“B*NGS*T, JADI SELAMA INI LO MASIH BOLAK-BALIK MALL?!” teriakkan Edo di dalam ruangan Bara membuat beberapa rekan kerja pria itu melirik penasaran.
Putra merapatkan pintu di belakang punggungnya sambil menghela napas panjang.
“Gila lo, Bar! Kalau dia makin takut gimana?”
“Emang! Otak sama selangkangan udah kaga sinkron. Segitu sang*nya lo ama dia sampe datengin dia tiap hari begitu?! Advokat apaan yang kerjaannya ngemall setiap hari.”
Bara melonggarkan dasi, lalu duduk di balik meja bertuliskan namanya.
“Jangan-jangan lo ke sana cuma buat nyari bahan on*ni?”
“B*ngs*t!” Bara melempar tatapan tajam kepada Edo, tapi tidak menciutkan nyali Edo sama sekali.
“Lo nggak inget apa kata Mbak Wati?” Putra menarik kursi lain, lalu duduk di samping Fadlan. “Kalau dia sampe nuntut lo gimana? Kredibilitas lo sebagai pengacara bisa hancur.”
Bara menyapu rambutn
“Cin!!” Riri melambaikan tangan dari kejauhan sambil menyeret koper. Wajah manisnya berhias senyum lebar, meski kulit gadis itu terlihat lebih cokelat dari sebelumnya.BRUK.Riri menjatuhkan koper begitu saja di depan pintu asrama Cindy, lalu melompat untuk memeluk gadis itu.“Kamu pasti kangen akuuu!!” teriaknya riang. “Nih, aku sudah bawa oleh-oleh buat kamu dan Kak Mira.”Mira adalah rekan satu profesi Cindy yang tinggal di asrama yang sama. Saat mendengar suara riang Riri, ia langsung mengangkat wajahnya dari balik laptop, lalu melambaikan tangan.“Hai, Ri!”“Kak Mira!” Riri melepaskan pelukannya dari sosok Cindy, lalu beralih memeluk Mira yang tengah menonton drama korea kesukaannya.“Kamu baru datang?” tanya Mira seraya melirik koper yang ditinggalkan Riri di ambang pintu.“Kamu kan bisa ke rumah dulu baru ke sini,” gerutu Cindy, tapi deng
“Anak itu beneran nggak nangis?” tanya Yumi, perawat yang bertugas siang itu. Ia mengintip sedikit dari balik gorden pembatas ruang tindakan.Imel, rekan kerjanya, berjalan sambil mendorong dressing trolley yang sudah digunakan. “Nangis lah,” katanya sambil lalu. Kemudian merapatkan gorden di belakang punggungnya.“Tapi nggak separah anak yang di sebelah loh,” ujar Yumi, berjalan mengekor di belakang Imel. “Tapi dia beneran bisa ngerasain sakit kan, Mel?”Imel membawa dressing trolleynya ke samping meja perawat. Sejujurnya ia juga memiliki kekhawatiran yang sama seperti Yumi.Siang ini, ketika ruang IGD terasa lenggang, secara tiba-tiba mereka kedatangan dua pasien cilik yang memecah ketenangan itu. Kepanikan yang bercampur raungan tangis adalah yang terburuk. Namun, mereka juga tidak bisa meminta anak-anak itu berhenti menangis, terlebih saat mereka lihat luka ternganga di beberapa bagian tubuh keduanya.
Beberapa saat yang lalu.“Ya ampun, lihat deh. Di paviliun mawar lagi ada yang ribut.” Yumi menunjukkan foto di ponselnya kepada Imel dan dua rekannya yang lain.Terlihat beberapa orang wanita berdiri di depan sebuah kamar. Seorang perawat sudah mencoba melerai mereka.“Jangan-jangan kasus perselingkuhan.”“Hus! Ini kan bangsal anak.”“Eh, iya yah.” Imel mengangguk-ngangguk. “Ehhhh, sebentar. Coba lihat fotonya.” Imel meraih ponsel Yumi, lalu memperbesar foto itu. “Ini kan ibu guru pasien tadi, iya kan?”“Astaga, iya!” pekik Yumi setelah menyadari orang-orang di dalam foto itu. “Dokter Cindy! Gawat!” teriaknya, memanggil Cindy yang berjalan melewati mereka.***Brak.Tanpa sadar, Bara membuka pintu IGD dengan kekuatan penuh hingga membuat salah satu daun pintunya menabrak ujung ranjang kosong di sis
“Apa kita sama sekali nggak punya harapan lagi? Apa kamu nggak bisa maafin aku? Apa kamu nggak bisa kasih aku satu kesempatan lagi?”Pertanyaan itu bukan sekedar kata, tapi sebuah ungkapan kerinduan dan penyesalan yang selama ini Cindy rasakan.Ia tau, ia yang sudah memutuskan hubungannya dengan Bara, tapi sejujurnya, ia sangat mencintai pria itu. Waktu menahun yang mereka lalui bersama tidak bisa menguap begitu saja. Justru, detik demi detik, rasa rindu yang Cindy rasakan kian menggunung tinggi.Hari di mana ia melangkah pergi meninggalkan Bara di kencan mereka yang damai, adalah hari penuh penyesalan.Andai bisa memutar balikkan waktu, Cindy ingin kembali ke saat itu. Ia ingin membalas genggaman tangan Bara, ia ingin terus bersandari di dada bidang pria itu, ia ingin mendengar suara Bara yang memanggil namanya dengan penuh kasih. Ia ingin kembali ke masa itu, dan memperbaiki semuanya.Takkan ia permasal
“PUTRA!”Putra baru saja akan menutup pintu ruangannya saat mendengar suara yang berteriak dari kejauhan. Biasanya tamu-tamu yang menemuinya akan di antar sekretaris Putra, kecuali sederet nama yang sudah karyawannya hafal di luar kepala.“Woy, dari tadi gue telpon!” Fadlan membungkuk, menumpu tangannya di lutut sambil mengatur napas.“Gue sibuk. Baru selesai meeting sama klien. Kenapa?”Edo meletakkan tangannya di bahu Putra dengan napas terengah. “Bara, hhh, si Bara… dia… hhh, ada di RS.”“Hah? Kenapa?!” tanya Putra panik. “Dia kecelakaan?”Edo mengerjap, lalu beradu pandang dengan Fadlan. Di antara semua kemungkinan keduanya hanya sempat berpikiran tentang Cindy, mereka bahkan tidak memikirkan kemungkinan lain yang dialami Bara.“Eh, iya, yah?” Edo bergumam pelan.“Hah?! Si Bara kenapa ada di RS? RS mana?!” bentak Pu
“Masih belum diangkat?” tanya Fadlan di kursi belakang.Putra menggeleng, gurat wajahnya terlihat cemas.“Si B*bi, susah banget nelpon dia!” maki Edo di balik kemudi. Semakin lama, laju mobilnya semakin kencang. Beberapa pengemudi membunyikan klakson saat Edo meliuk sesuka hati di atas aspal.“Hati-hati, Bl*k!”“Alah, t*i!” maki Edo sambil melaju menyalip truk.“Kita coba ke kantornya dulu,” usul Putra yang sudah berkali-kali mencoba menghubungi Bara dan kantornya, tapi tidak mendapat jawaban sama sekali.“Apa nggak tanya Cindy aja?” Fadlan melongokkan kepalanya di antara kursi kemudi dan penumpang.“Terus lo mau bilang apa? Yang masalah taun baru aja belom clear.”Fadlan menghela napas panjang, sadar akan kesalahan yang sudah mereka buat beberapa waktu yang lalu.Lagi-lagi Putra mencoba menghubungi nomor Bara, tapi masih t
“Leo?!” Nilam melompar dari kursinya saat melihat Leo yang berada di dalam gendongan Fadlan.Sigap, Bara langsung menghampiri Fadlan, lalu mengambil alih Leo dengan sangat hati-hati.“Kamu kenapa ke sini? Kan Mama sudah bilang tunggu di mobil.”“Wahhh itu kursi roda buat Leo?” tanya Leo girang, sama sekali tidak mempedulikan omelan ibunya.Bara mendudukan bocah itu di kursinya. “Iya, suka?”Kepala kecil Leo mengangguk penuh semangat. “Suka, Om! Leo suka!!”Bara tidak bisa menahan senyumannya. Ia mengacak lembut rambut Leo. “Nanti kita bisa pasang stiker juga.”“Boleh dikasih stiker?”“Boleh dong.”“Yang banyak?”Bara mengangguk mantap.“Hore!!”Ternyata, hal remeh seperti stiker bisa membuat Leo sangat bahagia, dan dadanya sendiri dipenuhi perasaan bangga. Seakan ia baru saja memeti
Byur!Hujan jatuh seketika, tanpa basa-basi melalui gerimis atau mendung yang berarti, tapi hujan itu datang dalam sebuah serbuan yang langsung membuat Nilam bergerak cepat untuk melindungi Leo. Sigap, Bara membungkuk untuk melindungi Nilam.“Ayo masuk dulu,” ujar Bara, Nilam mengangguk dan berlari ke area teras mess, sedangkan Bara langsung menggendong Leo.“Hore hujaan!” teriak Leo girang. “Om! Kursi rodanya!” pekik Leo saat Bara mendudukkannya di ruang tamu. Bara mengangguk dan berlari melesat untuk menyelamatkan kursi roda Leo.“Kalian basah, tunggu sebentar.” Bara menyelinap ke ruangan pertama di balik pintu berwarna hitam. Lalu muncul kembali dengan dua handuk besar berwarna biru tua dan abu-abu. Saat dibentangkan, handuk itu bahkan bisa menyembunyikan tubuh Leo sepenuhnya.“Om, ini handuk atau selimut?” tanya Leo polos.Bara berdeham pelan.“Leo,” tegur Nil