Share

Bab 7

Penulis: Pena_kinan
last update Terakhir Diperbarui: 2023-05-26 04:43:10

"Halah, jadi babu saja sombong. Mending kerja sama Ibu. Bisa berangkat kapan saja. Bisa makan gratis!" Bibir Ibu mencebik. Tangannya dilipat di depan dada.

"Alhamdulilah, babu juga kerjaan halal kok Bu."

"Halah, pokoknya nanti kalau Bambang pulang suruh ke rumah Ibu! Biar Ibu yang bicara!" Tanpa menunggu jawaban dariku. Wanita tua itu lantas pergi tanpa pamit. 

****

Jam menunjukan angka lima lebih lima belas menit, matahari sudah mulai turun ke peraduannya. Aku segera menutup semua jendela dan juga groden. Dimana hari semakin gelap. Disaat aku tengah menutup pintu. Suara kendaraan milik Mas Bambang terdengar berhenti di halaman rumah. 

Belum juga aku melihat ke luar. Suara pintu terbuka membuat aku segera menoleh ke arahnya. Disana laki-laki dengan lesung pipi di kedua sisi sudah masuk kedalam rumah. 

Aku pun tersenyum.

"Dek, kamu ngapain disitu?" tanya Mas Bambang kepadaku. Aku yang tengah berada di dekat jendela lantas memutar badan berjalan ke arah Mas Bambang.

"Lagi nutup jendela, Mas. Kamu sudah pulang?" tanyaku pada laki-laki itu. Lantas meraih tangannya mencium dengan takzim. Tangan lelaki itu mengusap lembut pucuk kepalaku. Lalu tersenyum.

"Mau diambilin minum?" 

"Boleh."

"Tunggu ya."

Aku segera bergegas menuju dapur membuatkan secangkir kopi lalu sebelah tangan membawa piring berisi makanan ringan. Kuletakkan minuman beserta teman-temannya itu diatas meja. 

Lelaki itu tengah menggulung lengan kemeja panjangnya hingga ke siku. Terlihat bibirnya tersenyum kearahku.

"Terima kasih, Dek." Aku menjatuhkan bokongku di kursi tidak jauh dari Mas Bambang. Tanganku terus mengusap perut yang sedari tadi bergerak lincah. 

"Ibu meminta kamu buat nyari rumput!" Aku memulai pembicaraan. Menyampaikan pesan Ibu kepada Mas Bambang.

"Kamu nggak bilang aku sudah bekerja?"

"Sudah, Mas kan tahu gimana sikap Ibu. Dia pengennya kamu ngurus sapi, dapat makan lalu di gaji sama beliau. Kalau sampai kamu bersedia, Mas. Aku yakin Ibu semakin semena-mena sama aku." Lelaki itu terdengar menghela napas panjang lalu membuangnya perlahan. Ia sandarkan tubuhnya pada sofa. Lalu menatap langit-langit kontrakan.

"Nanti Mas yang bicara sama Ibu. Kamu tenang saja. Kamu sudah periksa belum?"

"Belum, tadi aku dikabarin sama bidan kalau dia nggak ada hari ini."

"Ya sudah kalau begitu." Mas Bambang terlihat menyeruput kopinya. Aku pun membuka benda pipih itu lantas berselancar di dunia maya. Menulis sudah menjadi kegiatanku saat ini. Entah di siang hari maupun di malam hari. Mas Bambang pun tidak tahu aku sekarang memiliki kegiatan baru. Kegiatan yang insyaallah menghasilkan banyak uang. 

Aku duduk sembari mata tetap fokus menatap layar. Pikiranku membayangkan jika aku menjadi tokoh utamanya. Agar cerita bisa mendapatkan feel yang nyata.

"Kamu ngapain sih, Dek?" tanya Mas Bambang di sela-sela mencomot makanan.

"Lagi nulis."

"Nulis? Nulis apa?"

"Nulis cerita lah, Mas. Masak nulis diary?"

"Memangnya kamu bisa?"

"Bisa dong, kan belajar."

"Ya sudah kalau begitu. Mas mandi dulu!"

Aku hanya menjawab dengan anggukan kepala. Lantas kembali fokus ke layar ponsel. 

Kring

Benda pipih milik Mas Bambang terdengar berbunyi. Aku pun hanya menatapnya sekilas. Tanpa berniat mengangkat nya.

Namun lagi-lagi ponsel lelaki itu berdering. Membuatku penasaran siapa yang tengah menghubungi suamiku itu. Lantas aku menatap layar ponsel milik Mas Bambang. Nama Ibu mertua tertera jelas di sana. 

Tidak lama panggilan telepon itu mati dengan sendirinya. 

Aku berniat kembali meletakan ponsel itu di atas meja. Namun aku urungkan karena mendengar pesan masuk di sana.

[Bambang, kamu ke rumah Ibu sekarang. Ada yang ingin Ibu sampaikan kepadamu!]

Aku mengernyitkan dahi. Kedua alisku bertautan, entah apa yang akan disampaikan Ibu mertuaku. Sepertinya penting jika dibaca dari pesan yang dikirim.

[Kamu keluar saja dari pekerjaan itu, hanya buang-buang waktu. Jika bekerja hanya menjadi seorang babu!] 

Deg

Pesan dari Ibu mertuaku membuatku terkejut. Kenapa bisa Ibu kandung bisa berbicara demikian kepada anaknya. Bukankah menjadi seorang cleaning service bukanlah suatu dosa? Ya Tuhan, entah  bagaimana pemikiran wanita itu.

Tanganku sengaja aku letakan di depan dada. Menahan detak jantung yang tidak beraturan.

Dalam hati aku terus beristighfar, berharap dada yang terasa sesak ini bisa bernafas lega. Tidak berapa lama Mas Bambang keluar dari kamar.

"Kamu kenapa, Dek? Kok seperti itu?" tanya Mas Bambang yang melihatku melamun.

"Ibu mengirim pesan, Mas."

"Pesan? Apa?"

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • BANGKITNYA MENANTU YANG DIHINA   Bab 17

    "Maksud kamu apa, Mbak?" Toni mengalihkan pandangannya pada Ranti. "Iya, kata Ibu. Beliau menggunakan sapi-sapi meninggalkan bapak untuk membiayai kuliahmu. Jadi sekarang buktikan kalau sekolahmu bukan dari keringat Mas Bambang." Dengan santai Ranti berbicara. Entah keberanian dari mana wanita itu dapatkan. Kini Ranti lebih tegas pada Toni."Haduh, baru ambil sapi saja sudah sombong kamu, Mbak. Apalagi kalau sudah punya banyak sapi," sungut Toni tidak terima mendengar pernyataan Ranti."Amin, makasih ya doanya.""Haist …." Toni mendesah pelan. Dia keluar dari aplikasi game online. Dimana dia kalah ketika berbicara dengan Ranti. Bertambah kesal ketika Ranti bukannya marah justru berterima kasih pada Toni. Ya semudah itu adik ipar Ranti tersinggung. Tanpa mengucap salam maupun permisi Toni meninggalkan Ranti. Dia mengendarai motornya dengan kecepatan tinggi. Jarak antara kontrakan Ranti dengan rumah sang mertua tidak terlalu jauh. Kisaran lima belas menit saja jika mengunakan motor.

  • BANGKITNYA MENANTU YANG DIHINA   Bab 16

    Semenjak Bambang mengambil sapi paksa dari kandang Romlah selama itu wanita tua itu tidak lagi bertandang ke rumah kontrakan Bambang. Bertanya Kabar melalui sambungan telepon pun tidak. Begitu juga dengan laki-laki itu, dia justru sibuk merawat sapinya. Mencarikan rumput dan membersihkan kandang. Ketika Bambang sibuk di kandang. Ranti tengah makan siang dengan lauk sayur bayam di meja makan. Begitu juga dengan Suminah. Mereka duduk berhadapan menyantap makanan sederhana itu. Sedangkan sang putri dia biarkan tidur di kamar dengan ditutupi kerodong bayi."Nduk, kamu sudah sehat kan? Emak mau pulang dulu, emak kan juga harus ngurus ayam di rumah yang sudah dua Minggu di urus sama tetangga. Masa iya, Emak minta tolong terus. Kan sungkan!" ucap Suminah di sela-sela dia mengunyah makanan. Ranti yang mendengarnya pun mengangguk. Dia sudah merasakan jahitan sudah tidak nyeri lagi. Kontrol ke rumah sakit pun sudah tidak perlu, kata dokter jahitan Ranti sudah mengering dengan sempurna. Apa ya

  • BANGKITNYA MENANTU YANG DIHINA   Bab 15

    "Bambang nekat mengambil sapi milik ibunya. Sekarang ibunya marah-marah!""Astaghfirullah hal adzim," celetuk Ranti spontan begitu juga dengan Suminah. Mereka saling berpandangan. Apa yang ditakutkan terjadi, Bambang nekat dengan keyakinannya."Bagaimana ini, Mak. Ranti tidak mungkin meninggalkan Filzah di rumah.""Emak juga tidak mungkin datang ke sana, Ranti. Emak takut dikira ikut campur.""Kalau begitu kita tunggu saja Bambang di rumah.""Tapi, Mak. Nanti kalau Ibu marah-marah bagaimana? Mas Bambang ngadepin Ibu sendirian, kasihan dia!" Baru saja kedua wanita itu selesai bicara terdengar suara riuh dari luar sana yang terdengar semakin lama semakin mendekat. Ranti dan juga Suminah terus menunggu sebenarnya apa yang terjadi. Tidak butuh waktu lama, segerombolan orang sudah datang membawa sapi dengan berjalan cepat. Begitu juga dengan Mas Bambang dia terlihat menarik sapi betina itu dengan tali yang dikalungkan di leher."Pegang yang kuat, Pak. Kita masukan sapinya ke kandang sekaran

  • BANGKITNYA MENANTU YANG DIHINA   Bab 14

    Setelah terungkapnya kebenaran itu. Bambang tidak lagi datang ke rumah orang tuanya. Dia juga tidak lagi mengungkit-ungkit masalah uang. Yang ada kini justru sibuk menyiapkan sebuah kandang hewan di belakang rumah kontrakan. Wiranti yang semula hanya memperhatikan kini membernaikan diri bertanya."Mas, itu buat apa?""Kandang sapi, Dek.""Kandang sapi?" Wiranti membeo. Bersamaan dengan itu Suminah datang menghampiri. Ikut berdiri di samping sang putri menatap Bambang penuh arti."Kamu dapat uang dari mana buat beli sapi?" tanya Wiranti dengan polosnya. Karena yang dia tahu. Tidak mungkin dia meminta sapi pada mertuanya itu, meskipun gelar ibu kandung di sandangnya tidak mungkin wanita itu rela membagi sapi itu pada anaknya. Bambang yang tengah memukul paku menghentikan kegiatannya. Lantas dia mengusap keningnya yang berkeringat. Menatap kedua wanita yang saat ini memperhatikan itu dengan seksama."Mas mau ngambil sapi yang seharusnya milik kita, Ti.""Maksud Mas Bambang apa? Ranti ng

  • BANGKITNYA MENANTU YANG DIHINA   Bab 13

    Romlah diam, netranya terus bergerak kesana-kemari. Bambang yang mendengar penuturan Bagas baru saja terlihat menatap adik kandungnya itu dengan seksama. Sorot matanya menggambarkan bahwa ia kini tengah menanti suatu penjelasan."Maksud kamu apa, Gas?" pertanyaan Bambang membuat Romlah semakin gelisah. Wanita itu terus membenarkan rambut kemudian menyelipkannya di antara telinga. "Bu, jelaskan kepada Mas Bambang sebenarnya apa yang sudah terjadi. Agar semuanya jelas dan juga tidak salah paham begini!" Kini giliran Bagas yang meminta wanita itu untuk berterus terang. Bambang yang semula memperhatikan ibunya kini beralih pada Bagas yang duduk tidak jauh dengan Romlah."Tidak ada yang perlu dijelaskan. Sapi-sapi itu dibeli dengan menggunakan uang Ibu. Titik!" ucap Romlah dengan nada ketus. Wajahnya melengos setelah selesai berucap. Tidak ingin menatap Bambang lebih lama."Bu …." Bagas memohon. Akan tetapi, Romlah seakan tidak peduli. Dia tetap dengan pendiriannya. Berdiri dari tempat di

  • BANGKITNYA MENANTU YANG DIHINA   Bab 12

    "Maafkan Ranti, Mas. Uang itu diberikan Bagas sebagai ucapan terima kasih kepada kamu, Mas. Sudah bantu dia buat biayain kuliah hingga bisa seperti sekarang. Dia ngasih uang itu buat biaya persalinan. Terbukti uang itu juga kita gunakan. Akan tetapi, belum juga aku bilang sama kamu soal Itu aku keburu lahiran, Mas. Maafin aku ya?" Tatapanku sendu. Ada rasa menyesal terlihat jelas pada wajah dan juga sikapku. Ya aku menyesal.Huh hahMas Bambang terdengar membuang napas panjang. Aku yakin ada beban berat yang kini tengah ia rasakan. Bukan bermaksud menjadikan beban soal operasi caesar yang aku jalani ini. Akan tetapi, dokter memiliki alasan demi menyelamatkan buah hati. Air ketuban yang terus keluar tanpa diikuti pembukaan membuat janin yang ada di dalam rahim terancam keselamatannya."Semua bisa dibicarakan baik-baik, Bang. Jangan sampai amarahmu membuat kamu gelap mata. Ingat, dia itu ibumu yang harusnya sama kamu hormati. Ya?!" Wanita itu berbicara panjang lebar, membuatku merasa b

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status