“Ini apa?” tanyaku kemudian. Sepasang suami istri itu menatap lekat pada benda yang kupegang. Mas Angga mendekat lalu dengan cepat benda itu sudah berpindah tangan. Kualihkan pandangan pada laki-laki di sebelahku. Wajahnya merah padam dengan nafas terdengar memburu. Bunyi gemeletuk gigi yang saling beradu, mengisyaratkan bahwa dia tengah menyimpan murka. “Ini punya siapa, Ma!” teriak Mas Angga sembari menatap marah pada istrinya. Mbak Nilam terpaku memandang benda di tangan suaminya. Senyum kemenangan yang tadi terlihat di wajahnya, kini hilang terganti pias. Bibirnya bergerak tapi tak menghasilkan suara. “Ayo jawab!” bentak Mas Angga. “itu... itu bukan punyaku, Pa.” sahut Mbak Nilam tergagap. Tentu saja ini bukan kepunyaan dia. Benda ini kan untuk dipakai laki-laki. “Jangan bohong! Jelas-jelas ini ditemukan di sini. Siapa yang telah mengg
Aku melihat kemarahan pada diri Mas Angga, sesaat setelah dia menatap layar ponsel yang diberikan Rere. Sepasang mata itu melotot tajam pada Mas Bayu. “Dasar baj!ngan!” Tanpa aba-aba, Mas Angga langsung melayangkan kepalan tangan pada wajah suamiku. Tak mampu menghindar, pukulan itu mendarat tepat di wajah suamiku hingga darah kental meleleh dari sudut bibirnya. Mas Bayu mengaduh kesakitan. Ibu mertua terlihat panik. Berusaha melerai tapi urung. Dia hanya memegangi tubuh anaknya yang hampir terjatuh karena hantaman bogem mentah Mas Angga. Rasa penasaran memaksaku merebut ponsel dari tangan Mas Angga. Sepasang bola mataku terbelalak sempurna saat menyaksikan video di benda pipih ini. Mas Bayu tampak terburu-buru keluar dari pintu belakang rumah, sementara Mbak Nilam langsung menutup rapat pintu. Tangan suamiku memegang baju dan celana yang seharusnya dia pakai. Menjijikkan.
Tanpa terasa seminggu telah berlalu sejak penggerebekan Mas Bayu . Selama itu juga kucoba mengobati luka yang menganga karena dusta. Sempat terbesit sesal telah menikah dengan Mas Bayu, tapi segera kutepis. Semua yang terjadi telah terjadi dan tak akan terulang kembali. Anggap saja sebagai pelajaran agar kelak aku lebih berhati-hati sebelum memilih. Rere sungguh-sungguh dengan ucapannya. Dia telah menyuntikkan dana pada toko yang akan kubuka, bahkan terlibat langsung mencari distributor barang-barang yang akan kujual nanti.Beberapa hari ini, dia juga mengajakku jalan-jalan. Walau kadang hanya berkendara tanpa tujuan, tetap saja mampu mengikis pilu yang kugenggam. “Kamu jadi pulang sekarang?” tanya Rere saat aku mengemasi pakaian.“Iya, Re. Makasih ya kamu sudah baik banget sama aku. Entah dengan apa aku membalas,” sahutku. “Enggak usah dibalas, cukup doakan saja semoga aku bisa jadi lebih baik,” ucap Rer
Sesampainya di rumah, aku tak melihat Mbak Nilam ada di teras. Padahal aku ingin sekali memamerkan kedekatan kami padanya. Gegas aku mengikuti langkah Mas Bayu yang lebih dulu masuk. Tangan kanannya menenteng kantong plastik berisi daun singkong untuk selingkuhannya.“Mbak, kamu di mana?” teriak Mas Bayu saat Mbak Nilam tak terlihat di ruang tamu maupun ruang tengah. Samar terdengar bunyi derit pintu dari arah kamar kami. Aku memutar kepala menoleh ke sumber suara tadi. Sungguh aku kaget saat Mbak Nilam terlihat menyembul dari balik pintu kamar kami. Kurang ajar sekali dia masuk kamar orang sembarangan. Atau memang sudah diizinkan Mas Bayu? “Jangan teriak-teriak. Anakku lagi tidur,” ketus Mbak Nilam pada suamiku. “Kamu kenapa sih, Mbak? Kok cemberut begitu?” tanya Mas Bayu bingung. “Kamu tanya kenapa! Kalian pergi tanpa mengajakku. Kok masih bisa tanya kenapa. Kamu gimana sih?” m
Jam digital di ponsel menunjukkan pukul setengah dua kurang sedikit. Itu berarti sebentar lagi waktunya menemui Mas Angga. Rere-sahabatku masih terlihat asyik menata barang dagangan. Dia benar-benar semangat.“Re... temani aku ketemu Mas Angga dong,” bujukku saat kami menjeda aktivitas. “Aku ada acara, Lin. Bentar lagi juga mau balik. Kamu sendiri saja ya,” tolaknya. “Yah...” keluhku memasang wajah sedih, berharap dia mau membatalkan acaranya. “Maaf, Lin. Aku benar-benar enggak bisa,” sahut Rere seolah tak enak hati. “Ya sudah, enggak apa-apa. Biar aku sendiri saja,” ujarku kemudian. Sebenarnya aku tak enak jika menemui Mas Angga sendirian. Biar bagaimanapun kami masih sama-sama memiliki pasangan. Memang benar dia sudah menalak Mbak Nilam. Namun, rasanya tetap sungkan. Selang beberapa saat, Rere pamit pulang. Katanya ada acara sama keluarganya. Aku pun segera mengakhiri peker
“Mas Bayu!” Aku menjerit histeris tatkala melihat Mbak Nilam tengah menindih suamiku. Menyaksikan sepasang anak manusia itu tengah asyik masyuk merajut dosa, Amarahku langsung memuncak. Seketika wajah sayu Mas Bayu berubah pucat saat melihatku berdiri di ambang pintu. Beda halnya dengan Mbak Nilam, perempuan tak tahu malu itu justru tersenyum saat menoleh padaku, seolah mengatakan dialah pemenangnya.Mas Bayu mendorong kasar Mbak Nilam dari atas tubuhnya lalu beranjak memunguti pakaian. Aku yang sudah dikuasai amarah langsung mendekat pada perempuan yang tak berpakaian itu. Kujambak rambut hitamnya yang tergerai semrawut, lalu memaksanya berdiri. “Awww” pekik Mbak Nilam.Teriak kesakitan perempuan itu tak cukup mampu menumbuhkan iba di hatiku. Sebuah tamparan kulayangkan pada wajah menornya hingga dia terhuyung. “awww” jeritnya sambil memegangi pipi yang memerah karena tamparanku.
“Lin!” Baru saja mendekati teras, Rere sudah menyambutku keheranan. Kedua matanya menatap penuh selidik pada ransel yang kugendong, juga raut sedih di wajahku. Setelah serangkai kejadian tadi, aku memang ke rumah Rere. Sebenarnya ingin pulang ke tempat orang tua, tapi karena sudah sore, aku memilih ke sini saja. “Kamu kenapa?” imbuhnya. “Aku...” “Masuk dulu, yuk! Cerita di dalam saja,” Belum sempat aku menyelesaikan ucapan, Rere langsung memotong. Dia menggandeng tanganku lalu mengajakku ke dalam kamarnya. Setibanya di dalam, kuletekkan ransel sembarangan lalu menghempaskan tubuh di atas ranjang. Kedua mataku memejam erat sekedar untuk melepaskan beban pikiran. Bayang-bayang pergumulan mereka masih saja menari di kepala. Segudang penyesalan mulai menyelinap pada hati yang kini terluka. Kenapa dulu aku memilih Mas Bayu?Gegas aku membuka mata lalu
“Assalamu alaikum,” ucapku sembari mengetuk pintu rumah tiga kali.Pagi ini memang aku pulang ke rumah. Rasanya tak sabar meluapkan keluh kesah pada bapak dan ibu. Mau bagaimanapun, aku tetaplah seorang anak yang masih butuh kasih sayang mereka.“Elin!” teriak ibu kaget setelah membuka pintu.Ibu mengedarkan pandangan seperti mencari-cari sesuatu. Sesaat kemudian ibu mengalihkan pandangannya padaku, lalu memindai wajahku cukup lama. “Bayu enggak ikut lagi?” tanya ibu penuh selidik.“Anu, Bu... Mas Bayu...” Entah kenapa dadaku terasa sesak ketika menyebut nama mantan suamiku. Lidahku terasa kelu untuk berucap. Terselip kekhawatiran ibu akan menangis jika tahu yang sebenarnya. “Masuk dulu, ceritanya nanti saja,” ajak ibu kemudian.Aku berjalan mengekori langkah ibu yang lebih dulu masuk ke dalam. Segera kujatuhkan bobotku pada sofa setelah sampai di ruang tengah. Ibu beranjak ke belakang, lalu segera