Di depan suamiku aku di lecehkan pria tua kejam tak berperasaan. Hatiku hancur aku memohon pertolongan pada suamiku namun ia tak sedikitpun iba atau sekedar membantu. Hingga seorang pria mapan dan tampan datang menawarkan apa yang aku butuhkan, namun dengan syarat ia meminta tubuhku.
View More"Kamu mabuk lagi, Mas?"
Nada suara Diana dingin, namun matanya bergetar menahan amarah dan sedih yang terus menumpuk. Ia berdiri mematung di ambang pintu ruang tamu yang remang dan berantakan. Lagi, sambutan ia pulang ke rumah bukanlah senyum manis sang suami, ataupun sekedar pertanyaan 'sayang apakah kamu lelah?' Tidak. Melainkan, botol-botol kosong bergelimpangan di lantai seperti serpihan kehidupan yang tak utuh. Beberapa tumpah, meninggalkan bekas lengket dan bau menusuk. Sisa makanan basi, asbak penuh puntung, dan baju kotor berserakan tanpa ampun di lantai rumah kecil yang semakin terasa pengap. Tangannya refleks menutup hidung. "Ya Tuhan, ini rumah atau tempat sampah, Mas?" Di sofa reyot yang busanya mencuat keluar, Reza terbaring. Kaos putihnya yang lusuh dan penuh jamur melorot dari bahu, celana pendeknya hampir melorot dari pinggang, rambut gondrongnya kusut dan berminyak. Matanya merah, bergerak liar tanpa arah, mulutnya bau alkohol. "Diana... Kamu pulang ya?" Suara itu serak, nyaris tak terdengar. Reza bangkit perlahan, sempoyongan seperti orang tak waras, berjalan menuju Diana dengan mata separuh terbuka. Diana menggeleng. Matanya penuh luka. "Sampai kapan, Mas? Sampai kapan kamu mau begini terus?!" "Begini bagaimana, Diana?" "Kamu buta? kamu gak bisa lihat kondisi kamu ini?" "Aku tahu. Aku tidak apa-apa. Aku cuma capek, Diana..." Reza meraba dinding, mencari keseimbangan. "Capek?!" suara Diana meninggi. "Kamu pikir aku nggak capek?! Aku yang kerja dari pagi sampai malam, kamu cuma tidur dan mabuk! Tiap hari kamu mabuk, Mas! Apa aku ini cuma pelayan buat kamu?! Gajiku habis buat nutupin utang dan beli makan, sementara kamu... kamu malah ngabisin uang buat minuman murahan!" Reza tertawa kecil, miris. Jemarinya mengurut pelipis yang berdenyut nyeri. "Kamu terlalu serius, Diana. Hidup itu harus dinikmati..." "Dinikmati? DENGAN MABUK SETIAP HARI?!" Diana melangkah cepat, menendang satu botol di lantai hingga mental ke dinding. Bunyi pecahan menghantam lantai menciptakan bising seperti menggores hati. "Kamu kira aku nggak pengin punya hidup yang bisa 'dinikmati'? Tapi aku lebih milih nahan semuanya daripada lari kayak kamu!" Reza akhirnya berdiri tepat di hadapan Diana. Jemarinya yang bau alkohol berusaha menyentuh pipi Diana. "Kamu dulu cantik, Diana... Sekarang kamu berubah. Judes. Cerewet. Bikin aku nggak betah di rumah...kamu juga sekarang jelek" "Oh, jadi itu alasannya kamu mabuk? Karena aku cerewet? aku jelek?!" Diana menepis tangan Reza dengan keras. "Kan memang nyatanya seperti itu Diana. Lihat tubuhmu tidak terawat dan wajah kamu seperti kuli bangunan. kusam dan..." "Pantas kamu bilang gitu, Mas? AKU JELEK KARENA KAMU TIDAK MEMBERI NAFKAH!!" "Itu memang fakta Diana. kamu jelek dan miskin. Tapi kamu selalu menuntut aku. Kamu ga pernah tanya bagaimana aku, bagaimana dengan kondisi aku" "Apa kamu pernah? Kamu juga nggak pernah coba dengar isi hatiku, Mas! Aku juga takut, aku juga muak hidup miskin, hidup nelangsa, hidup kayak orang nggak berharga. Tapi apa kamu pernah tanya apa yang aku rasain? Pernah?!" Diana menatap sengit Reza, wajahnya memerah menahan amaah dan kecewa. "Kamu gak pernah anggap aku istri kamu kan? bahkan kamu abai sama tugas kamu. Kamu selalu diam. Gak kerja, nyari uang juga gak sama sekali. Gak pernah cerita apapun sama aku, lalu aku ini apa sebenarnya?" Reza diam. Menunduk. Tapi bukan karena sadar. Karena kalimat berikutnya lebih menyakitkan. "Aku lebih nyaman cerita sama botol daripada sama kamu." Kalimat itu seperti bom. Meledak di dada Diana. Napasnya tercekat. "Jadi kamu lebih milih botol daripada aku? Aku istri kamu, Mas. Aku yang nemenin kamu dari nol! Waktu semua orang ninggalin kamu, aku yang masih bertahan!" Reza mengangkat bahu, lelah. "Kamu terlalu banyak nuntut, Diana..." "Nuntut? apa yang aku tuntut dari kamu, Mas? harta? emas? perhiasan atau kemewahan?" "Kamu selalu menyuruhku bekerja, PADAHAL KAMU TAHU CARI KERJA ITU SUSAH!" "ITU TUGAS KAMU SEBAGAI SUAMI! KAMU HARUS MEMBERIKU NAFKAH tapi kamu terlalu banyak lari! Lari dari kenyataan! Lari dari tanggung jawab! Aku capek, Mas! Aku LELAH!" Diana mendorong tubuh Reza sekuat tenaga. Tubuh itu goyah, jatuh keras ke lantai. Kepalanya nyaris menghantam kaki meja. Reza mengaduh pelan. Tapi Diana tak peduli. "Kamu tuh udah kayak orang mati, Mas... Tapi masih nyusahin hidup orang lain!" Ia membalikkan badan. Air matanya mengalir deras, Diana kembali menangis. Tapi tidak dengan suara. Ia hanya menutup pintu kamar, menguncinya, dan bersandar di belakangnya. Dalam kamar yang gelap dan pengap, Diana duduk di depan cermin retak. Wajahnya kusam, mata panda hitam menggantung. Rambutnya kering dan acak-acakan. Ia menatap pantulan dirinya, dan entah kenapa, ia merasa seperti menatap orang asing. "Aku bahkan nggak kenal siapa yang ada di cermin ini..." bisiknya. "Kurasa... pengemis di pinggir jalan pun lebih punya harapan daripada aku." Tangannya menyentuh retakan di tengah cermin membentuk garis panjang melintang. Retakan itu terjadi malam saat Reza mencoba mengambil KTP-nya diam-diam untuk meminjam uang ke bank. Dan belum sempat benda itu di ambil Diana lebih dulu memergokinya. Saat Diana menolak, Reza tak terima, ia marah dan hampir memukul Diana. Tapi akhirnya ia meninju cermin dan pergi tak kembali esoknya. Cermin itu retak. Tapi hati Diana yang hancur berkeping."Cara apa yang harus ku lakukan untuk mendapatkan liontin itu." "Dan, di mana Reza menyimpan liontin itu." "Apakah mungkin di rumah ini? Tapi di mana?" Diana berputar-putar menatap sekeliling kamar. Otaknya berpikir keras mencari di mana letak liontin itu. "Bodoh. Bahkan bentuk liontin itu aku tidak tahu." Diana memukul kepalanya. "Lalu bagaimana caranya bisa tahu dan mencarinya?" Bahkan ia lupa bertanya pada Bram bentuk dan bagaiaman liontin itu. Tangannya membuka lemari, lemari yang dulu ia acak-acak kini kembali ia bongkar. Ia tak peduli pada tubuhnya yang terasa lelah remuk redam. "Di mana ya?" gumam Diana sambil menarik tumpukan pakaian Reza. Walaupun baju mereka dalam satu lemari yang sama namun tidak jadi satu tempat. Dan hanya lemari itu Diana mengijinkan Reza menyimpan barang yang sama ndgsna Diana. Dikarenakan mereka cukup lama pisah ranjang, lebih tepatnya sejak Reza berubah menjadi brengsek dan tak tahu diri itu. Bahkan ia tak peduli jika pria itu sakit bad
Matahari sudah cukup tinggi ketika Diana akhirnya berhasil bangun lagi. Tubuhnya masih terasa letih, tapi Bram sudah lebih dulu menariknya untuk turun ke ruang makan. Meja makan itu panjang, dengan taplak putih bersih dan peralatan makan berkilat rapi berjajar. Piring porselen putih di hadapan mereka hanya berisi menu bermacam-macam sup hangat, ayam panggang, beberapa olahan ikan dan potongan buah segar. Terlihat mewah bagia Diana yang terbiasa makan dengan orek tempe, aroma masakannya menusuk hidungnya, nikmat dan berkelas khas rumah besar dengan chef profesional. Namun anehnya, ruang makan yang luas itu terasa kosong. Hening. Tidak ada maid yang berbaris di sisi ruangan seperti kemarin, tidak ada bodyguard yang lalu-lalang menjaga. Hanya mereka berdua. Sunyi begitu kental hingga suara sendok menyentuh piring terdengar terlalu jelas. Diana duduk agak menunduk, berusaha makan dengan tenang, meski tangannya sedikit gemetar. Sementara Bram duduk tegap di ujung meja, menikmati mak
Perlahan, kelopak mata Diana terangkat. Pandangannya langsung tertumbuk pada dada bidang yang tengah merengkuhnya erat. Hangat. Nyaman. Dan… terlalu dekat.Ia terdiam sejenak, membiarkan telinganya menangkap dentum jantung Bram yang berdetak stabil di dadanya. Lengan kokoh pria itu melingkar di pinggangnya, membuatnya tak bisa bergerak kemana-mana. Pipi Diana memanas, semburat merah menjalar hingga telinganya.'Nafasnya begitu teratur… bahkan hembusannya saja bisa membuatku gugup begini.'Matanya pelan-pelan mengangkat kepala, menatap wajah Bram yang masih terpejam. Rambut hitam pria itu sedikit berantakan, garis rahangnya tegas, dan ada sedikit sisa lelah di rautnya. Namun justru di situlah letak ketampanannya wajah pria dewasa yang baru saja memberikan malam panjang tak terlupakan.Diana menahan napasnya. "Ya Tuhan, bagaimana bisa ia terlihat lebih tampan saat tidur begini?" Bibirnya bergerak tanpa suara, seperti ingin tersenyum tapi malu sendiri.Ia mencoba menarik tubuhnya menjauh
Diana menelan ludah kasar. Lidahnya mendadak kaku dan mata yang tak bisa mengalihkan dari pemandangan itu.Otaknya mendadak kosong.Mainkan?Seperti makan lolipop?Apakah itu artinya dia harus memasukkan benda itu ke dalam mulutnya? Benda besar dan sepanjang itu?Diana bergidik ngeri saat melirik lengannya yang sama dengan senjata Bram.Pria itu duduk angkuh, menatap Diana yang dilema. Raut tak sabar terpancar di wajah Bram.“Cepat, Diana!”Diana tersentak, tangannya sigap memegang benda itu.Panas dan keras. Wajahnya memerah.Ia melirik Bram dengan keraguan besar, namun pria itu mengedikan dagu, seolah berkata mainkan! tanpa sedikitpun menerima bantahan.Diana menarik napas panjang, namun yang terasa aroma berbeda merasuk ke dalam hidungnya. Entah apa ia harus menyebut itu, tapi ia tahu aroma itu berasal dari kejantanan Bram yang perlahan mengeluarkan cairan bening di ujungnya.Ia menjulurkan lidah, menjilat benda keras itu dengan jantung berdegup kencang. Tanpa ia sadari, tangannya
Tanpa memberi kesempatan menjawab, Bram tiba-tiba menarik tengkuk Diana dan menyatukan bibir mereka. “Mmhh—!” Diana spontan berontak. Tangannya menekan dada Bram, berusaha menjauh. Namun tenaga besarnya seperti tembok kokoh yang tak tergoyahkan. Bram melumat bibir Diana dengan kasar, tak memberi celah sekecil apa pun untuknya bernapas. “T-tunggu…” suara Diana teredam, tubuhnya bergetar. Napasnya terengah-engah ketika akhirnya Bram melepaskan tautan itu. Wajahnya memerah, bibirnya berdenyut perih, matanya memandang tajam penuh amarah. “Kau… hampir membunuhku!” bentaknya sambil mengusap bibir yang basah. Alih-alih merasa bersalah, Bram hanya terkekeh. “Mungkin… tapi bukankah suatu kehormatan mati di bawah kungkunganku?” Urat di leher Diana menegang, tubuhnya merinding. “Gila!” Bram mengangkat bahu santai, lalu menarik Diana hingga berdiri. Tubuhnya hampir limbung jika saja pria itu tak menahan pinggangnya. Kini mereka begitu dekat, tubuhnya di himpit diantara meja. D
“Pembunuh?” ulang Diana berbisik. Ia menunduk menatap tanganya yang tiba-tiba bergetar hebat. “Ya,” Bram menjawab datar. “Bukankah aku sudah tunjukkan videonya kemarin?” Diana mengangguk pelan, lalu Bram kembali bertanya. “Kau… kau tak tahu siapa pria itu?” Diana menggeleng, bibirnya kering. “Salah satunya adalah suamimu.” “TIDAK! TIDAK MUNGKIN!!” Diana menatap Bram dengan napas memburu. Reza memang bukan suami yang baik. Dia brengsek, kasar, bahkan tak pernah benar-benar menganggapnya istri. Tapi membunuh orang? Tidak. Itu terlalu jauh. Ia mengenal Reza… setidaknya, ia yakin begitu. “Apakah bukti itu masih kurang valid?” Bram tiba-tiba menjambak rambut Diana, memaksa wajahnya mendongak. “Shhh… sakit!” jerit Diana, tangannya berusaha melepaskan cengkeraman itu. “Kau tahu, aku sudah menunggu 15 tahun untuk calon pewaris
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments