Share

BAB 3

Author: Eka Fitriani
last update Last Updated: 2022-03-06 06:30:53

BAU MASAKAN DI TENGAH HUTAN

03

.

Menjelang fajar aku bergegas turun untuk membuatkan sarapan, terlihat mas Zaki tengah sibuk dengan berbagai macam benda yang entah apa namanya, karena aku tidak begitu tau.

Sudah menjadi pekerjaannya setiap menjelang pagi seperti ini mempersiapkan berbagai macam pekakas seperti pisau sadap dan lain sebagainya yang berhubungan dengan perkejaanya sebagai penderes getah karet.

"Mas mau sarapan apa pagi ini?"

"Terserah kamu saja." Jawabnya tanpa menoleh.

Aku bergegas ke dapur untuk membuat menu sederhana yang biasa aku buat. Di luar rumah langit masih terlihat gelap bercampur cahaya oranye aku bisa melihat jelas sebab ada beberapa dinding yang berlubang.

Mengingat pagi sudah semakin dekat aku memilih sarapan sederhana yang mudah dan cepat. Tidak butuh waktu lama, cukup lima belas menit saja nasi goreng buatanku sudah matang.

"Mas, masakannya sudah siap." Aku memanggil mas Zaki.

"Iya, tunggu sebentar." Teriaknya dari lantai dua pondok kayu ini.

Sambil menunggu, aku memilih untuk membersihkan ruangan depan. Dahiku berkerut menatap bingung ke arah ruangan yang sedikit berantakan.

Seingatku tadi malam tempat ini masih begitu rapi, tidak seperti saat ini. Bahkan banyak terdapat lumpur kering di atas meja dan beberapa potong tubuh cacing tanah yang sudah mengering.

Aku bergidik dan merasa mual ketika melihat serpihan tubuh mahluk kecil penghuni tanah itu. "Mas!" aku berniat untuk memberitahu mas Zaki dengan penemuan pagi ini.

"Iya Sayang, tunggu sebentar!" Aku menunggu sedikit tidak sabar, hingga akhirnya laki-laki bertubuh tinggi itu datang.

"Mas, sini sebentar."

"Kenapa Dek?" Tanyanya penasaran.

"Li ...."

Brakkk ....!

Aku terperanjat ketika mendengar hantaman keras seperti batu yang di lemparkan ke dinding kayu pondok ini.

"Astaghfirullahalazim! Apa itu Mas?" Tanyaku bergetar akibat kaget.

Mas Zaki mengintip dari celah dinding, cukup lama suamiku itu berdiri memperhatikan sesuatu. Aku yang penasaran kemudian menyusulnya.

"Apa mas?" Tanyaku ingin melihat.

"Tidak ada apa-apa, hanya ranting jatuh."

"Oh, kirain apa." Wajar saja jika kayu sering jatuh menghantam pondok ini, sebab bangunannya memang berada di bawa pohon karet.

"Oh iya, tadi mau ngomong apa?" Tanya mas Zaki kepadaku.

"Sini mas, tadi aku nemuin potongan cacing yang sudah mengering di atas meja, coba lihat." Aku menunjuk meja ruang tamu yang sengaja belum di bersihkan.

"Cacing? Di mana?" Wajahnya terlihat bingung.

"I ... tu!" aku terkejut saat melihat meja yang sudah bersih seperti sebelumnya. "Eh, kok gak ada. Tadi disini, di meja ini Mas. Kemana perginya?" Tanyaku bingung.

"Hmm, kamu salah lihat mungkin Dek."

"Gak mas, aku beneran lihat potongan cacing di atas meja." Rasanya tidak mungkin aku hanya berhalusinasi di pagi hari seperti saat ini.

"Buktinya mana, gak ada kan? Sudahlah tidak usah dipikirkan, makan yuk udah lapar nih."

"Hmm ...." Aku menghela nafas berat, tidak ingin mendebatkan hal sepel seperti ini aku memilih diam.

____

Kami menikmati sarapan pagi seperti biasanya, setelah selesai aku berniat membuka pintu dapur untuk mengirup udara segar.

"Mau kemana Dek?" Tanyanya kepadaku.

"Buka pintu."

"Nanti saja biar aku yang buka." Ucapnya memberi tau.

"Memangnya kenapa mas?"

"Banyak nyamuk."

"Tapi biasanya mas Zaki buka pintu sesudah subuh kan?

"Emm. Hari ini nyamuk lagi banyak Dek." Jawabnya gugup.

Kami sama-sama sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Setelah selesai merapikan ruangan yang tidak terlalu luas ini aku menghampiri mas Zaki.

Nampaknya mas Zaki sudah siap untuk berangkat. Cahaya matahari pun sudah terlihat terang benderang.

"Dek, mas noreh getahnya agak jauh di pinggir sana." Sambil menunjuk ke arah yang di tuju. "Jangan pergi jauh-jauh ya." Aku mengangguk, tanda mengerti.

Setiap hendak pergi mas Zaki selalu memberi nasehat untukku agar tidak pergih jauh-jauh dari rumah kayu yang kami tempati.

Karena aku baru beberapa bulan di tempat ini, mungkin mas Zaki takut jika pergi jauh-jauh tidak ingat jalan pulang.

______

Karena jenuh sejak tadi hanya membaca buku, aku memutuskan untuk turun kelantai bawah.

Aku teringat dengan kejadian tadi malam, rasanya begitu ingin tahu apa yang terjadi sebenarnya. Mataku memindai setiap jengkal dinding dari luar pondok ini.

Dari atas hingga bawah, mengelilingi dari sudut ke sudut. Guna mencari tau benda apa yang menggores-gore dinding kayu itu.

Tidak ada yang aneh, semua tampak sama dinding pun masih mulus tidak ada bekas atau tanda benda tajam melukainya.

Aneh sekali apa mungkin aku bermimpi, rasanya tidak. Buktinya luka memar di tubuh masih terasa sakit jika tersentuh.

Tidak ingin menyerah aku terus mencari bukti atau apa saja yang menjadi petunjuk. Entah sudah beberapa kali aku mengelilingi, panas pun sedikit terik karena berada di pertengahan hari.

Karena lelah aku memutuskan untuk masuk kedalam melalui pintu dapur, langka ini terhenti saat mataku melihat goresan di dinding dapur yang memanjang.

"Apa ini?" Aku meraba permukaan kayu dengan garis memanjang cekung kedalam.

Sekilas jika di lihat dari bentuknya seperti kuku tajam yang di tancapkan lalu ditarik kuat ke arah bawah.

"Astaghfirullah." Tepat di bawah goresan kuku itu, tampak jejak kaki yang sedikit aneh.

Sepasang telapak kaki, dengan bentuk yang tidak lazim. Pikiranku menerawang jauh, membayangkan jejak kaki apa yang saat ini ada di hadapanku.

Mungkinkah manusia atau binatang. Sebab bentuknya seperti terbalik ke belakang. Telapaknya besar namun kedua sisinya terbalik atau miring tidak sejajar.

Sejak tadi perasaanku tidak enak, seperti ada mata yang mengawasi dari jauh. Tidak ingin berlama-lama berada di sini, aku segera meraih ponsel yang berada di dalam saku gamisku, berniat ingin memfotonya, untuk di tunjukkan kepada mas Zaki.

"Tania!" Seseorang terdengar memanggil nama ku dari arah belakang.

Aku menoleh ke sumber suara. Tapi tidak ada siapapun disana, hanya terlihat hamparan pohon keladi yang bergoyang tertiup angin.

Ku palingkan wajah kembali ketempat telapak kaki itu berada. Kembali aku di kejutkan dengan jejak kaki yang menghilang sama seperti kejadian pagi tadi.

"Kemana jejak kaki tadi." Aku bergumam sendiri.

Shrek .... Shrek!

Terdengar langkah kaki seseorang tengah berjalan dari balik semak belukar yang berada di samping kanan ku.

Tubuhku membeku, hawa dingin merayap di tengkuk leher. Tanpa menoleh kebelakang dengan cepat aku berdiri dan berlari masuk kedalam melalui pintu dapur, tidak lupa aku menutup dan mengunci semua pintu.

------

Bersambung.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • BAU MASAKAN DI TENGAH HUTAN   BAB 36

    Teriakan Putri membangunkan Orang Pandak yang sedang bersemedi. Mata merahnya membuka tajam. "Putri, anakku." Dia bangkit dari duduknya. Berayun dari satu pohon ke pohon yang lain. Penciumannya dia pertajam untuk mencari keberadaan anaknya itu.Hidungnya terus mengendus, mempertajam indra penciuman. Mata tajam menyala, hatinya merasakan kesedihan yang sulit untuk di gambarkan. Perasaan tidak enak membuat dirinya bertingkah kebingungan.Sesosok mahluk berbulu meringkuk di tengah hamparan kebun sawit. Tubuhnya tidak berdaya lagi untuk berdiri, hanya sanggup untuk menahan dinginnya malam. Rasa sakit di pungungnya menjalar kesemua persendian tulang-tulang.Erangannya semakin kuat, dia merasa sudah tidak sanggup lagi untuk hidup. Benda yang tertancap itu seprti menghisap habis tenaga dan kekuatannya. "Ayah, tolong aku." Lirihnya.Tubuhnya meregang, tangannya melebar. Putri berteriak keras, karena menahan rasanya sekarat. Tubuhnya terus terguncang, rasa

  • BAU MASAKAN DI TENGAH HUTAN   BAB 35

    Para tetangga yang berada di sekitar kebun berdatangan, Parjo lalu di turunkan dari jerat tali yang menggantungnya. Tertulis sepucuk surat di atas lantai dari Parjo, dia berharap ada orang yang mau mengurus Arman.Parjo memberitahukan tabungannya yang di amanahkan kepada Datuak Panjang. Dan rencananya uang itu akan di gunakan untuk biyaya pendidikan serta kehidupan sehari-hari Arman.Para tetangga menangis pilu melihat Parjo yang sudah terbujur kaku. Di perkirakan dia meninggal pagi hari setelah pulang dari mengantar Arman sekolah.Parjo di kenal baik oleh tetangga serta teman-temannya yang lain. Orangnya yang sopan dan mudah bergaul, membuatnya banyak teman. Jika ada yang datang meminta bantuan Parjo dengan senang hati menolongnya.Para warga terheran-heran karena tidak adanya Marsria. Warga segera mengurus jenazah Parjo dan segera memandikannya. Tidak lama Datuak Panjangpun datang, setelah mendapat kabar berita kematian Parjo.Datuak me

  • BAU MASAKAN DI TENGAH HUTAN   BAB 34

    Parjo, lelaki bertubuh kurus, Dia baru saja datang di tanah Minang. Rencanaya dia akan bekerja di sana, untuk merubah nasib menjadi lebih baik.Parjo di ajak temannya yang lebih dulu merantau untuk bekerja di pabrik sawit. Namun Parjo yang hanya tamatatan sekolah dasar itu, tidak di terima di perusahan temannya bekerja.Namun Parjo di terima di bagian lain, iya itu menjadi tukang panen buah sawit. Akan tetapi Parjo yang saat itu belum tau menau tentang sawit. Dia menolak, walapun pihak perusahan menawarkan untuk mengajarinya terlebih dulu.Parjo yang bingung belum mendapatkan pekerjaan, sementara istri dan anaknya sudah menaruh harap kepadanya di kampung halaman. Temanya mencarikan pekerjaan yang lain untuk Parjo.Kebetulan pada saat yang sama Datuak Panjang, juga sedang mencari orang untuk menjaga kebun miliknya. Tanpa pikir panjang Parjopun menerima pekerjan dari Datuak.Melihat Parjo yang rajin, Datuak sangat menyayanginya. Parjo di be

  • BAU MASAKAN DI TENGAH HUTAN   BAB 33

    POV AUTHOR.*******Baru beberapa langkah Zaki dan Tania berjalan, Putri sudah menunggu dan menghadang mereka berdua. Kini wujudnya benar-benar terlihat menyeramkan. Rambut awut-awutan dengan kuku panjang dan tubuhnya yang berbulu kasar, ekor panjangnya bergerak liar kesana kemari."Jika aku tidak bisa memiliki dirimu. Maka orang lainpun tidak boleh memiliki mu Zaki." Mata Tania terbelalak mendengar ucapan Wanita itu.Putri berlari sangat cepat, tangan dengan kuku panjang itu langsung mencengkeram leher Zaki. Untung saja Zaki bisa melepaskan tangan Putri dari lehernya.Tangan Zaki mengepal, dengan cepat dan tepat dia melemparkan bodem mentah ke pipi kiri istri gaibnya itu. Terlihat wajah Putri yang meradang, taringnya beradu satu sama lain. Matanya melotot melihat ke arah Zaki."Tania, pergih lah. Cari tempat aman dan sembunyi." Zaki berteriak menyuruh Tania untuk pergih."Aku gak bisa tingalin kamu sendiri melawan wanit

  • BAU MASAKAN DI TENGAH HUTAN   BAB 32

    POV TANIA.*****Angin sepoi-sepoi membangunkan aku dari tidur malam ini. Aku membolak balikan tubuh karena mata tidak mau kembali terpejam."Tiik..! "Tikk..! "Tiik...! Suara jam dinding, semakin mengganggu.Aku berdiri, lalu duduk di tepi jendela. Sesekali melihat layar dari benda pipih yang berada di atas meja. Aku mulai bosan karena merenung tidak jelas dengan pikiran yang tidak karuan."Brak..!" "Brakk...!" Suara pintu yang terdorong oleh angin.Terdengar suara gaduh dari kamar belakang. Aku hanya berpikir jika itu hanyalah kucing liar, yang masuk ke dalam rumah untuk mencari sisa-sisa makanan.Suara erangan terdengar lirih, pikiranku mulai tertuju kepada Nek Imah yang tidur di kamar belakang. "Mas, bangun." Aku mencoba membangunkan Zaki yang masih terbalut selimut."Emm..!" Sambil membetulkan slimut dan kembali tidur. Aku memberanikan diri untuk melihat keadan di luar tanpa Zaki."Klek."

  • BAU MASAKAN DI TENGAH HUTAN   BAB 31

    POV TANIA.******Telapak tanganku masih terasa dingin, sama seperti tadi ketika aku berbaris melingkar dan mengelilingi sesuatu yang kasap mata, aku tidak tau apa yang menggenggam tanganku. Aku hanya merasakan sesuatu yang lembut dan sejuk seperti angin malam yang datang setelah hujan.Tidak lama setelah itu bunyi gemuruh terdengar, sesuatu menyembul dari bawah akar pohon yang besar. Tubuhku terombang ambing karena tanah yang kupijak bergetar. Angin kencang berputar-putar di atas gundukan yang muncul itu.Aku memejamkan mata karena takut, telingaku mendengarkan Nek Imah yang sedang berbicara. Aku tidak tau pasti dengan siapa dia berbicara, namun terdengar samar-samar Nek Imah memanggil nama seseorang.Angin mulai reda, getaran di tanahpun sudah berhenti. Aku membuka mata melihat Gua yang kala itu pernah aku lihat. Aku mengikuti Nek Imah dari belakang, mencari jasad Bu Sri yang tidak mampu aku tolong pada malam kejad

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status