Share

Bab 6

DINak Intan Ini selain pintar juga bijaksana. Beruntung kamu, Gas. Dapat istri cantik dan juga pintar kek intan."

'Itu kan belum semuanya terlihat. Kita lihat saja nanti bagaimana sikap Intan yang sebenarnya. Semoga saja baik seperti sekarang. Bukan hanya sekedar topeng sebelum sah menjadi menantu' ucapku dalam hati.

****

Aku selesai memasak nasi goreng. Menyiapkan sarapan di meja lalu menarik kursi untuk menjatuhkan bokongku. Tidak berapa lama Mas Bambang keluar dari kamar sudah mengenakan pakaian putih dan celana hitam. Persis pakaian yang ia gunakan kemarin.

"Masak apa, Dek?" tanya laki-laki itu seperti biasa.

"Nasi goreng. Kamu mau cari pekerjaan lagi, Mas?" tanyaku.

"Ow, iya. Kemarin Mas belum cerita ya. Mas pulang kamu sudah tidur. Keknya capek banget habis bantuin Ibu masak-masak."

"Iya, capek hati dan juga capek badan!" sahutku sembari memasukan sendok pada mulut.

Mas Bambang terlihat menghela napas panjang lalu membuangnya perlahan. Aku tahu dalam lubuk hatinya pasti sangatlah bimbang. Dimana aku terus mengadu sikap ibunya yang keterlaluan. 

Satu sisi aku adalah istrinya, satu sisi dia ibunya. Mana mungkin dia bisa memilih satu diantara kami. Karena memang kami bukan pilihan. Itu alasannya kenapa Mas Bambang mengajakku mengontrak saja daripada tinggal satu atap dengan Ibu.

"Memangnya kenapa lagi dengan Ibu?" Selalu pertanyaan yang sama ketika aku curhat dengannya.

"Biasalah, Mas. Dia bandingkan aku dengan calon menantu yang berstatus pegawai negeri itu. Memang bagusnya apa coba pegawai negeri? Gajinya besar? Sebesar apa sih?"

"Sudahlah, nggak perlu dipermasalahkan."

"Ah, kamu selalu bilang begitu."

"Lantas Mas harus bilang apa?"

"Apa kek, nasehati Ibu kek!"

"Sabar."

"CK … selalu begitu! Ow ya, Mas Bambang tadi mau bilang apa?" Aku bertanya setelah ingat bahwa lelaki yang bergelar suami itu hendak mengatakan sesuatu.

"Alhamdulilah, Dek. Mas sudah dapet kerjaan."

"Alhamdulilah, akhirnya."

"Meskipun cuma jadi tukang bersih-bersih. Nggak papa kan?" 

"Sudah dapet kerjaan saja, syukur Alhamdulillah. Nggak papa lah. Yang penting halal." Aku mengusap lembut perut buncitku. Lalu menatap ke arah Mas Bambang dengan harapan besar.

Lalu aku meletakan sendok pada piring. Kemudian menyeruput teh hangat.

Srut ah ….

"Mas … Ada yang ingin aku sampaiakan."

"Apa?" tanya lelaki itu. Dia menatapku sekilas lalu melanjutkan kegiatannya sarapan.

"Nggak jadi deng, besok saja!" Aku urungkan niatku untuk memberitahu Mas Bambang perihal niat baikku. Niat untuk belajar menjadi seorang penulis agar berpenghasilan. Lelaki itu sudah lama tahu bahwa aku suka membaca. Kadang dia menghadiahiku satu buku untuk dibaca. 

Namun sepertinya nanti saja aku sampaikan kepadanya. Nanti kalau sudah terlihat hasilnya.

"Ya sudah kalau begitu, Mas. Berangkat dulu! Jangan lupa minum vitaminnya. Besok, Mas antar ke bidan buat periksa."

"Mas Bambang nggak kerja?"

"Ya kerja. Kan bisa ijin sebentar."

"Nggak usah, Mas. Nanti  Ranti berangkat sendiri saja. Kan bisa jalan kaki. Lagian dekat kok. Cari kerja itu susah. Jangan Mas Sia-siakan."

"Ya sudah kalau begitu. Terserah kamu saja. Yang penting ingat, hati-hati. Nanti Mas bisa minta tolong sama Bagas atau Toni buat mengantar."

"Siap."

"Kalau begitu, Mas. Berangkat dulu. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam," jawabku setelah mencium punggung tangan Mas Bambang dengan takzim.

Aku mengantar Mas Bambang hingga di ambang pintu. Merapalkan doa dalam hati untuk keselamatan lelaki itu. Aku melambaikan tangan sembari bibir mengulum senyum. Mengiringi kepergian Mas Bambang yang mulai hilang bayangannya tertutup motor berseliweran. 

Disaat kaki hendak melangkah masuk. Terdengar suara Ibu-ibu yang hendak pergi belanja.

"Eh Mbak Ranti. Belanja tidak? Hayuk, barengan."

"Oh, nggak Bu. Terima kasih banyak. Saya masih ada sayur!" Kutolak tawaran Ibu-ibu itu dengan halus.

"Mbak Ranti capek ya?" celetuk salah satu Ibu-ibu itu.

"Capek kenapa memangnya Bu?" sahut yang lainnya.

"Mbak Ranti kemarin itu kan diminta ibu mertuanya bantu-bantu masak buat acara arisan. Kan kasihan, sudah hamil besar kok masih di suruh-suruh. Tapi mirisnya, setelah calon istri Bagas datang dia puji-puji itu perempuan. Kan sakit ya, Mbak Ranti?" Tarapan semua orang tertuju padaku. Akupun hanya bisa membalas dengan senyuman canggung. Mana mungkin aku mengatakan semuanya. Kalau tiba-tiba ada Sengkuni kan nggak lucu.

Kalian tahu kan Sengkuni itu apa? Sengkuni itu kan sikapnya di depan kita baik, dibelakang kita busuk. Disana bicara ketela disini bicara kolak. Kan nggak lucu. 

"Apa bener, Mbak Ranti? Ibu Romlah itu memang suka sama menantu yang jadi pegawai. Ih, Mbak Ranti ini seharusnya bisa mengambil hati mertua. Meskipun kita nggak jadi pegawai kalau kita bisa mengambil hati mertua dia juga bakal baik kok sama kita!" sahut yang lain.

"Halah … mertua itu kalau baik ya baik aja. Kalau memang dasarnya begitu ya begitu saja! Iya kan Mbak Ranti?" Aku yang mendengar perdebatan mereka pun hanya bisa nyengir kuda. Kenapa mereka yang sibuk. Sibuk mengurusi urusan orang lain. Padahal kami hanya berstatus sebagai tetangga.

"Saya masuk dulu ya, Ibu-ibu. Mau nyuci!" Aku beralasan. Agar perbincangan yang membuat aku sakit kepala itu berhenti. Setelah itu aku menutup pintu rapat-rapat. Berjalan masuk kedalam rumah. Membereskan meja makan sekaligus mencuci piring kotor dan gelas. 

Niat hati hendak mencuci aku urungkan. Segera aku membuka ponsel untuk melihat kelas hari ini. Semenjak aku bergabung dengan grub menulis aku langsung belajar menulis. Meskipun dengan jumlah kata yang belum banyak.

Disaat aku tengah fokus menulis. Tiba-tiba Ibu sudah berada tepat di depanku. Berkacak pinggang sembari mata melotot kearahku.

"Oh, begini pekerjaan kamu selama Bambang pergi mencari kerja? Mainan hp? Ha?" Wanita tua itu menatap kearah kamar mandi yang pintunya terbuka. Disana terlihat satu ember pakaian yang tengah aku rendam. 

"Nggak beberes rumah malah mainan hape terus. Istri kok bisanya ngabisin duit suami!"

Aku menghirup nafas dalam-dalam lalu membuangnya perlahan. Meletakan ponsel diatas meja lalu menatap kearah Ibu mertua.

"Ada apa, Bu? Datang-datang bukannya mengucap salam malah marah-marah nggak jelas."

"Eh, eh … mulai berani bicara ya kamu? Sudah nggak kerja, ngabisin duit suami. Berani melawan mertua, mau jadi apa kamu!"

Aku mengusap perutku yang sedari tadi terus bergerak lincah. Menatap kesembarang arah, lalu kembali menatap Ibu mertua.

Aku diam tidak menjawab.

"Eh, kamu ini bude* ya. Diajak bicara malah diam saja!"

"Ibu itu aneh, saya menjawab katanya berani melawan mertua. Saya diam, malah dikatain bude*," jawabku.

"Kalau begitu bilang sama suamimu. Ndak perlu cari kerja. Nyari rumput saja buat sapi-sapi, Ibu. Nanti Ibu gaji." Suara Ibu meremehkan.

"Mas Bambang sudah kerja kok, Bu. Nggak perlu repot-repot."

"Kerja? Jadi apa? Di kantor mana?"

"Kerja jadi clening servis."

"Halah, jadi babu saja sombong. Mending kerja sama Ibu. Bisa berangkat kapan saja. Bisa makan gratis!" Bibir Ibu mencebik. Tangannya dilipat di depan dada.

"Alhamdulilah, babu juga kerjaan halal kok Bu."

"Halah, pokok ya nanti kalau Bambang pulang suruh ke rumah Ibu! Biar Ibu yang bicara!" Tanpa menunggu jawaban dariku. Wanita tua itu lantas pergi tanpa pamit. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status