"Bagus ya kamu, Qirani! Pulang dari entah kemana, langsung masuk kamar dan tidur!"
"Aku pusing. Mual. Bawaan bayi," bohongku. Tekadku, pokoknya aku tidak akan mengabdi lagi di keluarga ini."Alah!" cebik mertuaku.Aku langsung membungkus diriku dengan selimut. Terkadang aku juga heran, kok aku tidak muntah-muntah seperti orang hamil pada umumnya, ya? Apa jangan-jangan aku tidak hamil? Tapi perutku buncit dan hasil test pack juga positif kok. Tapi memang aku tidak pernah ke dokter kandungan. Mana mungkin Mas Fadli mau, buang-buang duit katanya. Nanti kalau sudah waktunya lahir, ya lahir saja. Bodohnya aku, tidak memiliki inisiatif sendiri untuk pergi memeriksa kondisiku sendiri. Otakku sepertinya ditutup karena terlalu mencintai suamiku itu. Sekarang setelah kutahu kebusukannya, sedikit demi sedikit lancar rasa aliran darah dan oksigen ke otakku hingga bisa berpikir jernih.Kepraaank! Keprrraank!Suara piring dan entah apa saja dari dapur yang dihempaskan oleh mertuaku. Aku tidak peduli. Jika dia menganggapku menantu, istri anaknya, dia tidak akan menyembunyikan informasi tentang uang itu. Dia akan mempercayaiku mengatur uang itu karena aku istri putranya. Apa jika dia di posisiku, akan bisa bersabar sepertiku? Dibiarkan hidup hemat mencekik, sedangkan uang berjuta-juta dipegang mertua. Ciih. Aku mencebik makin tidak punya rasa."Nita! Nita! Bangun kamu! Sudah siang ini!""Apa sih, Ma?!" timpal Nita, adik iparku dari dalam dengan suara yang serak."Bantu Mama di dapur. Nanti sore ada acara!""Loh, bukannya ada Mbak Qiran?! Suruh dia aja, Ma. Aku lagi persiapan wawancara kerja ini.""Yah, sebentar aja. Kakak iparmu itu hamil pemalas! Anaknya pasti akan jadi pemalas juga nanti."Aku tersenyum sinis. Biarlah anak gadisnya yang asli pemalas itu yang menggantikanku. Selama ini, aku yang melayani mereka seperti pembantu jika di sini. Dalam sebulan bisa seminggu aku dibawa suamiku. Alasannya bakti pada orang tua. Tapi ternyata, kasih sayangku mereka curangi.Dengan terpaksa kudengar Nita ikut membantu ibunya. Aku mengerucutkan mulut, tidak peduli lagi dengan tajamnya ucapan mereka. Mau menggunjingku sampai habis napas kalian silahkan. Sepanjang hari ibu mertuaku merepet menyindirku pada tetangga yang dia bayar untuk membantunya. Orang saja dia bayar, pada menantunya sendiri dianggap budak. Tak usahlah dibayar pakai uang, cukup dengan dianggap dan dihargai saja sebenarnya. Apalagi adik iparku yang baru dua bulan wisuda, sudah seperti ikan koi saja mulutnya kalau kami berpapasan.Acara arisan selesai dan aku tahu rupanya setoran bulanan arisan mama mertuaku sampai dua juta. Hebat sih, dia berarti punya uang segitu setiap bulan. Darimana? Sedangkan aku tahu, gaji penjaga sekolah biasa tidak sampai segitu. Bapak mertua pernah memberitahuku gajinya hanya sejuta lima ratus. Patut kucurigai ibu mertuaku ini."Qi, sotonya enak. Udah rasa?" tanya Mas Fadli saat masuk kamar dan langsung merebahkan diri."Belum. Nanti ajalah, Mas," jawabku sembari langsung memijit kakinya. Susah payah kutahan diriku karena perbuatannya yang sedang menduakanku. Tapi aku harus menujukkan gelagat biasa saja agar dia tidak curiga. Aku sudah punya rencana sendiri untuk suamiku ini."Mas, kamu yakin, uangmu tidak dipakai Mama buat bayar arisan?" pancingku."Biarin aja. Toh nanti balik pas dapat," jawabnya santai.Aku menggigit bibirku."Mas, bagaimana kalau aku saja yang pegang uang itu, Mas? Kata ustad, uang yang di tangan istri itu berkah.""Kalau istrinya boros, mana ada berkah-berkahnya. Apalagi model kamu. Beli roti aja kamu online. Itu kamu baru punya uang sedikit. Gimana kalau kamu pegang uang banyak? Udahlah, Qi. Berhenti bahas tentang tabunganku sama Mama. Nanti kalau sudah jadi rumah, baru kamu sadar kalau Mamaku itu paling jago pegang uang."Tanganku yang sedang memijitnya langsung berhenti. Aku mengangguk-angguk samar. Berarti Mas Fadli ingin menabuh perang denganku. Kucoba beri dia kesempatan tapi dia benar-benar merasa diri paling. Apa dia sadar, ucapannya itu menyinggung perasaanku?"Oke, Mas. Tapi mulai hari ini, aku ingin uang jajanku ditambah jadi 10 ribu, ya," rayuku lagi mencoba kembali mencari kejelasan."Kamu minta 5 ribu sehari aja, gak, Qiran. Demi rumah kita. Kamu jangan kayak anak kecil. Untuk mendapatkan sesuatu yang besar, kamu harus berkorban yang besar juga. Sudah ah, aku mau tidur. Kamu bantu Mama cuci piring sana. Tadi sudah numpuk piring kotor di dapur."Aku diam saja mendengar rempetan suamiku itu. Sekarang hatiku sangat mantap untuk berbuat curang padanya. Padahal, semenjak menikah, aku berusaha membuang jiwa kriminalku ini, Mas. Tapi rupanya kamu membangunkan serigala yang sedang tertidur.Aku lalu keluar. Bukan ke tempat cuci piring tapi kamar mandi. Kebersihkan diriku agar segar dan otakku kembali on. Ucapan suamiku yang seolah mengatakan tidak ada keberkahan dalam diriku sebagai istri untuk memegang uang, membuatku konslet. Saat keluar, ibu mertuaku sudah di depan wajahku."Sudah puas di kamar seharian, Tuan Putri? Sekarang tugasmu cuci piring dan mangkok bekas makan itu.""Baik, Ma," ucapku manut.Sepertinya tak masalah aku cuci piring, mangkok, dan gelas juga wajan bekas memasak yang sudah menggunung itu karena perutku lapar. Sudah seperti gunung Himalaya kutengok tinggi tumpukannya. Setidaknya aku mendapatkan makanan dari hasil bekerja. Apalagi kulihat wajah mertuaku kusut karena kelelahan. Tetap saja aku kasihan meski sudah bertekad abai. Tapi sebelum melakukan tugasku, aku mencari sisa soto untuk menambah tenaga. Namun, yang kutemukan hanya kuah dan sayur toge."Ma, dimana sisa ayamnya?" tanyaku pada mama mertua yang sedang selonjoran."Tidak ada. Kalau kamu mau makan soto, pake kuah sama nasi saja! Masih ada kerupuk itu di toples." timpalnya. Aku mematung di depan panci itu. Baiklah. Tidak mengapa. Namun beberapa saat kemudaian, jelas kudengar sayup-sayup suara mama mertua bicara sendirian. "Gaya-gayaan mau makan ayam."Teees ....Teriris hebat rasa hatiku. Sebegitu rendahnya aku, tidak berharganya aku di mata ibu dari suamiku itu. Sampai sekedar secuil suir ayam saja tidak pantas untukku. Basah pipiku karena air mataku tak terbendung. Ini bukan perkara makan ayam tapi ini lebih dari itu. Ini tentang rasa tidak dihargai, tidak disayangi dan tidak memiliki makna.Pikiranku langsung kalut. Jiwa liar tanpa rasa takut itu muncul seperti mengalir kembali dalam aliran darahku. Kupilih mangkok-mangkok besar bening berukuran besar, sedang dan kecil. Ketiganya begitu cantik dan apik. Hanya dikeluarkan saat menyambut tamu istimewa karena mampu melambangkan kemewahan. Aku tahu, harganya cukup untuk membeli puluhan mangkok soto bertoping ayam yang banyak. Dengan cepat kususun, lalu kuangkat tinggi-tinggi.Wusssh!Criiiiing!Besar sekali suara gemerincing dentuman dari mangkok-mangkok yang jatuh secara bersamaan dari tanganku. Berhamburan di segala sisi. Sedetik aku menyeringai puas lalu menutup mulutku seolah kaget melihat beling yang berceceran."Suara apa itu?!!!" teriak mama mertua tergopoh-gopoh.Mas Fadli yang tengah tertidur lelap langsung keluar. Ibu dan anak itu terlihat terkejut luar biasa. Teriakan kencang mama mertua melihat ketiga mangkok cantiknya hancur lebur menusuk di gendang telinga yang mendengarnya. Tapi di telingaku, suara pekikannya bagai alunan kidung peri hutan yang merdu. Aku puas."Qiraniiiiiii!!!" teriak mama mertua. Mas Fadli tak berkutik melihatku. "Aaaah, kepalaku pusing, Mas," lirihku. Aku langsung pura-pura oleng. Kupegang kepalaku selayaknya orang yang lagi pusing dan akan pingsan. Aku berakting berusaha berdiri tegak dan seakan-akan mau jatuh. Kubiarkan tanganku menjalar kemana-mana mencari keseimbangan, menabrak piring dan mangkok yang berjejer di kabinet, dekat sink (wadah tempat mencuci piring). Criiiing! Krink! Mangkok-mangkok itu berjatuhan. "Berhenti Qirani!!!" teriak Mama mertua.Aku langsung mematung dan luruh, berjongkok sembari menopang kepalaku. Aku menunduk, sebenarnya sedang menyembunyikan mulutku yang tersenyum senang. 'Mampus' jerit hatiku senang. Dalam hatiku terkekeh jahat. Entah setan mana yang sedang menggerogoti hatiku sekarang. "Dek! Ya ampun! Diam di situ! Jangan bergerak!" seru Mas Fadli terdengar panik. Suamiku itu berlari keluar. Rupanya dia memakai sandal dan mengambilkan aku aku sandal juga agar kakiku tidak tertusuk b
Mas Fadli meraih ponselnya dan jelas dia salah tingkah melihatku. "Kenapa, Mas? Kok panik gitu wajahnya? Selingkuhanmu?" tanyaku to the point. "Saring kalau bicara. Ini teman kantorku. Tau apa kamu?!" ketusnya. Aku mengangkat sedikit ujung bibirku, sinis. Jelas sekali wajah bertopeng suamiku itu. Sekarang dia keluar membawa hpnya. Jelaslah pasti dia akan berhubungan dengan pacarnya. Tak apa, aku tahan-tahan saja. Sekarang kamu bisa leluasa bersikap, Mas. Tapi lihat saja nanti, aku masih beri kamu waktu. "Aku mau pulang, Mas," ucapku ketika Mas Fadli kembali. Dia langsung mengangguk. Sepertinya karena dia tak ingin aku bertanya tentang wanita yang menelponnya itu. Aku sengaja tidak mau membahasnya, buang-buang tenaga. Kalau cinta sudah terkuras begini, perasaan illfill bergelayut. Dia saja tidak mencintaiku, kenapa aku harus terpuruk? Malam itu juga, aku kembali ke kontrakan, meninggalkan wajah cemberut Mama mertua dan adik ipar yang kelelahan. Pastilah mereka semakin membenciku.
Malam itu aku gelisah sekali. Aku pura-pura keluar kamar, untuk minum. Sekilas kupandangi bingkai foto habib. Tiba-tiba saja hatiku berdebar-debar. Bagaimana kalau gagal? Bukan aku peduli dengan uangnya, tapi kalau para warga datang, dan gebukin Si Kipli, sohibku. Aduuuh! "Sayang, main 'jungkat jungkit', dong," ucap Mas Fadli mendekatiku yang baru merebahkan tubuh. Barusan, aku sudah membuka kunci pintu agar Kipli dengan mudah masuk. "Maaf Mas, perutku sedang kram. Besok aja, ya!""Dosa loh, ajakan suami ditolak," ujarnya. "Nanti kalau anak kita kenapa-kenapa gimana, dong," ujarku manja. Jangan sampai, nanti saat ngeong-ngeong, Si Kipli muncul. Batinku tiba-tiba merinding. "Malas akh sama kamu," ancam Mas Fadli langsung membelakangiku. Aku menggigit bibirku. Baru pertama kali ini aku menolak. Lagi pula, jika kuingat dia memiliki wanita simpanan, rasa bersalahku seketika hilang. Sebab, bisa jadi mereka telah main jungkat-jungkit juga. Suara ngorok Mas Fadli terdengar bersamaan den
Mas Fadli langsung berbinar karena merasa ada bantuan datang. Ia bersemangat melihat perampok tadi diinjak-injak oleh Zulkifli. Aku sangat yakin, itu Zulkifli karena postur tinggi besarnya itu. Bisa-bisanya tadi aku ceroboh tidak mengenalinya. Padahal pria perampok itu setinggiku dan gempal. "Ampun, Bang! Ampun, Bang!" mohon Si Perampok bersimpuh. Bahkan pisau yang dibawanya sekarang sudah di tangan Zulkifli. Aku terkesima melihat ketangkasan sohibku itu. Pandai sekali dia melumpuhkan perampok dengan kaki dan tangannya. Wajar juga sih, hidupnya kan memang keras dan panas. Penjaga pasar juga debt collector. "Yes! Hajar, Bang! Hajar!" seru Mas Fadli berbinar. Aku hanya menelan salivaku membayangkan yang akan terjadi di menit berikutnya. Suamiku yang kikir ini begitu yakin, laki-laki bertopeng sarung itu adalah kawan. "Enak saja datang merampok!" seru Mas Fadli mendekati kedua pria asing itu. "Pergi," ucap Zulkifli terdengar jelas. Meski terdengar melirih, tapi aku mengenal suaranya.
Kleek! Aku langsung mematikan lampu. Kukira Mas Fadli akan keluar, rupanya tidak. Aku merasa lega. Kupandangi langit-langit rumah kontrakan ini. Orang bilang, waktu terasa sangat cepat. Tapi bagiku, dua tahun terasa lama sekali menjalani hidup. Mungkin karena diperlakukan seperti tidak terlalu berharga oleh suami jadi hidup terasa membosankan. [Gimana? Aman? Besok jam 10 pagi aku cari ke pasar ya] Aku mengirim pesan ke Zulkifli. [Ok!] jawabnya cepat. Aku tersenyum membayangkannya. Esok hari, Mas Fadli tidak ke kantor karena masih shock. Aku jadi sangsi untuk izin tapi dipikir-pikir, aku lebih baik keluar rumah saja. Ikut suntuk aku melihat wajah kusut suamiku. Nanti kucari cara agar bisa keluar dengan izinnya. "Perampok setan. Kita lapor polisi aja, yuk, Dek!""Gak usah! Jangan, Mas!" tegasku berulang. Aku langsung tegang. Mas Fadli mengernyitkan alisnya padaku. "Apa kamu gak ingat ancamannya? Dia bisa suruh anak buahnya buat balas dendam! Berani kamu?!"Mas Fadli tampak memiki
Aku menunggu Zulkifli mandi di masjid dekat pasar. Pria itu keluar dengan kondisi nampak jauh lebih segar dan sedikit basah di pakaiannya. Bentuk rahanya semakin keras, tatapannya tajam dan bulu-bulu di lengannya membuatnya sebenarnya gagah. Tapi karena panas matahari dan hidup lebih banyak di pasar, yang membuat rambutnya merah dan kulitnya menghitam tak terawat. "Kita ke danau, yuk!" ucapnya. Aku mengangguk. Selama perjalanan, pikiranku menimbang-nimbang. Untuk pertama kalinya aku keluar bersama pria lain, meskipun Zulkifli sahabat kentalku tetap saja jauh di lubuknhatiku ini, ada rasa bersalah pada Mas Fadli. Aku menghela napasku kuat-kuat karena sepertinya setiap sisi aku berat. Sekitar perjalanan 30 menit, kami sampai. Nampak agak sepi pariwisata danau ini. Sepertinya karena siang hari dan juga bukan hari libur. Aku duduk di warung lesehan yang menghadap pemandangan danau. Warung itu memiliki tempat yang berkotak-kotak memanjang, dipisah oleh pagar bambu. Jadi setiap tamu tida
"Anu ... telapak kaki istri saya lagi sakit, keseleo, Buk. Mau ganti tempat duduk, suasana baru. Kami makan di sana aja ya, nanti saya ambil makanannya," ujar Zulkifli yang membuat aku seperti kena serangan jantung mendengar ucapannya. Zulkifli sudah berdiri sedangkan aku masih gemetaran tak berani mengangkat tubuhku, bisa langsung kelihatan oleh penghuni kotak di sebelah. Kuharap Mas Fadli tidak keluar menyaksikan perbincangan ini. "Ooh gitu. Suami istri rupanya. Oke. Itu digendong aja istrinya daripada merayap macam tokek gitu.""Ii-iiya," jawab Zulkifli berjongkok dan langsung menyambar tubuhku. Diangkatnya tubuhku dengan cepat, seperti tubuhku ini hanya kapas di tubuh besarnya. Zulkifli terus berjalan memapahku. Sudah ... sudah habis napasku sekarang! "Tu-turunin," bisikku menekan suaraku sedemikian rupanya. Ya Allah, aku malu sekali. Zulkifli justru meremas pinggangku dan aku langsung membeliak marah. Tepat saat tanganku akan memukul apapun dari anggota tubuhnya, terdengar sua
"Kamu jangan menuduh suamimu begitu. Sudah rugi puluhan juta gitu, masih saja kamu berulah!""Kok aku terus sih yang disalahin, Ma?!Intinya aku katakan kebenaran bahwa uang yang hilang itu gak sebanyak itu," cerocosku. Mama mertua hanya mendelik. Ia memilih duduk di kursi yang tersandar di tembok."Aku gak percaya kamu. Bisa-bisanya uang puluhan juta kerampokan. Memang agak lain kalian ini," omel mama mertua dengan bibirnya yang melenceng kiri kanan. Aku hanya angguk-angguk saja. Habis-habiskan tenaga jika terus menimpali nenek ini. Biar saja dia ngomel sampai peot, yang penting uang itu sudah masuk kantongku. Hatiku menyeringai jahat. "Kamu gak suguhin mertuamu apa gitu?""Gak ada apa pun, Ma. Mas Fadli tidak ada stok teh atau kopi. Kalau mama mau minum air putih atau air gula, aku bisa buatkan sekarang." Yang kukatakan ini adalah kebenaran. Sebelumnya aku ikhlas hidup melarat selama dua tahun jarang minum enak sekedar teh, yang penting segera punya uang untuk beli rumah. Tapi se