Share

Bab 7

"Halah, jadi babu saja sombong. Mending kerja sama Ibu. Bisa berangkat kapan saja. Bisa makan gratis!" Bibir Ibu mencebik. Tangannya dilipat di depan dada.

"Alhamdulilah, babu juga kerjaan halal kok Bu."

"Halah, pokoknya nanti kalau Bambang pulang suruh ke rumah Ibu! Biar Ibu yang bicara!" Tanpa menunggu jawaban dariku. Wanita tua itu lantas pergi tanpa pamit. 

****

Jam menunjukan angka lima lebih lima belas menit, matahari sudah mulai turun ke peraduannya. Aku segera menutup semua jendela dan juga groden. Dimana hari semakin gelap. Disaat aku tengah menutup pintu. Suara kendaraan milik Mas Bambang terdengar berhenti di halaman rumah. 

Belum juga aku melihat ke luar. Suara pintu terbuka membuat aku segera menoleh ke arahnya. Disana laki-laki dengan lesung pipi di kedua sisi sudah masuk kedalam rumah. 

Aku pun tersenyum.

"Dek, kamu ngapain disitu?" tanya Mas Bambang kepadaku. Aku yang tengah berada di dekat jendela lantas memutar badan berjalan ke arah Mas Bambang.

"Lagi nutup jendela, Mas. Kamu sudah pulang?" tanyaku pada laki-laki itu. Lantas meraih tangannya mencium dengan takzim. Tangan lelaki itu mengusap lembut pucuk kepalaku. Lalu tersenyum.

"Mau diambilin minum?" 

"Boleh."

"Tunggu ya."

Aku segera bergegas menuju dapur membuatkan secangkir kopi lalu sebelah tangan membawa piring berisi makanan ringan. Kuletakkan minuman beserta teman-temannya itu diatas meja. 

Lelaki itu tengah menggulung lengan kemeja panjangnya hingga ke siku. Terlihat bibirnya tersenyum kearahku.

"Terima kasih, Dek." Aku menjatuhkan bokongku di kursi tidak jauh dari Mas Bambang. Tanganku terus mengusap perut yang sedari tadi bergerak lincah. 

"Ibu meminta kamu buat nyari rumput!" Aku memulai pembicaraan. Menyampaikan pesan Ibu kepada Mas Bambang.

"Kamu nggak bilang aku sudah bekerja?"

"Sudah, Mas kan tahu gimana sikap Ibu. Dia pengennya kamu ngurus sapi, dapat makan lalu di gaji sama beliau. Kalau sampai kamu bersedia, Mas. Aku yakin Ibu semakin semena-mena sama aku." Lelaki itu terdengar menghela napas panjang lalu membuangnya perlahan. Ia sandarkan tubuhnya pada sofa. Lalu menatap langit-langit kontrakan.

"Nanti Mas yang bicara sama Ibu. Kamu tenang saja. Kamu sudah periksa belum?"

"Belum, tadi aku dikabarin sama bidan kalau dia nggak ada hari ini."

"Ya sudah kalau begitu." Mas Bambang terlihat menyeruput kopinya. Aku pun membuka benda pipih itu lantas berselancar di dunia maya. Menulis sudah menjadi kegiatanku saat ini. Entah di siang hari maupun di malam hari. Mas Bambang pun tidak tahu aku sekarang memiliki kegiatan baru. Kegiatan yang insyaallah menghasilkan banyak uang. 

Aku duduk sembari mata tetap fokus menatap layar. Pikiranku membayangkan jika aku menjadi tokoh utamanya. Agar cerita bisa mendapatkan feel yang nyata.

"Kamu ngapain sih, Dek?" tanya Mas Bambang di sela-sela mencomot makanan.

"Lagi nulis."

"Nulis? Nulis apa?"

"Nulis cerita lah, Mas. Masak nulis diary?"

"Memangnya kamu bisa?"

"Bisa dong, kan belajar."

"Ya sudah kalau begitu. Mas mandi dulu!"

Aku hanya menjawab dengan anggukan kepala. Lantas kembali fokus ke layar ponsel. 

Kring

Benda pipih milik Mas Bambang terdengar berbunyi. Aku pun hanya menatapnya sekilas. Tanpa berniat mengangkat nya.

Namun lagi-lagi ponsel lelaki itu berdering. Membuatku penasaran siapa yang tengah menghubungi suamiku itu. Lantas aku menatap layar ponsel milik Mas Bambang. Nama Ibu mertua tertera jelas di sana. 

Tidak lama panggilan telepon itu mati dengan sendirinya. 

Aku berniat kembali meletakan ponsel itu di atas meja. Namun aku urungkan karena mendengar pesan masuk di sana.

[Bambang, kamu ke rumah Ibu sekarang. Ada yang ingin Ibu sampaikan kepadamu!]

Aku mengernyitkan dahi. Kedua alisku bertautan, entah apa yang akan disampaikan Ibu mertuaku. Sepertinya penting jika dibaca dari pesan yang dikirim.

[Kamu keluar saja dari pekerjaan itu, hanya buang-buang waktu. Jika bekerja hanya menjadi seorang babu!] 

Deg

Pesan dari Ibu mertuaku membuatku terkejut. Kenapa bisa Ibu kandung bisa berbicara demikian kepada anaknya. Bukankah menjadi seorang cleaning service bukanlah suatu dosa? Ya Tuhan, entah  bagaimana pemikiran wanita itu.

Tanganku sengaja aku letakan di depan dada. Menahan detak jantung yang tidak beraturan.

Dalam hati aku terus beristighfar, berharap dada yang terasa sesak ini bisa bernafas lega. Tidak berapa lama Mas Bambang keluar dari kamar.

"Kamu kenapa, Dek? Kok seperti itu?" tanya Mas Bambang yang melihatku melamun.

"Ibu mengirim pesan, Mas."

"Pesan? Apa?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status