kekeh, Nita langsung menyeret tangan ayahnya menjauh. "Pak, yakin gak kalau kita rayu Mama dan Mas Fadli, mereka akan luluh?""Bapak sudah ngomong, kok tadi subuh sama Mamamu. Jika memang harus kakak iparmu dioperasi, ya bismillah aja. Tapi Mama mu malah menggerutu tak jelas.""Mas Fadli juga kok gitu banget sih, Pak. Aku merasa kasihan sama Mbak Nilam meskipun aku gak akur sama dia.""Fadli sama Mamamu sama-sama punya bibit kikir. Sudah berulang kali Bapak kasih tahu kalian bahwa kikir itu sulur rambatnya sudah ada di neraka. Siapa yang kikir atas hartanya, tinggal ditarik ke neraka oleh rambatannya. Macam sulur labu. Menjalar."Nita menggigit bibirnya. Ia punya ide tapi ia sendiri masih ragu. Namun daripada tidak dicoba sama sekali, lebih baik gagal. "Aku akan menghubungi Mbak Qiran, Pak. Mungkin Mbak Qiran

  • BALASAN UNTUK SUAMIKU YANG PELIT   BAB 81

    "Ini bayinya kalau lahir, akan prematur. Usianya baru 24 minggu. Beratnya kurang sekali ini, Bu. Seperti berat janin usia 4 bulan. Janinnya kurang nutrisi ini. Ibunya malas makan, ya?!" cecar Bu Dokter yang langsung membuat jantung Nilam seperti dihantam batu besar. "Makan kok, Dok. Cuman sering muntah," sambung Fadli tak mau dikira istrinya tak makan. "Makan, Dok tapi nasi dan kepala ayam atau ceker ayam, bukan dagingnya," tambah Nilam penuh dendam. Dalam hatinya, kalau sampai ada apa-apa dengan bayinya, ia akan membuat perhitungan yang besar dengan suaminya itu. "Ibu hamil itu harus makan yang bernutrisi tinggi. Malah perlu juga disokong dengan susu dan vitamin. Karena apa yang dimakan ibunya, itu yang dimakan janin."Bu Dokter langsung memberi intruksi. "Sus, siapkan suntik pematangan paru. Jaga-jaga kalau bayinya lahir," ujar Bu Dokter pada asistennya. "Baik, Dok."Suasana menjadi tegang. Bu Dokter kembali melihat layar. "Denyut jantung janin masih bagus. Saya akan bantu su

  • BALASAN UNTUK SUAMIKU YANG PELIT   BAB 80

    "Apa?!" Suara Fadli agak ketus. Sebab, dia sedang merasa diganggu saat menatap mantan istrinya yang begitu sangat cantik jelita. "Perutku sakit sekali, Mas. Sakit sekali.""Sakit gimana maksudmu?""Ya sakit. Cekat cekit. Ta-taapi sekarang sudah hilang," lirih Nilam. "Kamu pasti shock melihat mantan suami kamu yang sekarang jadi anak konglomerat, kan? Perempuan matre kayak kamu pasti nyesel banget."Mendengar ucapan suaminya, Nilam hanya memandang sinis. Ia ingin menimpali tapi kembali lagi rasa sakit di perutnya menyerang. Sejenak dia bergeming. Ada apa ini? Apakah sudah waktunya dia melahirkan? Usia kandungannya baru lima bulan jalan enam. Dia tidak mau memiliki bayi yang tidak normal. Usaha dan perjuangannya sudah sangat jauh untuk janinnya. Nilam berusaha bernapas dengan teratur. "Ayo! Kita ucapkan selamat atas kemenangan mereka dan kekalahan pada kita, Nilam," lirih Fadli dari hatinya paling dalam. Nilam bergeming. "Ayo kita naik! Biar cepat makan!" seru Bu Sita. "Ayo, Nila

  • BALASAN UNTUK SUAMIKU YANG PELIT   BAB 79

    "Jadi gimana, Fadli, kamu mau datang tidak ke acara resepsi mantan istrimu?"Fadli hanya diam. Benar-benar diam. "Biar kita berangkat bareng pake mobil. Mama akan sewa mobil khusus biar kelihatan mewah, sesuai dengan pesta yang akan kita datangi. Nanti kamu yang bayar tapi ya."Wuuushhh! Undangan tebal dan berbingkai ukiran timbul berwarna emas itu melayang dan jatuh. "Cukup ya, Ma! Cukup! Aku muak mendengar Mama yang mau terlihat hidup hedon padahal modal pun tak ada. Mama itu seperti sedang memerasku! Mama belum sadar-sadar juga? Seberapa besar dan banyak akibat yang ditimbulkan oleh Mama! Mama yang jadi ibuku yang menyebabkan aku sampai cerai dari Qirani!""Loh, kok kamu jadi ngegas, Fadli? Mama cuman kasih tawaran aja. Masa sekedar sewa mobil kamu gak mampu?! Kan uang dari Pak Wahyu sampai 75 juta. Janganlah kikir banget!""Kikir?! Ya! Aku kikir dan pelit memang! Ini semua karena ajaran dari Mama! Mama yang suruh aku pelit kikir pada Qirani sehingga dia sampai gak betah jadi is

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status