Ajeng yang manja berpikir bahwa suaminya akan selalu menyetujui segala permintaan dia. Apalagi Abimana punya banyak cinta untuk diberikan kepada istri tersayangnya ini tanpa tega menolak. Ajeng yang terlena justru menjerumuskan dirinya sendiri ke dalam masalah besar dan genting. Di sinilah pertama kalinya Ajeng merasakan panik. Kemarahan Abimana adalah hal paling menakutkan dari dugaan dia.
Lihat lebih banyak•• ༻❁༺ ••
Ketika laun-laun mentari pergi ke peraduannya, terpancang pula keindahan langit berhiaskan semburat lukisan jingga. Pesona sore seakan turut membingkai kesunyian Abimana Abrisam. Dia termenung seraya menatap kemegahan cakrawala, diam memikirkan sang istri tercinta yang saat ini berada di rumah. Ajeng, Ajeng Dwi Ayu; ialah wanita istimewa dengan segala kecantikan yang dia miliki. Mata bulat, kulit putih nan mulus, juga rambut hitam yang panjang dan halus, sungguh menawan untuk dipandang. Ajeng telah seutuhnya memengaruhi pikiran Abimana. Pria itu tengah mengulang kembali peristiwa bahagia tahun lalu kala dia dan Ajeng melangsungkan ijab kabul di depan orang tua mereka dan juga sanak saudara yang hadir. Menjelang setahun pernikahan mereka, kebahagiaan sejoli tersebut akhirnya terlengkapi. Kehamilan Ajeng merupakan hadiah terbaik di sepanjang usia Abimana. Dia bahkan telah menyusun dan mempersiapkan hari khusus demi menanti kelahiran si buah hati. Enggan terlambat pulang menyebabkan Abimana bergegas mengemasi barang-barangnya. Langkah diayun cepat menyusuri koridor yang mulai sepi. Beberapa karyawan tentu sudah lebih dahulu meninggalkan ruangan mereka, ada juga yang kedapatan baru akan pergi. "Sore, Pak!" "Dim, Mau pulang juga?" "Iya nih, Pak. Yang lain udah ninggalin saya." "Kamu lelet, sih! Makanya sering ditinggal." "Aduh, Pak. Merekanya aja yang kesetanan. Enggak pernah santai setiap jam pulang—nuwun sewu, Pak! Saya duluan, ya." "Silakan, Dimas!" Abimana tertawa maklum, menggeleng-geleng menyaksikan stafnya yang saat ini berlari di depan dia. ----- Ketika bertemu seseorang yang cocok, sebuah ikatan pun dapat terjalin. Entah itu pertemanan, asmara, maupun pertemanan berujung asmara. Dan di perjumpaan pertama, Abimana langsung memutuskan untuk mempersunting Ajeng Dwi Ayu tanpa perlu menjajaki masa pendekatan. "Ngapain, Dek? Kok salam Mas enggak dijawab?" Abimana menghampiri istrinya yang tengah duduk berleha-leha di ruang bersantai. Dia tak lupa mendaratkan kecupan singkat di kepala. Sepasang kakinya naik ke atas sofa, Ajeng bersandar menyamping pada bantal-bantal persegi yang saling berimpit. Sekilas dia melirik Abimana dan berkata, "Iseng aja. Ini Adek lagi menonton live Xhopee. Tokonya ngadain diskon gede-gedean, mana tau ada yang bagus." "Udah makan?" "Eh, itu Mas. Maafin Adek, ya. Tadi Adek keburu lapar, jadi makan duluan. Tapi, Mumu udah masak, udah siapin makan malam buat Mas." Ajeng menurunkan kedua kakinya, disusul Abimana duduk di sebelah dia. "Adek cape, ya?" tanya Abimana sambil meneliti wajah istrinya. "Enggak kok, Mas." "Terus, kenapa bukan istri Mas ini yang nyiapin makan malam buat Mas? Padahal Mas kepingin ..." "Mas, masakan Adek atau bukan enggak ada bedanya. Mas sendiri bilang masakan Mumu enak. Masih ingat 'kan?" "Iya, sayang. Mas tahu. Tapi, tetap aja buat Mas masakan Adek itu spesial. Efeknya luar biasa setiap kali Mas dimasakin makanan sama Adek. Enaknya jadi berlipat ganda, Mas merasa disayang banget." "Ya mau gimana. Kapan-kapan deh adek masakin. Hamilnya ini bikin Adek bosan di dapur, apalagi masak." Nada suara Ajeng terdengar manja, ditambah muka cemberut yang kerap menunjukkan betapa menggemaskannya dia. "Oh, karena jagoan kecil kita ini? Jadi, Mas memang harus mengalah dong, ya?!" Ajeng mengangguk lucu dengan bibir maju seperti paruh bebek. "Sehat-sehat di dalam ya, Nak," kata Abimana seraya mengelus-elus perut istrinya. "Apa hanya penglihatan Mas aja atau memang perut Adek mulai membesar. Coba Adek perhatikan! Lebih menonjol 'kan daripada yang kemarin-kemarin?" "Iya, Adek kira juga begitu. Mirip perut badut kalau dari cermin." Ajeng tersenyum tipis, turut senang saat telempap suaminya yang lebar menangkup dan memberi sapuan penuh kasih sayang pada permukaan perutnya. "Mas mandi dulu, nanti ke sini lagi." "Habis mandi Mas makan dulu. Entar makanannya makin dingin, loh. Adek enggak suka Mas melalaikan jam makan. Kebiasaan Mas di kantor enggak boleh dibawa pulang. Lama-lama Mas bisa sakit." "Iya, sayang. Mas janji bakal langsung makan." Abimana beranjak ke lantai dua, menuju kamar mereka. Istrinya betah di sofa, masih dengan ponsel dan live streaming yang dia saksikan. ----- "Aku ragu bisa ikut atau enggak," sahut Ajeng sambil memutar-mutar helai rambutnya. Dia sedang berbicara dengan seseorang melalui sambungan telepon. "Udah aku bilang 'kan, aku harus minta izin dulu, Jes." "Kamu ini gimana sih, Jeng? Memangnya kita mau ngapain? Masa iya minta persetujuan dulu cuma buat senang-senang? Yang benar aja?! Zaman udah berubah kali." "Mas Abim beda, Jes. Dia bukan tipe yang oke-oke aja. Aku enggak bisa ikuti saran kamu. Apapun alasannya, aku wajib jujur dan izin dulu." "Terserahlah! Kalau malam ini kamu belum juga ada kabar, kami bakalan pergi tanpa kamu, Jeng." "Enggak bisa begitu—loh, kok dimatiin?! Ajeng berdecak kesal sambil menatap layar ponselnya. "Siapa yang telepon, Dek?" "Teman Adek Mas. Mas udah jadi makannya?" "Baru selesai." "Sendirian aja?" Abimana spontan mengangguk. "Tumben enggak minta ditemenin Adek." "Enggak apa-apa, sayang. Barusan Adek ngomong sama siapa?" Kali ini Abimana duduk di seberang istrinya. "Udah Adek jawab, Mas. Itu dari teman Adek." Tiba-tiba Ajeng teringat rencana perginya. "Mas, ada yang mau Adek bilang." "Bilang apa, hem? Apa yang menyebabkan istri Mas ini cemberut." "Adek bingung. Teman Adek rencananya mau mengajak hangout, yang di telepon tadi. Adek boleh ikut enggak?" "Ke mana?" Abimana berusaha menjawab tenang, meski kernyit di dahinya muncul lebih dini. Dia tidak pernah suka terhadap ide bepergian Ajeng jika tanpa dirinya. "Paling ke mal, Mas. Shopping, ke bioskop. Atau juga hunting jajanan baru." Ajeng melipat bibir selagi menunggu tanggapan suaminya. Ragu pun memenuhi pikirannya kala menyadari bahwa suaminya tidak akan memudahkan ide bepergian itu. "Kapan, Dek?" "Besok, Mas. Jam sepuluh. Boleh ya, Mas?" Muka memelas dipampangkan. Ajeng hafal betul satu dari banyak kelemahan suaminya jika menyangkut dia. "Tapi, Adek sedang hamil. Dokter bilang usia kandungan Adek belum dibebaskan buat melakukan banyak kegiatan. Kalau terjadi apa-apa dengan Adek atau bayinya, bagaimana? Adek juga harus pikirkan itu." "Mas, Adek perginya enggak sendirian. Jangan melebih-lebihkan, dong! Lagian, Adek sering kok menjumpai wanita hamil di mal. Aman-aman aja sepanjang mereka ada di mal itu." Nada bicara Ajeng merendah, sarat rengekan di dalamnya. Dia tidak pernah berkata lantang, sangat bukan dirinya ataupun Abimana. Mereka terbiasa saling berbicara dalam intonasi halus. "Mas enggak bermaksud begitu, sayang. Cuma mengingatkan perkataan dokter tempo hari. Apa Mas salah mengkhawatirkan kondisi istri dan calon anak sendiri?" Tatapan Abimana berubah mengintimidasi, meski tidak ada kekerasan pada setiap penggalan kata yang diucapkan. Ya Tuhan, bahkan seluruh keluarga dari kedua belah pihak pun tahu betapa besar rasa cinta lelaki ini kepada istrinya. Ajeng kerap dimanjakan. Tiada sekalipun Abimana bertindak kasar, meski sebuah ketidaksengajaan. "Pokoknya Adek mau pergi, udah janjian dari minggu lalu ke mereka." Ajeng menunduk, muka cemberut dan bibir yang maju tadi tidak juga berubah. Gemas sekali, pikir Abimana. Jangka mendengar rengekan istrinya itu, Abimana lantas mendesah pasrah dengan kepala tetap dingin. Sepertinya dia perlu mengenyahkan pikiran-pikiran buruk yang melintas di benaknya. Sembari Abimana bangkit; berniat untuk kembali ke kamar mereka, dia lalu berkata lagi, "Mas bisa apa kalau Adek udah ngotot begini? Tapi, Mas benar-benar memohon sama Adek, jangan melalui batas! Pertimbangkan kondisi Adek buat kebaikan Adek dan bayinya juga. Sampai di sini paham 'kan, iya?""Saya tau ini sudah jam pulang. Tapi, setelah kedatangan Diana tadi terpaksa saya panggil kamu untuk bicara."Abimana Abrisam tetap menyampaikan rasa sungkannya, walau Dimas tidak sama sekali memperlihatkan raut keberatan. Justru pria itu duduk di hadapan Abimana dengan raut yang bersahaja. "Bapak pasti punya alasan memanggil saya ke sini. Saya bisa memahaminya, Pak." "Tidak ada konfirmasi mengenai kemunculan dia. Saya jadi kaget." Dahi Abimana berkerut sambil dia menautkan kedua tangannya. "Saya memikirkan sesuatu yang tidak bisa saya katakan. Diana agak berbeda dari Diana yang kita hadapi sebelumnya.""Bu Diana berubah jadi apa, Pak? Apa selama ini Bu Diana bukan manusia?" Dimas tidak berniat bergurau, tapi pernyataan sekian meluncur begitu mudah dari belah bibirnya. "Saya tidak bercanda. Dia seperti—ah, sudahlah. Lupakan aja!" Kini, giliran Dimas yang mengernyit sebab tidak mendapatkan informasi yang jelas. "Saya harus apa, Pak?" Kontan Abimana menengadah, mengamati Dimas yang
"Daripada Kakak sedih-sedih begitu, boleh enggak aku minta tolong mengupaskan buah?""Tumben enggak bikin kopi, Nak?" Cahyani seketika menangkap pernyataan putrinya barusan."Es buahnya buat kita semua, Bu. Ajeng kepingin mencampurkan madu ke dalam airnya, enggak usah pakai gula. Kopi 'kan untuk Mas Abim. Tapi, kayaknya dia juga bakal pilih es buah. Soalnya cuaca gerah-gerah berangin begini cocok banget minum yang dingin-dingin sambil makan yang manis-manis." Alyssa mengangguk di saat Cahyani berbalik ke belakang guna mengambil keranjang buah dari dalam kulkas. "Kasih tahu Alyssa buah apa yang perlu dia kupas." Cahyani menyambung lagi."Ehm, apa ya ... kalau semuanya pasti kebanyakan. Oh, kalau begitu pilih buah yang gampang dikupas atau dibersihkan. Anggur, stroberi, jeruk, apel sama kurmanya masukin, Kak.""Masukin?""Ke sini aja maksudnya." Ajeng memindahkan wadah mangkuk kaca yang besar ke hadapan Alyssa. "Ini buahnya dicuci Mumu, Kak Alyssa hanya mengupas aja. Nanti biar aku ya
Seorang office boy menurunkan dua cangkir kopi ke permukaan meja. Alvian Lim masih di situ, berbincang-bincang dengan Abimana mengenai projek perusahaan juga rencana liburan mereka. Karier Alvian Lim di bidang periklanan patut diapresiasi. Ide-idenya kerap brilian, mengikuti perkembangan zaman dan selera pasar. Maka dari itu, banyak pebisnis senior maupun dari kalangan pemula memilih untuk memakai jasanya. Salah satunya tentu saja Abimana Abrisam. Pria ini justru dari kapan waktu hendak bekerjasama dengan teman lamanya itu, meski padatnya daftar di dalam buku kerja Alvian Lim menyebabkan Abimana butuh menunggu hingga tiga tahun. "Ajeng masih harus menunggu reaksi ayah dan ibu, Vin. Aku enggak bisa memutuskan sepihak, walau sebenarnya aku yakin ayah ibu pasti mengerti. Cuma, pikiran aku ke Ajeng. Kalau dia belum benar-benar siap atau rela, mungkin rencana pindah ke Kalimantan bakal tertunda sampai dia bersedia.""Moodnya juga pasti naik turun. Maklum ajalah, Bro. Ibu hamil gampang str
Sembari menganalisa laporan yang dikirim dari Kalimantan, Abimana Abrisam juga sedang mengobrol dengan istrinya melalui Video Call. Padahal pagi tadi pun mereka mencuri-curi waktu dan situasi untuk bermesraan. Namun, seakan jarak rumah ke perusahaan merupakan kilometer panjang, Abimana sering merasakan kerinduan yang menyiksa pikirannya. "Dek, Mas pulang aja deh, ya. Kita pergi kek ke mana. Atau mau check in hotel enggak, sayang? Yang kolam renangnya privat. Kayaknya asyik sekali, serasa kita bulan madu lagi." "Mas, jangan ngaco ih! Ada Kak Juna di rumah, kok malah kamu mau kelayapan." "Biar bebas, sayang. Soalnya Mas jadi sungkan mau dekat-dekat sama Adek. Entar disangka enggak tau adat dan sopan santun." "Bukannya ada Kak Juna atau enggak, Mas tetap aja menempel ke Adek? Buktinya pas sarapan tadi Mas minta disuapin. Diliatin Kak Juna dan Kak Alyssa juga Mas enggak peduli tuh." "Hehe, biarin ah! Mau dikata norak juga Mas bodo amat, Dek. Mas udah telanjur kecintaan dengan y
"Kak Juna, aku enggak tau kalian berdua ada masalah apa. Tapi, Kak ... Ajeng ngerti banget menangis adalah batas dari kesabaran emosi seseorang. Entah kesedihan, marah, kecewa, apapun itu bukanlah sesuatu yang baik untuk dipendam. Dengan kondisi Kak Alyssa yang juga sedang hamil, reaksi emosional berlebihan bisa mengganggu perkembangan pada otak janin. Please, Kak ... buat sementara waktu Kakak yang harus lebih banyak bersabar. Suasana hati wanita hamil enggak ketebak, Kak. Terkadang kita bisa tiba-tiba aja ngerasa seperti orang yang paling malang atau kek yang udah cape banget menghadapi hidup." Arjuna dan Alyssa serempak bungkam, masing-masing memandang ke arah berlainan juga perasaan yang kontras. Arjuna menyadari jantungnya berdebar kencang. Terselip bangga saat mendengar segitu luas pemahaman adiknya sekarang. "Aku mau keluar. Kamu di sini dulu temani Alyssa, ya. Aku pasti balik lagi kalau semuanya udah lebih dingin.""Jangan lama-lama ya, Kak. Kasihan Kak Alyssa. Ajeng juga ha
Pulang ke Indonesia merupakan keputusan tunggal oleh Arjuna Eka Angga setelah dia melewati minggu-minggu untuk pertimbangan matang. Dia tak lagi merasa cocok bekerjasama dengan rekan-rekan maupun agensinya di Prancis. Maka dari itu, berangkat ke negara asalnya menjadi pilihan paling bijak menurut dia. Daripada harus terpaksa melibatkan diri ke dalam suasana lingkungan kerja yang tiada selaras. Namun, tentu semuanya itu bukan hanya tentang dia dan kenyamanannya. Setelah menikah, segala hal dalam kehidupan akan selalu berkaitan dengan pasangan. Mustahil Arjuna mengabaikan begitu saja opini Alyssa Chloe selaku istrinya. Lebih dari siapapun, wanita tersebut sudah sangat tahu seluk beluk personal dia, termasuk bagian terkelam. Alyssa hafal siapa/bagaimana ayah dan ibu Arjuna di Indonesia, tahu jika kedua paruh baya ini adalah keluarga angkat; sepasang suami istri yang mengambil Arjuna dari panti asuhan. Rahasia Laksmana Cahyani pun turut diketahui Alyssa, menyangkut status Arjuna. Sampa
Kamar hening kian senyap oleh suasana siang yang begitu tenang. Arjuna Eka Angga duduk diam di atas kasur, menghadap ke jendela bertutup tirai renda. Sikunya bertumpu di atas lutut dengan jemari menahan dahi. Gerangan beban apa yang sepertinya sungguh berat dia pikul. Nyatanya Arjuna tidak terlihat segitu senang. Di sini dia menumpahkan gulana itu kepada ruangan hampa. Kala dia tengadah, dapat terbaca luka yang menyedihkan. Arjuna meneteskan kepedihannya. "Jun ..." "Alyssa ..." Teguran lembut tadi tak pula mengakibatkan Arjuna panik, seolah tiada rahasia di antara mereka. "Kamu, okay? Sebelum aku pergi kamu masih baik-baik aja." "Nothing, you don't need to worry--gimana hangout tadi? Kamu happy?" "Lumayan. Adik kamu baik. Dia banyak omong sama aku. Aku rasa kita bakalan cepat akrab." "Bagus 'kan? Kamu jadi enggak perlu nethink lagi soal pergaulan di sini. Aku perhatiin juga kamu sendiri gembira pas bareng Ajeng." Alyssa sudah berada di samping Arjuna usai menaruh b
•• ༻❁༺ •• Apalagi kalau bukan semangkuk baso?! Ajeng menyarankan suguhan itu kepada kakak iparnya dan Alyssa menyetujui dengan suka rela. Mereka duduk di gerai baso ternama di Ibu Kota. Gerai tersebut bahkan viral di sosial media. Tiada hari tanpa ramainya pengunjung, atau perlu sedikit kesabaran sampai pesanan bisa disajikan. Namun, situasi tersebut tiada pula menyurutkan niat Ajeng untuk mencicipi baso berbentuk gepeng itu. Dia memiliki pendukung di sisinya, Alyssa bersedia menemani dia tanpa keluhan. "Mirip bola daging, ya. Tapi, teksturnya beda. Ini kenyal, dan juga empuk. Saya belum pernah makan yang seperti ini." "Jadi, kakak suka enggak rasanya?" Ajeng bertanya usai dia menyeruput kuah basonya. "Ehm, yah ... rasanya nyaman saja dimakan. Kayak sup 'kan? Mungkin saya enggak akan keberatan buat makan ini seminggu dua kali." "Tadinya aku pikir Kak Juna udah pernah mengajak kakak makan makanan ini di Prancis. Soalnya dia sangat suka baso, Kak. Dulu, sebelum Kak Juna berangkat
•• ༻❁༺ ••Hari ini Ajeng berencana mengajak kakak iparnya berjalan-jalan ke mal terbesar di Jakarta. Mereka bisa berburu perlengkapan bayi yang lucu-lucu atau barangkali menikmati pijatan khusus bagi ibu hamil. Terdengar menyenangkan saat Ajeng mengutarakan niatnya. Raut Alyssa si ipar pun praktis berubah antusias. "Aku sudah lama sekali ingin memiliki teman yang bernasib sama denganku. Dan ternyata ini jauh lebih baik dari harapan—adik iparku sendiri." Di dalam mobil, keduanya mengisi perjalanan dengan beragam topik obrolan. "Agak terlambat. Tapi, aku senang bisa bertemu Kakak sekarang. Kalau dilihat-lihat kehamilanmu masih baru, ya? Perut kita sangat berbeda. Lihat saja bagaimana gendutnya aku ini dengan perut segini besar dan bulat." "Kamu salah. Biarpun enggak sebesar perutmu, kehamilanku ini sudah berusia tujuh bulan.""Benarkah?! Astaga!" Ajeng melotot heran, memperhatikan sekali lagi perut Alyssa yang memang hanya setengah ukuran perutnya. "Aku enggak mengira bulan persalin
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen