Share

BAB 5_PEMBASALAN PERTAMA

"Bagus ya kamu, Qirani! Pulang dari entah kemana, langsung masuk kamar dan tidur!"

"Aku pusing. Mual. Bawaan bayi," bohongku. Tekadku, pokoknya aku tidak akan mengabdi lagi di keluarga ini.

"Alah!" cebik mertuaku.

Aku langsung membungkus diriku dengan selimut. Terkadang aku juga heran, kok aku tidak muntah-muntah seperti orang hamil pada umumnya, ya? Apa jangan-jangan aku tidak hamil? Tapi perutku buncit dan hasil test pack juga positif kok. Tapi memang aku tidak pernah ke dokter kandungan. Mana mungkin Mas Fadli mau, buang-buang duit katanya. Nanti kalau sudah waktunya lahir, ya lahir saja. Bodohnya aku, tidak memiliki inisiatif sendiri untuk pergi memeriksa kondisiku sendiri. Otakku sepertinya ditutup karena terlalu mencintai suamiku itu. Sekarang setelah kutahu kebusukannya, sedikit demi sedikit lancar rasa aliran darah dan oksigen ke otakku hingga bisa berpikir jernih.

Kepraaank! Keprrraank!

Suara piring dan entah apa saja dari dapur yang dihempaskan oleh mertuaku. Aku tidak peduli. Jika dia menganggapku menantu, istri anaknya, dia tidak akan menyembunyikan informasi tentang uang itu. Dia akan mempercayaiku mengatur uang itu karena aku istri putranya. Apa jika dia di posisiku, akan bisa bersabar sepertiku? Dibiarkan hidup hemat mencekik, sedangkan uang berjuta-juta dipegang mertua. Ciih. Aku mencebik makin tidak punya rasa.

"Nita! Nita! Bangun kamu! Sudah siang ini!"

"Apa sih, Ma?!" timpal Nita, adik iparku dari dalam dengan suara yang serak.

"Bantu Mama di dapur. Nanti sore ada acara!"

"Loh, bukannya ada Mbak Qiran?! Suruh dia aja, Ma. Aku lagi persiapan wawancara kerja ini."

"Yah, sebentar aja. Kakak iparmu itu hamil pemalas! Anaknya pasti akan jadi pemalas juga nanti."

Aku tersenyum sinis. Biarlah anak gadisnya yang asli pemalas itu yang menggantikanku. Selama ini, aku yang melayani mereka seperti pembantu jika di sini. Dalam sebulan bisa seminggu aku dibawa suamiku. Alasannya bakti pada orang tua. Tapi ternyata, kasih sayangku mereka curangi.

Dengan terpaksa kudengar Nita ikut membantu ibunya. Aku mengerucutkan mulut, tidak peduli lagi dengan tajamnya ucapan mereka. Mau menggunjingku sampai habis napas kalian silahkan. Sepanjang hari ibu mertuaku merepet menyindirku pada tetangga yang dia bayar untuk membantunya. Orang saja dia bayar, pada menantunya sendiri dianggap budak. Tak usahlah dibayar pakai uang, cukup dengan dianggap dan dihargai saja sebenarnya. Apalagi adik iparku yang baru dua bulan wisuda, sudah seperti ikan koi saja mulutnya kalau kami berpapasan.

Acara arisan selesai dan aku tahu rupanya setoran bulanan arisan mama mertuaku sampai dua juta. Hebat sih, dia berarti punya uang segitu setiap bulan. Darimana? Sedangkan aku tahu, gaji penjaga sekolah biasa tidak sampai segitu. Bapak mertua pernah memberitahuku gajinya hanya sejuta lima ratus. Patut kucurigai ibu mertuaku ini.

"Qi, sotonya enak. Udah rasa?" tanya Mas Fadli saat masuk kamar dan langsung merebahkan diri.

"Belum. Nanti ajalah, Mas," jawabku sembari langsung memijit kakinya. Susah payah kutahan diriku karena perbuatannya yang sedang menduakanku. Tapi aku harus menujukkan gelagat biasa saja agar dia tidak curiga. Aku sudah punya rencana sendiri untuk suamiku ini.

"Mas, kamu yakin, uangmu tidak dipakai Mama buat bayar arisan?" pancingku.

"Biarin aja. Toh nanti balik pas dapat," jawabnya santai.

Aku menggigit bibirku.

"Mas, bagaimana kalau aku saja yang pegang uang itu, Mas? Kata ustad, uang yang di tangan istri itu berkah."

"Kalau istrinya boros, mana ada berkah-berkahnya. Apalagi model kamu. Beli roti aja kamu online. Itu kamu baru punya uang sedikit. Gimana kalau kamu pegang uang banyak? Udahlah, Qi. Berhenti bahas tentang tabunganku sama Mama. Nanti kalau sudah jadi rumah, baru kamu sadar kalau Mamaku itu paling jago pegang uang."

Tanganku yang sedang memijitnya langsung berhenti. Aku mengangguk-angguk samar. Berarti Mas Fadli ingin menabuh perang denganku. Kucoba beri dia kesempatan tapi dia benar-benar merasa diri paling. Apa dia sadar, ucapannya itu menyinggung perasaanku?

"Oke, Mas. Tapi mulai hari ini, aku ingin uang jajanku ditambah jadi 10 ribu, ya," rayuku lagi mencoba kembali mencari kejelasan.

"Kamu minta 5 ribu sehari aja, gak, Qiran. Demi rumah kita. Kamu jangan kayak anak kecil. Untuk mendapatkan sesuatu yang besar, kamu harus berkorban yang besar juga. Sudah ah, aku mau tidur. Kamu bantu Mama cuci piring sana. Tadi sudah numpuk piring kotor di dapur."

Aku diam saja mendengar rempetan suamiku itu. Sekarang hatiku sangat mantap untuk berbuat curang padanya. Padahal, semenjak menikah, aku berusaha membuang jiwa kriminalku ini, Mas. Tapi rupanya kamu membangunkan serigala yang sedang tertidur.

Aku lalu keluar. Bukan ke tempat cuci piring tapi kamar mandi. Kebersihkan diriku agar segar dan otakku kembali on. Ucapan suamiku yang seolah mengatakan tidak ada keberkahan dalam diriku sebagai istri untuk memegang uang, membuatku konslet. Saat keluar, ibu mertuaku sudah di depan wajahku.

"Sudah puas di kamar seharian, Tuan Putri? Sekarang tugasmu cuci piring dan mangkok bekas makan itu."

"Baik, Ma," ucapku manut.

Sepertinya tak masalah aku cuci piring, mangkok, dan gelas juga wajan bekas memasak yang sudah menggunung itu karena perutku lapar. Sudah seperti gunung Himalaya kutengok tinggi tumpukannya. Setidaknya aku mendapatkan makanan dari hasil bekerja. Apalagi kulihat wajah mertuaku kusut karena kelelahan. Tetap saja aku kasihan meski sudah bertekad abai. Tapi sebelum melakukan tugasku, aku mencari sisa soto untuk menambah tenaga. Namun, yang kutemukan hanya kuah dan sayur toge.

"Ma, dimana sisa ayamnya?" tanyaku pada mama mertua yang sedang selonjoran.

"Tidak ada. Kalau kamu mau makan soto, pake kuah sama nasi saja! Masih ada kerupuk itu di toples." timpalnya. Aku mematung di depan panci itu. Baiklah. Tidak mengapa. Namun beberapa saat kemudaian, jelas kudengar sayup-sayup suara mama mertua bicara sendirian. "Gaya-gayaan mau makan ayam."

Teees ....

Teriris hebat rasa hatiku. Sebegitu rendahnya aku, tidak berharganya aku di mata ibu dari suamiku itu. Sampai sekedar secuil suir ayam saja tidak pantas untukku. Basah pipiku karena air mataku tak terbendung. Ini bukan perkara makan ayam tapi ini lebih dari itu. Ini tentang rasa tidak dihargai, tidak disayangi dan tidak memiliki makna.

Pikiranku langsung kalut. Jiwa liar tanpa rasa takut itu muncul seperti mengalir kembali dalam aliran darahku. Kupilih mangkok-mangkok besar bening berukuran besar, sedang dan kecil. Ketiganya begitu cantik dan apik. Hanya dikeluarkan saat menyambut tamu istimewa karena mampu melambangkan kemewahan. Aku tahu, harganya cukup untuk membeli puluhan mangkok soto bertoping ayam yang banyak. Dengan cepat kususun, lalu kuangkat tinggi-tinggi.

Wusssh!

Criiiiing!

Besar sekali suara gemerincing dentuman dari mangkok-mangkok yang jatuh secara bersamaan dari tanganku. Berhamburan di segala sisi. Sedetik aku menyeringai puas lalu menutup mulutku seolah kaget melihat beling yang berceceran.

"Suara apa itu?!!!" teriak mama mertua tergopoh-gopoh.

Mas Fadli yang tengah tertidur lelap langsung keluar. Ibu dan anak itu terlihat terkejut luar biasa. Teriakan kencang mama mertua melihat ketiga mangkok cantiknya hancur lebur menusuk di gendang telinga yang mendengarnya. Tapi di telingaku, suara pekikannya bagai alunan kidung peri hutan yang merdu. Aku puas.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status